• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TEKSTUAL DAN MUSIKAL LAGU POPULER SIMALUNGUN YANG DINYANYIKAN PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN DI DESA SARIBUDOLOK KABUPATEN SIMALUNGUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS TEKSTUAL DAN MUSIKAL LAGU POPULER SIMALUNGUN YANG DINYANYIKAN PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN DI DESA SARIBUDOLOK KABUPATEN SIMALUNGUN"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS TEKSTUAL DAN MUSIKAL LAGU POPULER SIMALUNGUN YANG DINYANYIKAN PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN DI DESA SARIBUDOLOK KABUPATEN SIMALUNGUN

SKRIPSI SARJANA

DISUSUN

O L E H

ANANTHA ANGRIANY SITIO 140707036

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

2018

(2)

PENGESAHAN

ANALISIS TEKSTUAL DAN MUSIKAL LAGU POPULER SIMALUNGUN YANG DINYANYIKAN PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN DI DESA SARIBUDOLOK KABUPATEN SIMALUNGUN

Skripsi Sarjana

Disusun oleh

NAMA : ANANTHA ANGRIANY SITIO NIM : 140707036

Pembimbing I Pembimbing II

Drs.Setia Dermawan Purba,M.Si Arifninetrirosa,SST,M.A.

NIP: 195608281986012001 NIP: 1965021291994032002

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk memenuhi salah satu syarat Ujian Sarjana dalam bidang Ilmu Etnomusikologi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

2018

(3)

PENGESAHAN DITERIMA OLEH :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada Tanggal : 19 Juli 2018

Hari : Kamis

Fakultas Ilmu Budaya USU, Dekan,

Dr.Drs.Budi Agusono M.S NIP.196008051987031001

Panitia Ujian : No Nama

1. Drs.Setia Dermawan Purba,M.si. ( )

2. Arifninetrirosa,SST,M.A. ( )

3. Drs.Kumalo Tarigan,M.A. ( )

4. Dra.Heristina Dewi,M.Pd. ( )

(4)

DISETUJUI OLEH:

PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

MEDAN

PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI KETUA

Arifninetrirosa SST,M.A.

NIP: 196502191994032002

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya nyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh kerja sama disuatu Peruruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis serta diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan,

Anantha Angriany Sitio 140707036

(6)

ABSTRAKSI

Tulisan ini berjudul: Analisis Tekstual dan Musikal Lagu Populer Simalungun Yang Dinyanyikan Pada Upacara Adat Perkawinan Di Desa Saribudolok Kabupaten Simalungun.

Tujuan penelitian ini lebih diarahkan kepada makna tekstual dan analisis unsur-unsur musikologinya.

Untuk menjawab pokok permasalahan tersebut penulis menggunakan teori Bruno Netll dan William P. Malm. Metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan melakukan observasi, wawancara dan perekaman.

Hasil penelitian menunjukan bahwa teks lagu populer berkesinambungan dengan setiap rangkain acara dalam upacara adat perkawinan masyarakat Siamlugun.

Secara struktur melodi lagu populer Simalungun menggunakan birama 4/4.

Kata kunci: Analisis tekstual, analisis musikal, lagu populer, upacara perkawinan.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan kemurahan-Nya yang telah memberikan penulis kesempatan dan kesehatan sehingga dapat menyelesaikan penulisan sripsi ini. Sripsi ini berjudul “Analisis Tekstual dan Musikal Lagu Populer Simalungun Yang Dinyanyikan Pada Upacara Adat Perkawinan Di Desa Saribudolok Kabupaten Simalungu” adalah sebuah syarat akhir untuk menyelesaikan perkuliahan di jurusan Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universita Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini penulis telah berupaya semaksimal mungkin untuk mencapai hasil yang terbaik. Namun kemudian penulis menyadari bahwa terdapat berbagai kekurangan disana sini dlampenulisan skripsi ini. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan penulis dan pengalaman penulis masih kurang. Untuk itu, penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang sangat membangun dari semua pihak terutama dari dosen pembingbing penulis.

Skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak.

Maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S., Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara

(8)

2. Ibu Arifninetrirosa, SST., M.A., selaku ketua Program Studi Etnomusikologi Fakultas Ilmubudaya Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai dosen pembingbing II penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Drs, Bebas Sembiring, M.Si., selaku sekretaris Program Studi Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Setia Dermawan Purba, M.Si., selaku pembimbing I yang telah banyak memberikan arahan kepada penulis dan saran-saran yang sangat bermanfaat dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Drs. Mauly Purba M.A, Ph.D., Bapak Drs, M. Takari, M.Hum, Ph.D., Ibu Dra. Rihtaony, M.A., Bapak Drs.

Torang Naiborhu, M.Hum., Ibu Drs. Frida Deliana, M.Si,. Bapak Fadlin, M.A., Bapak Drs. Perikuten Tarigan, M.Si,. Ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd., Bapak Drs. Irwansyah, M.A., Bapak Drs. Yoe Anto Ginting, M.A. Ibu Sapna Br. Sitopu, S.Pd, M.Sn., Bapak Hubari Gulo, S.Sn., M.Sn., dan Ibu Vanesia A Sebayang, S.Sn., M.Sn yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama bertahun-tahun mengikuti perkuliahan semoga doa dan berkat dari Bapak Ibu Dosen yang menyertai penulis sehingga dapat mengaplikasikan ilmu yang diterima ke tengah-tengah masyarakat nantinya.

6. Oppung Marden Purba, Bapak Fery Wandi Saragih, Bapak Cius Girsang, Bapak Bastian Sitio selaku informan penulis. Terimakasih buat segala

(9)

informasi yang sudah penulis terima sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.

7. Bapak F. Juslin Sitio dan Ibu Masnauli Purba orangtua penulis yang telah membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang, membiayai, mendoakan, dan mendukung serta memberikan semangat yang luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Septi Arsila Saragih dan Meta Fonika Girsang selaku teman penulis yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberi balasan yang setimpal bagi mereka semua. Akhirnya harapan penulis, semoga skripsi ini bermanfaat bagi usaha peningkatan mutu pendidikan dan kebudayaan di era globalisasi ini dan menjadi suatu bahan penelitian selanjutnya.

Medan, Juli 2018 Penulis

Anantha Angriny Sitio 140707036

(10)

DAFTAR ISI

LEMBARAN PENGESAHAN ...

PERSETUJUAN PROGRAM STUDI ... i

PERNYATAAN ... ii

ABSTRAKSI... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Pokok Permasalahan ... 6

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

1.3.1. Tujuan penelitian ... 7

1.3.2. Manfaat Penelitian ... 7

1.4. Konsep dan Teori ... 8

1.4.1. Konsep... 8

1.4.2. Teori ... 9

1.5. Metode Penelitian... 12

1.5.1. Kerja Lapangan ... 13

1.5.2. Wawancara ... 13

1.5.3. Observasi ... 14

1.5.4. Kerja Laboratorium ... 14

1.5.5. Studi Kepustakaan ... 15

1.6. Lokasi Penelitian ... 16

BAB II : GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SIMALUNGUN DI

(11)

DESA SARIBUDOLOK DAN GAMBARAN UMUM

UPACARA ADAT PERKAWINAN SIMALUNGUN ... 17

2.1. Desa Saribudolok ... 17

2.2. Masyarakat Simalungun di Desa Saribudolok ... 18

2.3. Mata Pencaharian ... 19

2.4. Organisasi Sosial ... 19

2.5. Sistem Kekerabatan ... 20

2.51. Marga-marga di Simalungun... 23

2.6. Kesenian Simalungun... 26

2.6.1. Seni Musik (Gual) ... 26

2.6.2. Seni Suara (Doding) ... 27

2.6.3. Seni Tari (Tortor) ... 28

2.6.4. Seni Ukir (Gorga) ... 29

2.7. Upacara Adat Simalungun ... 30

2.8. Gambaran Umum Upacara Adat Simalungun... 33

BAB III : KRONOLOGI PELAKSANAAN LAGU POPULER DAN ANALISIS TEKSTUAL LAGU POPULER ... 53

3.1. Kronologi Penggunaan Lagu Populer ... 53

3.1.1. Kronologi Penggunaan Lagu Sitalasari ... 53

3.1.2. Kronologi Penggunaan Lagu Eta Mangalop Boru ... 54

3.1.3. Kronologi Penggunaan Lagu Tolu Sahundulan ... 55

3.1.4. Kronologi Penggunaan Lagu Appang Na Opat ... 55

3.1.5. Kronologi Penggunaan Lagu Horas Sayur Matua ... 56

3.2. Analisis Semiotik Teks Lagu Populer ... 56

3.2.1. Analisis Teks dan Makna Lagu Sitalasari ... 57

3.2.2. Analisis Teks dan Makna Lagu Eta Mangalop Boru ... 63

3.2.3. Analisis Teks dan Makna Lagu Tolu Sahundulan ... 69

3.2.4. Analisis Teks dan Makna Lagu Appang Na Opat ... 77

3.2.5. Analisis Teks dan Makna Lagu Horas Sayur Matua ... 84

(12)

BAB IV : TRANSKRIPSI DAN ANALISIS LAGU POPULER

SIMALUNGUN ... 92

4.1. Transkripsi... 92

4.2. Simbol dan Notasi ... 92

4.2.1. Transkrisi Lagu Sitalasari ... 94

4.2.2. Transkripsi Lagu Eta Mangalop Boru ... 96

4.2.3. Transkripsi Lagu Tolu Sahundulan ... 97

4.2.4. Transkripsi Lagu Appang Na Opat ... 98

4.2.5. Transkripsi Lagu Horas Sayur Matua... 99

4.3. Analisis Musikal... 99

4.3.1. Tangga Nada ... 100

4.3.2. Jumlah Interval ... 102

4.3.3. Tempo ... 106

4.3.4. Bentuk ... 107

4.3.5. Ritme ... 108

4.3.6. Perjalanan Akord ... 113

BAB V : PENUTUP ... 114

5.1. Kesimpulan ... 114

5.2. Saran ... 116

DAFTAR PUSTAKA ... 118

DAFTAR INFORMAN ... 120

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Pengentin Simalungun... 34

Gambar 2.2 Penyajian lagu Sitalasari ... 54

Gambar 2.3 Penyajian lagu Eta Mangalop Boru ... 55

Gambar 2.4 Penyajian lagu Tolu Sahundulan ... 56

Gambar 2.5 Penyajian lagu Appang Na Opat ... 57

Gambar 2.6 Penyajian lagu Horas Sayurmatua ... 58

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Masyarakat Simalungun adalah masyarakat yang mewarisi adat leluhurnya.

Kendati hidup di zaman modren, mereka tetap melanjutkan tradisi leluhurnya, seperti yang dapat dilihat dalam berbagai kegiatan upacara adat yang mereka lakukan sehari- hari. Upacara adat yang paling banyak mereka lakukan dewasa ini adalah horja adat sayur matua atau horja adat sari matua (upacara adat kematian orang yang uzur usia) dan horja partongah jabuan anak/boru (perkawinan).

Masyarakat Simalungun adalah masyarakat yang secara berkelanjutan mengalami perubahan di berbagai aspek kehidupan. Perubaha sosial mendorong perubahan produk kebudayaannya yang tidak saja dalam lingkungan konsep atau gagasan tetapi dalam bentuk-bentuk yang lebih konkrit dan visual. Dampak perubahan sosial ini mengakibatkan adanya nilai-nilai tradisi yang terkikis bahkan terlupakan. Tidak terkecuali dengan masyarakat Simalungun yang berada di desa Saribudolok, juga mengalami perubahan di berbagai aspek kehidupan dan kebudayaannya.

Desa Saribudolok merupakan desa yang multi etnis dimana letaknya sekitar 20 km dari ibu kota Simalungun, yaitu Pematang Raya. Masyarakat lain yang datang ke desa Saribudolok datang dengan cara berbaur. Bukan hanya etnis Simalungun saja

(15)

yang sebagai penduduk menetap di desa Saribudolok, suku bangsa lain juga menetap di desa Saribudolok. Seperti Batak Toba, Karo, Pakpak, Jawa, Sunda dan lain-lain.

Simalungun merupakan etins yang menganut garis keturunan patrialisme (mengikut garis keturunan ayah), dibuktikan dengan adanya marga (klan) dan membawa kesenian adat leluhur, musik gonrang dan tarian (tortor) yang digunakan dalam upacara adat perkawinan dan kematian.

Di dalam kebudayaan Simalungun, khususnya desa Saribudolok sebelum mengenal musik populer masyarakat menggunakan gonrang bolon untuk mengiringi acara pesta perkawinan. Instrument ini dimainkan oleh tiga orang pemain yang disebut Panggual. Ketiga pemain tersebut antara lain Paningting, Panirang dan Panikkah. Untuk pemain Ogung disebut Parogung dan untuk pemain Mingmongan disebut Parmingmong. Alat musik ini dimainkan tiga orang penabuh ditambah dengan pemain Ogung, seorang pemain Mingmongan, seorang pemain Sitalasayak serta seorang pemain Sarunei.

Musik dalam kehidupan masyarakat Simalungun merupakan suatu yang penting, terutama dalam konteks upacara ritual, upacara adat sayur matua dan sari matua khususnya upaca adat perkawinan. Berawal dari masuknya agama Kristen ke tanah Batak di paruh kedua abad 19 telah memberikan banyak dampak sosial, terutama terhadap konteks dan pelaksanaan upacara adat.

Hal yang sama juga terjadi dalam konteks pemilihan musik yang di pakai dalam upacara adat. Dewasa ini, dalam konteks upacara adat perkawinan, masyarakat

(16)

Simalungun lebih condong menggunaka repertoar musik populer dari pada gondang bolon di dalam konteks adat perkawinan masyarakat Simalungun.

Musik populer adalah musik yang dikemas untuk hiburan, dimana melodi, harmoni dan ritmenya cepat akrab dengan kebanyakan dipasarkan serta penyebarannya melalui media sosial seperti: VCD, radio, internet yang berada di Mancanegara dan Indonesia. Berbagai jenis repertoar musik populer banyak sekali misalnya: pop Indonesia, pop daerah, keroncong, campur ari, rock, rap, reagge, gazz dan lain-lain.

Musik populer dewasa ini, banyak digunakan dalam kegiatan-kegiatan sosial.

Contohnya, dalam acara-acara besar termaksud pernikahan dan kematian, khususnya bagi masyarakat Simalungun yang sudah menggunakan lagu-lagu dari repertoar musik populer dalam kegiatan upacara adat yang mereka laksanakan.

Seiring berkembangnya musik populer dalam upacara adat Simalungun, instrument keyboard juga sering digunakan dalam upacara adat Simalungun, salah satunya upacara perkawinan masyarakat Simalungun di desa Saribudolok. Pada upacara perkawinan tersebut, penggunaan instrument keyboard dapat dipadukan dengan musik tiup dan gonrang bolon, juga digunakan sebagai pengiring tarian (tortor) dan nyanyian disaat menjalani kegiatan upacara khususnya upacara adat perkawinan Simalungun.

Instrument musik keyboard sering digunakan karena dapat diamainkan untuk mengiringi lagu-lagu rohani dan lagu-lagu rakyat yang berasal dari Simalungun maupun daerah lainnya yang mempunayi tangga nada diatonis.

(17)

Oleh karena itu, musik populer lebih sering digunakan dalam konteks upacara adat perkawinan Simalungun dan hampir seluruh kegiatan dari awal memasuki upacara adat, memberi kain (mangulosi) dari setiap undangan, serta pelaksanaan upacara adat, hingga akhir upacara adat tersebut, pemakaian repertoar musik populer sering diminta oleh undangan juga pelaksana pesta.

Masuknya musik populer pada upacara adat perkawinan Simalungun, dikarenakan saat permintaan gonrang tidak lagi mengetahui gual yang dimainkan berkesinambungan dengan acara. Maka permintaan pemain musik juga penting disaat itu dan memilih lagunya sesuai dengan suasana serta keinginan kelompok penortor (penari). Judul lagu yang diminta kelompok penari atau pemain musik juga bervariasi, seperti lagu Simalungun dengan judul Serma Dengan Dengan, Deideng, Sitalasari, Tolu Sahundulan, Ampang Na Opat, Etah Mangalop Boru, Adat Boru Magodang, Lakkahkon Ma Inang, Bulung Matua, Tobus Nihuning, Saut ma Sura- sura, Inang Pangguruan, Tias dan lain-lain. Lagu rohani dengan judul KasihNya Seperti Sungai, Marolob-olob Tonduy kin, Ara, dan lain-lainnya, serta lagu rakyat yang berjudul Anakhonhin do hamoraon di au, borhat mada inang dan lain sebagainya.

Perjalannya lagu-lagu populer di Simalungun dibawakan oleh penyanyi- penyanyi di Simalungun seperti, Trio S. Pansel, Saruddin Saragih, Jhon Elyaman Saragih, Susi Purba, Lamser Girsang, Damma Silalahi, Dewita Purba, Intan Saragih dan lain-lain. Munculnya lagu populer di Simalungun di perkirakan sekitar tahun 1975 yang dibawakan pertama sekali oleh Trio S. Pansel (Trio Simalungun Pantai

(18)

Selatan) di bahu tiga orang personil yaitu: (1) Sarudin Saragih (2) Benyamin Girsang (3) Kaman Tondang. Konser Trio S. Pansel dilakukan dari kampung ke kampung yang mengundangnya. Saat itu orang Simalungun berbangga karena lagu Simalungun dapat menjadi tuan di rumahnya, anak-anak muda bahkan orang tua sangat menyukai Trio S. Pansel. (Sumber : hhtps://www.neosimalungunjaya.com/sarudin-saragih- penyanyi-legendaris-simalungun/)

Dengan berujungnya kejayaan dari Trio S. Pansel kemudian menyusul juga artis-artis lainnya sebagai generasi penerus lagu populer Simalungun. Hingga sekarang ini lagu populer tersebut semakin membangkit di tengah-tengah masyarakat Simalungun. Terlihat dari banyaknya masyarakat maupun kaum muda Simalungun melakukan rekaman ataupun penciptaaan album-album lagu yang di publikasikan melalui media sosial, hiburan rakyat, dan lain-lain.

Bukan hanya lagu Simalungun namun lagu-lagu dati etnis lain juga dimainkan. Misalnya lagu Biring manggis (etnis karo), Ulos Pasamot dan Titin Marangku (etnis Batak Toba). walaupun pelaksanaan upacara adat adalah Simalungun, tetapi lagu-lagu dari etnis lainnya dapat diterima dengan baik.

Menurut Bapak Bastia Sitio (Narasumber, di desa Saribudolok) sejak tahun 90an perkembangan musik populer dalam penggunaan ensambel musik keyboard dan repertoar musik populer sudah digunakan dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan Simalungun di Saribudolok dan keberadaan itu masih bertahan hingga sekarang. Seiring berkembangnya teknologi, aspek kehidupan dan perubahan sosial yang baik di masyarakat Simalungun di desa Saribudolok. Menelaah dari penjelasan

(19)

tersebut, penulis menyimpulkan bahwa musik populer menjadi kebutuhan masyarakat untuk mengiri acara pesta pernikahan.

Melihat kenyataan tersebut, penulis tertarik untuk melihat kesinambungan antara perjalanan acara dengan lagu populer. Selain itu, penulis juga ingin mengungkapkan apakah lagu tersebut selalu hadir dalam setiap pesta pernikahan, dan apakah lagu yang sama selalu digunakan pada acara yang sama. Hal tersebut akan penulis telusuri lebih jauh lagi untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Oleh karena itu, penelitian ini akan dibuat dalam karya tulis ilmiah dengan judul: ANALISIS MUSIKAL DAN TEKSTUAL LAGU POPULER SIMALUNGUN YANG DINYANYIKAN PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN DI DESA SARIBUDOLOK KABUPATEN SIMALUNGUN.

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan sebelumnya, yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini yaitu:

1. Bagaimana struktur melodi lagu populer Simalungun pada pesta adat perkawinan Simalungun?

2. Apa makna tekstual dari lagu populer Simalungun pada pesta adat perkawinan Simalungun.

(20)

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk menganalisis struktur melodi dari lagu populer Simalungun pada pesta adat perkawinan Simalungun.

2. Untuk menganalisis makna teks populer Simalungun pada pesta adat perkawinan Simalungun.

1.3.2 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara akademis, untuk memenuhi salah satu syarat ujian sarjana di Program Studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

2. Menambah dokumentasi mengenai Simalungun di Program Studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

3. Sebagai proses pengaplikasian ataupun pengembangan ilmu yang diperoleh penulis selama mengikuti perkuliahan di Program Studi Etnomusikologi.

4. Sebagai referensi untuk peneliti lainnya yang mempunyai topik keterkaitan dengan judul penelitian.

(21)

1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep

Koentjaraningrat ( 2009:85) menyatakan “konsep merupakan penggabungan dan perbandingan bagian-bagian dari suatu penggambaran dengan bagian-bagian dari penggambaran lain yang sejenis, berdasarkan asas-asas tertentu secara konsisten”.

Musik populer adalah pengelompokan berbagai jenis musik yang penyebarannya melali media sosial seperti: TV, radio, DVD, Koran, majalah dan internet yang berada di mancanegara dan Indonesia. Berbagai jenis musik populer ialah : pop Indonesia, pop daerah, keroncong, campur sari, rock, rap, reggae, jazz dan lain-lain.

Analisis musikal adalah suatu pekerjaan lanjutan setelah selesai melakukan transkripsi komposisi musik. Melalui proses analisis tersebut akan diperoleh gambaran-gambaran tentang gaya atau prinsip-prinsip dasar struktur musikal yang tersembunyi dibalik komposisi musik itu.

Analisis Teks adalah naskah yang berupa kata-kata dari pengarang, kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau alasan, bahan tertulis untuk dasar memberikan palajaran, berpidato dan sebagainya (Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat 2008:1474). Dari pengertian teks diatas, maka tekstual adalah sesuatu yang berkaitan dengan teks. Sesuai dengan judul tulisan ini, penulis akan menganalisa makna dari teks atau kata dari lagu tersebut.

Upacara perkawinan (partongahjabuan) bagi masyarakat Simalungun adalah legitimasi dan pengesahan ikatan perkawinan antara seorang jejaka (parana) dan

(22)

seorang anak gadis (parboru). Perkawinan yang dimaksud untuk melanjutkan regenerasi atau mendapatkan keturunan. Perkawinan yang bukan saja mengikat dua individu (laki-laki dan perempuan) tetapi sekaligus mengikat keluarga luas dari pihak laki-laki dan perempuan itu ( Erlond L. Damanik 2016:57).

Koentjaraningrat (2002:146-147) menjelaskan masyarakat adalah kesatuan hidup yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat yang bersifat kontiniu dan yang terkait oleh suatu rasa identitas bersama. Masyarakat sebagai suatu organisme, pada bagian-bagiannya adalah bagian yang hidup di dalam kesatuan (misalnya:

bahasa, kebudayaan, adat) dengan lainnya (Moh Koesnoe 1979), Masyarakat Simalungun merupakan salah satu sub-etnik Batak yang ada di Indonesia disamping dari Batak Toba, Karo, Pakpak, Mandailing.

1.4.2 Teori

“Teori merupakan landasan pendapat yang dikemukakan mengenai suatu peristiwa”. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1991 : 1041). Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini, maka penulis menggunakan beberapa landasan teori yang berkaitan (relevan) dengan tulisan ini.

Dalam konteks penelitian, teori digunakan sebagai arahan untuk melakukan penelitian. Teori hanya acuan sementara, agar penelitian tidak melebar kemana-mana.

“Teori adalah bangunan yang mapan, ada pendapat peneliti, ada simpulan awal. Itu lah sebabnya reori harus dibangun terstruktur, sejalan dengan apa saja yang mungkin akan digunakan” (Suwardi, 2006:107).

(23)

Untuk menganalisa struktur melodi penulis menggunakan teori Bruno Nettl yaitu : (1) pembendaharaan nada (2) tangga nada (3) tonalitas (4) interval (5) kantur melodi (6) ritme (7) tempo dan (8) bentuk. Namun sesuai dengan kebutuhannya penulis hanya menggunakan beberapa untuk menganalisa musikal, yaitu: (1) tangga nada (2) interval (3) kantur melodi (4) ritme (5) tempo dan (6) bentuk. Bersamaan dengan teori yang di atas, penulis juga akan menganalisa perjalanan accord lagu-lagu populer yang telah penulis tentukan.

Untuk mendukung analisis struktur melodi lagu populer Simalungun penulis menggunakan metode transkripsi. Transkripsi merupakan proses penotasian bunyi yang didengar dan dilihat. Dalam mengerjakan transkripsi penulis menggunakan notasi musik yang dinyatakan Seeger yaitu notasi preskriptif dan deskriptif. Notasi preskriptif adalah notasi yang di maksudkan sebagai alat pembantu untuk penyaji supaya dapat menyajikan komposisi musik yang belum diketahui oleh pembaca.

Sedangkan notasi deskriptif adalah notasi yang dimaksudkan untuk menyampaikan kepada pembaca tentang cirri-ciri atau detail-detail komposisi musik yang belum diketahui oleh pembaca.

Berdasarkan penjelasan diatas, penulis akan menggunakan notasi deskriptif.

Karena penulis akan menyampaikan atau memberikan informasi tentang lagu populer yang selalumuncul disetiap upacara adat perkawinan Simalungun khususnya di desa Saribudolok. “Setiap kebudayaan musik dunia memiliki sintem-sistem musik yang berbeda, karena kebudayaan musik dikerjakan dengan cara yang tidak sama oleh setiap pendukung kebudayaan” (Netll 1997:3). Sistem-sistem musik tersebut

(24)

dapat berupa teori, penciptaan, pertunjukan, pendokumenrasian, penggunaan, fungsi, pengajaran, estetika, kesejarahan, dan lain-lain.

Dalam proses menganalisa struktur teks-teks lagu populer yang akan dianalisis nanti maka penulis berpedoman pada teori William P. Malm. Dalam buku terjemahan musik Music Culture of The Pasific, the Near, Eas, and Asia, ia menyatakan bahwa dalam musik vocal, hal yang sangat penting di perhatikan adalah hubungan antara musik dengan teksnya. Apabila setiap nada dipakai untuk setiap silabel atau suku kata, gaya ini disebut silabis. Sebaliknya, bila satu suku kata dinyanyikan dengan beberapa nada disebut melismatis.

Studi tentang teks juga memberikan kesempatan untuk menemukan hubungan antara aksen dalam bahsa dengan aksen pada musik, serta sangat membantu melihat rekasi musikal bagi sebuah kata yang dianggap penting dan pewarnaan kata-kata dalam puisi”(Malm dalam terjemahan Takari 1995:17).

Untuk mengetahui dan mendalami dari teks-teks lagu populer yang dianalisis penulis menggunakan teori semiotik. Istilah kata semiotk ini berasal dari kata Yunani, semeioni. Panuti Sudjiman dan Van Zoest (bakar 2006:45-52) menyatakan bahwa

“semiotika berarti tanda atau isyarat dalam suatu sistem lambang yang lebih besar.

Teori semiotik adalah teori mengenai lambang yang dikomunikasikan”.

Dalam kaitannya teori semiotik untuk mengkaji teks lagu-lagu populer Simalungun, maka penulis mengutip pendapat Van Zoest (1996:11). Menurutnya di dalam teks terdapat ikon, apabila adanya persamaan suatu tanda tekstual dengan acuannya. Segalanya memiliki kemungkinan untuk dianggap sebagai suatu tanda.

(25)

Penyusunan kalimat dalam sajak adalah tanda. Adanya kalimat yang panjang adalah tanda. Banyaknya kata sifat, pergantian vokalisasi dalam sebuah cerita, panjang pendeknya sebuah teks semua itu bisa dianggap sebagai tanda.

Dalam rangkaian kerja teori semiotik, peneliti hendaklah menafsikan tanda dalam teks. Suatu gejala struktural, yang muncul dalam teks pada tingkatan dalam kalimat maupun pada tingkatan teks yang lebih luas, selalu dapat dianggap sebagai tanda.

1.5 Metode Penelitian

“Metode ilmiah dari suatu pengetahuan merupakan segala cara yang digunakan dalam ilmu tersebut, untuk mencapai suatu kesatuan” (koentjaraningrat 2009:35). Sedangkan “penelitian diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran” (Mardalis 2006:24).

Penulis menyimpulkan, metode penelitian adalah cara yang dipakai untuk mendapatkan atau memperoleh informasi serta fakta yang ada didalam objek penelitian. Penulis juga menggunakan metode kualitatif agar mendapatkan, mengumpulkan data dan menguraikannya dengan mewawancarai informan yang telah penulis tentukan.

(26)

1.5.1 Kerja Lapanga

Dalam kerja lapangan (field work), penulis melakukan kerja lapangan dengan observasi langsung ke daerah penelitian yaitu desa Saribudolok kabupaten Simalungun.

1.5.2 Wawancara

Dalam penelitian ini,wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data-data yang dibutuhkan oleh penulis.

Koentjaraningrat (1993:138-139) menyatakan pada umumnya ada beberpa macam wawancara yang dikenal oleh para peneliti.

Beberapa macam wawancara dibagi ke dalam dua golongan besar: (1) wawancara berencana dan (2) wawancara tak berencana. Wawancara berencana selalu terdiri dari suatu daftar pertanyaan yang telah direncanakan dan disusun sebelumnya. Sebaliknya, wawancara tak berencana tak mempunyai suatu persiapan sebelumnya dari suatu daftar pertanyaan dengan susunan kata dan tata urut tetap harus dipatuhi oleh peneliti secara kuat. Jenis-jenis metode wawancara tak berencana secara lebih khusus ialah: (a) metode wawancara berstruktur (structured interview) dan (b) metode wawancara tak berstruktur (unstructured interview). Wawancar tak berstruktur juga dapat dubedakan secara lebih khusu lagi ialah: (1) wawancara berfokus (focused interview) dan (2) wawancara bebas (free interview).

“Wawancara adalah teknik mengumpulkan data yang digunakan peneliti untuk mendapatkan keterangan-keterangan lisan melalu bercakap-cakap dan berhadapan muka dengan orang yang dapat memberikan keterangan pada sipeneliti”.

(Mardalis:2006:64).

(27)

Dalam wawancara, penulis menetapkan narasumber, yaitu Bapak Juslin Sitio, beliau adalah seorang moderator (tatang atur) dalam acara adat Simalungun, khususnya di desa Saribudolok. Bapak Marden Purba, Fery Wandi Saragih dan Bapak Cius Girsang yang merupakan pemusik dalam acara pesta, yang khususnya di desa Saribudolok. Selain itu, penulis juga mencari beberapa tokoh masyarakat lainnya yang berkaitan untuk mengembangkan penulisan skripsi ini.

1.5.3 Observasi

Observasi adalah suatu penyelidikan yang dijalankan secara sitematis dan sengaja diadakan dengan menggunakan alat indra terutama mata terhadap kejadian- kejadian yang langsung (Bimo Walgito, 1987:54). Observasi atau pengamatan dapat berarti pada setiap kegiatan untuk melakukan pengukuran dengan menggunakan indra penglihatan yang juga berarti tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Penulis melakukan obsevasi karena apa yang tidak didapat diwawancara dapat diamati dengan observasi.

1.5.4 Kerja Laboratoruim

Pelaksanaan kerja laboratorium, penulis akan mengumpulkan data, mulai dari wawancara, dokumentasi dan perekaman yang diurai secara rinci, detail sehingga lakukan dengan pendekatan emik dan etik. Data perekaman audio menjadi objek yang diteliti oleh penulis dengan cara ditranskripsikan apa yang didengar dan menuliskannya kedalam notasi balok.

(28)

Selanjutnya, data tersebut diklasifikasikan dan dibentuk sebagai data. Data tersebut diperbaiki dan diperbarui agar tidak rancu sesuai objek penelitian dalam menulis skripsi. Pengelolaan data ini dilakukan bertahap, Karena data-data tersebut tidak dapat diperoleh sekaligus. Data-data tersebut juga merupakan data yang diperlukan sesuai denga kriteria Etnomusikologi.

1.5.5 Studi Kepustakaan

Sebelum melakukan penelitian lapangan, penulis terlebih dahulu melakukan studi kepustakaan yaitu menbaca buku-buku, skripsi, makalah yang berhubungan dengan apa yang diteliti atau objek permasalahan. Studi kepustakaan ini dilakukan untuk menjadi kerangka acuan didalam penulisan juga untuk melengkapi data-data.

Koentjaraningrat (2009:35) menyatakan bahwa “studi pustaka bersifat penting karena membantu penulis untuk menemukan gejala-gejala dalam objek penelitian”.

Melalui studi pustaka, penulis sebagai peneliti diperkaya dengan informasi-informasi yang terdapat dalam berbagai sumber buku yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

Dalam ilmu Etnomusikologi, ada dua sistem kerja dalam penelitian, yaitu desk work (kerja laboratorium) dan field work (kerja lapangan). Studi kepustakaan tergolong kedalam kerja laboratorium. Dimana sebelum melakukan penelitian, peneliti mengumpulkan data-data dan merangkum data-data yang didapatkan. Kerja ini dimaksudkan untuk mempermudah peneliti saat terjun kelapangan. Selain itu, penulis disiapkan dan diarahkan untuk penelitian lapangan.

(29)

Penulis juga mengumpulkan data dengan teknologi internet, melalui penelusuran di situs www.google.com, web site Simalungun, blog-blog, dokumen dan lainnya. Semua data informasi yang penulis dapatkan melalui buku, internet, skripsi dan lainnya membantu penulis untuk menyempurnakan skripsi ini.

1.6 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian penulis tempatkan di desa Saribudolok, karena kasus dan informan yang penulis tentukan bertempat di desa Saribudolok, kecamatan Silimakuta kabupaten Simalungun.

(30)

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SIMALUNGUN DI DESA SARIBUDOLOK DAN GAMBARAN UMUM UPACARA ADAT

PERKAWINAN

Bab ini merupakan penjelasan tentang gambaran umum wilayah penelitian dan gambaran umum upacara adat perkawinan Simalungun. Wilayah yang dimaksud adalah terfokus kepada gambaran masyarakat Simalungun khususnya yang ada di desa Saribudolok.

2.1 Desa Saribudolok

Lokasi penelitian yang penulis teliti berada di desa Saribudolok, yang merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Silimakuta Kabupaten Simalungun.

Desa Saribudolok merupakan desa yang bertempat di Kecamatan Silimakuta, memiliki jumlah penduduk 8337 jiwa. Luas desa Saribudolok 2400 Hektar yang berbatasan dengan sebelah Utara Kecamatan Dolok Silau, sebelah Selatan Kecamatan Pematang Silimahuta, Sebelah Barat Kabupaten Karo, sebelah Timur Kecamatan Purba. Secara geografis, desa Saribudolok terletak antara 02‟50‟18 LU – 99‟11‟20 BT. Jarak desa Saribudolok dari Pematang Raya sebagai Ibu Kota Simalungun kurang lebih 20 Km.

(31)

2.2 Masyarakat Simalungun di Desa Saribudolok

Pada awalnya penduduk asli di desa Saribudolok didominasi oleh suku Simalungun, namun setelah terjadi urbanisasi kependudukan desa Saribudolok menjadi bersifat heterogen, karena terdiri dari berbagai ragam etnis yaitu:

Simalungun, Toba, Mandailing, Jawa, Aceh, Pakpak, Minang Kabau, Melayu. Pada tahun 2017 penduduk desa Saribudolok 8337 jiwa/km2.

Secara etimologi kata “Simalungun” dapat dibagi ke dalam tiga suku kata yaitu: Si berarti “orang” ma sebagai kata sambung berarti “yang” dan lungun berarti

“sunyi,kesepian‟. Dengan demikian, Simalungun berarti “ia yang bersedih hati, sunyi dan kesepian”.

Secara umum masyarakat Simalungun yang tinggal di wilayah Simalungun maupun perantauan merupakan suatu pribadi yang pendiam dan tertutup. Menurut Hendrik Kraemer ketika berkunjung ke Tanah Batak pada bulan Februari-April tahun 1930 melaporkan, apabila dibandingkan dengan orang Batak Toba, orang Simalungun jelas lebih berwatak halus, lebih suka menyendiri di hutan dan ecara alamiah kurang bersemangat dibandingkan dengan orang Batak Toba.

Hal ini dimungkinkan karena suku Simalungun satu-satunya yang pernah dijajah oleh suatu kerajaan Jawa yang berkependudukan di tanah Jawa. Masyarakat Simalungun yang bertempat tinggal di desa Saribudolok mengenal satu lembaga adat yang disebut Partuha Maujana Simalungun. Lembaga adat ini telah mulai dari tingkat Serikat Tolong Menolong (STM), Desa, Kecamatan, Kabupaten dan Pusat (Tribudi,2010).

(32)

2.2.1 Mata Pencaharian

Menurut hasil sensus dari kantor kelurahan Saribudolok, mata pencaharian di desa Saribudolok mayoritasnya ialah bertani. Struktur tanah yang begitu subur, masyarakatnya memanfaatkan keadaan alamnya untuk memnuhi kebutuhan hidup.

Masyarakat di desa Saribudolok 49% bermata pencaharian Petani, 15 % sebagai Pedagang, PNS-Polri-TNI sebanyak 16%, Peternakan 4%, sebagai jasa 12%, pengsiunan 5% dan bekerja tidak tetap 4%/.

Desa Saribudolok merupakan desa yang hasil taninya terbilang cukup baik.

Dengan suhu desa sekitar 26-28`C, sehingga masyarakatnya mengolah tanaman muda atau plawija sebagai hasil tani. 1400 meter diatas permukaan laut, merupakan desa yang dekat dan berada di kaki gunung.

2.3 Sistem Kepercayaan

Hasil dari sensus kantor kelurahan Saribudolok masyarakat Simalungun yang menganut agama terbanyak yakni Kristen Protestan 93,30%, masyarakat Simalungun di desa Saribudolok yang menganut agama Katolik 6,56% dan agama Islam 0,13%

lebih sedikit dianut masyrakat Simalungun di desa Saribudolok dari Kristen Protestan dan Katolik. Walaupun masyarakat Simalungun sebagian besar telah beragama Kristen, namun masyarakatnya tetap menjalankan kegiatan adat istiadat Simalungun dalam Palaho boru/Paoppo anak dan horja sayur matua atau sari matua yang sering di temukan di desa Saribudolok.

(33)

2.4 Organisasi Sosial

Dalam kehidupan sehari-hari, sistem kekerabatan dan kerja sama sangat menonjol pada masyarakat Simalungun di desa Saribudolok, walaupun terdapat perbedaan didalam kepercayaan, budaya dan adat istiadat. Ini mencerminkan kenyataan sosial bahwa orang-orang Simalungun yang ada di desa Saribudolok sangat baik dalam menjalani keakraban walaupun berbeda keyakinan.

Organisasi sosial sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, kekerabatan dan kerja sama sangat menonjol meskipun terpolarisasi dalam paham agama yang saling berbeda. Masyarakat Simalungun di desa Saribudolok memakai dialek yang agak berbeda disetiap wilayah namun yang cukup khas dari bahasa Simalungun adalah nada vokal yang mayoritas dalam setiap kata atau kalimat cenderung sedikit kasar. Ini juga secara tidak langsung mempengaruhi adaptasi sosial antara sesama Simalungun dengan daerah yang berbeda.

Selain itu juga masyarakat Simalungun membentuk perkumpulan berdasarkan mereka tinggal di desa Saribudolok, berupa Serikat Tolong Menolong (STM). Ada juga organisasi yang bersifat kepemudaan, gerejawi, pendidikan dan pembangunan yang berdiri di desa saribudolok.

2.5 Sistem Kekerabatan

Menurut M.D Purba dalam bukunya yang berjudul Adat Perkawinan Simalungun (1985), ada dua cara umum yang dipakai untuk menarik garis keturunan, yaitu: (1) menarik garis keturunan hanya dari satu pihak laki-laki dan mungkin pula

(34)

dari pihak perempuan. Masyarakat demikian dinamakannya masyarakat Unilateral.

Jika masyarakat tersebut menarik garis keturunan dari pihak laki-laki atau ayah saja, maka keturunan tersebut disebut masyarakat Patrineal dan jika menarik gais keturunan dari perempuan (ibu) maka disebut Matrinial. (2) menarik garis keturunan dari kedua orang tua, yaitu ayah dan ibu, masyarakat demikian disebut bilateral atau masyarakat parental.

Dari kedua cara diatas, masyarakat Simalungun termaksut masyarakat yang menarik garis keturunan dari salah satu pihak saja, yaitu dari pihak laki-laki atau Ayah. Dengan demikian masyarakat Simalungun adalah masyarakat unilateral patrineal, yang artinya bahwa setiap anak-anak yang lahir baik laki-laki maupu perempuan dengan sendirinya akan mengikuti klan atau marga dari ayahnya (1985:108).

Bukti bahwa garis keturunan diambil dari pihak laki-laki dengan adanya marga dalam masyarakat Simalungun. Setiap anak yang lahir dalam satu keluarga di etnis Simalungun, secara otomatis akan memiliki marga yang samadenga marga si Ayah. Susunan masyarakat Simalungun didukung oleh berbagai marga yang mempunyai hubungan tertentu, yang disebabkan oleh hubungan perkawinan.

Hubungan perkainan antar marga-marga mengakibatkan adanya pergolongan antar tiap-tiap marga. Marga yang satu akan mempunyai kedudukan tertentu terhadap marga lain. Perkerabatan dalam masyarakat Simalungun disebut sebagai Partuturan.

Partuturan ini menentukan dekat atau jauhnya hubungan kekeluargaan (pardihadihaon) dan dibagi kedalam beberapa kategori sebagai berikut:

(35)

1. Tutur Manorus/Langsung

Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri. Misalnya, Botou artinya saudara perempuan lebih tua atau lebih muda. Mangkela (baca:makkela) artinya suami dari saudara perempuan dari ayah. Sima-sima artinya anak dari Nono/Nini.

2. Tutur Holmuan/Kelompok

Melalui tutur Holmuan ini bisa terlihat bagaimana jalannya adat Simalungun.

Misalnya: Bapa Tongah artinya saudara lelaki ayah yang lahir dipertengahan (bukan paling muda, bukan paling tua). Tondong Bolon artinya pambuatan ( orang tua atau saudara dari istri/suami). Panogolan artinya kemenakan, anak laki-laki/perempuan dari saudara perempuan.

3. Tutur Natipak/Kehormatan

Tutur Natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak berbicara sebagai tanda hormat. Misalnya: Kaha digunakan pada istri dari saudara laki-laki yang lebih tua. Bagi wanita, kaha digunakan untuk memanggil suami dari kakak ibu. Ambia, pangilan seorang laki terhadap laki lain yang seumuran atau bawahan.

Ikatan kekerabatan diklasifikasikan dala suatu sistem yang dalam bahasa Simalungun dikenal Tolu Sahundulan yaitu:

1. Tondong (Pemberi Istri)

2. Anak Boru/Boru (Penerima Istri)

(36)

3. Sanina/Sapanganonkon (Sanak saudara, individu semarga pembawa garis keturunan)

Dalam masyarakat Simalungun seorang pria belum dianggap sebagai orang dewasa dan belum dapat berperan serta fungsi-fungsi adat bila yang bersangkutan belum menikah atau sudah menikah tapi belum mempunyai keturunan.

2.5.1 Marga-marga Simalungun

Terdapat empat marga asli suku Simalungun, yang populer dengan akronim sisadapur, yaitu:

1. Sinaga 2. Saragih 3. Damanik dan 4. Purba

Keempat marga ini merupakan hasil dari “Harungguan Bolon”

(Permusyawarahan Besar) antara Raja besar berjanji untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan, Marsiurupan Bani Na Hansusahan Na Legan, rup mangimbangi musuh, keempat raja tersebut adalah:

1. Raja Nagur bermarga Damanik

Damanik berarti Simada Manik ( pemilik manik), dalam bahasa Simalungun, Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halaingan ( Bersemangat, berkharisma, agung/hormat, paling cerdas). Raja ini beraal dari kaum bangsawan India Selatan dari Kerajaan Nagore. Pada abad ke-12, keturunan Raja Nagur ini mendapat serangan dari

(37)

Raja Rajendra Chola dari India, yang mengakibatkan terusirnya mereka dari Pamatang Nagur di daerah pulau Pandan hingga terbagi menjadi tiga bagian sesuai dengan jumlah puteranya. Marah Silau yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, Tuan Raja Siantar dan Tuan Raja Damanik Soro Tilun (yang menurunkan marga Nagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Simaringga, Sarasa, Sola) Timo Raya (yang menurunkan Raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok). Selain itu dating marga keturunan silau Raja yang bersal dari Pulau Samosir dan mengaku Damanik di Simalungun.

2. Raja Banua Sabou bermarga Saragih

Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana Ragih berarti atur, susun, tata, sehingga Simada Ragih berarti pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-udang. Keturunannya adalah: Saragih Garingging yang pernah merantau ke Ajinembah dan kembali ke Raya. Saragih Garingging kemudian pecah menjadi dua, yaitu: Dalasak, menjadi Raja Padang Badagei, Dajawak merantau ke Rakutbesi dan Tanah Karo dan menjadi Ginting Jawak.

Saragih Sumbayak keturunan Tuan Raya Tongah, Pamajuhi, dan Bona ni Gonrang. Walaupun jelas terlihat bahwa hanya ada dua keturunan Raja Banua Sabou, pada zaman Tuan Rondahaim terdapat beberapa marga yang mengaku dirinya sebagai bagian dari Saragih (berafisiliasi), yaitu: Turnip, Sidauruk, Simarmata, Sitanggang, Munthe, Sijabat, Sidabalok, Sidabukke,Simanihuruk. Ada satu lagi marga yang mengaku sebagai bagian dari Saragih yaitu Pardalan Tapian, marga ini

(38)

berasal dari daerah Samosir. Rumah Bolon Raja Purba di Pematang Purba, Simalungu.

3. Raja Banua Purba bermarga Purba

Purba menurut bahasa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Purwa yang berarti Timur, gelagat masa datang, pengatur, pemegang undang-undang, tenungan pengetahuan, cendekiawan, atau sarjana. Keturunannya adalah Tambak, Sigumonrong, Tua, Sidasuha (Sidadolog, Sidagambir). Kemudian ada lagi Purba Siborom Tanjung, Pakpak, Girsang, Tondang, Sahala, Raya. Pada abad ke-18 ada beberapa marga Simamora dari Bakkara melalui Samosir untuk kemudian menetap di Haranggaol dan mengaku dirinya Purba. Purba keturunan Simamora ini kemudian menjadi Purba Manorsa dan tinggal di Tangga Batu dan Purbasaribu.

4. Raja Saniang bermarga Sinaga

Sinaga berarti Simada Naga, dimana naga dala mitologi dewa dikenal sebagai penyebab gempa dan tanah longsor. Keturunanya adalah marga Sinaga di Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan. Saat kerajaan Majapahit melakukan ekspansi di Sumatera pada abad ke-14, pasukan dari Jambi yang dipinpin Panglima Bangkuk melarikan diri ke kerajaan Batangiou dan mengaku bahwa dirinya adalah Sinaga.

Menurut Taralamsyah Saragih nenek moyang mereka kemudian menjadi Raja Tanoh Jawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setekah ia mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang marga Sinaga dari Kerajaan Batangiou dala, suatu ritual adu sumpah (Sibijaon). (Tideman, 1992).

(39)

2.6 Kesenian Simalungun

Kesenian adalah ekspresi perasaan manusia terhadap keindahan, dalam kebudayaan suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat deskriptif (Koentjaraningrat, 1980:395-397). Kesenian pada masyarakat Simalungun sangat banyak dan beragam. Taralamsyah Saragih dalam seminar Kebudayaan Simalungun 1964 mengatakan bahwa kesenian yang ada di Simalungun dapat dibagi atas Seni Musik (Gual), Seni Suara ( Doding), Seni Tari (Tortor).

2.6.1 Seni Musik (Gual)

Seni musik digunakan untuk upacara-upacara hiburan dan upacara-upacara adat lainnya, misalnya upacara dukacita (pusok ni uhur) dan sukacita (malas ni uhur).

Alat-alat pada masyarakat Simalungun dapat dimainkan secara ensambel dan secara tunggal. Alat musik yang dimainkan secara ensambel adalah Gonrang Sidua-dua dan Gonrang Sipitu-pitu sangat penting diantaranya:

1. Manombah, yaitu suatu upacara untuk mendekatkan diri kepada sembahan.

2. Maranggir, yaitu upacara untuk membersihkan badan dari perbuatan- perbuatan yang tidak baik, dan juga membersihakn diri dari gangguan roh-roh jahat.

3. Ondos Hosah, yaitu upacara khusus yang dilakukan sudatu desa atau keluarga agar terhindar dari mara bahaya.

(40)

4. Rondang Bintang, yaitu acara tahunan ang diadakan suatu desa karena mendapatkan panen yang baik. Muda-mudi menggunakan kesempatan tersebut untuk mencari jodoh.

Adapun alat musik yang dimainkan secara tunggal diantaranya jatjaulu/Tengtung, Husapi, Hodong-hodong, Tulila, Ole-ole, Saligung, Sordam dan lain-lain. Alat-alat musik tersebut dimainkan untuk hiburan pribadi ketika lelah bekerja di ladang, Maupun setelah pulang dari bekerja.

2.6.2 Seni Suara (Doding)

Musik vokal Simalungun dikenal dengan istilah doding dan ilah. Doding dipakai untuk nyanyian solo sedangkan ilah dipakai segabai nyanyiann kelompok.

(Sihotang 1993:31). Nyanyian dalam masyarakat Simalungun memiliki teknik bernyanyi yang disebut Inggou. Adapun nyanyian tersebut diantaranya adalah:

1. Taur-taur, yaitu nyanyian yang digunakan oleh sepasang muda-mudi secara bergantian untuk mengungkapkan perasaan satu sama lain.

2. Ilah, yaitu nyanyian yang dinyanyikan sekelompok pemuda dan pemusi sambil menepuk tangan sambil mempentuk lingkaran.

3. Doding-doding, yaitu nyanyian yang dinyanyikan oleh sekelompok pemuda dan pemusi atau orang tua untuk menyampaikan pujian atau sindiran, nyanyian ini juga dapat dilagukan untuk mengungkapkan kesedihan dan kesepian.

(41)

4. Urdo-urdo, yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan oleh seorang ibu kepada anaknya atau seorang anak perempuan kepada adiknya. Urdo- rudo untuk menidurkan sementara Tihta untuk bermain.

5. Tangis-tangis, yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan seorang gadis karena putus asa atau pun kareba berpisah dengan keluarga karena aka menikah.

6. Manalunda/mangmang, yaitu mantera yang dinyanikan oleh seorang datu untuk meneyembuhkan suatu penyakit ataupun menobatkan seorang raja pada waktu dulu (Setia Dermawan Purba, 2009).

2.6.3 Seni Tari (Tor-tor)

Seni tari dalam masyarakat Simalungun banyak mengalami penurunan dari segi pertunjukan dimana pada saat ini sudah jarang dijumpai Tor-tor yang sering dilakukan pada zaman dahulu. Tor-tor yang dapat bertahan sampai saat ini adalah Tor-tor Sombah. Adapun Tor-tor yang sering dipertunjukan pada zaman dahulu antara lain:

1. Tor-tor Huda-huda atau Toping-toping yaitu tarian yang dilakukan untuk menghibur orng yang meninggal sayur matua yaitu orang yang telah berlanjut usia. Tarian ini merupakan tarian yang meniru gerakan kuda dan sebagian permainanya memakai topeng. Pada waktu dulu tarian ini digunakan untuk menghibur keluarga raja yang bersedih karena anaknya meninggal. Tarian ini bertujuan untuk menyambut

(42)

kelompok adat (tondong, boru dan sanina) serta menghibur para tamu undangan, namun mereka juga bertugas mengumpulakan oleh-oleh dari tamu undangan. Zaman dulu kegiatan tersebut biasa dilakukan dalam pemakaman Raja.

2. Tor-tor Turahan yaitu tor-tor yang dilakukan untuk menarik kayu membangun istana atau rumah besar. Seorang mandor bergerak melompati barang kayu yang ditarik sambil mengibaskan daun-daun yang dipegang ke batang kayu dan ke badan orang yang menarik untuk member semangat.

2.6.3. Seni Ukir (Gorga)

Pada masyarakat Simalungun juga terdapat kesenian lain yang pada saat sekarang ini sudah sangat jarang dijumpai diantaranya adalah Seni Gorga yaitu seni ukir yang terdapat pada dinding-dinding rumah. Seni Pahat, yaitu seni membuat patung-patung dari batu ataupun dari kayu.

Bentuk-bentuk kesenian tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat karena kurang sesuai dengan perkembangan zaman. Namun meskipun begitu masih ada sebagian orang tetap mempertahankan pengetahuan tersebut, seperti seni tenun, karena kain yang diahsilkan dari buatan tangan jauh lebih bagus dari pada buatan pabrik.

(43)

2.7 Upacara Adat Simalungun

Kehidupan masyarakat Simalungun adalah kehidupan yang sangat menjungjung tinggi adatnya. Bahkan sebelum lahir ke dunia pun sudah melakukan adat sampai seseorang meninggal dan menjadi tulang belulang masih ada serangkaian adat, bukan rumit tetapi masyarakat Simalungun menunjukan bahwa Tolu Sahundulan Lima Saodoran yang artinya Tiga kedudukan di sandang oleh lima manusia. Tiga kedudukan itu adalah (1) Tondong (2) Sanina1 (3) Boru2, sedangkan lima manusia itu adalah (1) Tondong (2) Sanina (3) Boru (4) Tondong Ni Tondong3 (5) Boru ni Boru4.

Gambar-1: Skema Sosial masyarakat Simalungun

(Sumber: Erond L. Damanik 2016 :38)

2Sanina merupakan Saudara kandung, saudara dari lain nenek, saudara semarga, semarga tapi tidak mempunyai hubungan darah, pariban dari marga lain, teman sepergaulan.

2 Boru adalah pembantu utama dalam melaksanakan suatu pesta.

3 Tondong ni Tondong adalah Pihak pemberi istri kepada Tondong

4 Boru ni Boru adalah anak-anaknya dari pihak boru

Sanina Boru

Tondong

Boru Ni Boru Tondong Ni

Tondong

(44)

Dalam pelaksanaan adat kerja besar (horja baggal) atau sering disebut denggan adat na gok (adat yang menyeluruh pada suatu upacara adat)., maka kelima unsur struktur sosial masyarakat Simalungun memegang peranan dan fungsi sesuai dengan posisi adat masing-masing.

Beberapa jenis upacara adat yang kerap dilakukan masyarakat Simalungun, khususnya di desa Saribudolok:

1. Mamongkot Rumah Bayu, yaitu acara memasuki rumah baru agar orang yang menempati rumah tersebut mendapat rejeki dan terhindar dari segala bentuk masalah. Dan acara ini sekaligus menjadi bentuk partisipasi orang yang menempati rumah tersebut terhadap warga dilingkungan setempat dan menjadi salah satu bentuk silaturahmi.

2. Mangikili yaitu acara yang diadakan untuk menghormati seseorang yang meninggal dunia yang usianya sudah tua dan sudah memiliki cucu. Acara ini dilakukan sebagai tanda penghormatan keluarga terhadap orang yang meninggal tersebut dan hal ini dijadikan untuk melihat keberadaan keluarga tersebut ditengah-tengah masyarakat.

3. Manombah yaitu suatu upacara yang dilakukan untuk mendekatkan diri terhadap sembahannya. Berdasrkan keyakinan masyarakat Simalungun dulu percaya bahwa kehidupanya di dunia ini diberikan oleh Tuhannya oleh sebab itu mereka juga yakin akan keselamatan dengan melakukan upacara ini. Begitu juga denga agama sekarang

(45)

yang sudah diyakini dengan keberadaan mutlak sehingga dituntut untuk dekat kepada Tuhannya.

4. Maranggir yaitu upacara yang dilakukan untuk membersihkan badan dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik atau pun dari bentuk gangguan roh-roh jahat. Kegiatan ini merupakan semacam ritual yang digunakan untuk menghindarkan diri dari bentuk-bentuk kejahatan dan kesialan diri yang dating pada dirinya sendiri. Mengingat masyarakat Simalungun, dulu menganut paham animisme, bahwa keturunan roh selalu ada baik itu roh baik maupun roh jahat. Jadi untuk menghindari kekuatan yang datang dari roh jahat maka dilakukan ritual Maranggir ini. Adapun properti utama yang umunya dipakai untuk upacara ini adalah jeruk purut, bunga tujuh rupa dan air. Upacara ini dilakukan dengancara memandikan diri menggunakan campuran property tersebut dan bahkan dapat diminum.

5. Marhajabuan yaitu acara yang dilakukan untuk pemberkatan perkawinan. Acara ini merupakan suatu bentuk persyaratan sakral yang harus dipenuhi seseorang utuk melangsungkan perkawinan dan dalam hal ini dinyatakan bahwa resmi apabila acara ini dilakukan.

6. Patuekkon yaitu acara untuk member nama seseorang dengan cara memandikannya dengan air. Hal ini dilakukan untuk pemberian nama yang cocok untuk orang tersebut karena masyarakat Simalungun

(46)

meyakini bahwa nama memberikan makna terhadap orang tersebut sehingga dibutuhkan acara ini untuk pembuatan namanya.

7. Rondang Bintang yaitu upacara tahunan yang diadakan oleh masyarakat Simalungun karena mendapatkan hasil panen yang baik.

Dan disini menjadi kesempatan para muda-musi untuk mencari jodoh.

Tetapi sekarang Rondang Bintang digunakan dalam bentuk pesta tahunan dengan rangka silaturahmi antar desa di Simalungun sekaligus suatu bentuk pelestarian kebudayaan Simalungun karena dalam acara ini diadakan juga pentas kesenian tradisional Simalungun.

2.8 Gambaran Umum Upacara Adat Perkawinan Simalungun

Masyarakat Simalungun pada umumnya menganut perkawinan monogami dan prinsip keturunan adalah Patrilineal, maksudnya garis keturunan dari anak laki- laki. menurut hokum adat, perkawinan dapat merupakan urusan pribadi, urusan kerabat, urusan keluarga, persekutuan, martabat tergantung tata susunan masyarakat yang bersangkutan.

Perkawinan merupakan salah satu upacara ritual adat masyarakat Simalungun.

Dalam adat Simalungun, penyatuan dua orang dari anggota masyarakat melalui perkainan tiak bisa dilepaskan dari kepentingan kelompok masyarakat yang bersangkutn. Demikianlah keseluruhan rangkaian ritus perkawinan adat Simalungun mengiyakan pentingnya peran masyarakat, bahka ia tidak dapat dipisahkan dari peran masyarakat. Pada masyarakat Simalungun, pesta perkawinan merupakan bentuk

(47)

kegembiraan (malas uhur) yang diperlihatkan kepada kerabat dan masyarakat. Tata cara pelaksanaan perkawinan adat mengikuti hokum adat yang berlaku.

Menurut Mansen Purba dalam bukunya Pangarusion Adat Partongahjabuan Simalungun 1984, perkawinan (Partongahjabuan) pada masyarakat Simalungun dibedakan menjadi empat. Keempat jenis tersebut adalah: i) Napaingkat (diberangkatkan dengan baik), ii) Marlua-lua (kawin lari), iii) Naniasokan dan iv:

nanirobut (kawin paksa). Sementara itu, menurut Elisa Doli Saragih Makalah yang berjudul Horja Adat Partongahjabuan Pakon Adat Sayur Matua 2006, kerja adat perkawinan Simalungun terbagi menjadi dua, yakni: i) Horja Adat Paoppohon Anak (kerja adat mengawinkan laki-laki) dan Horja Adat Palahohon Boru (kerja adat mengawinkan perempuan).

Gambar 2.1 Pengantin Simalungun.

(48)

Proses adat pada mengawinkan anak laki-laki dan mengawinkan anak perempuan adalah berbeda, terutama menyangkut penyelenggara adat perkawinan (hasuhutan bolon). Jika yang menikah adalah laki-laki, maka pesta adat dilakukan dikediaman laki-laki dan hasuhutan bolon (penyelenggara pesta perkawinan) adalah pihak laki-laki. Namun, jika yang menikah adalah perempuan, maka orang tua perempuan bertindak sebagai tondong yang datang kepesta adat dikediaman pihak laki-laki. Adapun urutan-urutan acara pesta perkawinan secara umum pada masyarakat Simalungun, baik paompo anak (mengawinkan anak laki-laki) ataupun palaho boru (mengawinkan anak perempuan) adalah sebagaimana pada table berikut ini, yaitu :

Tabel 1. Urutan upacara perkawinan pada masyarakat Simalungun.

No Komponen Upacara Keterangan

1 Manririd Menjajagi calon pengantin perempuan dan biasanya tahapan ini adalah percakapan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan yang sepakat untuk membentuk rumah tangga (parsahapan ni paranak pakon parbaru)

2 Marhusip-husip Berbisik yakni utusan keluarga laki-laki mendatangi rumah kediaman calon mempelai perempuan.

3 Pajabu Parsahapan Musyawarah keluarga di keluarga mempelai

(49)

perempuan setelah adanya kesepakatan untuk menikah dari orangtua kedua belah pihak.

4 Mangalop Bona Boli Calon pengantin laki-laki dengan orangtuanya pamit kerumah paman (keluarga saudara laki-laki ibunya) untuk pamit sekaligus menerima bona boli (pangkal mahar).

5 Maralop Adalah prosesi melamar calon mempelai perempuan yang dilakukan oleh pihak laki-laki serta penyerahan partadingan (jujuran atau mahar).

6 Parpadanan Adalah akad atau janji nikah yang mengikat kedua calon mempelai dalam bentuk rumahtangga yang disampaikan kepada masyarakat luas. Pada awalnya, akad nikah ini dilakukan oleh pengetua adat namun saat ini peran menarahut atau membuhul padan ( mengikat janji) telah diambil alih oleh agama (pendeta, kadi danlain-lain)

7 Pamasu-masuon Adalah peresmian (pemberkatan) nikah yang biasanya diikuti resepsi perkawinan. Pemberkatan nikah pada awlnya dilakukan oleh pengetua adat serta disaksikan oleh masyarakat luas. Namun pada saat ini, pemberkatan itu telah diambil alih oleh pengetua

(50)

agama.

8 Patandanghon hu rumah ni tulang

Adalah membawa pengantin kerumah mertua (paman) orangtua perempuan yang dilakukan setelah dua atau tiga minggu pasca pemberkatan (pamasumasuon) perkawinan.

A. Adat Perkawinan Anak Laki-laki (horja adat paoppo anak)

Perkawinan anak pada Simalungun dibedakan menjadi dua, (1) paopo anak (mengawinkan anak laki-laki dan (2) palaho boru (mengawinkan anak perempuan).

Tatacara (tording) adat perkawinan pada kedua perkawinan ini adalah berbeda.

Perkawinan akan dilangsungkan apabila telah terdapat kemufakatan antara kedua calon mempelai dan rencana tersebut telah disetujui oleh kedua belah pihak, baik orang tua laki-laki (paranak) maupun orangtua pihak perempuan ( parboru). Setelah kemufakatan (sapanriah) maka acara perkawinan dapat dilangsungkan terutama setelah kemufakatan calon mempelai.

1. Pamit Kepada Paman (mangalop bona tulang).

Sebelum sampai kepada acara lebih lanjut, yakni marpadan dan pamasumasuon, maka seorang calon pengantin pria harus terlebih dahulu permisi atau pamit kepada pamannya. Oleh karena itu, tahapan pertama setelah kemufakatan kawin antara calon pengantin pria dan perempuan adalah membawa calon pengantin pria pamit kepada paman (mangalop bona tulang), yaitu permisi kepada paman

(51)

(saudara laki-laki dari ibu calon pengantin). Calon pengantin pria adalah keponakan (panagolan) dari pamanny, yakni saudara laki-laki ibu. Sedangkan paman adalah tondong dari orang tua calon pengantin pria.

Makna perkawinan seperti ini adalah mendambakab perkwinan marboru ni tulang (menikah dengan putri paman). Hubungan antara anak-anak dari paman dan anak-anak dari saudara perempuan paman adalah sepupuan. Tapi terkhusus dari sepupu ini adalah marpariban dan dapat saling menikah. Oleh karena itu, jika seorang calon pengantin pria akan menikah tetapi bukan dengan putri langsung dari pamannya, maka pengantin pria tersebut wajib permisi kepada pamannya.

Inti pembicaraan „pamit‟ kepada tulang adalah mengharapkan agar paman tetap menganggap calon mempelai perempuan sebagai putri kandungnya. Dengan

„pamit‟ tersebut, maka paman tidak akan sakit hati terhadap rencana panagolan (keponakan) nya untuk penikah. Pada waktu „pamit‟ ini, maka paman akan memberikan bona boli ( pangkal mahar) kepada keponakan yang akan menikah sebagai simbol bantuan mahar (jujuran) yang dibayarkan calon pengantin pria kepada tulang dan antturang calon simatua (calon mertua) yakni orangtua calon istrinya.

Adapun perangkat adat yang wajib dibawa kepada paman sewaktu „adat pamit‟ ini adalah seperti makanan dan lauk pauknya. Tetapi yang paling wajib adalah dayok binatur (makan khas Simalungun) yang akan diberikan dengan rendah hati (sisurdukhonon) kepada paman. Selain itu, juga wajib dibawakan adalah panrapahi (pelengkap lain), apuran ( sirih dan perangkatnya) terutama apuran tangan-tangan

(52)

laho mangan (sirih mau makan) serta apuran tulang salosei mangan (sirih paman selesai makan).

Sebelum makan, maka calon pengantin laki-laki menyuguhkan apuran tangan-tangan sihol mangan (sirih mau makan) kepada seluruh yang hadir pada saat itu. Biasanya, yang hadir pada acara adat ini adalah kedua orangtua calon pengantin laki-laki dan boru (bibi calon pengantin pria) maupun keluarga dari pihak paman (tulang dan atturang) maupun simbalok jabu (tetangga). Adapun makna appuran tangan-tangan ini adalah untuk menyampaikan maksud untuk menjajagi (manririd) anak gadis sebagai pasangan hidupnya. Demikian pula calon pengantin pria menyuguhkan (manurdukhon) dayok binatur kepada paman dan bibi dengan makna agar paman memberikan nasehat terhadap rencana perkawinannya. Setelah acara penyuguhan sirih dan dayok binatur maka dilanjutkan dengan makan bersama (mangan riap).

Biasanya, calon pengantin pria telah mempersiapkan segala sesuatunya yang akan diberikan oleh pamannya kepadanya terutama menyangkut „bona boli’ (pangkal jujuran). Tetapi jika paman telah mempersiapkan, maka calon pengantin pria yang sedang pamit harus melebihkan batu ni demban (sejumlah uang pada sirih) sewaktu selesai makan bersama. Setelah makan bersama, maka disuguhkan sirih siap makan kepada paman kemudian diikuti dengan pembicaraan yang telah diawali sewaktu penyuguhan apuran sihol mangan (sirih mau makan). Inti pembicaraan selesai makan ini adalah memberikan nasehat kepada keponakan (calon pengantin pria) agar paman

(53)

tetap melihat (mangkawah) dan menyapa (manisei) calon istrinya kelak serta harapan agar calon istrinya itu tetap dianggap sebagai putri kandung paman sendiri.

Setelah paman memberikan nasehat kepada calon pengantin pria yang sedang pamit itu, maka paman akan menyuguhkan sejumlah uang kepada ibu calon pengantin. Besaran uang tidak ditentukan tetapi tergantung kepada situasi dan kondisi ekonomi keluarga paman.

Sejumlah uang yang diberikan oleh paman (bona boli) adalah landasan tertinggi (tang pardatas) sebagai duit partadingan kepada tondong bayu (paman yang baru, yaitu mertua pengantin pria). Biasanya rincian bona boli adalah sebagai berikut:

 Paman memberikan bona boli (pangkal mahar) sebesar Rp. 600.000.

 Partadingan yang diberikan kepada orangtua perempuan (tondong bayu) adalah Rp. 12.000.000.

 Bona boli sebesar Rp. 600.000 adalah „suhi‟ maka, tondong bayu

(orang tua calon mempelai peempuan) akan mengetahui bahwa uang tersebut berasal dari paman calon hela (menantunya)nya.

Biasanya, acuan seperti ini sangat berlaku di Simalungun. Oleh karena itu, sewaktu menyuguhkan tintin maragkup (cincin pengikat) adalah yang pertama mengsi batu ni demban (uang pangkal pada sirih). Jika tulang (paman) kandung mempelai laki-laki telah memberikan bona boli (uang pangkal) sebesar Rp. 600.000, maka tondong bayu wajib memberikan lebih besar dari besaran tersebut.

2. Mufakat Dalam Keluarga Pengantin Pria (riah tongah jabu)

Gambar

Gambar 2.1 Pengantin Simalungun.
Tabel 1. Urutan upacara perkawinan pada masyarakat Simalungun.
Gambar 3.1 Penyajian lagu Sitalasari
Gambar 3.2 Penyajian lagu Eta Mangalop Boru.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perkawinan dalam adat Batak Toba tidak terlepas dari musik-musik yang mengiringi proses upacara tersebut berlangsung, yang mana alat musik yang digunakan memiliki peran dalam

SEKULERISASI LAGU-LAGU ROHANI PADA PELAKSANAAN UPACARA ADAT PERKAWINAN ETNIS BATAK TOBA DI JEMAAT.. GEREJA

SASTRINDA AZZARISTIA, NIM 081222510077, MUSIK PENGIRING TARI MUNALO DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN DI KECAMATAN BUKIT SIMPANG TIGA KABUPATEN BENER MERIAH, Skripsi

Jika pelaksana pesta adat adalah orang kaya, ketiga ansambel musik ini dapat digunakan dalam satu pesta adat perkawinan karena mampu membayar pemain musik dari ketiga

Penelitian ganrang pamanca’ sebagai musik iringan pencak silat dalam upacara perkawinan adat Makassar merupakan peristiwa budaya yang terjadi di tengah masyarakat

Dari hasil penelitian dapat ditunjukan bahwa Masyarakat Desa Nalumsari Masih Melestarikan Adat/Tradisi “Langkahan“ Pada Upacara Perkawinan (Yang Melangkahi Kakaknya)

Musik gendhing gamelan yang di gunakan dalam prosesi temu temanten merupakan bagian yang cukup penting dari upacara perkawinan adat Jawa yang tidak dapat

Perkawinan dalam adat Batak Toba tidak terlepas dari musik-musik yang mengiringi proses upacara tersebut berlangsung, yang mana alat musik yang digunakan memiliki