• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.2 Sistem Kemasyarakatan

Penulis menggunakan kata sistem kemasyarakatan dalam pembahasan bukan sistem kekerabatan, hal ini disebabkan karena sistem kemasyrakatan itu adalah keseluruhan dari struktur sosial masyarakat, sedangkan sistem kekerabatan itu hanya membahas tentang pergaulan hidup. Seperti garis keturunan yang terlihat dari silsilah marga. Dengan berkembangnya kemajuan zaman mengakibatkan kata pergaulan hidup semakin meluas dalam hal sistem kemasyarakatan. Oleh sebab itu digunakanlah penulisan kata itu menjadi sistem kemasyarakatan. Suatu masyarakat pasti mempunyai lokalitas atau tempat tinggal tertentu. Masyarakat yang mempunyai tempat tinggal tetap biasanya mempunyai ikatan solidaritas yang kuat sebagai

pengaruh kesatuan tempat tinggalnya.10

2.2.1 Intern

Masyarakat yang mendiami suatu tempat tinggal akan menjalin komunikasi dengan masyarakat lainnya karena pada umumnya masyarakat adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam masyarakat Batak Toba yang ada di Desa Serdang terdapat sistem kemasyarakatan yang meliputi intern dan ekstern.

Dalam masyarakat Batak Toba di Desa Serdang tidak terlepas dengan yang namanya komunikasi. Salah satu komunikasi yang diterapkan dalam sistem kemasyarakatan suku Batak Toba di Desa Serdang ialah adanya serikat tolong menolong (STM). Serikat tolong menolong tujuannya untuk menggalang kerjasama dan kebersamaan dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang menimpa warga, khususnya yang berhubungan dengan masalah kematian. STM ini dapat dilihat dari sejumlah uang yang terkumpul baik secara sukarela maupun secara wajib yang akan disumbangkan/diberikan kepada anggota masyarakat yang terkena musibah kematian atau dalam bentuk peralatan yang dibutuhkan untuk suatu acara pesta. Dengan adanya STM ini terlihatlah solidaritas dari sesama warga masyarakat yang sepenanggungan untuk bekerja secara bersama-sama (gotong-royong) dalam melaksanakan dan mengerjakan sesuatu.

Penelitian ini mengangkat tentang STM yang terbentuk atas dasar kesamaan suku dan agama yang berada pada wilayah yang sama. Dalam hal ini adalah sesama

10

suku Batak Toba dan beragama Kristen terkait dengan keberadaan suku Batak yang merupakan pendatang di Desa Serdang yang memiliki suku asli adalah suku Melayu, maka aspek budaya yang menuntut mereka untuk mencari/berkumpul dengan sesama suku Batak sebagai makhluk sosial. Sebagai pendatang di Desa Serdang mereka terdesak oleh situasi lingkungan yang baru, agar dapat bertahan mereka harus menyatukan diri dalam satu wadah dalam hal ini adalah STM. Dengan harapan sesama anggota dapat hidup saling kenal, saling menolong dan hidup harmonis.

Adapun bentuk kepercayaan diatas dapat diartikan sebagai bentuk saling percaya antara anggota kelompok yang didasari dengan pengharapan melalui anggota STM agar saling menguntungkan dalam hal moril maupun materil. Harapan yang dimaksud menunjuk pada sesuatu yang akan terjadi dimasa yang akan datang melalui tindakan nyata yang dilakukan oleh setiap anggota terhadap anggota yang lain yang sedang membutuhkan pertolongan. Sehingga hal tersebut akan memperkuat rasa saling percaya antara anggota STM.

Jaringan sosial dalam STM yang didasari oleh hubungan sosial antar individu karena adanya kesamaan agama serta diikat oleh rasa kepercayaan yang kuat mampu membentuk kerja sama dan rasa sepenanggungan diantara anggotanya. Melalui jaringan sosial setiap anggota saling mengingatkan, saling menginformasikan, saling membantu dalam melaksanakan atau mengatasi suatu masalah yang akan lebih mudah diselesaikan bersama-sama dengan anggota yang lain dari pada bekerja sendiri. Selain STM dalam sistem kemasyarakatan di Desa Serdang terdapat juga

sistem kekerabatan. Orang Batak Toba dalam hidup merantau akan mencari keluarga baru di daerah rantau atau lebih mencari hubungan kekerabatan. Demikian juga di Desa Serdang, jika seseorang yang baru datang dari daerah akan ditanyakan marga agar dapat dimengerti partuturon (menentukan kedudukan dalam hubungan

kekerabatan). Karena ada istilah dalam masyarakat Batak Toba:“ Jalo tinitip sanggar

laho bahen huruhuran, jalo sinungkun marga asa binoto partuturan “ yang berarti lebih dahulu ditanyakan marga untuk mengetahui apakah yang bersangkutan sebagai ”dongan sabutuha, hula-hula atau boru” sehingga dapat diketahui kedudukannya. Hubungan komunikasi dengan sesama orang Batak cukup terjalin dengan akrab, ini terlihat jika ada acara adat seperti perkawinan, kematian, dan kelahiran maka orang Batak Toba akan datang dan sudah mengetahui kedudukannya dalam adat, sehingga membantu secara bersama-sama. Setiap orang Batak Toba dalam pesta adat

mempunyai kedudukan dalam suatu pesta seperti hula-hula, boru dan donggan

sabutuha. Kedudukan mereka dalam adat diterima secara sukarela, hal ini menunjukkan hubungan sesama orang Batak Toba lebih mengandalkan Dalihan Na

Tolu.Pemeliharaan hubungan baik antara kelompok-kelompok kerabat tertentu sering

menjadi alasan bagi perkawinan. Perkawinan orang Batak adalah perkawinan dengan orang di luar marganya sendiri. Artinya perkawinan semarga sangat terlarang.

Kalau perlakuan itu dilakukan oleh mereka yang masih sangat dekat hubungannya atau generasi mereka kurang dari enam sundut, maka keduanya dihukum usir dari huta, dibuang dari rumpun marganya. Tetapi kalau sumbang itu

dilakukan mereka yang sudah jauh pertalian kekeluargaannya berdasarkan sundut, misalnya sudah lebih dari 7 generasi, maka dicari jalan dengan manompas bongbong. Maksudnya agar perdamaian diantara kedua kelompok yang terlibat tetap terpelihara. Dengan pesta besar dilakukan upacara manompas bongbong, akhirnya timbul marga-marga baru.11

Dalam adat masyarakat Batak Toba proses perkawinan itu harus melalui tahapan-tahapan. Ketika kedua muda-mudi sudah seiya sekata untuk menikah, maka masing-masing memberitahukan kepada orang tuanya. Kemudian pihak laki-laki

Sistem perkawinan yang ideal, yang dilakukan sejak dahulu kala ialah marboru ni tulang. Latar belakang perkawinan semarga dilarang itu disebabkan, agar partuturan (hubungan kekerabatan ) tidak menjadi kacau dan terbalik-balik dan hubungan sosial di dalam masyarakat tidak menjadi rusak. Orang yang mariboto terikat kepada pantangan yang sangat kuat. Mereka tidak boleh berbicara secara bebas dan tidak boleh memanggil nama satu sama lain. Kalau memanggil nama harus memakai kata penghalus hamu (kamu) atau halak (orang). Kalau laki-laki hendak memanggil saudaranya perempuan tersebut, dia memanggil nama anaknya (kalau sudah punya anak), misalnya nai mawan (ibu si mawan). Demikian juga sebaliknya, perempuan memanggil nama anak terbesar dari saudara laki-laki tersebut. Pemanggilan dengan memakai nama anak ini merupakan adat kebiasaan orang Batak dan dianggap sebagai kehormatan status.

11

menyuruh utusannya, yaitu borunya beberapa orang untuk menyampaikan pinangan dan membicarakan berapa kira-kira tuhornya. Pembicaraan tuhor mula-mula dilakukan oleh golongan boru dari kedua belah pihak, dinamakan marhusip (berbisik membicarakan tuhor, belum boleh diketahui umum, jadi harus dengan berbisik-bisik). Didalam marhusip selalu terjadi tawar-menawar adat soal tuhor, yang dibicarakan itu ialah panjuhuti (daging untuk pesta), jumlah ulos yang akan diberikan pihak hula-hula, jumlah undangan kedua belah pihak, tempat pesta, dan lain-lain. Setelah prinsip dasar perkawinan itu disetujui oleh kedua belah pihak, maka dipilih hari baik untuk pelaksanaan pesta perkawinan.

Pada zaman dahulu penentuan hari perkawinan diserahkan kepada datu (dukun), yang disebut maniti ari (memilih hari baik). Sekarang itu tidak ada lagi. Dahulu pengantin memulai hidup berumah tangga dengan tinggal satu minggu dirumah perempuan. Setelah satu minggu baru mereka berangkat kerumah pengantin laki-laki untuk seterusnya diantar oleh kaum ibu. Kemudian upacara maningkir tangga rumah hela (menantu laki-laki) dan putrinya, dilakukan oleh pihak hula-hula setelah satu minggu kemudian. Setelah kedatangan hula-hula ini, maka pengantin baru bebas mengunjungi rumah keluarga istri, dinamakan paulak une. Semua upacara ini dilakukan dalam rangkaian upacara perkawinan. Setelah upacara ini dilakukan, maka kedua belah pihak bebas saling mengunjungi secara biasa di luar kunjungan adat. Selama hula-hula belum datang maningkir tangga, kedua pengantin tidak boleh pergi ke rumah pihak istri atau ke kampung asal istri.

Perubahan yang terjadi sekarang ialah maningkir tangga, pulak une maupun

marune (berangkat kerumah laki-laki langsung dari pesta perkawinan) sudah

disatukan pelaksanaannya selama satu hari di dalam gedung pesta. Sehingga sebagai formalitas saja, tidak sungguh-sungguh seperti dahulu, hanya mempertahankan unsure adat. Penyebab perubahan yaitu bahwa semakin timbul kesadaran orang bahwa pesta perkawinan seperti dahulu menghabiskan banyak waktu dan biaya. Bagi mereka yang tinggal di perantauan, misalnya di Jakarta, dan kawin di Desa Serdang, waktu perkawinan harus dilaksanakan dengan cepat dan singkat, karena si pengantin laki-laki harus segera kembali ke Jakarta untuk bekerja. Karena itu seluruh unsur-unsur adat perkawinan tidak dapat dituruti lagi.12

12

Wawancara, pak Suhut Parhusip Nainggolan, Desa Serdang, 11 Oktober 2013.

2.2.2 Ekstern

Dalam sebuah kehidupan masyarakat tidak terlepas dengan hubungan antara individu yang satu dengan yang lain. Hubungan yang dimaksud ialah adanya interaksi guna terjalinnya kehidupan yang harmonis dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sebagai makhluk sosial di dalam masyarakat. Seperti halnya yang terjadi di Desa Serdang, dimana keragaman etnis yang terdapat di Desa Serdang memiliki masyarakat yang majemuk.

Keragaman etnis yang ada didaerah Desa Serdang ialah Melayu, Jawa, Batak Toba dan Karo. Dalam kehidupan sehari-hari, orang Batak sangat terkenal dengan nada bicara yang kasar dan keras yang terbawa dari daerah asalnya dan sampailah ditempat tinggalnya sekarang, oleh sebab itu didalam masyarakat orang Batak Toba yang berada di daerah Desa Serdang selalu beradu pendapat ketika terjadi suatu permasalahan mengenai lahan yang ingin dikuasai. Agar tidak semakin besar

permasalahannya, maka mereka membangun kampung lainnya yaitu adanya

kampung sumur, kampung karo, dan kampung mesjid yang letaknya tidak jauh dari Desa Serdang. Dengan adanya kampung sumur, kampung karo, dan kampung mesjid tidak menjadikan orang Batak Toba tersebut berselisih paham, melainkan interaksi mereka tetap terjaga dengan baik antara yang satu dengan yang lainnya.

Dokumen terkait