• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS STRUKTUR MUSIKAL DAN TEKSTUAL NYANYIAN ILAH BOLON (DEIDENGG BITTANG NA RONDANG) PADA MASYARAKAT SIMALUNGUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS STRUKTUR MUSIKAL DAN TEKSTUAL NYANYIAN ILAH BOLON (DEIDENGG BITTANG NA RONDANG) PADA MASYARAKAT SIMALUNGUN"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS STRUKTUR MUSIKAL DAN TEKSTUAL NYANYIAN ILAH BOLON (DEIDENG BITTANG NA RONDANG) PADA MASYARAKAT SIMALUNGUN

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O L E H

NAMA : LAMTULUS PARULIAN SARAGIH NIM : 120707064

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

2019

ANALISIS STRUKTUR MUSIKAL DAN TEKSTUAL NYANYIAN ILAH BOLON (DEIDENG BITTANG NA RONDANG) PADA MASYARAKAT SIMALUNGUN

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O L E H

NAMA : LAMTULUS PARULIAN SARAGIH NIM : 120707064

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

2019

ANALISIS STRUKTUR MUSIKAL DAN TEKSTUAL NYANYIAN ILAH BOLON (DEIDENG BITTANG NA RONDANG) PADA MASYARAKAT SIMALUNGUN

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O L E H

NAMA : LAMTULUS PARULIAN SARAGIH NIM : 120707064

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

2019

(2)

ANALISIS STRUKTUR MUSIKAL DAN TEKSTUAL NYANYIAN ILAH BOLON (DEIDENG BITTANG NA RONDANG) PADA MASYARAKAT SIMALUNGUN

Skripsi Sarjana Dikerjakan Oleh

NAMA : LAMTULUS PARULIAN SARAGIH NIM : 120707064

Disetujui Oleh

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si. Drs. Perikuten Tarigan, M.Si.

NIP. 195608281986011001 NIP. 195804021987031003

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

2019

ANALISIS STRUKTUR MUSIKAL DAN TEKSTUAL NYANYIAN ILAH BOLON (DEIDENG BITTANG NA RONDANG) PADA MASYARAKAT SIMALUNGUN

Skripsi Sarjana Dikerjakan Oleh

NAMA : LAMTULUS PARULIAN SARAGIH NIM : 120707064

Disetujui Oleh

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si. Drs. Perikuten Tarigan, M.Si.

NIP. 195608281986011001 NIP. 195804021987031003

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

2019

ANALISIS STRUKTUR MUSIKAL DAN TEKSTUAL NYANYIAN ILAH BOLON (DEIDENG BITTANG NA RONDANG) PADA MASYARAKAT SIMALUNGUN

Skripsi Sarjana Dikerjakan Oleh

NAMA : LAMTULUS PARULIAN SARAGIH NIM : 120707064

Disetujui Oleh

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si. Drs. Perikuten Tarigan, M.Si.

NIP. 195608281986011001 NIP. 195804021987031003

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

2019

(3)

PENGESAHAN Diterima Oleh :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara,

Medan.

Hari :

Tanggal :

Panitia Ujian: Tanda Tangan

1. Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si. ( )

2. Drs. Perikuten Tarigan, M.Si. ( )

3. Prof. Drs. Mauly Purba, M.A., Ph.D. ( )

4. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. ( )

PENGESAHAN Diterima Oleh :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara,

Medan.

Hari :

Tanggal :

Panitia Ujian: Tanda Tangan

1. Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si. ( )

2. Drs. Perikuten Tarigan, M.Si. ( )

3. Prof. Drs. Mauly Purba, M.A., Ph.D. ( )

4. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. ( )

PENGESAHAN Diterima Oleh :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara,

Medan.

Hari :

Tanggal :

Panitia Ujian: Tanda Tangan

1. Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si. ( )

2. Drs. Perikuten Tarigan, M.Si. ( )

3. Prof. Drs. Mauly Purba, M.A., Ph.D. ( )

4. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. ( )

(4)

DISETUJUI OLEH

PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

Program Studi Etnomusikologi Ketua,

Arifninetriosa SST., M.A.

NIP. 196502191994032002

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan utuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Agustus 2019

Lamtulus Parulian Saragih NIM 120707064

(6)

ABSTRAK

Penelitian ini mengangkat judul Analisis Struktur Musikal dan Tekstual Nyanyian Ilah Bolon (Deideng Bittang Na Rondang) Pada Masyarakat Simalungun, dimana dalam penelitian ini penulis mengangkat lagu rakyat Simalungun yang berjudul Ilah Bolon (Deideng Bittang Na Rondang), dimana lagu ini kerap ditampilkan pada pertunjukan masyarakat Simalungun. Pada zaman dahulu lagu ini dinyanyikan dalam acara pertunjukan rakyat Simalungun, dimana dalam kegiatan tersebut masyarakat berkumpul dihalaman rumah khususnya muda-mudi untuk mengucap syukur atas hasil panen yang melimpah. Hasil yang dicapai dalam penulisan karya ilmiah ini ialah penulis ingin mengangkat kembali tradisi rakyat yang semakin hari semakin hilang. Diharapkan dengan diangkatnya karya ilmiah ini dapat membantu masyarakat Simalungun dalam menjaga kebudayaan yang dimilikinya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dimana penulis mencari data-data pendukung seperti artikel, jurnal, buku dalam membantu penulis untuk lebih memahami topik bahasan, kemudian penulis terjun kelapangan dalam mencari data primer dengan menjumpai narasumber untuk melakukan wawancara dalam mengambil data yang relevan dan metode weighted scale untuk memahami penulisan transkripsi yang telah penulis buat. Penelitian ini menggunakan teori semiotika dimana penulis mencari makna-makna yang terkandung dalam lagu yang bertemakan orang tua dan anak.

Kata kunci: Lagu Rakyat, Simalungun, Ilah Bolon, Deideng Bittang Na Rondang.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa , karena berkat kasih dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Seni (S.Sn) yang berjudul ‘Analisis Struktur Musikal dan Tekstual Nyanyian Ilah Bolon (Deideng Bittang Na Rondang) Pada Masyarakat Simalungun’ dari Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Selama proses penulisan, penulis banyak menerima bantuan baik moral maupun materi. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S, selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Arifininetrirosa, S,ST., M.A, selaku Ketua Program Studi Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si., selaku Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk membeerikan masukan-masukan dan bimbingan pada penulis selama proses penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Drs. Perikuten Tarigan, M.Si., selaku Dosen Pembimbing II, yang telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.

5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan

(8)

pengajaran kepada penulis selama masa perkuliahan. Dan juga kepada staf pegawai, terkhusus Ibu Wawa di Program Studi Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu kelancaran administrasi penulis.

6. Narasumber Bapak J Badu Purba Siboro, Bapak Harris Purba, Ibu Sapna Sitopu, selaku informan yang sangat berperan penting dalam penulisan skripsi ini.

7. Orangtua tercinta, Ayahanda Sudin Saragih dan Ibunda Lasma Tampubolon atas dukungan yang telah diberikan kepada penulis baik moral maupun moril dan selalu memberikan semangat serta mendoakan agar penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Saudara kandung Christine J Saragih, Chrsye M Saragih, Lamganda J Saragih, yang telah memberikan dukungan dan semangat serta mendoakan dalam proses penyelesaian skripsi ini.

9. Sahabat-sahabat terkasih, Happy Waruwu, Gopas Valentino Lumbantoruan, Olivia Hutagalung, Kiki Simatupang, Wenny Lumban Tobing, Friztian Tobing yang sangat membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini, menjadi tempat mengeluh bagi penulis.

10. Terkhusus Meiliana Magdalena Verera Silalahi yang selalu memberikan semangat kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

11. Teman-teman, Senior, Alumni, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya.

(9)

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna baik dari segi isi maupun dalam uraiannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis, pembaca khususnya mahasiswa/i Program Studi Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universita Sumatera Utara.

Medan, Agustus 2019 Penulis,

Lamtulus Parulian Saragih NIM 120707064

(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI... ix

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Pokok Permasalahan... 4

1.3 Tujuan dan manfaat penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan Penelitian... 4

1.3.2 Manfaat Penelitian... 4

1.4 Konsep dan Teori ... 5

1.4.1 Konsep ... 5

1.4.2 Teori ... 7

1.5 Metode Penelitian... 8

1.5.1 Studi Kepustakaan... 9

1.5.2 Penelitian Lapangan ... 10

1.5.3 Wawancara... 10

1.5.4 Perekaman ... 11

1.5.5 Kerja Laboratorium... 11

1.6 Lokasi Penelitian ... 12

BAB II ETNOGRAFI MASYARAKAT SIMALUNGUN 2.1 Sejarah Simalungun ... 13

2.2 Suku Simalungun ... 15

2.2.1 Asal Usul Simalungun ... 15

2.3 Sistem Kekerabatan... 17

2.4 Struktur Sosial : “Tolu Sahundulan Lima Saodoran” ... 21

2.5 Sistem Kepercayaan dan Agama... 24

2.6 Sistem Mata Pencarian ... 25

2.7 Kesenian Simalungun... 26

2.7.1 Seni Musik... 27

2.7.2 Seni Tari ... 28

2.7.3 Seni Rupa... 28

2.7.4 Pakaian Adat... 29

2.7.5 Bangunan Rumah Bolon Simalungun... 30

2.8 Bahasa ... BAB III ANALISIS TEKSTUAL LAGU ILAH BOLON (DEIDENG BITTANG NA RONDANG) 3.1 Bentuk Teks Lagu Deideng... 37

3.2 Analisis Tekstual Lagu Deideng ... 38

BAB IV TRANSKRIPSI DAN ANALISIS MUSIKAL LAGU DEINDENG 4.1 Transkripsi ... 42

4.1.1 Simbol dalam Notasi ... 42

4.2 Analisis... 47

(11)

4.2.1 Tangga Nada (Scale) ... 48

4.2.2 Nada Dasar (Pitch Center) ... 49

4.2.3 Wilayah Nada (Range) ... 50

4.2.4 Jumlah Nada (Frequency of Notes)... 50

4.2.5 Jumlah Interval (prevalent intervals) ... 51

4.2.6 Pola Kadens (Cadence Patterns)... 52

4.2.7 Formula Melodik (Melodic Formulas) ... 53

4.2.8 Kontur (Contour)... 54

4.2.9 Tempo... 56

BAB V PENUTUP... 58

5.1 Kesimpulan ... ……… 58

5.2 Saran... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 63

DAFTAR INFORMAN... 64

(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap masyarakat di dunia memiliki berbagai cara untuk mengekspresikan perasaannya, salah satunya dalam bentuk teks nyanyian. Oleh sebab itu, teks nyanyian juga dapat dijadikan sebagai salah satu indikator untuk mengkaji perilaku masyarakat pemilik nyanyian itu sendiri. Merriam dalam bukunya The Antrophology of Music menulis bahwa nyanyian merupakan teks yang terintegrasi dalam musik yang tidak hanya sebatas serangkaian teks tetapi menjadi sumber pemahaman terhadap perilaku manusia (Merriam,1964:187).

Demikian halnya pada masyarakat yang menyebut dirinya sebagai Halak Simalungun1. Masyarakat Simalungun memiliki sebuah nyanyian rakyat (folksong) yang digunakan pada konteks kegiatan Marilah yang disebut nyanyian Ilah Bolon. Bagi masyarakat Simalungun, Marilah adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan pada malam hari disaat terang bulan. Kegiatan ini merupakan ekspresi sukacita yang dirasakan oleh masyarakat lokal atas hasil panen pertanian yang dianggap telah berhasil. Ungkapan sukacita itu ditunjukkan melalui sebuah nyanyian Deideng Bittang Na Rondang yang dinyanyikan secara komunal (Ilah

1Simalungun adalah termasuk salah satu suku yang memiliki banyak kebudayaan, terdiri dari seni vokal, tari-tarian, adat dan kebiasaan lainnya yang berbentuk budaya. Secara administratif, Simalungun disebut dalam 1 kabupaten Simalungun provinsi Sumatera Utara.

(13)

Bolon2). Pada saat pertunjukkan, masyarakat Simalungun akan membentuk formasi lingkaran sambil bergerak ke kiri dan ke kanan dan bertepuk tangan3.

Pertunjukkan Marilah pada umumnya diikuti oleh orangtua terutama muda-mudi yang ingin mencari jodoh. Oleh sebab itu, selain sebagai perayaan atas keberhasilan hasil panen, Marilah juga menjadi ajang pencarian jodoh bagi muda-mudi Simalungun. Hal ini juga menjadi alasan penting bagi pasangan yang baru menikah untuk tidak mengikuti kegiatan ini, tetapi pertunjukkan Mariilah khususnya untuk Deideng Bittang Na Rondang sudah tidak ditemukan lagi pada abad ke-21 ini. Beberapa faktor perubahan sosial khususnya masyarakat Simalungun menjadikan tradisi kesenian ini lambat laun menjadi hilang. Bahkan identitas Deideng Bittang Na Rondang sebagai simbol suka cita masyarakat Simalungun sudah berubah haluan seperti yang dapat diamati pada zaman sekarang ini. Pada kenyataannya, saat ini nyanyian pada saat terang bulan ini jarang ditemukan pada upacara kematian masyarakat Simalungun. Fenomena ini menjadi awal latar belakang ketertarikan penulis untuk meneliti lebih dalam, untuk dapat mendeskripsikan nyanyian Deideng Bittang Na Rondang.

Fokus tulisan ini adalah mengkaji nyanyian Deideng Bittang Na Rondang yang digunakan pada kegiatan Marilah. Berdasarkan penjelasan Bapak Haris Purba, Deideng adalah sebuah istilah untuk menyebut serangkaian teks yang tidak memiliki arti khusus tetapi berfungsi sebagai pelengkap pada sebuah teks nyanyian. Namun bagi masyarakat Simalungun, Deideng merujuk pada pengertian

2 Istilah bagi masyarakat Simalungun untuk menyebut nyanyian yang disajikan secara berkelompok dan dalam jumlah yang banyak (Bolon).

3Berdasarkan penjelasan Bapak Badu Purba yang diwawancara tanggal 19 Juni 2019 di

(14)

sebuah nyanyian. Hal yang serupa dapat dipahami seperti kata “oh, tralala,trilili,...” pada lagu anak-anak. Sementara itu, Bittang Na Rondang artinya terang bulan, dengan demikian Deideng Bittang Na Rondang artinya nyanyian pada saat terang bulan yang mengisyaratkan bahwa nyanyian ini hanya dipertunjukkan pada malam hari.

Deideng Bittang Na Rondang dapat dikelompokkan sebagai nyanyian rakyat Simalungun sebab nyanyian ini tidak dikenal siapa penciptanya dan ditransmisikan secara oral sehingga seni vokal ini disebut juga sebagai oral tradition. Teks nyanyian ini berbentuk pantun yang disajikan secara spontan oleh penyairnya. Berdasarkan penjelasan dari Merriam tentang teks nyanyian maka penulis ingin mengkaji lebih jauh mengenai makna yang terkandung di dalam teks Deideng Bittang Na Rondang. Dengan demikian, penulis berharap nyanyian ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber untuk memahami behavior culture atau perilaku budaya masyarakat lokal yang mungkin dapat ditemukan melalui kata yang digunakan dalam nyanyian tersebut.

Sekilas terdengar, nyanyian Deideng Bittang Na Rondang memiliki struktur melodi pentatonik sebagai salah satu ciri khas musik tradisional masyarakat di wilayah Asia. Ciri khas musikal ini sekaligus menjadi ciri seni vokal masyarakat Simalungun yang penting untuk didokumentasikan dalam bentuk tulisan serta dideskripsikan menggunakan pendekatan studi etnomusikologi. Studi etnomusikologi adalah studi yang mengkaji manusia melalui kegiatan keseniannya; studi musik dalam kebudayaan di luar musik Barat (Jaap Kunts, 1950).

(15)

Oleh sebab itu, dalam pembahasan skripsi ini penulis akan menjelaskan mengenai struktur musikal dan makna teks yang terkandung di dalam nyanyian Deideng Bittang Na Rondang. Dengan demikian, skripsi ini berjudul Analisis Struktur Musikal dan Tekstual Nyanyian Ilah Bolon Deideng Bittang Na Rondang pada Masyarakat Simalungun.

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka terdapat beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini yaitu :

1. Apa makna terkandung dalam teks nyanyian Deideng Bittang Na Rondang dalam kegiatan Marilah pada masyarakat Simalungun?

2. Bagaimana struktur musikal nyanyian Deideng Bittang Na Rondang pada masyarakat Simalungun?

1.3. Tujuan dan Manfaat 1.3.1 Tujuan

1. Untuk mengetahui struktur musikal nyanyian Deideng Bittang Na Rondang pada masyarakat Simalungun.

2. Untuk mengetahui makna yang terkandung di dalam teks nyanyian Deideng Bittang Na Rondang dalam kegiatan Marilah pada masyarakat Simalungun.

(16)

1.3.2 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menambah informasi dan pengetahuan tentang kebudayaan Simalungun.

2. Menambah dokumentasi mengenai Simalungun di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

3. Sebagai proses pengaplikasian ataupun pengembangan ilmu yang diperoleh penulis selama mengikuti perkuliahan di Departemen Etnomusikologi.

4. Sebagai referensi untuk peneliti lainnya yang mempunyai keterkaitan dengan topik judul penelitian.

1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep

Konsep merupakan penggabungan dan perbandingan bagian-bagian dari suatu penggambaran dengan bagian-bagian dari berbagai penggambaran lain yang sejenis, berdasarkan asas-asas tertentu secara konsisten (Koentjaraningrat 2009:85). Konsep bertujuan sebagai defenisi dasar terhadap suatu istilah yang dipakai dalam tulisan untuk menghindari kekeliruan terhadap suatu pemahaman istilah. Ada pun beberapa konsep dasar yang hendak penulis jelaskan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: Deideng Bittang Na Rondang adalah sebuah nyanyian dalam masyarakat Simalungun. Deideng artinya nyanyian sedangkan Bittang Na Rondang artinya terang bulan sehingga Deideng Bittang Na Rondang

(17)

artinya nyanyian pada saat terang bulan yang menunjukkan bahwa nyanyian ini hanya dinyanyikan pada malam hari. Pertunjukan nyanyian ini disebut Marilah yang lebih spesifik dikenal sebagai Ilah Bolon yang artinya bernyanyi bersama dan bergerak bersama dalam jumlah yang banyak.

Struktur musik. Struktur adalah (1) cara sesuatu disusun atau dibangun;

susunan; bangunan; yang disusun dengan pola tertentu; (2) pengaturan unsur atau bagian suatu benda; (3) ketentuan unsur-unsur dari suatu benda (Suharso, 2005:

500). Jadi, struktur musik dapat diartikan sebagai susunan kejadian bunyi yang mempunyai kombinasi nada, ritme, dan dinamika sebagai komunikasi secara emosi estetika atau fungsional.

Mengenai teks, Trask dalam Gumilar (2013) memberikan penjelasan mengenai teks yaitu “A continuous piece of spoken or written language, especially one with a recognizable beginning and ending. For some linguists, a text is no different from a discourse.” Penjelasan Trask memberikan pemahaman

bahwa teks tidak hanya serangkaian kata yang tersusun begitu saja, tetapi juga memberikan pengertian atau pesan yang hendak disampaikan4 Dengan demikian teks Deideng Bittang Na Rondang tersusun atas serangkaian kata yang berbentuk pantun, mengandung pesan yang hendak disampaikan melalui pemilihan kata yang digunakan.

Ilah Bolon. Bagi masyarakat Simalungun istilah Ilah Bolon berarti bernyanyi bersama dalam jumlah yang besar, termasuk pada saat Deideng Bittang Na Rondang dipertunjukkan. Pertunjukkan Ilah Bolon memberikan pemahaman

4https://repository.widyatama.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/.../Bab%202.pdf?..;

,2013

(18)

bahwa pertunjukkan boleh diikuti oleh siapa saja dan tidak terbatas bagi golongan masyrakat tertentu. Pertunjukkan diperuntukkan bagi seluruh masyarakat di suatu kampung dimana kegiatan itu dilaksanakan.

1.4.2 Kerangka Teori

Untuk menjawab kedua permasalahan dalam rumusan masalah maka penulis menggunakan teori sebagai landasan berpikir, sehingga demikian rumusan masalah tersebut dapat dijawab secara ilmiah. Berikut penjelasannya.

Untuk menganalisis struktur musikal nyanyian Deideng Bittang Na Rondang, maka penulis akan mengacu pada pendapat Nettl tentang transkripsi analisis yang menulis dalam bukunya yang berjudul Theory and Method in Ethnomusicology mengatakan bahwa kita dapat mendeskrisikan musik dengan menggunakan dua pendekatan yaitu (1) kita dapat menganalisis dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan (2) kita dapat menuliskan dan mendeskripsikan apa yang kita lihat ( Netll 1964:97-98). Lebih lanjut, Randel dalam The Harvard Dictinary of Music, menulis tentang pengertian transkripsi (transcription) adalah “the reduction of music from live or recorded sound to written notation (mereduksi musik secara langsung atau bunyi yang direkam ke dalam bentuk notasi tertulis ( Randel 2003: 902).

Dengan demikian, untuk menganalisis struktur musikal nyanyian Deideng Bittang Na Rondang, maka penulis akan melakukan kegiatan transkripsi dengan menggunakan pendekatan metode Weighted Scale oleh William P. Malm. Malm mengatakan bahwa terdapat delapan komponen yang harus dijawab untuk

(19)

menganalisis struktur melodi sebuah lagu, yaitu 1. scale (tangga nada), 2. nada dasar (pitch center), 3. range (wilayah Nada), 4. frequency of notes (jumlah nada- nada), 5. prevalent Intervals (interval yang dipakai), 6. cadence patterns (pola- pola kadensa), 7. melodic formulas (formula-formula melodi), 8. contour (kontur).

Selanjutnya, untuk mengalisis dan mengungkapkan makna teks nyanyian Deideng Bittang Na Rondang, maka penulis akan mengacu pada pendapat para pakar semiotik tentang hubungan antara penanda dan petanda, dalam hal ini adalah teks. Semiotika berasal dari bahasa Yunani “ Semeion” yang berarti

“tanda” atau sign. Van Zoest mengatakan bahwa semiotika adalah ilmu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda. Disamping itu, Roland Barthes juga menjelaskan bahwa pemahaman semiotika tidak hanya tentang hubungan tanda dengan petanda tetapi lebih menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.

Dengan menggunakan pendekatan semiotik maka penulis mengharapkan nilai-nilai sosial atau pun kearifan lokal masyarakat Simalungun dapat dikaji melalui makna teks yang terkandung di dalam nyanyian Deideng Bittang Na Rondang.

(20)

1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Penelitian diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran (Mardalis 2006:24). Sedangkan Metode ilmiah dari suatu pengetahuan merupakan segala cara yang digunakan dalam ilmu tersebut, untuk mencapai suatu kesatuan (koentjaraningrat 2009:35).

Jadi, metode penelitian adalah cara yang dipakai untuk mendapatkan atau memperoleh informasi atau fakta yang ada didalam objek penelitian. Penulis juga menggunakan metode kualitatif agar mendapatkan dan mengumpulkan data dan menguraikannya dengan mewawancarai informan demi mencapai hasil yang diingikan.

1.5.1 Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data-data berupa tulisan- tulisan yang melandasi penelitian. Hal pertama yang dilakukan penulis adalah mempelajari tulisan-tulisan yang berhubungan dengan objek penelitian. Penulis mengumpulkan tulisan, artikel, buku, ensiklopedi, jurnal, dan berbagai literatur atau sumber bacaan yang memuat sumber informasi tentang objek penelitian.

Dengan dilakukannya studi kepustakaaan maka dapat membantu penulis untuk melakukan penelitian lapangan.

(21)

Oleh karena itu, sebelum melakukan kerja lapangan, penulis terlebih dahulu mengumpulkan sumber-sumber bacaan yang berhubungan dengan objek penelitian atau pun sumber tulisan lainnya yang mendukung penelitian ini. Studi ini berfungsi untuk mendapatkan data-data yang relevan untuk membahas permasalahan dalam pembahasan ini.

1.5.2 Penelitian Lapangan/ Participants Observation

Penulis melakukan penelitian lapangan agar mengetahui keseluruhan mengenai objek yang diteliti. Penulis juga dapat terlibat langsung dengan objek yang sedang diteliti dan mendapat lebih banyak informasi. Oleh karena itu penulis menggunakan teknik observasi atau pengamatan dimana observasi adalah satu teknik pengumpulan data secara sistematis yang dilakukan secara sengaja. Sesuai dengan pendapat diatas maka penelitian yang dilakukan di lapagan adalah dengan cara pengamatan yang terlibat langsung agar memahami objek yang sedang di teliti. Disamping itu pengamatan ini bertujuan untuk menciptakan serta interaksi yang baik antara penulis sendiri dengan objek yang diteliti yaitu Analisis Musikal Dan Tekstual Nyanyian Deideng Bittang Na Rondang.

1.5.3 Wawancara

Wawancara diperlukan untuk mendukung penelitian nyanyian Deideng Bittang Na Rondang mengambil sumber data dilapangan penulis melakukan wawancara dengan budayawan, beberapa tokoh adat, dan penyanyi. Serta informan lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.

(22)

Teknik wawancara yang penulis lakukan adalah wawancara berfokus (focus interview) yaitu melakukan pertanyaan selalu berpusat pada pokok permasalahan. Selain wawancara berfokus peneliti juga melakukan wawancara bebas (free interview) yaitu pertanyaan tidak selalu berpusat pada pokok permasalahan tetapi pertanyaan dapat berkembang ke pokok permasalahan lainnya dengan tujuan untuk memperoleh data yang beraneka ragam namun tidak menyimpang dari pokok permasalahan (Koentjaraningrat 1985:139). Hal ini penulis lakukan untuk mendukung data yang telah diperoleh dari kerja lapangan maupun dari studi kepustakaan.

1.5.4 Perekaman data Visual Audio

Perekaman data baik visual atau audio merupakan salah satu bagian terpenting yang digunakan penulis untuk mengumpulkan data selain melakukan wawancara. Perekaman data visual dan audio dilakukan secara langsung pada penyajian nyanyian Deideng Bittang Na Rondang oleh informan mengingat pertunjukkan serupa sudah tidak ditemukan lagi. Perekaman data ini dilakukan dengan menggunakan kamera digital Sony dan Handphone Samsung Galaxy Grandprime. Selanjutnya hasil rekaman akan dianalisis.

1.5.5 Kerja Laboratorium

Dalam kerja laboratorium, penulis akan mengumpulkan data, mulai dari wawancara, dokumentasi, dan perekaman diuraikan secara rinci, detail dan ditafsirkan dengan pendekatan emik dan etik. Data perekaman audio menjadi

(23)

objek yang diteliti oleh penulis dengan cara di transkripsikan dengan cara didengar dan menuliskannya kedalam notasi balok.

1.6 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian diadakan di Perumnas Batu Onom, Kabupaten Simalungun, Kecamatan Siantar, karena penulis memfokuskan penelitian dengan mewawancarai budayawan yang berasal dari daerah Simalungun.

(24)

BAB II

ETNOGRAFI MASYARAKAT SIMALUNGUN

2.1 Sejarah Simalungun

Hampir semua bangsa di dunia ini memiliki mitos atau folklore tentang asal usul mereka; orang Yunani menghubungkan nenek moyangnya dengan Dewa Zeus, orang Jepang dengan Dewa Amaterasu dan Orang Batak Toba dengan dengan mitos Siraja Batak yang menurut mitos diturunkan pada dewata di Pusuk Buhit. Orang Minangkabau percaya bahwa mereka di turunkan di Bukit Sagunta dari Sang Saputra yang konon adalah keturunan dari Iskandar Zulkarnain. Orang Simalungun sendiri percaya mereka datang dari seberang, atau tepatnya dari suatu tempat nan jauh dari daratan pulau Sumatera yang dalam cerita rakyat disebutkan datang dari Banua Holing. Pengaruh Hindu-India yang masuk ke Indonesia menurut Bosch pada bukunya yang berjudul “Masalah penyebaran Kebudayaan Hindu di Kepulauan Indonesia”, tahun 1974 mula-mula golongan atas stuktur sosial masyarakat Indonesia yang melibatkan budaya Hindu-India lebih tinggi tarafnya daripada budaya pribumi Indonesia. Bosch menyebut prosesnya sebagai pemasukan dengan jalan damai. Gelar raja-raja Nusantara yang berkaitan dengan warman adalah khas India. Nama Simalungun menurut sumber lisan turun- temurun berasal dari bahasa Simalungun sima-sima dan lungun. Sima-sima, artinya peninggalan dan lungun, artinya yang dirindukan atau sepi. Terdapat berbagai sumber dari mana asal orang atau suku bangsa Simalungun. M.D. Purba mengatakan dalam bukunya yang berjudul “Lintas Sejarah Kebudayaan

(25)

Simalungun” tahun 1986 berisikan tentang orang Simalungun asli (turunan raja- raja Simalungun) membantah nenek moyangnya berasal dari keturunan orang Batak Tapanuli seperti diceritakan dalam tarombo (silsilah) orang Batak Toba.

Orang Simalungun sendiri menyakini bahwa nenek moyangnya berasal dari Tanah India (Banua Holing). Waktu Simalungun masih berstatus kerajaan kewarganegaraan di Simalungun sangat erat, di mana hanya masyarakat yang bermarga Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba yang diakui sebagai masyarakat Simalungun yang dapat diberikan tanah oleh raja-raja Simalungun. Kerajaan Simalungun dahulu terbagi atas kasta (pembagian kelas masyarakat karena stuktur pemerintahannya yang feodal). Kelas utama sisebut “partongah” yaitu kelompok masyarakat kelas bangsawan dari keturunan raja-raja Simalungun. Kelas menengah disebut “paruma” yaitu rakyat biasa dan terendah. Kelas terendah atau rakyat biasa disebut “jabolon” yaitu hamba. Kedudukan hamba ini sangat hina dan diperlakukan dengan kejam oleh pemiliknya yaitu kaum bangsawan. Daerah yang disebut Simalungun sekarang ini adalah kumpulan dari tujuh daerah swapraja yang dibentuk Belanda pasca ditetapkannya ketujuh daerah swapraja Simalungun masuk ke dalam lingkungan pemerintah Hindia Belanda. Penetapan ini dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda dengan beslit nomor 531 tanggal 12 Desember 1906. Van Dijk Kontrolir Toba yang pernah menjelajahi daerah Simalungun tahun 1890 menyebut bahwa Tanjung Kasau, Tanah Jawa dan Siantar adalah daerah yang dikenal penduduk Toba dengan nama Simalungun. Lungun di Toba berarti penduduknya jarang atau tanah yang ingin dilihat orang.

(26)

2.2 Suku Simalungun

Batak Simalungun adalah salah sub Suku Bangsa Batak yang berada di provinsi Sumatera Utara, Indonesia, yang menetap diKabupaten Simalungundan sekitarnya. Beberapa sumber menyatakan bahwa leluhur suku ini berasal dari daerah India Selatan. Sepanjang sejarah suku ini terbagi ke dalam beberapa kerajaan. Marga asli penduduk Simalungun adalah Damanik, dan 3 marga pendatang yaitu, Saragih, Sinaga, dan Purba. Kemudian marga-marga (nama keluarga) tersebut menjadi 4 marga besar di Simalungun.

Simalungun dalam bahasa Simalungun memiliki kata dasar "lungun" yang memiliki makna "sunyi". Nama itu diberikan oleh orang luar karena penduduknya sangat jarang dan tempatnya sangat berjauhan antara yang satu dengan yang lain.

Orang Batak Toba menyebutnya "Si Balungu" dari legenda hantu yang menimbulkan wabah penyakit di daerah tersebut, sedangkan orang Karo menyebutnya Batak Timur karena bertempat di sebelah timur mereka.

2.2.1 Asal-Usul Suku Simalungun

Terdapat berbagai sumber mengenai asal usul Suku Simalungun, tetapi sebagian besar menceritakan bahwa nenek moyang Suku Simalungun berasal dari luar Indonesia. Kedatangan ini terbagi 2 gelombang : 1. Gelombang pertama (Simalungun Proto ), diperkirakan datang dari Nagore (India Selatan) dan pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri Myanmar, ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan kerajaan Nagur dari Raja dinasti Damanik. 2. Gelombang kedua

(27)

(Simalungun Deutero), datang dari suku-suku di sekitar Simalungun yang bertetangga dengan suku asli Simalungun.

Pada gelombang Proto Simalungun diatas, Tuan Taralamsyah Saragih menceritakan bahwa rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 Raja-raja besar dari Siam dan India ini bergerak dari Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat, daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara. Berbicara tentang asal-usul orang Simalungun sering mengundang kontroversi dan beraneka ragam penuturan. Namun yang dapat dipakai sebagai patokan adalah asal-usul yang mengandung bukti-bukti sejarah berdasarkan hasil penelitian.

Bukti budaya sebagai fakta otentik hingga kini masih ada ditemui persamaan budaya. Misalnya pemakaian kain perca putih (Simalungun=porsa), yang diikatkan pada kepala seperti slayer pada saat kematian orangtua yang sudah lanjut usia. Juga adanya budaya makan sirih serta meratakan gigi (mangikir ipon).

“Mangikir Ipon” adalah tradisi meratakan gigi dengan cara memotongnya dengan alat kikir. Setelah diratakan, untuk menghilangkan rasa ngilu, gigi dioles dengan getah kayu (Simalngun: saloh) sehingga gigi kelihatan berwarna hitam. Budaya ini ditemukan pada semua kelompok keturunan di atas. Budaya “Mangikir Ipon”

di Simalungun masih ditemukan pada saat kedatangan orang Jawa ke Simalungun.

Oleh sebab itu dulu orang Simalungun menyebut orang Jawa dengan sebutan “si bontar ipon” (si gigi putih) karena gigi nya putih atau tidak hitam sebagaimana gigi orang Simalungun (Orang Simalungun 2004: 23-25). Pustaha Parpandanan Na Bolag (pustaka Simalungun kuno) mengisahkan bahwa Parpandanan Na Bolag (cikal bakal daerah Simalungun) merupakan kerajaan tertua di Sumatera

(28)

Timur yang wilayahnya bermula dari Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke Toba.

Sebagian sumber lain menyebutkan bahwa wilayahnya meliputiGayodanAlasdi Aceh hingga perbatasan sungai Rokan di Riau. Kini, di Kabupaten Simalungun sendiri, akibat derasnya imigrasi, suku Simalungun hanya menjadi mayoritas di daerah Simalungun atas.

2.3 Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan ialah hubungan kekeluargaan daripada individu- individu. Kekerabatan timbul akibat dua hal, yaitu hubungan darah (consaigunal) dan akibat adanya perkawinan (konjugnal). Oleh karena itu kekerabatan (kinship) menyangkut jauh dekat hubungannya seseorang (individu) dan antara seorang dengan sekelompok orang (keluaraga/kerabat) demikian pula sebaliknya. Untuk menentukan bagaimana jauh dekatnya seseorang diadakan kekerabatan menurut adat istiadat (budaya) Simalungun, kereteria yang digunakan ialah menurut garis keturunan pihak laki-laki (ayah) dan pertalian darah akibat perkawinan (dari pihak perempuan). Namun yang paling menentukan ialah garis menurut garis keturunan ayah (patrilinear discent) bahwa keturunan laki-laki, dimana marga ayah sangat dominan. Walaupun demikian dalam menentukan kekerabatan (partuturan) juga dianut oleh paham keibuan (bilibneal discent) karena keluarga ibu/istri menduduki posisi yang sangat penting yaitu sebagai tempat untuk meminta berkat (tuah/pasu-pasu). Maka terdapat hubungan kekerabatan yang erat antara kelompok ayah/suami dengan kelompok ibu/istri dan begitu juga sebaliknya (Purba 1997:4).

(29)

Simalungun mengenal 4 marga (morga) yang kerap disebut dengan morga sioppat, yaitu Sinaga, Purba, Saragih, dan Damanik. Hubungan kekeluargaan, asal, dan silsilah (tarombou) dari keempat marga ini saling ber-sanina, bertondong, dan ber-anak boru dalam bingkai Tolu Sahundulan Lima Saodoran dengan berfalsafah hidup pada Habonaron Do Bona. Adapun keempat marga dan turunan ialah:

1. Sinaga - Sidahapittu - Sidahalogan

- Simaibun

- Sidasuhut - Simanjorang - Simandalahi

- Dadihayong

- Hattaran

- Dadihoyong Bodat

- Bonar

- Uruk

- Ratus

2. Saragih

- Sumbayak

- Garingging

- Dasalak

(30)

- Dajawak - Simanihurukk

- Simarmata

- Sitio

- Turnip

3. Damanik

- Nagusr/rappogos

- Usang

- Barisa

- Bayu

- Hajangan

- Simaringga

- Tomok

- Sola

- Sarasan

4. Purba

- Tambak

- Pakpak

- Tua

- Silangit - Sigumonrong

- Sidasuha

- Sidadolog

(31)

- Sidagambir

- Tondang

- Tambunsaribu

- Siboro

- Maborsa

Orang Simalungun tidak terlalu mementingkan soal “silsilah” karena penentu partuturan di Simalungun adalah “hasusuran” (tempat asal nenek moyang) dan tibalni parhundul (kedudukan/peran) dalam horja-horja adat (acara- acara adat). Hal ini bisa dilihat saat orang Simalungun bertemu, bukan langsung bertanya “aha marga ni ham?” (apa marga anda) tetapi “hunja do hasusuran ni ham (dari mana asal-usul anda)?" Hal ini dipertegas oleh pepatah Simalungun

“Sin Raya, sini Purba, sini Dolog, sini Panei. Na ija pe lang na mubah, asal ma marholong ni atei” (dari Raya, Purba, Dolog, Panei, yang manapun tak berarti, asal penuh kasih). Hal tersebut disebabkan karena seluruh marga raja-raja Simalungun itu diikat oleh persekutuan adat yang erat oleh karena konsep perkawinan antara raja dengan “puang bolon” (permaisuri) yang adalah puteri raja tetangganya. Seperti Raja Tanoh Djawa dengan puang bolon dari Kerajaan Siantar (Damanik), Raja Siantar yang puang bolonnya dari Partuanan Silappuyang, Raja Panei dari Putri Raja Siantar, Raja Silau dari Putri Raja Raya, Raja Purba dari Putri Raja Siantar dan Silimakuta dari Putri Raja Raya atau Tongging.

Adapun perkerabatan dalam masyarakat Simalungun disebut sebagai partuturan. Partuturan ini menetukan dekat atau jauhnya hubungan kekeluargaan (pardihadihaon), dan dibagi kedalam beberapa kategori sebagai berikut:

(32)

 Tutur manorus (langsung) : Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri.

 Tutur holmouan (kelompok) : Melalui tutur holmouan ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat Simalungun.

 Tutur natipak (kehormatan) : Tutur natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak berbicara sebagai tanda hormat.

2.4. Struktur Sosial : “Tolu Sahundulan Lima Saodoran”

Dalam kekuasaan tradisional Simalungun yang diakui dan dipatuhi perangkat penguasa di bawahnya serta kawula kerajaan. Meskipun tidak dapat sepenuhnya dikategorikan negara dalam pengertian morden saat ini, tetapi dalam konteks masyarakat tradisional, tradisi kerajaan di Simalungun menunjukkan adanya pola pemerintahan yang teroganisir dan berjenjang yang disebutkan negara dalam peraturan kekuasaan terpusat oleh raja dan perangkatnya.

Lance Castlis mengatakan pada bukunya Ethnicity : 20 Dalam pengertian politis, Simalungun tradisional terdiri atas beberapa kerajan-kerajaan kecil, setiap kerajaan terdiri atas sejumlah desa-desa dan unit-unit kekuasaan yang lebih besar yang mengakui kekuasaan seorang penguasa utama (raja) dan berkewajiban membayar pajak kepada raja. Pola kekuasaan pada dasarnya lebih berpola piramidal ketimbang hirarkhis, dan tiap-tiap bagian daerah bawahannya merupakan tiruan suatu pola kecil dari sistem pemerintahan yang lebih besar dimana daerah bawahannya adalah bagian dari kekuasaan di atasnya.

(33)

Di Simalungun posisi raja diakui sebagai kekuasaan tertinggi di Simalungun. Kekuasaannya kadang-kadang bisa bersifat kejam dan sewenang- wenang sebagaimana dinyatakan dalam istilah Simalungun “raja do adat, adat di raja”. Raja di Simalungun berhak atas sejumlah kewajiban dari kawulanya menopang kehidupan di pematang sebagai pusat pemerintahan dan kediaman raja beserta keluarganya. Batara Dangti Simanjuntak dalam bukunya berjudul “Sejarah Batak” tahun 1977 menghubungkannya dengan penetrasi Hindu ke Simalunngun sekitar abab XIII. Pengaruh Hindu di Simalungun tidak dapat diabaikan dengan hadirnya sejumlah kata, adat kebiasaan dan istilah-istilah ritual maupun budaya dan kepercayaan yang banyak bersentuhan dengan budaya Hindu. Dahulu di Simalungun menggunakan sistem feodalisme. Sistem feodalisme di Simalungun ini menempatkan rakyat dengan posisi terendah dalam struktur pemerintahan tradisional sebagai objek pemerasan para penguasa, bahkan rakyat harus menyerahkan barang dan anak gadisnya kepada para raja dan keluarganya, meski dengan berat hati dan terpaksa. Rakyat tidak hanya menyerahkan upeti dan kewajiban lainnya, tetapi juga persembahan langsung kepada raja dengan menyediakan dirinya pada waktu dan kondisi tertentu untuk keperluan raja. Di bawah raja sebagai penguasa terdapat partuanan yang masih mempunyai hubungan kerabat dengan raja. Partuanan membawahi beberapa pengulu.

Mediator para penguasa elit Simalungun ini disebut Ulubalang. Ulubalang menyampaikan pesan-pesan pemerintahan kerajaan kepada rakyat. Pedamping raja atau tuan di daerah adalah Harajaan. Di Simalungun Harajaan ini hanya sebatas penasehat raja, didengar atau tidak tergantung pada raja. Pengangkatan

(34)

menjadi raja harus dengan rapat dan persetujuan Harajaan setelah calon raja yang diajukan memenuhi syarat-syarat adat. Istilah gamot ni harajaan rupanya diadopsi Belanda untuk pola pemerintahan di Simalungun dari Karo. Disamping itu tiap- tiap stuktur pemerintahan terdapat harajaan sampai ke tingkat terendah. Sebutan untuk Harajaan ini awalnya adalah Si Ompat Suku tetapi belakangan semakin terlupakan seiring dengan masuknya pola pemerintahan modern oleh Belanda sejak 1907. Setiap Harajaan memiliki pembantu tersendiri yang disebut Paiduana.

Raja disebut juga sebagai partongah karena selain kepala adat, raja juga sebagai kepada pemerintahan di samping hakim yang memutuskan perkara pengadilan sesudah pengadilan tingkat huta yang dipimpin pangula dan tingkat partuanandi dipimpin tuan huta. Perkara di tingkat huta dapat dibawa banding ke tingkat di atasnya sampai ke tingkat raja di Pematang. Sistem peradilan seperti ini hanya ditemukan di Simalungun, dan tidak terdapat di daerah batak lainnya. Keputusan akhir berada di tangan raja sebagai hakim keputusan perkara. Tidem dalam bukunya “Simalungun” dengan lengkap menjelaskan susunan pemerintah tradisional kerajan-kerajaan Simalungun. Sebagai salah satu contohnya adalah pada masa kerajaan Purba. Susunan pemerintahan pada masa kerajaan Purba adalah : Penjabat raja Karel Tanjung marga Purba Pakpak. Dengan Harajaan di Pematang adalah Nagodang, Rumah Tongah dan anak boru, ketinganya ini adalah sebagai pelaksana perintah raja. Masih ada juga Rumah Buntu (suhu ulu), Tuan Suhi, guru huta (datu/penyihir), Bona ni Ari, Bona ni Gonrang, Jagoraha (panglima pasukan), Partahi dolog (pembantu raja dalam hubungan dengan raja- raja sebelah Utara dan Timur), Partai Bongguron ( membantu raja dalam

(35)

menyeberangi Danau Toba). Dan dalam Parbapaan terdapat: Tuhan Hinalang, Tuhan Sipinggan, Tuhan Huta Raja, Tuhan Saribujandi, dan Tuhan Siboro.

Masyarakat Simalungun dalam ikatan sosialnya terbagi ke dalam organisasi sosial yang disebut Tolu Sahundulan Lima Saodoran yang mengikat orang Simalungun dalam kekerabatan menurut adat istiadat Simalungun. Adapun Tolu Sahundulan itu terdiri dari: Tondong, Sanina, Boru, dan Boru ni Boru (Anak Boru Mintori). Hubungan kekerabatan di kerajaan-kerajaan Simalungun boleh dikatakan seluruhnya diikat oleh hubungan perkawinan. Hal ini dimungkinkan karena konsep puangbolon (permaisuri) dan puangbona (isteri yang pertama) yang merupakan prasyarat utama dalam menentukan seseorang menjadi pengganti raja sebelumnya. Anakboru sanina yang terdapat pada suku bangsa Simalungun turut mengikat hubungan yang lebih erat yang semakin memperkokoh hubungan kekerabatan di antara raja-raja Simalungun.

2.5 Sistem Kepercayaan dan Agama

Masyarakat Batak Simalungun pada umumnya telah dipengaruhi oleh beberapa agama, seperti agam Kristen Protestan, Katholik, Islam dan yang masuk ke daerah Batak sejak permulaan abad XIX (Purba 1996:40). Sebelum masuknya Misionaris Agama Kristen dari RMG pada tahun 1903, penduduk Simalungun bagian timur pada umumnya sudah banyak menganut agama Islam sedangkan Simalungun Barat menganut animisme. Ajaran Hindu dan Budha juga pernah mempengaruhi kehidupan di Simalungun, hal ini terbukti dengan peninggalan berbagai patung dan arca yang ditemukan di beberapa tempat di Simalungun yang

(36)

menggambarkan makna Trimurti (Hindu) dan Sang Budha yang menunggangi Gajah (Budha). Bila diselidiki lebih dalam suku Simalungun memiliki berbagai kepercayaan yang berhubungan dengan pemakaian mantera-mantera dari "Datu"

(dukun) disertai persembahan kepada roh-roh nenek moyang yang selalu didahului panggilan kepada Tiga Dewa, yaitu Dewa di atas (dilambangkan dengan warna Putih), Dewa di tengah (dilambangkan dengan warna Merah), dan Dewa di bawah (dilambangkan dengan warna Hitam). 3 warna yang mewakili Dewa-Dewa tersebut (Putih, Merah dan Hitam) mendominasi berbagai ornamen suku Simalungun dari pakaian sampai hiasan rumahnya. Pemahaman akan dewa-dewa ini tercermin dalam keyakinan orang Simalungun yang harus hormat kepada makhluk dan benda-benda tertentu, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Pada zamannya orang Simalungun banyak yang menyembah batu besar, pohon besar, sungai besar dan lain-lain. Sistem pemerintahan di Simalungun dipimpin oleh seorang Raja, sebelum pemberitaan Injil masuk Tuan Rajalah yang sangat berpengaruh. Orang Simalungun menganggap bahwa anak Raja itulah Tuhan dan Raja itu sendiri adalah Allah yang kelihatan.

2.6 Sistem Mata Pencaharian

Mata pencaharian orang Simalungun yaitu bercocok tanam dengan jagung, karena padi adalah makanan pokok sehari-hari dan jagung adalah makanan tambahan jika hasil padi tidak mencukupi. Jual-beli diadakan dengan barter, bahasa yang dipakai adalah bahasa dialek. Banyak proses yang harus dilalui ketika mereka membuka ladang baru dan keseluruhannya itu harus diketahui oleh

(37)

gamut yang merupakan wakil raja daerah. Biasanya, di antara perladangannya didirikan bangunan rumah tempat tinggal (sopou juma) sebagai tempat mereka sementara dan melindungi mereka dari serangan binatang buas. Selain itu juga, ada yang mengolah persawahan (sabah) seperti di Purba Saribu dan Girsang Simpangan Bolon dengan cara-cara tradisional. Untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan, mereka menenun pakaian (hiou) yang biasanya dilakukan oleh kaum ibu dan gadis-gadis. Mereka juga menumbuk padi bersama-sama dengan para pemuda di losung huta. Disini biasanya pada zaman dahulu para pemuda itu akan memilih pasangannya. Menurut Guru Jason Saragih, orang Simalungun di hilir (jahe-jahei) juga sudah ada yang berdagang hasil hutan dari Simalungun ke Padang Badagei di dekat pesisir timur bahkan sampai ke Penang di Semenanjung Malaka. Pedagang Aceh, Bugis, Asahan, dan Cina datang dari Bandar Khalipah melayari Sungai Padang ke hulu. Mereka membawa barang-barang dagangan kain, bedil, mesiu, timah, pinggan,pasu, pahar, dondang, garengseng, kuali bahkan candu (opium). Hal ini dibuktikan dengan dipakainya banyak mata uang asing dalam transaksi dagang di Simalungun (Tole 2003:19-20).

2.7 Kesenian Simalungun

Kesenian merupakan salah satu hasil yang diwarisi secara turun temurun.

Begitu juga halnya pada masyarakat Simalungun, kesenian merupakan bagian yang sangata penting dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat Simalungun.

Beberapa kesenian yang terdapat dalam kebudayaan Simalungun antara lain: seni musik, seni tari, seni rupa.

(38)

2.7.1 Seni Musik

Di masyarakat Simalungun seni musik terbagi dalam 2 bagian yaitu music vocal (inggou) dan musik instrument (gual). 1. Dalam musik vokal (inggou), jenis nyanyian Simalungun terbagi atas 2 yaitu ilah (nyanyian bersama) dan nyanyian solo (doding). a. Ilah dinyanyikan secara berama-ramai di halaman luas pada suatu desa dan dinyanyikan oleh muda-mudi pada malam terang bulan ataupun pada acara hiburan seperti acara rondang bittang, di nyanyikan sambil menortor.

Nyanyian ilah disajikan tanpa iringan musik, sebagai pengatur tempo biasa adalah dengan bertepuk tangan. b. Doding adalah nanyian solo yang dilakukan oleh seseorang apabila ia sendirian. Doding dapat di nyanyikan dengan iringan musik seperti sulim, hasapi, sarunei, dan lainnya.

Musik instrument (gual) Simalungun dapat dibagi 2, yaitu: Alat musik yang dimainkan dalam bentuk ensambel dan Alat musik yang dipergunakan dalam permainan tunggal (solo instrument). Alat musik yang dimainkan dengan ensambel dapat dibagi 2 yaitu alat musik yang terdapat pada ensambel Gondrang Sipitu-pitu dan ensambel gonrang sidua-dua.

Alat musik yang ada dalam ensambel gondrang sipitu-pitu adalah sarunei bolon, ogung, tujuh buah gondrang sipitu-pitu, mongmongan, dan sitalasayak.

Sedangkan alat musik ensambel gondrang sidua-dua adalah mongmongan dan ogung. Alat musik dalam permainan tunggal seperti arbab, hasapi, sulim, dan sordam.

(39)

2.7.2 Seni Tari

Seni tari yang dikenal masyarakat Simalungun disebut tor-tor (tarian).

Ada beberapa Tor-tor Simalungun yaitu: Tor-tor adat (tor-tor yang berhubungan dengan kepercayaan), tor-tor pencak, dan tor-tor yang bersifat hiburan atau pertunjukkan. Tor-tor adat biasanya sering kita lihat di pesta adat, dalam melakukan tariannya dapat dibagi menurut penari dalam adat. Misalnya kelompok penari yang terdapat dalam sistem tolu sahundulan.

Tor-tor podang adalah tor-tor yang penarinya memakai pedangterhunu, dilakukan oleh 2 orang pria sambil memainkan pedang tersebut dan sambil mengikuti irama musik. Tor-tor turahan yang bersifat tari gotong-royong yang dilakukan sewaktu menarik sebuah balok besar dari hutan, dimana kayu tersebut akan dipergunakan menjadi bahan losung untuk bahan membangun rumah. Tor- tor yang bersifat hiburan atau pertunjukkan yaitu: tor-tor muda-mudi, tor-tor pencak, dan tor-tor hiburan lainnya seperti tortor balang sahua, tor-tor rondang bittang dan lainnya.

2.7.3 Seni Rupa

Seni rupa pada masyarakat Simalungun terbagi atas 4 yaitu pahat, gorga, ukir-ukiran, dan arsitektur (bangunan). Pahat biasanya terdapat pada batu, topeng- topeng. Gorga termasuk ke dalam lukisan yang condong kepada corak warna yaitu: warna hitam, putih, merah dan lain-lain. Hal ini pada panggorga dimasa lampau dapat menempatkan warna pada suatu benda, sehingga kelihatan indah.

(40)

Sedangkan arsitektur adalah mengenai bangunan-bangunan di Simalungun yaitu pinarmusah, pinarhobou dan lainnya.

2.7.4 Pakaian Adat

Seperti suku-suku lain di sekitarnya, pakaian adat suku Simalungun tidak terlepas dari penggunaan kain Ulos. Kekhasan pada suku Simalungun adalah pada kain khas serupa Ulos yang disebut Hiou dengan berbagai ornamennya. Ulos pada mulanya identik dengan jimat, dipercaya mengandung "kekuatan" yang bersifat religius magis dan dianggap keramat serta memiliki daya istimewa untuk memberikan perlindungan. Menurut beberapa penelitian penggunaan ulos oleh suku bangsa Batak, memperlihatkan kemiripan dengan bangsa Karen disperbatasan Myanmar, Muangthai dan Laos, khususnya pada ikat kepala, kain dan ulosnya. Ulos dianggap sebagai salah satu dari 3 sumber kehangatan bagi manusia (selain Api dan Matahari), namun dipandang sebagai sumber kehangatan yang paling nyaman karena bisa digunakan kapan saja (tidak seperti matahari, dan tidak dapat membakar (seperti api). Suku lain di rumpun Batak, Simalungun memiliki kebiasaan "mambere hiou" (memberikan ulos) yang salah satunya melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada penerima Hiou.

Hiou dapat dikenakan dalam berbagai bentuk, sebagai kain penutup kepala, penutup badan bagian bawah, penutup badan bagian atas, penutup punggung dan lain-lain. Hiou dalam berbagai bentuk dan corak/motif memiliki nama dan jenis yang berbeda-beda, misalnya Hiou penutup kepala wanita disebut suri-suri, Hiou penutup badan bagian bawah bagi wanita misalnya ragipanei, atau yang

(41)

digunakan sebagai pakaian sehari-hari yang disebut jabit. Hiou dalam pakaian penganti Simalungun juga melambangkan kekerabatan Simalungun yang disebut tolu sahundulan, yang terdiri dari tutup kepala (ikat kepala), tutup dada (pakaian) dan tutup bagian bawah (abit). Menurut Muhar Omtatok, Budayawan Sumatera Utara, awalnya Gotong (Penutup Kepala Pria Simalungun) berbentuk destar dari bahan kain gelap ( Berwarna putih untuk upacara kemalangan, disebut Gotong Porsa), namun kemudian Tuan Bandaralam Purba Tambak dari Dolog Silou juga menggemari trend penutup kepala ala melayu berbentuk tengkuluk dari bahan batik, dari kegemaran pemegang Pustaha Bandar Hanopan inilah, kemudian Orang Simalungun dewasa ini suka memakai Gotong berbentuk Tengkuluk Batik.

2.7.5 Bangunan Rumah Bolon Simalungun

Berdasarkan Tatanan Sosial Masyarakat Simalungun. Rumah Bolon Simalungun seperti halnya dengan rumah adat lainnya di Indonesia, dibangun berdasarkan konsep penyesuaian diri dengan alam, yang berkaitan erat dengan kebudayaan dan kepercayaan masyarakat. Pada dasarnya, konsep pembangunan tiap daerah di Indonesia adalah sama. Perbedaan terletak hanya pada penyesuaiannya saja, sebab setiap suku budaya daerah memiliki sistem sosial budaya yang berbeda, maka penyelesaian bangunan pun berbeda pada tiap tempat.

Setiap rumah adat merupakan bangunan tempat tinggal yang biasanya ditinggalin oleh raja sebagai pemimpin adat maupun perwarisnya. Rumah adat juga merupakan makna adat dan hukum adat yang dilandasi oleh filsafah hidup masyarakat, misalnya suku Simalungun filsafah hidupnya habonaron Do Bona.

(42)

Filsafah hidup ini dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat yang menciptakan suatu kepribadian masyarakatnya. Kepribadian masyarakat merupakan wujud sifat, perilaku atau pembawaan yang dimiliki secara khusus dari kelompok masyarakat yang sesuai dengan daerah setempat. Kelompok suku Batak Toba, Karo, Simalungun, Pakpak dan Mandailing masing-masing memiliki sifat-sifat tertentu sebagai ciri khusus kepribadiannya yang berbeda dengan kelompok suku batak lainnya. Dari tatanan adat istiadat memiliki persamaan, tetapi dari sifat dan perilaku berbeda. Pada masa pra-sejarah, manusia pra-sejarah Batak mempunyai kepercayaan bahwa ada keterkaitan antara manusia dengan alam. Menurutnya, masyarakat adalah kosmos kecil dari kosmos besar dari alam, atau dapat dikatakan manusia adalah bagian dari alam. Segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia selalu dikaitkan dengan alam, demikian pula dengan pembangunan rumah Bolon yang sampai dalam hal menentukan ukuran-ukuran pada bangunan tidak lepas dari unsur alam. Membangun rumah Bolon, setiap ukuran yang dipakai adalah berdasarkan ukuran bagian-bagian tubuh dari manusia. Di Batak dikenal ukuran “Dopa”, “Parbantuan”, “Elak”, dan di Bali dikenal “Hasta Kosala- Kosali” dalam membuat mikrokosmosnya. Aturan ini bersifat mistis, namun ini merupakan dasar bangunan adat yang tertib dan teratur. Dopa dalam bahasa indonesia adalah depan, merupakan jarak bentangan dari tangan kanan sampai dengan tangan kiri. Elek merupakan jarak dari telapak tangan ke sikut; dan perbantuan merupakan jarak dari telapak tangan ke tengah-tengah lengan atas.

Masyarakat Batak mempunyai suatu tradisi bahwa sisi kanan adalah yang utama.

Ini selalu diterapkan dalam pembuatan bangunan. Bagian terpenting selalu

(43)

diletakkan di sebelah kanan. Dalam pembuatan bangunan rumah Bolon, masyarakat mengenal empat arah mata angin yang melambangkan benua tengah.

Dalam bangunan rumah Bolon dengan denah rumah bolon bentuk segi empat.

Benua tengah adalah dunia yang ditempati manusia, sehingga ruang tinggal dibuat berdasarkan kepercayaan masyarakat tentang benua tengah. Mendirikan rumah Bolon, tata letak bangunan disesuaikan dengan kondisi tanah yang digunakan.

Bangunan didirikan menurut arah memanjang dari bidang tanah. Sehingga, halaman yang terbentuk di tengah-tenga antara kedua deretan bangunan akan mempunyai bentuk yang memanjang. Dalam menentukan orientasi bangunan, terdapat beberapa cara, yaitu :

1. Orientasi bangunan tegak lurus dengan halaman. Jika halaman mempunyai orientasi arah timur dan barat, maka bangunan akan berarah utara dan selatan.

2. Orientasi bangunan tegak lurus terhadap lereng. Ini berkaitan dengan kepercayaan bahwa bukit merupakan tempat tinggal mahluk halus dan roh jahat.

Masyarakat percaya, jika tidur menghadap ke arah tempat tinggal mahluk halus akan mendatangkan bencana.

3. Orientasi bangunan yang menghadap ke arah tempat-tempat yang dianggap suci. Masyarakat percaya bahwa akan memperoleh berkah, karena tempat suci merupakan tempat bersemayamnya arwah nenek moyang. Seperti kebanyakan pola bangunan rumah adat di Indonesia, bangunan adat Simalungun yang disebut Rumah Bolon didirikan dengan lantai terangkat dari atas tanah. Bangunan ini disebut dengan rumah panggung (tiang penyangga). Sehingga terbentuk ruang di bawah lantai. Inilah yang membuat terbaginya ruang secara vertikal pada

(44)

bangunan rumah Bolon, yaitu ruang Bawah (tiang penyanggah), ruang tengah (badan) dan ruang atas (atap).

Bagi masyarakat Simalungun, pembagian ruang secara vertical ini merupakan gambaran dari konsep kosmologi tradisionalnya, yang membagi dunia menjadi tiga tingkatan yaitu, bagian kepala, badan dan kaki pada rumah Bolon Batak Bagian bawah bangunan melambangkan ruang bawah (Banua Toru), yang mulai dari tiang bangunan hingga ke tanah. Pada bangian ini memiliki pengertian yaitu: sebagai akhir dari kehidupan (kematian) dan sebagai simbol tempat manusia mencari kehidupan dengan usaha-usaha beerupa pertanian, perkebunan yang sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat setempat. Bagian tengah bangunan menggambarkan ruang tengah (Banua tongah), tempat kehidupan manusia. Pada bagian ini adalah tempat penghuni melaksanakan kehidupan, bermasyarakat, menata hidup rumah tangga serta tata kehidupan adat. Bagian bangunan ini dikelilingi oleh dinding, dan pada dinding terdapat ukiran-ukiran atau pahatan yang menggambarkan alam kosmos yang memiliki arti. Bagian kepala bangunan menggambarkan ruang atas (Banua ginjang), bagian ini sebagai tempat pemujaan mula jadi na bolon (asal kejadian). Kepercayaan ini ditandai dengan penempatan raga-raga, semacam tempat persembahan yang digantungkan di bawah atap bangunan. Falsafah suku Batak, masing-masing ketiga alam kosmos tersebut dikuasai oleh tiga dewa, yaitu Mangala Bulan sebagai penguasa dunia atas, Sori sebagai penguasa dunia tengah dan Batara Na Bolon sebagai penguasa dunia bawah. Eksistensi dari Debata Na Tolu dalam kehidupan suku Batak ini terdiri dari tiga unsur, yaitu hosa (nyawa), mudar (darah) dan sibuk

(45)

(daging), dengan tiang unsur, yaitu tondi, saudara dan sahala, yang merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Hingga akhirnya ketiga unsur tersebut dalam satu filsafah adat yang disebut Dalihan Na tolu, falsafah ini selalu dijadikan sebagai konsep eksistensi kehidupan sosial budaya masyarakat suku Batak. Konsep bangunan adat, fungsinya tidak hanya sebagai bangunan untuk tempat tinggal, namun juga merupakan sebuah bangunan yang memiliki gambaran wujud adat serta ciri khas kepribadian dari kelompok suku atau marga, baik sebagai bangunan dari suku Batak maupun suku-suku lainnya.

Selain itu kehidupan manusia di dunia bersumber dari tiga alam (kosmos), sehingga penempatan simbol-simnol adat dialihkan ke bagian badan bangunan, dinding, tiang penyangga, atap, jendela, pintu masuk, maupun penempatan lain dari simbol adat. Simbol-simbol adat yang ditempatkan pada bagian ini, merupakan ukiran atau pahatan yang diberi warna-warna ataupun berupa patung kayu. Bagunan adat juga merupakan wujud simbol dari kehidupan masyarakat suku-suku tertentu, yaitu sebagai gambaran sifat, perilaku atau pembawaan yang dimiliki sehingga membedakannya dengan suku lainnya. Dapat dikatakan, suatu kelompok suku memiliki sifat, perwatakan, perilaku tertentu sesuai dengan kedaerahannya. Sehingga segala bentuk dan stuktur suatu bangunan adat akan berhubungan dengan sifat, watak, maupun perilaku masyarakat daerah yang memiliki hubungan dengan adat istiadat serta sosial budayanya.

(46)

2.8 Bahasa

Bahasa ialah sistem perlambangan manusia yang lisan maupun yang tulisan untuk berkomunikasi satu dengan yang lain (koentjaraningrat 1986:39).

Masyarakat Simalungun umumnya menggunakan bahasa Simalungun sebagai bahasa sehari-hari. Hal ini dapat kita lihat baik dalam acara religi (agama) di gereja, acara-acara adat dan dalam kehidupan sehari-hari.

Bahasa Simalungun terdiri dari beberapa ragam yang dapat dilihat dalam sastra lisan Simalungun. Masyarakat Simalungun menamai bahasanya dengan sahap.

Adapun ragam bahasa Simalungun tersebut ialah:

1. Ragam bahasa Simalungun sehari-hari yang disebut lapung ni hata yaitu bahasa yang dipakai sesama atau bahasa yang sifatnya umum. Contoh: kata ham (tuan, kamu, anda) dipakai kepada orang yang lebih dihormati atau yang lebih tua.

Kata ho (engkau) dipakai secara umum atau sebaya. Kata hamma/nasiam (dalam bentuk jamak) dipakai dalam kebiasaan umum.

2. Dalam bahasa Simalungun yang halus yang disebut guruni hata yaitu bahasa yang dipakai untuk mengucapkan sesuatu dengan nama lain yang dianggap lebih halus. Misalnya kata babah (mulut) bahasa halusnya pamangan. Kata ulu (kepala) bahasa halusnya simanjujung. Katamata (mata) kata halusnya panonggor dan lain-lain.

3. Ragam bahasa Simalungun kasar yang disebut sait ni hata yaitu bahasa yang dipakai pada saat-saat tertentu seperti pada saat seseorang marah, atau untuk menyakiti hati orang lain. Misalnya kata babah (mulut) bahasa kasarnya.

(47)

4. Ragam bahasa yang digunakan oleh para guru/datu yaitu berupa bahasa rahasia atau sandi yang sukar dimengerti oleh kebanyakan orang seperti kata bilangan berikut ini yang dipergunakan pada waktu membaca mantra-mantra.

Contoh: sada, sada oi sada lamba-lamba oi langit berarti “satu”. Dua, dua oi dua lumba-lumba ni bumi berarti “dua” (D. Kenan Purba, 1996:37).

Bahasa Simalungun juga menggunakan budaya tulis yang disebut dengan surat Batak. Surat Batak biasanya dibuat pada media tanduk kerbau, kulit kayu dan bambu. Surat Batak terdiri dari 19 buah indungni surat. Sastra Lama dan Aksara Batak menyebutkan bahwa surat Batak termasuk pada keluarga tulisan India terutama aksara Pallawa dari India Selatan. Menurutnya, semua aksara di Indonesia berinduk dari aksara Pallawa India. Kozak membuktikan aksara Simalungun lebih tua dari aksara Toba, Pakpak dan Karo. Aksara Simalungun dibuat dalam menulis cerita-cerita rakyat, hukuman, pernyataan perang dan lain- lain. Untuk menulis aksara digunakan kayu yang diruncingkan dan dituliskan atau digambarkan pada kulit kayu, tanduk kerbau atau bambu.(Sumber Buku Uli Kozak).

(48)

BAB III

ANALISIS TEKSTUAL NYANYIAN ILAH BOLON DEIDENG BITTANG NA RONDANG

Dalam bab ini penulis akan mendeskripsikan tentang tekstual nyanyian Deideng Bittang Na Rondang yang terdapat pada masyarakat Simalungun, dimana nyanyian Deideng Bittang Na Rondang ini menurut narasumber Sapna Sitopu merupakan lagu rakyat yang telah dipopulerkan oleh Taralamsyah Saragih dan kemudian diangkat kembali dengan aransemen baru yang dibuat oleh Sapna Sitopu. Nyanyian Deideng Bittang Na Rondang ini dipakai dalam acara pesta adat, yang dimana liriknya dibuat sesuai keadaan yang diinginkan oleh si pembuat acara sesuai kebutuhan pesta adat tersebut.

3.1 Bentuk Teks Nyanyian Deideng Bittang Na Rondang

Nyanyian Deideng Bittang Na Rondang merupakan salah satu lagu rakyat Simalungun yang hingga saat ini masih sering dinyanyikan dalam acara pesta adat dan sudah ada beberapa versi yang di aransemen kembali oleh seniman-seniman Simalungun. Selain itu nyanyian Deideng Bittang Na Rondang juga merupakan salah satu nyanyian untuk hiburan dalam upacara adat Simalungun, lirik nyanyian Deideng Bittang Na Rondang berbentuk syair pantun yang dinyanyikan sesuai keinginan pembuat acara sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan pencipta.

Pantun adalah bentuk puisi yang terdiri dari empat baris yang bersajak (a- b-a-b), tiap lirik biasanya terdiri atas empat kata, baris pertama dan baris kedua

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pola ornamen tradisional Simalungun pada gedung Katolik Santo Pio Purba Hinalang, untuk mengetahui perubahan ornament

Dalam skripsi ini, penulis menganalisis nyanyian Ayun-ayun Tajak yang disajikan pada upacara turun karai Suku Pesisir di Kota Sibolga dengan dua fokus, yakni struktur

Nangen nandorbin adalah salah satu genre musik vokal (nyanyian) dalam masyarakat Pakpak yang dilakukan secara turun- temurun dan hanya digunakan dalam konteks

Dalam skripsi ini, penulis menganalisis nyanyian Ayun-ayun Tajak yang disajikan pada upacara turun karai Suku Pesisir di Kota Sibolga dengan dua fokus, yakni struktur

Secara umum, penulis melakukan penelitian terhadap naynyian Ayun-ayun Tajak pada upacara turun karai suku Pesisir di Kota Sibolga, yang diadakan dirumah keluarga

Di dalam bahasa Indonesia kata ini selalu ditulis dengan etnik, yang maknanya adalah sama dengan suku atau suku bangsa.. Di dalam Kamus besar bahasa Inddonesia

(2) Senandung jolo pada umumnya disajikan dengan gaya repetitif dengan mengutamakan teks daripada melodi (strofic-logogenic). Teks nya merupakan pantun yang terdiri dari dua

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penyusunan skripsi yang