• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ETNOGRAFI MASYARAKAT SIMALUNGUN

2.5 Sistem Kepercayaan dan Agama

Masyarakat Batak Simalungun pada umumnya telah dipengaruhi oleh beberapa agama, seperti agam Kristen Protestan, Katholik, Islam dan yang masuk ke daerah Batak sejak permulaan abad XIX (Purba 1996:40). Sebelum masuknya Misionaris Agama Kristen dari RMG pada tahun 1903, penduduk Simalungun bagian timur pada umumnya sudah banyak menganut agama Islam sedangkan Simalungun Barat menganut animisme. Ajaran Hindu dan Budha juga pernah mempengaruhi kehidupan di Simalungun, hal ini terbukti dengan peninggalan berbagai patung dan arca yang ditemukan di beberapa tempat di Simalungun yang

menggambarkan makna Trimurti (Hindu) dan Sang Budha yang menunggangi Gajah (Budha). Bila diselidiki lebih dalam suku Simalungun memiliki berbagai kepercayaan yang berhubungan dengan pemakaian mantera-mantera dari "Datu"

(dukun) disertai persembahan kepada roh-roh nenek moyang yang selalu didahului panggilan kepada Tiga Dewa, yaitu Dewa di atas (dilambangkan dengan warna Putih), Dewa di tengah (dilambangkan dengan warna Merah), dan Dewa di bawah (dilambangkan dengan warna Hitam). 3 warna yang mewakili Dewa-Dewa tersebut (Putih, Merah dan Hitam) mendominasi berbagai ornamen suku Simalungun dari pakaian sampai hiasan rumahnya. Pemahaman akan dewa-dewa ini tercermin dalam keyakinan orang Simalungun yang harus hormat kepada makhluk dan benda-benda tertentu, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Pada zamannya orang Simalungun banyak yang menyembah batu besar, pohon besar, sungai besar dan lain-lain. Sistem pemerintahan di Simalungun dipimpin oleh seorang Raja, sebelum pemberitaan Injil masuk Tuan Rajalah yang sangat berpengaruh. Orang Simalungun menganggap bahwa anak Raja itulah Tuhan dan Raja itu sendiri adalah Allah yang kelihatan.

2.6 Sistem Mata Pencaharian

Mata pencaharian orang Simalungun yaitu bercocok tanam dengan jagung, karena padi adalah makanan pokok sehari-hari dan jagung adalah makanan tambahan jika hasil padi tidak mencukupi. Jual-beli diadakan dengan barter, bahasa yang dipakai adalah bahasa dialek. Banyak proses yang harus dilalui ketika mereka membuka ladang baru dan keseluruhannya itu harus diketahui oleh

gamut yang merupakan wakil raja daerah. Biasanya, di antara perladangannya didirikan bangunan rumah tempat tinggal (sopou juma) sebagai tempat mereka sementara dan melindungi mereka dari serangan binatang buas. Selain itu juga, ada yang mengolah persawahan (sabah) seperti di Purba Saribu dan Girsang Simpangan Bolon dengan cara-cara tradisional. Untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan, mereka menenun pakaian (hiou) yang biasanya dilakukan oleh kaum ibu dan gadis-gadis. Mereka juga menumbuk padi bersama-sama dengan para pemuda di losung huta. Disini biasanya pada zaman dahulu para pemuda itu akan memilih pasangannya. Menurut Guru Jason Saragih, orang Simalungun di hilir (jahe-jahei) juga sudah ada yang berdagang hasil hutan dari Simalungun ke Padang Badagei di dekat pesisir timur bahkan sampai ke Penang di Semenanjung Malaka. Pedagang Aceh, Bugis, Asahan, dan Cina datang dari Bandar Khalipah melayari Sungai Padang ke hulu. Mereka membawa barang-barang dagangan kain, bedil, mesiu, timah, pinggan,pasu, pahar, dondang, garengseng, kuali bahkan candu (opium). Hal ini dibuktikan dengan dipakainya banyak mata uang asing dalam transaksi dagang di Simalungun (Tole 2003:19-20).

2.7 Kesenian Simalungun

Kesenian merupakan salah satu hasil yang diwarisi secara turun temurun.

Begitu juga halnya pada masyarakat Simalungun, kesenian merupakan bagian yang sangata penting dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat Simalungun.

Beberapa kesenian yang terdapat dalam kebudayaan Simalungun antara lain: seni musik, seni tari, seni rupa.

2.7.1 Seni Musik

Di masyarakat Simalungun seni musik terbagi dalam 2 bagian yaitu music vocal (inggou) dan musik instrument (gual). 1. Dalam musik vokal (inggou), jenis nyanyian Simalungun terbagi atas 2 yaitu ilah (nyanyian bersama) dan nyanyian solo (doding). a. Ilah dinyanyikan secara berama-ramai di halaman luas pada suatu desa dan dinyanyikan oleh muda-mudi pada malam terang bulan ataupun pada acara hiburan seperti acara rondang bittang, di nyanyikan sambil menortor.

Nyanyian ilah disajikan tanpa iringan musik, sebagai pengatur tempo biasa adalah dengan bertepuk tangan. b. Doding adalah nanyian solo yang dilakukan oleh seseorang apabila ia sendirian. Doding dapat di nyanyikan dengan iringan musik seperti sulim, hasapi, sarunei, dan lainnya.

Musik instrument (gual) Simalungun dapat dibagi 2, yaitu: Alat musik yang dimainkan dalam bentuk ensambel dan Alat musik yang dipergunakan dalam permainan tunggal (solo instrument). Alat musik yang dimainkan dengan ensambel dapat dibagi 2 yaitu alat musik yang terdapat pada ensambel Gondrang Sipitu-pitu dan ensambel gonrang sidua-dua.

Alat musik yang ada dalam ensambel gondrang sipitu-pitu adalah sarunei bolon, ogung, tujuh buah gondrang sipitu-pitu, mongmongan, dan sitalasayak.

Sedangkan alat musik ensambel gondrang sidua-dua adalah mongmongan dan ogung. Alat musik dalam permainan tunggal seperti arbab, hasapi, sulim, dan sordam.

2.7.2 Seni Tari

Seni tari yang dikenal masyarakat Simalungun disebut tor-tor (tarian).

Ada beberapa Tor-tor Simalungun yaitu: Tor-tor adat (tor-tor yang berhubungan dengan kepercayaan), tor-tor pencak, dan tor-tor yang bersifat hiburan atau pertunjukkan. Tor-tor adat biasanya sering kita lihat di pesta adat, dalam melakukan tariannya dapat dibagi menurut penari dalam adat. Misalnya kelompok penari yang terdapat dalam sistem tolu sahundulan.

Tor-tor podang adalah tor-tor yang penarinya memakai pedangterhunu, dilakukan oleh 2 orang pria sambil memainkan pedang tersebut dan sambil mengikuti irama musik. Tor-tor turahan yang bersifat tari gotong-royong yang dilakukan sewaktu menarik sebuah balok besar dari hutan, dimana kayu tersebut akan dipergunakan menjadi bahan losung untuk bahan membangun rumah. Tor-tor yang bersifat hiburan atau pertunjukkan yaitu: Tor-tor-Tor-tor muda-mudi, Tor-tor-Tor-tor pencak, dan tor-tor hiburan lainnya seperti tortor balang sahua, tor-tor rondang bittang dan lainnya.

2.7.3 Seni Rupa

Seni rupa pada masyarakat Simalungun terbagi atas 4 yaitu pahat, gorga, ukir-ukiran, dan arsitektur (bangunan). Pahat biasanya terdapat pada batu, topeng-topeng. Gorga termasuk ke dalam lukisan yang condong kepada corak warna yaitu: warna hitam, putih, merah dan lain-lain. Hal ini pada panggorga dimasa lampau dapat menempatkan warna pada suatu benda, sehingga kelihatan indah.

Sedangkan arsitektur adalah mengenai bangunan-bangunan di Simalungun yaitu pinarmusah, pinarhobou dan lainnya.

2.7.4 Pakaian Adat

Seperti suku-suku lain di sekitarnya, pakaian adat suku Simalungun tidak terlepas dari penggunaan kain Ulos. Kekhasan pada suku Simalungun adalah pada kain khas serupa Ulos yang disebut Hiou dengan berbagai ornamennya. Ulos pada mulanya identik dengan jimat, dipercaya mengandung "kekuatan" yang bersifat religius magis dan dianggap keramat serta memiliki daya istimewa untuk memberikan perlindungan. Menurut beberapa penelitian penggunaan ulos oleh suku bangsa Batak, memperlihatkan kemiripan dengan bangsa Karen disperbatasan Myanmar, Muangthai dan Laos, khususnya pada ikat kepala, kain dan ulosnya. Ulos dianggap sebagai salah satu dari 3 sumber kehangatan bagi manusia (selain Api dan Matahari), namun dipandang sebagai sumber kehangatan yang paling nyaman karena bisa digunakan kapan saja (tidak seperti matahari, dan tidak dapat membakar (seperti api). Suku lain di rumpun Batak, Simalungun memiliki kebiasaan "mambere hiou" (memberikan ulos) yang salah satunya melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada penerima Hiou.

Hiou dapat dikenakan dalam berbagai bentuk, sebagai kain penutup kepala, penutup badan bagian bawah, penutup badan bagian atas, penutup punggung dan lain-lain. Hiou dalam berbagai bentuk dan corak/motif memiliki nama dan jenis yang berbeda-beda, misalnya Hiou penutup kepala wanita disebut suri-suri, Hiou penutup badan bagian bawah bagi wanita misalnya ragipanei, atau yang

digunakan sebagai pakaian sehari-hari yang disebut jabit. Hiou dalam pakaian penganti Simalungun juga melambangkan kekerabatan Simalungun yang disebut tolu sahundulan, yang terdiri dari tutup kepala (ikat kepala), tutup dada (pakaian) dan tutup bagian bawah (abit). Menurut Muhar Omtatok, Budayawan Sumatera Utara, awalnya Gotong (Penutup Kepala Pria Simalungun) berbentuk destar dari bahan kain gelap ( Berwarna putih untuk upacara kemalangan, disebut Gotong Porsa), namun kemudian Tuan Bandaralam Purba Tambak dari Dolog Silou juga menggemari trend penutup kepala ala melayu berbentuk tengkuluk dari bahan batik, dari kegemaran pemegang Pustaha Bandar Hanopan inilah, kemudian Orang Simalungun dewasa ini suka memakai Gotong berbentuk Tengkuluk Batik.

2.7.5 Bangunan Rumah Bolon Simalungun

Berdasarkan Tatanan Sosial Masyarakat Simalungun. Rumah Bolon Simalungun seperti halnya dengan rumah adat lainnya di Indonesia, dibangun berdasarkan konsep penyesuaian diri dengan alam, yang berkaitan erat dengan kebudayaan dan kepercayaan masyarakat. Pada dasarnya, konsep pembangunan tiap daerah di Indonesia adalah sama. Perbedaan terletak hanya pada penyesuaiannya saja, sebab setiap suku budaya daerah memiliki sistem sosial budaya yang berbeda, maka penyelesaian bangunan pun berbeda pada tiap tempat.

Setiap rumah adat merupakan bangunan tempat tinggal yang biasanya ditinggalin oleh raja sebagai pemimpin adat maupun perwarisnya. Rumah adat juga merupakan makna adat dan hukum adat yang dilandasi oleh filsafah hidup masyarakat, misalnya suku Simalungun filsafah hidupnya habonaron Do Bona.

Filsafah hidup ini dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat yang menciptakan suatu kepribadian masyarakatnya. Kepribadian masyarakat merupakan wujud sifat, perilaku atau pembawaan yang dimiliki secara khusus dari kelompok masyarakat yang sesuai dengan daerah setempat. Kelompok suku Batak Toba, Karo, Simalungun, Pakpak dan Mandailing masing-masing memiliki sifat-sifat tertentu sebagai ciri khusus kepribadiannya yang berbeda dengan kelompok suku batak lainnya. Dari tatanan adat istiadat memiliki persamaan, tetapi dari sifat dan perilaku berbeda. Pada masa pra-sejarah, manusia pra-sejarah Batak mempunyai kepercayaan bahwa ada keterkaitan antara manusia dengan alam. Menurutnya, masyarakat adalah kosmos kecil dari kosmos besar dari alam, atau dapat dikatakan manusia adalah bagian dari alam. Segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia selalu dikaitkan dengan alam, demikian pula dengan pembangunan rumah Bolon yang sampai dalam hal menentukan ukuran-ukuran pada bangunan tidak lepas dari unsur alam. Membangun rumah Bolon, setiap ukuran yang dipakai adalah berdasarkan ukuran bagian-bagian tubuh dari manusia. Di Batak dikenal ukuran “Dopa”, “Parbantuan”, “Elak”, dan di Bali dikenal “Hasta Kosala-Kosali” dalam membuat mikrokosmosnya. Aturan ini bersifat mistis, namun ini merupakan dasar bangunan adat yang tertib dan teratur. Dopa dalam bahasa indonesia adalah depan, merupakan jarak bentangan dari tangan kanan sampai dengan tangan kiri. Elek merupakan jarak dari telapak tangan ke sikut; dan perbantuan merupakan jarak dari telapak tangan ke tengah-tengah lengan atas.

Masyarakat Batak mempunyai suatu tradisi bahwa sisi kanan adalah yang utama.

Ini selalu diterapkan dalam pembuatan bangunan. Bagian terpenting selalu

diletakkan di sebelah kanan. Dalam pembuatan bangunan rumah Bolon, masyarakat mengenal empat arah mata angin yang melambangkan benua tengah.

Dalam bangunan rumah Bolon dengan denah rumah bolon bentuk segi empat.

Benua tengah adalah dunia yang ditempati manusia, sehingga ruang tinggal dibuat berdasarkan kepercayaan masyarakat tentang benua tengah. Mendirikan rumah Bolon, tata letak bangunan disesuaikan dengan kondisi tanah yang digunakan.

Bangunan didirikan menurut arah memanjang dari bidang tanah. Sehingga, halaman yang terbentuk di tengah-tenga antara kedua deretan bangunan akan mempunyai bentuk yang memanjang. Dalam menentukan orientasi bangunan, terdapat beberapa cara, yaitu :

1. Orientasi bangunan tegak lurus dengan halaman. Jika halaman mempunyai orientasi arah timur dan barat, maka bangunan akan berarah utara dan selatan.

2. Orientasi bangunan tegak lurus terhadap lereng. Ini berkaitan dengan kepercayaan bahwa bukit merupakan tempat tinggal mahluk halus dan roh jahat.

Masyarakat percaya, jika tidur menghadap ke arah tempat tinggal mahluk halus akan mendatangkan bencana.

3. Orientasi bangunan yang menghadap ke arah tempat-tempat yang dianggap suci. Masyarakat percaya bahwa akan memperoleh berkah, karena tempat suci merupakan tempat bersemayamnya arwah nenek moyang. Seperti kebanyakan pola bangunan rumah adat di Indonesia, bangunan adat Simalungun yang disebut Rumah Bolon didirikan dengan lantai terangkat dari atas tanah. Bangunan ini disebut dengan rumah panggung (tiang penyangga). Sehingga terbentuk ruang di bawah lantai. Inilah yang membuat terbaginya ruang secara vertikal pada

bangunan rumah Bolon, yaitu ruang Bawah (tiang penyanggah), ruang tengah (badan) dan ruang atas (atap).

Bagi masyarakat Simalungun, pembagian ruang secara vertical ini merupakan gambaran dari konsep kosmologi tradisionalnya, yang membagi dunia menjadi tiga tingkatan yaitu, bagian kepala, badan dan kaki pada rumah Bolon Batak Bagian bawah bangunan melambangkan ruang bawah (Banua Toru), yang mulai dari tiang bangunan hingga ke tanah. Pada bangian ini memiliki pengertian yaitu: sebagai akhir dari kehidupan (kematian) dan sebagai simbol tempat manusia mencari kehidupan dengan usaha-usaha beerupa pertanian, perkebunan yang sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat setempat. Bagian tengah bangunan menggambarkan ruang tengah (Banua tongah), tempat kehidupan manusia. Pada bagian ini adalah tempat penghuni melaksanakan kehidupan, bermasyarakat, menata hidup rumah tangga serta tata kehidupan adat. Bagian bangunan ini dikelilingi oleh dinding, dan pada dinding terdapat ukiran-ukiran atau pahatan yang menggambarkan alam kosmos yang memiliki arti. Bagian kepala bangunan menggambarkan ruang atas (Banua ginjang), bagian ini sebagai tempat pemujaan mula jadi na bolon (asal kejadian). Kepercayaan ini ditandai dengan penempatan raga-raga, semacam tempat persembahan yang digantungkan di bawah atap bangunan. Falsafah suku Batak, masing-masing ketiga alam kosmos tersebut dikuasai oleh tiga dewa, yaitu Mangala Bulan sebagai penguasa dunia atas, Sori sebagai penguasa dunia tengah dan Batara Na Bolon sebagai penguasa dunia bawah. Eksistensi dari Debata Na Tolu dalam kehidupan suku Batak ini terdiri dari tiga unsur, yaitu hosa (nyawa), mudar (darah) dan sibuk

(daging), dengan tiang unsur, yaitu tondi, saudara dan sahala, yang merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Hingga akhirnya ketiga unsur tersebut dalam satu filsafah adat yang disebut Dalihan Na tolu, falsafah ini selalu dijadikan sebagai konsep eksistensi kehidupan sosial budaya masyarakat suku Batak. Konsep bangunan adat, fungsinya tidak hanya sebagai bangunan untuk tempat tinggal, namun juga merupakan sebuah bangunan yang memiliki gambaran wujud adat serta ciri khas kepribadian dari kelompok suku atau marga, baik sebagai bangunan dari suku Batak maupun suku-suku lainnya.

Selain itu kehidupan manusia di dunia bersumber dari tiga alam (kosmos), sehingga penempatan simbol-simnol adat dialihkan ke bagian badan bangunan, dinding, tiang penyangga, atap, jendela, pintu masuk, maupun penempatan lain dari simbol adat. Simbol-simbol adat yang ditempatkan pada bagian ini, merupakan ukiran atau pahatan yang diberi warna-warna ataupun berupa patung kayu. Bagunan adat juga merupakan wujud simbol dari kehidupan masyarakat suku-suku tertentu, yaitu sebagai gambaran sifat, perilaku atau pembawaan yang dimiliki sehingga membedakannya dengan suku lainnya. Dapat dikatakan, suatu kelompok suku memiliki sifat, perwatakan, perilaku tertentu sesuai dengan kedaerahannya. Sehingga segala bentuk dan stuktur suatu bangunan adat akan berhubungan dengan sifat, watak, maupun perilaku masyarakat daerah yang memiliki hubungan dengan adat istiadat serta sosial budayanya.

2.8 Bahasa

Bahasa ialah sistem perlambangan manusia yang lisan maupun yang tulisan untuk berkomunikasi satu dengan yang lain (koentjaraningrat 1986:39).

Masyarakat Simalungun umumnya menggunakan bahasa Simalungun sebagai bahasa sehari-hari. Hal ini dapat kita lihat baik dalam acara religi (agama) di gereja, acara-acara adat dan dalam kehidupan sehari-hari.

Bahasa Simalungun terdiri dari beberapa ragam yang dapat dilihat dalam sastra lisan Simalungun. Masyarakat Simalungun menamai bahasanya dengan sahap.

Adapun ragam bahasa Simalungun tersebut ialah:

1. Ragam bahasa Simalungun sehari-hari yang disebut lapung ni hata yaitu bahasa yang dipakai sesama atau bahasa yang sifatnya umum. Contoh: kata ham (tuan, kamu, anda) dipakai kepada orang yang lebih dihormati atau yang lebih tua.

Kata ho (engkau) dipakai secara umum atau sebaya. Kata hamma/nasiam (dalam bentuk jamak) dipakai dalam kebiasaan umum.

2. Dalam bahasa Simalungun yang halus yang disebut guruni hata yaitu bahasa yang dipakai untuk mengucapkan sesuatu dengan nama lain yang dianggap lebih halus. Misalnya kata babah (mulut) bahasa halusnya pamangan. Kata ulu (kepala) bahasa halusnya simanjujung. Katamata (mata) kata halusnya panonggor dan lain-lain.

3. Ragam bahasa Simalungun kasar yang disebut sait ni hata yaitu bahasa yang dipakai pada saat-saat tertentu seperti pada saat seseorang marah, atau untuk menyakiti hati orang lain. Misalnya kata babah (mulut) bahasa kasarnya.

4. Ragam bahasa yang digunakan oleh para guru/datu yaitu berupa bahasa rahasia atau sandi yang sukar dimengerti oleh kebanyakan orang seperti kata bilangan berikut ini yang dipergunakan pada waktu membaca mantra-mantra.

Contoh: sada, sada oi sada lamba-lamba oi langit berarti “satu”. Dua, dua oi dua lumba-lumba ni bumi berarti “dua” (D. Kenan Purba, 1996:37).

Bahasa Simalungun juga menggunakan budaya tulis yang disebut dengan surat Batak. Surat Batak biasanya dibuat pada media tanduk kerbau, kulit kayu dan bambu. Surat Batak terdiri dari 19 buah indungni surat. Sastra Lama dan Aksara Batak menyebutkan bahwa surat Batak termasuk pada keluarga tulisan India terutama aksara Pallawa dari India Selatan. Menurutnya, semua aksara di Indonesia berinduk dari aksara Pallawa India. Kozak membuktikan aksara Simalungun lebih tua dari aksara Toba, Pakpak dan Karo. Aksara Simalungun dibuat dalam menulis cerita-cerita rakyat, hukuman, pernyataan perang dan lain-lain. Untuk menulis aksara digunakan kayu yang diruncingkan dan dituliskan atau digambarkan pada kulit kayu, tanduk kerbau atau bambu.(Sumber Buku Uli Kozak).

BAB III

ANALISIS TEKSTUAL NYANYIAN ILAH BOLON DEIDENG BITTANG NA RONDANG

Dalam bab ini penulis akan mendeskripsikan tentang tekstual nyanyian Deideng Bittang Na Rondang yang terdapat pada masyarakat Simalungun, dimana nyanyian Deideng Bittang Na Rondang ini menurut narasumber Sapna Sitopu merupakan lagu rakyat yang telah dipopulerkan oleh Taralamsyah Saragih dan kemudian diangkat kembali dengan aransemen baru yang dibuat oleh Sapna Sitopu. Nyanyian Deideng Bittang Na Rondang ini dipakai dalam acara pesta adat, yang dimana liriknya dibuat sesuai keadaan yang diinginkan oleh si pembuat acara sesuai kebutuhan pesta adat tersebut.

3.1 Bentuk Teks Nyanyian Deideng Bittang Na Rondang

Nyanyian Deideng Bittang Na Rondang merupakan salah satu lagu rakyat Simalungun yang hingga saat ini masih sering dinyanyikan dalam acara pesta adat dan sudah ada beberapa versi yang di aransemen kembali oleh seniman-seniman Simalungun. Selain itu nyanyian Deideng Bittang Na Rondang juga merupakan salah satu nyanyian untuk hiburan dalam upacara adat Simalungun, lirik nyanyian Deideng Bittang Na Rondang berbentuk syair pantun yang dinyanyikan sesuai keinginan pembuat acara sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan pencipta.

Pantun adalah bentuk puisi yang terdiri dari empat baris yang bersajak (a-b-a-b), tiap lirik biasanya terdiri atas empat kata, baris pertama dan baris kedua

biasanya untuk tumpuan (sampiran) saja, sedangkan pada baris ketiga dan keempat merupakan isi; peribahasa sindiran. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1016), semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi. Sampiran adalah dua baris pertama, kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikan budaya agraris masyarakat pendukungnya), dan biasanya tak punya hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan rima/sajak. Dua baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut.

Teks nyanyian Deideng Bittang Na Rondang juga digolongkan sebagai teks yang bersifat melismatik. Melismatik berarti satu suku kata dapat dinyanyikan dengan beberapa nada. Dalam teks nyanyian Deideng Bittang Na Rondang ditemukan beberapa suku kata yang dinyanyikan dengan beberapa nada.

Dalam hal ini, penulis mengkaji teks nyanyian Deideng Bittang Na Rondang yang disajikan oleh Sapna Sitepu dan diperdengarkan pada acara pesta adat Simalungun. Kajian ini menggunakan teori Semiotika yang meletakkan lambang sebagai bagian dari komunikasi. Komunikasi dari lambang-lambang tersebut dapat mengandung makna-makna tetentu. Makna-makna tersebut digunakan untuk menyampaikan suatu pesan terhadap yang mendengarkannya.

3.2 Analisis Tekstual Nyanyian Deideng Bittang Na Rondang

Teks nyanyian Deideng Bittang Na Rondang merupakan bahasa tradisional (bahasa lisan) Simalungun yang mengandung nilai-nilai muatan kebudayaan masyarakat Simalungun. Menganalisis teks nyanyian Deideng

Bittang Na Rondang berarti penulis mencari tau dan menemukan makna-makna yang terkandung dari teks nyanyian Deideng Bittang Na Rondang tersebut. Alan P.Merriam (1964:188) mengemukakan bahwa nyanyian merupakan serangkaian teks yang terintegrasi ke dalam musik, dapat dijadikan menjadi salah satu sumber untuk memahami perilaku sosial suatu masyarakat. Dengan demikian, teks nyanyian bukan merupakan serangkaian teks biasa tetapi mengandung pesan tertentu.

Teks nyanyian Deideng Bittang Na Rondang berupa kalimat atau syair yang berisikan harapan masyarakat yang melakukan kegiatan Marilah dan mengandung pesan tertentu yang disampaikan oleh orang yang menyanyikan nyanyian Deideng Bittang Na Rondang pada masyarakat yang hadir dalam kegiatan Marilah. Harapan tersebut disampaikan dalam lirik yang berupa syair pantun.

Berikut penulis menganalisis teks syair berdasarkan bait-bait syair atau pantun nyanyian Deideng Bittang Na Rondang :

Berikut penulis menganalisis teks syair berdasarkan bait-bait syair atau pantun nyanyian Deideng Bittang Na Rondang :

Dokumen terkait