• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN BIOGRAFI

2.6 Sistem Kepercayaan

Sepanjang yang dapat diketahui melalui catatan (analisis) Tiongkok sewaktu Dinasty SWI (570-620) Kerajaan Nagur sebagai Simalungun Tua, telah banyak disebut-sebut dalam hasil penelitian Sutan Martua Raja Siregar yang dimuat dalam Buku Sejarah Batak oleh Batara Sangti Simanjuntak, dimana dinyatakan bahwa pada abad ke V sudah ada Kerajaan “Nagur” sebagai satu “Simalungun Batak Friest Kingdom” yang sudah mempunyai hubungan dagang dengan bangsa-bangsa lain terutama dengan Tiongkok (China).

Menurut Hikayat “Parpandanan Na Bolag” (Pustaha Laklak lama Simalungun) bahwa wilayah Kerajaan Parpandanan Na Bolag (Nagur) hampir meliputi seluruh Perca (Sumatera) bagian Utara , yang terbentang luas dari pantai Barat berbatas dengan Lautan Hindia, sampai ke Sebelah Timur dengan Selat Malaka, dari Sebelah Utara berbatas dengan yang disebut Jayu (Aceh sekarang) sampai berbatas dengan Toba di sebelah Selatan.

Agama yang dianut kerajaan Nagur adalah Animisme yang disebut dengan

supajuh begu-begu/sipele begu. Sebagai jabatan pendeta disebut Datu, mereka percaya akan adanya sang pencipta alam yang bersemayam di langit tertinggi, dan mengenal adanya tiga Dewa, yaitu :

1. Naibata na i babou/i nagori atas (di Benua Atas) 2. Naibata na i tongah/i nagori tongah (di Benua Tengah) 3. Naibata na i toruh/i nagori toruh (di Benua Bawah)

Pemanggilan arwah nenek moyang disebut “Pahutahon” yaitu melalui upacara ritual, dimana dalam acara itu roh tersebut hadir melalui “Paninggiran” (kesurupan) salah seorang keturunannya atau seseorang yang mempunyai kemampuan sebagai perantara (paniaran).

Menurut penelitian G.L Tichelman dan P. Voorhoeve seperti dimuat dalam bukunya “Steenplastiek Simaloengoen” terbitan Kohler & Co Medan tahun 1936 bahwa di Simalungun (kerajaan Nagur) terdapat 156 Panghulubalang (Berhala) yaitu patung-patung batu yang ditempatkan pada tempat yang dikeramatkan (Sinumbah) dan ditempat inilah dilakukan upacara pemujaan.

Pelaksanaan urusan kepercayaan diserahkan kepada “Datu” yang disebut juga “Guru”. Pimpinan “datu-datu” ini ialah “GURU BOLON”. Setiap Datu/Guru mempunyai “Tongkat Sihir” atau “Tungkot Tunggal Panaluan” (yang diperbuat dari kayu tanggulan yang diukir dengan gana-gana bersambung-sambung untuk mengusir penyakit). Acara kepercayaan itu dipegang penuh oleh Datu, baik di istana maupun di tengah-tengah masyarakat umum. Raja-raja dan kaum bangsawan mereka sebut juga “tuhan” bukan saja disegani tetapi ditakuti masyarakat, tetapi akhirnya sesudah masuknya agama Islam dan Kristen sebutan tersebut berubah menjadi Tuan.

Masuknya Agama Islam ke Simalungun adalah pada abad ke-15 melalui daerah Asahan dan Bedagai yang dibawa oleh orang-orang dari kerajaan Aceh. Awalnya perkembangan Agama Islam berada di daerah sekitar Perdagangan dan Bandar ( Sihotang 1993:23).

Kemudian sekitar tahun 1903, Gereja Batak Toba (HKBP) yang berada dalam fase perkembangan kemudian berkembang hingga menjangkau masyarakat di luar lingkungan mereka sendiri. Pada suatu konferensi yang dilakukan pada tahun tersebut diambil suatu keputusan untuk memulai karya misi pada masyarakat Simalungun. Kelompok Kristen Simalungun yang masuk dari upaya ini pada awalnya hanya sekadar bagian dari Gereja Batak Toba (dinamakan HKBP-S). Namun pada tahun 1964 terjadi pemisahan dan lahirlah organisasi baru yang menamakan diri sebagai Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS). Salah satu bagian integral dari proses Kristenisasi adalah berupa pendirian gereja-gereja dan sekolah-sekolah. Di sana anak-anak dan orang-orang dewasa dapat belajar membaca dan menulis dalam bahasa mereka sendiri dan kemudian dalam bahasa Indonesia.

2.7 Biografi Singkat Bapak Ja Huat Purba

Bapak Ja Huat Purba adalah seorang Seniman Simalungun yang ahli dalam memainkan alat musik Sarunei Simalungun. Bapak Ja Huat Purba lahir di desa Saribu Janji, Kecamatan Pematang Purba, Kabupaten Simalungun, pada 21 Desember 1949. Ayahnya bernama Jutam Purba (Alm)seorang pemain Sarunei Simalungun. Ibunya bernama T br. Simarmata (Alm)..Bapak Ja Huat memiliki dua saudara perempuan dan satu saudara laki-laki, beliau merupakan anak bungsu.Selain bekerja sebagai petani, Ayah beliau juga memiliki pekerjaan sampingan yaitu sebagai pemain Sarunei, jiwa seni yang dimilikibeliau diwariskan oleh orang tuanya. Beliau menikah dengan Ibu br. Saragih pada tahun 1972 dan memiliki enam orang anak laki-laki dan satu perempuan.

Beliau mengenal alat musik Sarunei dari Ayahnya dan mulai belajar alat musik tersebut dengan cara melihat orang bermain Sarunei pada acara pesta-pesta. Dengan keinginan yang besar beliau belajar sendiri memainkan Sarunei, Lambat laun beliau sudah bisa memainkan Sarunei dan pada saat beliau berumur 18 tahun, beliau sudah bisa memainkan Sarunei.

Banyak acara yang sudah diikuti oleh Bapak Ja Huat di Kabupaten Simalungun khususnya bahkan di Sumatera Utara. Pada tahun 1974 dan 1979 bapak Ja Huat Purba sudah di panggil ke Senayan untuk bermain Sarunei dalam Festival Musik Nusantara. Pada saat itu bapak Ja Huat merupakan perwakilan dari kabupaten Simalungun dan dari Sumatera Utara. Kemudian Pada tahun 1993 beliau bersama dengan bapak Rizaldi Siagian pergi ke luar negeri seperti Prancis, Swiss, Berlin, Belanda dan Kanada memainkan Sarunei.

Beliau merupakan seniman yang sangat disegani dan terpandang di masyarakat Simalungun. Seperti pada acara Rondang Bintang, beliau selalu di panggil dan menjadi juara sebagai pemain sarunei. Dikarenaka kondisi kesehatan beliau saat sekarang sudah sangat menurun danbeliau sudah tidak dapat lagi memainkan sarunei namun pada acara Rondang Bintang beliau selalu dipanggil karena masyarakat Simalungun mengakui dan menghargai Bapak Ja Huat sebagai Pemain Sarunei yang handal.Beliau mendapat berbagai penghargaan dari pemerintah, dan pada tahun 2007-2008 beliau mendapat piagam penghargaan dari program Revitalisasi musik Tradisi Sumatera Utara dengan kerjasama dengan Universitas Sumatera Utara dan The Ford Foundation Jakarta.

Dari hasil wawancara saya dengan masyarakat setempat bahwa bunyi suara sarunei yang di mainkan bapak Ja Huat purba memiliki ciri khas yang sangat indah.Masyarakat setempat juga mengatakan apabila ada acara adat atau pesta jika

tidak bapak Ja Huat Purba yang bermain Sarunei masyarakat mengatakan ibarat sayur tanpa garam.

Pemusik adalah pekerjaan utama bapak Ja Huat Purba.Beliau mencukupi kebutuhan keluarga dan menghidupi anak serta istri dalam keseharian dari hasil bekerja sebagai pemusik.

Bapak Ja Huat mengetahui alat musik Saligung melalui bapak Jintar Damanik pada tahun 90-an di Museum Simalungun yang bertempat di Siantar. Beliau mengetahui Saligung dengan cara melihat dan memperhatikan bagaimana bentuk Saligung tersebut, kemudian beliau membuat Saligung itu sendiri dirumahnya.

Dokumen terkait