• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM HAK KEPEMILIKAN LAHAN BUDI DAYA RUMPUT LAUT DI PERAIRAN PULAU KEMUJAN

“Laut itu kan bukan untuk dibatasi. Laut itu untuk semua warga yang menginginkan. Jadi yang mau membuat ya silakan ...” (ERM, Pembudidaya Rumput Laut).

Wilayah perairan memiliki karakteristik yang khas dibanding wilayah daratan. Analisis karakteristik sumber daya perairan berdasarkan klasifikasi tipe sumber daya alam menurut Ostrom (1994) adalah memiliki derajat exclusion yang rendah dan subtractability yang tinggi, sehingga sumber daya perairan termasuk dalam klasifikasi sumber daya bersama (common-pool resources). Kutipan wawancara di atas memperlihatkan bagaimana masyarakat menganggap sumber daya perairan adalah sumber daya yang boleh dimanfaatkan oleh siapa saja (rezim open access). Berkes (1996) dikutip Priyatna (2013) berpendapat bahwa dalam kenyataannya sangatlah sulit mendapatkan jenis sumber daya bersifat common-pool resources yang murni ke dalam salah satu rezim kepemilikan sumber daya. Secara hukum, wilayah perairan di Indonesia adalah milik negara (state property) menurut Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3. Perairan Pulau Kemujan termasuk dalam kawasan TNKJ sebagai salah satu bentuk Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yang pengelolaannya dilakukan oleh negara (Pasal 34 ayat 10 UU No. 5/1990). Sistem zonasi diberlakukan sebagai bentuk pengelolaan TNKJ yang dibagi menjadi sembilan zona, salah satunya adalah Zona Budidaya Bahari yang diperuntukkan bagi kegiatan budi daya.

“... andaikan sebuah rumah anggaplah itu Karimunjawa, di dalam

rumah itu kan ada ruang-ruang khusus yang memiiki fungsi berbeda, misalnya ruang tamu untuk menyambut tamu. Tetapi kan tamu itu tidak boleh masuk lebih dalam lagi tanpa seizin yang punya rumah. Apalagi ke kamar tidur misalnya. Dan isi kamar ini kan tidak semua orang bisa tau atau mengambil barang tertentu. Ada bagian rumah lainnya yang untuk menopang hidup penghuninya, misalnya dapur. Dapur untuk memproduksi makanan. Begitu pula disini, kalau dianalogikan seperti itu... ” (MYD, BTNKJ).

Ilustrasi tersebut menjelaskan bahwa zonasi ditetapkan dengan peruntukan dan fungsinya masing-masing. Terdapat wilayah yang harus dijaga dan terdapat wilayah yang boleh dimanfaatkan atas dasar kriteria tertentu5. Secara umum

masyarakat telah mengakui penetapan wilayah Kepulauan Karimunjawa sebagai kawasan taman nasional dan mengakui keberadaan BTNKJ sebagai pengelola. Sosialisasi yang terencana telah dilaksanakan mengenai sistem zonasi yang berlaku, namun masih terfokus pada sosialisasi mengenai zona inti dan perlindungan satwa. Permasalahan muncul karena masyarakat menganggap bahwa wilayah perairan selain zona inti dapat dimanfaatkan secara bebas. Hal ini juga terjadi pada

5 Metode penentuan zona dengan memberikan skor penilaian pada kriteria ekologi, sosial, dan ekonomi (BTNKJ 2012)

44

pemanfaatan wilayah perairan untuk kegiatan budi daya rumput laut. Wilayah perairan selain zona inti dianggap terbuka bagi siapa saja yang ingin memanfaatkan. Hal ini memicu pemanfaatan wilayah perairan yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Padahal, sistem zonasi merupakan bentuk pengelolaan yang ditujukan untuk menjaga keseimbangan lingkungan seiring dengan pemafaatan yang dilakukan.

Karakteristik Pemanfaatan Lahan Budi Daya Rumput Laut

Metode budi daya rumput laut yang digunakan di perairan Pulau Kemujan adalah metode longline. Metode ini memanfaatkan wilayah perairan mulai dari permukaan hingga dasar laut. Bagian permukaan merupakan tempat tumbuhnya rumput laut, sedangkan pada wilayah dasar laut terdapat tali jangkar sebagai tali pengikat tali pancang. Rumput laut pada tali yang dibentangkan di perairan (kondisi yang ideal adalah berada di bawah permukaan air). Pembudidaya rumput laut menggunakan botol-botol bekas yang diikatkan pada tali pancang agar tidak tenggelam. Panjang tali pancang yang digunakan antara 70 sampai 120 meter dengan jarak antar tali pancang 1 sampai 2 meter bergantung kondisi perairan.

Pembudidaya rumput laut menempati lahan yang masih kosong dan dinilai sesuai untuk pertumbuhan rumput laut (“siapa cepat, dia dapat”). Umumnya pembudidaya juga memilih lokasi yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Apabila pembudidaya ingin menambah jumlah tali yang dimiliki, maka strategi yang dilakukan adalah mencari lokasi yang masih kosong atau memperkecil jarak antartali yang sebelumnya sudah dipasang. Pola pemanfaatan lahan umumnya mengelompok berdasarkan hubungan kekerabatan. Bab sebelumnya telah membahas pola tanam rumput laut yang dipetakan melalui kalender musim (Tabel 11). Adanya perubahan musim berpengaruh terhadap pola pemakaian lahan yang berbeda di ketiga dusun. Beberapa pembudidaya melakukan strategi berpindah lahan pada musim-musim tertentu (Gambar 3, 4, dan 5).

Gambar 3 Sketsa penggunaan lahan yang sesuai di Dusun Batulawang Keterangan:

x x x x x : Lahan yang sesuai pada musim barat

x x x x x : Lahan yang sesuai pada musim timur

45

Gambar 4 Sketsa penggunaan lahan yang sesuai di Dusun Telaga

Gambar 5 Sketsa penggunaan lahan yang sesuai di Dusun Mrican

Di Dusun Batulawang (Gambar 3), lokasi yang sesuai saat musim barat berada pada lokasi yang ditandai dengan tanda silang (x) berwarna biru, sedangkan saat musim timur ditandai dengan warna merah. Berpindahnya lokasi budi daya rumput laut juga terjadi di Dusun Mrican (Gambar 5), lokasi yang sesuai saat musim barat berada pada lokasi yang ditandai dengan tanda silang (x) berwarna biru, sedangkan saat musim timur ditandai dengan warna merah. Sedangkan di Dusun Telaga (Gambar 4), pembudidaya tetap membudidayakan rumput laut di lokasi yang sama. Hal ini dikarenakan pengaruh musim di perairan Dusun Telaga tidak terlalu berpengaruh drastis, sehingga pembudidaya memilih untuk bertahan dan melakukan perawatan rumput laut untuk menangani hama penyakit.

Berpindahnya lokasi budi daya menggambarkan bahwa setiap pembudidaya dapat memiliki lebih dari satu lokasi. Pembudidaya tetap meninggalkan tali jangkar dan pelampung tali jangkar di lokasi yang tidak digunakan saat musim tidak mendukung pertumbuhan rumput laut. Tali jangkar sengaja tetap dibiarkan di wilayah perairan agar lokasi tidak ditempati pembudidaya lainnya, disamping pemasangan tali jangkar yang sulit dilakukan. Sedangkan tali pancang diambil untuk dibersihkan dan digunakan di lokasi lainnya yang sesuai dengan musim tertentu. Hal ini diungkapkan oleh salah satu pembudidaya sebagai berikut:

Keterangan:

x x x x x : Lahan yang sesuai pada musim barat

x x x x x : Lahan yang sesuai pada musim timur

Keterangan:

x x x x x : Lahan yang sesuai pada musim barat dan musim timur

46

“... taline digowo muleh kabeh, dadi karek umpal-umpal (lan) tali jangkar...” (PMN, Pembudidaya Rumput Laut).

“talinya dibawa pulang semua, jadi tinggal pelampung (dan) tali jangkar...” (PMN, Pembudidaya Rumput Laut).

Aturan Hak Kepemilikan Aturan Hak Kepemilikan Secara De Jure

Sesuai dengan Larson (2013), hak menurut undang-undang atau de jure berkenaan dengan seperangkat aturan yang dibuat dan dilindungi oleh negara (misalnya, bukti kepemilikan yang terdaftar, kontrak konsesi, peraturan perundang- undangan tentang kehutanan). Aturan formal (de jure) yang telah dibuat oleh pemerintah berkaitan dengan pengelolaan wilayah konservasi khususnya TNKJ dan pemanfaatan sumber daya kelautan yang disajikan pada Tabel 12. Menurut Satria et al. (2006), Undang-undang No. 5/1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati masih menjadi referensi utama dalam pelaksanaan konservasi. Hal ini dikarenakan wewenang pengelolaan kawasan konservasi dalam bentuk taman nasional kawasan kehutanan dan perairan masih berada pada Kementrian Kehutanan.

Tabel 12 Matriks rujukan aturan formal pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa

Sumber Isi

UU No 5/1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem

Pasal 34 (1): Pengelolaan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dilaksanakan oleh Pemerintah. SK Dirjen PHKA No: SK.

28/IV-SET/2012 Tentang Zonasi Taman Nasional Karimunjawa Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konsevasi Alam

Pembagian zonasi Taman Nasional Karimunjawa seluas 111 625 hektar menjadi sembilan zona meliputi zona inti, zona rimba, zona perlindungan bahari, zona pemanfaatan darat, zona pemanfaatan wisata bahari, Zona Budidaya Bahari, zona religi budaya dan sejarah, zona rehabilitasi, dan zona tradisional perikanan.

PP No. 28/2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam

Pasal 49 (3b): Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui pemberian izin untuk memungut hasil hutan bukan kayu di zona atau blok pemanfaatan, izin pemanfaatan tradisional, serta izin pengusahaan jasa wisata alam.

Berdasarkan Tabel 12, secara ringkas bahwa wewenang pengelolaan TNKJ dilakukan oleh pemerintah. Namun masyarakat tetap diberikan akses pemanfaatan sesuai dengan kriteria penetapan sistem zonasi TNKJ. Pemanfaatan oleh masyarakat yang masih menggunakan cara-cara tradisional juga diatur dalam PP No. 28/2011 bahwa diperlukannya izin yang diajukan kepada pengelola. Namun aturan teknis mengenai izin pemanfaatan tradisional wilayah TNKJ oleh masyarakat belum disusun dan belum menjadi prioritas oleh pihak pengelola dalam konteks pengelolaan TNKJ. Adapun saat ini, pengelolaan wilayah konservasi kelautan, khususnya dalam bentuk taman nasional menjadi arena yang direbutkan oleh Kementrian Kehutanan yang saat ini memegang wewenang pengelolaan dan

47 Kementrian Kelautan dan Perikanan yang melingkupi pengelolaan wilayah kelautan. Aturan mengenai pemanfaatan wilayah kelautan sendiri telah disusun melalui UU No. 1/2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 27/2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Undang-undang ini membawa pembaruan bagi aturan pemanfaatan wilayah perairan yang semula berupa Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) yang diubah menjadi Izin Lokasi (Pasal 16:1, 20:2, dan 71:1). Kedua rujukan aturan tersebut sama-sama mengatur izin pemanfaatan tradisional di wilayah perairan, namun masih terdapat kelemahan masing-masing aturan sebagaimana yang dibandingkan pada Tabel 13.

Tabel 13 Matriks perbandingan rujukan aturan pemanfaatan wilayah perairan

Aspek UU No 5/1990 dan PP No.

28/2011

UU No. 1/2014 Wewenang

Pengelolaan

Kementrian Kehutanan Kementrian Kelautan dan

Perikanan Bentuk Pemanfaatan

Wilayah Perairan

Izin Pemanfaatan Tradisional Izin Lokasi

Kelemahan Belum terdapat aturan teknis

yang spesifik mengatur izin pemanfaatan tradisional.

 Belum terdapat aturan lanjutan dalam bentuk Pereturan Pemerintah (PP).

 Belum terdapat aturan teknis yang spesifik mengatur Izin Lokasi.

Kedua aturan rujukan tersebut menunjukkan bahwa secara umum mengatur izin pemanfaatan wilayah perairan yag dilakukan oleh masyarakat setempat, sehingga hal ini memberikan akses pemanfaatan bagi masyarakat setempat. Namun, kejelasan aturan lanjutan mengenai pemberian izin masih belum ditetapkan sehingga aturan tersebut masih memiliki kelemahan. Hal krusial mengenai masalah izin pemanfaatan diantaranya adalah pemberian izin kepada siapa yang memenuhi persyaratan, batas waktu, dan batas luas wilayah pemanfaatan. Apabila hal ini menjadi prioritas dalam pengelolaan wilayah perairan maka mampu memberikan kejelasan hak kepemilikan sumber daya. Selain itu, pemegang otoritas pengelolaan juga menentukan arah kebijakan pengelolaan TNKJ yang saat ini meliputi wilayah daratan dan lautan. Berdasarkan bentuk geografisnya, maka idealnya terdapat dua pihak yang berwenang pada pengelolaan wilayah darat (Kementrian Kehutanan) dan wilayah laut (Kementrian Kelautan dan Perikanan). Hal ini menuntut kesiapan pemegang otoritas dalam menjalankan kebijakan lintas sektor.

Aturan Hak Kepemilikan Secara De Facto

Menurut Larson (2013), hak de facto merupakan pola interaksi yang ditetapkan di luar lingkup hukum formal. Karakteristik pemanfaatan lahan budi daya rumput laut dapat dijadikan sebagai dasar analisis aturan pemanfaatan lahan secara de facto. Metode longline dalam budi daya rumput laut memanfaatkan wilayah perairan mulai dari permukaan hingga dasar laut. Kondisi ini mengakibatkan pembudidaya mampu mengklaim lahan perairan melalui batas- batas tali rumput laut sebagai wilayah miliknya. Klaim atas hak kepemilikan merupakan salah satu unsur hak kepemilikan (Bromley 1991 dikutip Priyatna 2013).

48

Terdapat dua tipe klaim lahan budi daya rumput laut: pertama, lahan yang sedang digunakan secara aktif untuk berproduksi. Lahan demikian tidak boleh digunakan oleh pembudidaya lainnya dan kedua, lahan yang sedang pasif berproduksi akibat pergantian musim. Tali pancang dan tali ikat diambil untuk digunkakan di lokasi yang sesuai, sedangkan tali jangkar yang tetap dibiarkan di lahan pasif. Hal ini dilakukan selain karena pemasangannya sulit, juga bertujuan untuk memberi tanda bagi pembudidaya bahwa pada musim selanjutnya akan digunakan kembali untuk berproduksi, sehingga pembudidaya lainnya juga tidak diperbolehkan menempati lahan tersebut.

“... (taline) ijek, nek ora diijekake engko dienggoni uwong. Kan ora pemajekan si? nek ijek ono taline mboten wantun” (YOS, Pembudidaya Rumput Laut).

–“... (talinya) masih, kalau tidak dibiarkan nanti ditempati orang lain.

Tidak ada pajaknya kan? Kalau masih ada talinya tidak berani” (YOS, Pembudidaya Rumput Laut).

Kedua tipe klaim lahan budi daya tersebut terbentuk tanpa adanya perumusan aturan secara bersama antarpembudidaya rumput laut. Ketentuan penggunaan lahan berdasarkan kebiasaan yang pada akhirnya melembaga. Antarpembudidaya rumput laut sama-sama tahu ketentuan bahwa lahan yang telah ditempati oleh seorang pembudidaya tidak dapat lagi digunakan oleh pembudidaya lainnya. Apabila seorang pembudidaya baru ingin menggunakan lahan, maka mencari sendiri lahan yang masih kosong. Sedangkan pembudidaya yang ingin meningkatkan produksi rumput laut atau penambahan tali juga dapat dilakukan dengan mencari lahan lain yang masih kosong atau dengan mempersempit jarak antartali apabila masih memungkinkan.

“Kalau minta itu juga dikasih, tapi bilang dulu. Ndak boleh langsung

masang itu. Bilang dulu, (misal) ‘Tempatnya bapak sudah ndak ditempati? Kalo boleh tak tempati’ ...” (RTA, Pembudidaya Rumput

Laut).

Pembudidaya dapat membatasi pihak lain untuk memanfaatkan lahan yang “dimilikinya”. Namun, terdapat pengecualian bagi pembudidaya lain yang telah mendapatkan izin untuk menempati lahan pasif “milik” seorang pembudidaya sebagaimana yang dijelaskan pada kutipan wawancara tersebut. Apabila tanpa meminta izin maka dapat menimbulkan konflik pemanfaatan lahan. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang informan sebagai berikut:

“...(tali) jangkar-jangkar nek ono sing nandur kok di tanduri uwong yo sengketa” (IMT, Pembudidaya Rumput Laut).

“...(tali) jangkar apabila ditanami kemudian ditanami oleh orang

lain akan menyebabkan sengketa” (IMT, Pembudidaya Rumput Laut). Secara ringkas, aturan secara de facto penggunaan lahan perairan untuk budi daya rumput laut yang berkembang di masyarakat disajikan pada Tabel 14.

49 Tabel 14 Matriks aturan hak kepemilikan lahan budi daya rumput laut secara de

facto

Tipe klaim lahan Deskripsi Aturan

Lahan aktif Lahan yang sedang digunakan secara aktif berproduksi tidak dapat digunakan oleh pembudidaya lainnya.

1) Pembudidaya rumput laut yang akan memulai budi daya rumput laut memilih lahan yang masih kosong

(“siapa cepat, dia dapat”);

2) penambahan tali untuk peningkatan produktivitas rumput laut juga dilakukan di lahan yang masih kosong atau memperkecil jarak tali di lahan yang sebelumnya sudah dipasang; Lahan pasif Lahan yang sedang tidak

digunakan untuk berproduksi akibat pergantian musim dapat digunakan oleh pembudidaya lainnya dengan aturan tertentu.

1) Pembudidaya lain tidak diperbolehkan memanfaatkan lahan yang masih terdapat tali jangkar milik pembudidaya sebelumnya (aturan pemanfaatan lahan sama dengan lahan aktif pada poin 1 dan 2);

2) pembudidaya lain diperbolehkan menggunakan lahan apabila mendapatkan izin dari pembudidaya yang sebelumnya menempati lahan.

Hak Kepemilikan Berdasarkan Bundle of Rights

Wilayah konservasi yang ditetapkan secara sentralistik mampu mengubah sistem hak kepemilikan sumber daya (Hartono et al. 2012). Hal ini terjadi pula di kawasan TNKJ yang sebelumnya berstatus sebagai cagar alam. Pengelolaan kawasan TNKJ menjadi tanggung jawab pemerintah (UU No. 5/1990). Implementasinya berupa adanya aturan-aturan pengelolaan kawasan TNKJ. Sistem zonasi sebagaimana bentuk pengelolaan TNKJ adalah perwujudan dari tiga fungsi taman nasional sebagai KPA meliputi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Pasal 1 ayat 13 UU No. 5/1990). Dari ketiga fungsi tersebut, Zona Budidaya Bahari memerankan fungsi yang ketiga yaitu sebagai kawasan pemanfaatan secara lestari. Konteks pemanfaatan yang dilakukan adalah pemanfaatan yang dilakukan secara lestari, sehingga masih terikat pada hukum yang berlaku. Pemberian akses kepada masyarakat untuk memanfaatkan kawasan Zona Budidaya Bahari sesuai dengan peruntukannya menunjukkan bahwa secara hukum (de jure) pembudidaya rumput laut diberikan hak pemanfaatan. Namun pada kenyataannya, terdapat sekumpulan hak (bundle of rights) lainnya yang dapat dimiliki oleh pembudidaya rumput laut melalui mekanisme sosial.

Merujuk pada Hanna dan Munasinghe (1995), hak kepemilikan merupakan hasil dari interaksi manusia dengan lingkungan yang berkaitan dalam suatu sistem politik, budaya, dan sosial ekonomi. Sistem hak kepemilikan sumber daya juga dapat dipandang sebagai suatu kesatuan dari struktur hak dan kewajiban (Bromley 1991 dikutip Priyatna 2013). Masyarakat merupakan pihak yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya alam bagi penemuhan kebutuhan hidup dan berkembang

50

pula aturan lokal (de facto) yang juga mengatur hak kepemilikan sumber daya alam (Larson 2013). Hal ini menunjukkan bahwa hak kepemilikan akan dipengaruhi pola interaksi manusia dengan lingkungannya yang mewujud menjadi hak kepemilikan secara de facto.

Merujuk pada teori hak kepemilikan Ostrom dan Schlager (1990) dikutip Satria (2009a), terdapat lima tipe hak kepemilikan meliputi hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, hak eksklusi, dan hak pengalihan. Berdasarkan kelima tipe hak tersebut, tipe hak yang dimiliki oleh pembudidaya rumput laut dapat dianalisis berdasarkan aturan hukum (de jure) dan aturan yang berkembang dalam masyarakat melalui mekanisme sosial (de facto) yang disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Matriks tipe hak kepemilikan lahan budi daya rumput laut secara de

jure dan de facto

Kategori Tipe hak Deskripsi

Hak berdasarkan aturan hukum (de jure)

Hak akses Pembudidaya rumput laut diperbolehkan untuk memasuki wilayah Zona Budidaa Baharit. Hak

pemanfaatan

Zona Budidaya Bahari difungsikan untuk

aktivitas budi daya perikanan, termasuk budi daya rumput laut.

Hak berdasarkan mekanisme sosial (de facto)

Hak akses Pembudidaya rumput laut mampu memasuki

wilayah perairan. Hak

pemanfaatan

Pembudidaya rumput laut mampu mengambil manfaat wilayah perairan untuk berproduksi. Hak

pengelolaan

Terdapat aturan penggunaan lahan budi daya rumput laut yang berkembang di masyarakat (Tabel 11).

Hak eksklusi Pembudidaya rumput laut dapat menentukan siapa yang boleh memasuki dan memanfaatkan wilayah lahan budi daya rumput laut yang diklaim

sebagai “miliknya”.

Tabel 15 menunjukkan bahwa secara hukum (de jure) pembudidaya rumput laut diberikan hak pemanfaatan namun secara de facto pembudidaya rumput laut memiliki sekumpulan hak meliputi hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, dan hak eksklusi. Ostrom dan Schlager (1990) dikutip Satria (2009a) mendefinisikan hak eksklusi sebagai hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan bagaimana hak akses tersebut dialihkan ke pihak lain. Hak akses yaitu hak untuk masuk ke wilayah sumber daya yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non-ekstraktif. Namun, hak yang dapat diberikan kepada pembudidaya lainnya tidak sebatas hak akses, namun juga hak pemanfaatan. Hak pemanfaatan didefinisikan sebagai hak untuk memanfaatkan sumber daya atau hak untuk berproduksi.

Selanjutnya, Ostrom dan Schlager (1996) dikutip Satria (2009a) juga menjelaskan bahwa sekumpulan hak yang dimiliki mampu menunjukkan status kepemilikan sumber daya alam (Tabel 3). Sesuai dengan Tabel 3, status kepemilikan sumber daya alam ditentukan berdasarkan sekumpulan hak yang dimiliki. Pembudidaya rumput laut secara de facto memiliki hak akses hingga hak eksklusi, sehingga dapat dikategorikan pada status Proprietor. Ostrom dan Schlager (1996) dikutip Priyatna (2013) mendefinisikan Proprietor sebagai “Proprietor are

51 defined as individuals who possess collective-choice rights to participate in management and exclusion. Proprietors authorize who may access resources and how resources may be utilized; however, they do not have the right to alienate either of these collective-choice rights”.

Potensi Konflik Hak Kepemilikan Sumber Daya

Secara de facto, wilayah perairan termasuk dalam sumber daya akses terbuka. Secara umum masyarakat Desa Kemujan juga menganggap bahwa wilayah perairan Kemujan boleh dimanfaatkan oleh siapa saja, meskipun masyarakat mengetahui bahwa secara hukum wilayah perairan Pulau Kemujan termasuk dalam kawasan TNKJ. Terdapat perbedaan hak kepemilikan lahan budi daya rumput laut yang bersumber dari rujukan aturan secara de jure dan de facto, sehingga hal tersebut menunjukkan bahwa hak kepemilikan masih belum terdefinisi secara jelas. Satria (2009b) menyebutkan bahwa fenomena tersebut mampu menjadi pemicu konflik hak kepemilikan sumber daya. Konflik sebagai suatu proses sosial melibatkan hubungan antarpihak tertentu yang dalam kasus budi daya rumput laut di desa kemujan teridentifikasi ke dalam tahapan potensi konflik. Adapun pihak yang terlibat adalah sesama pembudidaya rumput laut dan pihak pengelola (BTNKJ). Potensi konflik kepemilikan sumber daya perairan budi daya rumput laut di perairan Pulau Kemujan dibedakan menjadi konflik horizontal dan konflik vertikal.

Potensi Konflik Horizontal

Potensi konflik horizontal terjadi antarsesama pembudidaya rumput laut yang dalam kasus ini terjadi akibat adanya perbedaan kekuatan diantara keduanya. Hal ini dikenal sebagai statifikasi sosial yang didefinisikan sebagai pembagian masyarakat ke dalam lapisan-lapisan orang yang memiliki sumber-sumber langka tapi diinginkan secara tidak sama (unequal), kesempatan hidup yang tidak sama, dan pengaruh sosial yang tidak sama (Beteille 1985 dikutip Prasodjo dan Pandjaitan 2003). Munculnya stratifikasi sosial adalah karena adanya kedudukan yang memberi ketidaksamaan dalam mengakses atau memiliki sesuatu yang dihargai masyarakat, kesematan hidup (life-chances) yang tidak sama dan pengaruh sosial yang tidak sama. Stratifikasi pembudidaya rumput laut berdasarkan Tabel 10 meliputi:

1. Pembudidaya rumput laut yang hanya menanam (Tipe 1)

2. Pembudidaya rumput laut yang menanam sekaligus menjadi pengepul (Tipe 2) 3. Pembudidaya rumput laut yang menanam dan menjabat sebagai ketua

kelompok (Tipe 3)

4. Pembudidaya rumput laut yang menanam, menjadi pengepul, dan menjabat sebagai ketua kelompok (Tipe 4)

Stratifikasi pembudidaya rumput laut juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kekuatan yang dimiliki masing-masing tipe. Tipe 4 merupakan tipe dengan strata yang paling tinggi dimana seorang pembudidaya rumput laut memiliki akses yang lebih banyak terhadap moda produksi. Semakin banyak moda produksi yang dimiliki oleh pembudidaya rumput laut, maka semakin banyak memanfaatkan lahan perairan. Hal ini mampu menimbulkan dominasi pemanfaatan