STUDI ORGANOLOGIS SALIGUNG SIMALUNGUN BUATAN
BAPAK JA HUAT PURBA DI DESA TENGKOH, KECAMATAN
PANOMBEAN PANE, KABUPATEN SIMALUNGUN
SKRIPSI SARJANA
O
L
E
H
NAMA : TRIBUDI SYAHPUTRA PURBA
NIM : 100707039
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
STUDI ORGANOLOGIS SALIGUNG SIMALUNGUN BUATAN
BAPAK JA HUAT PURBA DIDESA TENGKOH, KECAMATAN
PANOMBEAN PANE, KABUPATEN SIMALUNGUN
SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O
L E H
NAMA : TRIBUDI SYAHPUTRA PURBA NIM : 100707039
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si Drs. Kumalo Tarigan, M.A. NIP 195608281986012001 NIP 195812131986011002 Skripsi ini diajukan kepada panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan
Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis
disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Oktober 2014
TRIBUDI SYAHPUTRA PURBA
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Studi Organologis Saligung Simalungun Buatan Bapak Ja Huat Purba Di Desa Tengkoh, Kecamatan Panombean Pane, Kabupaten Simalungun”.
Permasalahan yang paling pokok dalam penelitian skripsi ini adalah tentang
proses pembuatan saligung. Tujuan utama penelitian ini adalah jawaban atas permasalahan yang peneliti temukan, dan untuk melestarikan kembali alat musik
Simalungun yang sudah hampir punah berdasarkan pertimbangan ilmu organologi
agar masyarakat Simalungun khususnya tidak lupa akan alat musiknya sendiri.
Pemilihan metode ini berdasarkan arah dan sifat penelitian yang cenderung untuk
memberi pemaparan dan gambaran secara sistematis tentang bagaimana cara untuk
membuat Saligung. Objek penelitian ini adalah seorang informan yaitu Bapak Ja Huat Purba. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui wawancara
dan observasi. Hasil penelitian yang diperoleh adalah bahwa dalam proses
pembuatan Saligung yang baik harus benar-benar dapat memahami kualitas bahan, proses pembuatan, menerapkan ilmu organologi dengan sentuhan estetis tanpa
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis ucapkan kehadirat Tunhan yang Maha Esa atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan
penyusunan skripsi yang berjudul “Study Organologi Saligung Simalungun Buatan Bapak Ja Huat Purba Di Desa Simbolon Tengko Kecamatan Panombean Pane Kabupaten Simalungun”. Ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana seni S-1 pada Departemen Etnomusikologi, Fakultas lmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua tercinta Bapak M. Purba
dan mama H.br Sijabat yang telah membesarkan penulis dengan kasih sayang dan
bersusah payah membiayai, mendoakan, dan mendukung serta memberikan
semangat yang luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaiakan skripsi ini. Juga
kepada saudara/i penulis yang tersayang : Abangku Robert Pardamen Purba, Viktor
Manogari Purba, kakak saya tersayang Anita br Purba dan adik saya (Alm) Hendra
Reza Gunawan Purba. Keluarga yang selalu memberi dorongan, semangat dan doa,
sebagai inspirasi dalam tulisan ini.
Terima Kasih Kepada Ketua Departemen Etnomusikologi Bapak Drs.
Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D. dan Dra. Heristina Dewi M.PD selaku sekretaris
Departemen Etnomusikologi yang telah memberikan dukungan dan bantuan
administrasi serta registrasi perkuliahan dalam menyelesaikan tugas akhir penulis.
Terima Kasih Kepada Bapak Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si selaku dosen
pembimbing I dan Drs. Komalo Tarigan, M.A. selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, motivasi, arahan, dan saran-saran yang sangat berharga
kepada penulis selama menyusun skripsi.
Terima Kasih Kepada Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku dekan Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan tak lupa kepada ibu Adli yang telah
banyak membantu di kantor jurusan, serta kepada seluruh staf pengajar jurusan
etnomusikologi penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan bantuan yang
diberikan, sehingga memperluas wawasan penulis dalam pengetahuan selama
mengikuti perkuliahan.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh informan
bapak Ja Huat Purba, dan Keluarga, kepada bapak S sinaga dan kepada oppung R. br
Sipayung yang telah mau menerima penulis selama melakukan penelitian.
Ucapan terima kasih juga kepada sahabat-sahabat saya yang telah membantu
dalam melaksanakan penelitian, Chandra Marbun, Marihot Purba, Roberto Murphy
Manik S.Kom, Benny Sofyan Samosir S.Si, Tomy Manurung S.Sn, Michael Sibarani
S.Kom, Dermawan Siboro, Imelda Nadeak, Roman Hutagalung, Mario sinaga,
Laorent dan kepada seluruh angkatan 2010. Terima Kasih yang special kepada Erni
Juita br Marbun, yang selalu memberi semangat, doa dan insprasi kepada penulis,
sehingga penulis selalu bersemangat dalam menyelesaikan penulisan ini.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis menyadari masih banyak
terdapat kekurangan-kekurangan, sehingga penulis mengharapkan adanya saran dan
kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. sehingga lebih
mengarah kepada kemajuan ilmu pengetahuan, yang khususnya di bidang ilmu
penulis berharap tulisan ini dapat berguna dan menambah pengetahuan serta
informasi baru bagi seluruh pembaca.
Medan, ...2014
Penulis
DAFTAR ISI
1.2Pokok Permasalahan ... 7
1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
1.3.1 TujuanPenelitian ... 7
1.3.2 ManfaatPenelitian ... 7
1.4Konsep danTeori ... 8
1.4.1 Konsep ... 8
1.4.2 Teori ... 9
1.5Metode Penelitian ... 11
1.5.1 Studi Kepustakaan ... 11
1.5.2 KerjaLapangan ... 12
1.5.3 Wawancara …... 12
1.5.4 Kerja Laboratorium ... 12
1.6Lokasi Penelitian ... 13
BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN BIOGRAFI BAPAK JA HUAT PURBA ... 14
2.4.3 SeniTari( Tor-tor ) ... 20
2.5 Sistem Kekerabatan ... 22
2.5.1 Marga-Marga Simalungun ... 24
2.6 Sistem Kepercayaan ... 27
2.7 Biografi Singkat Bapak Ja Huat Purba ... 29
BAB III STUDI ORGANOLOGIS SALIGUNG SIMALUNGUN ... 32
3.1 Klasifikasi Saligung Simalungun ... 32
3.2 Konstruksi Bagian-Bagian Saligung ... 33
3.3Teknik Pembuatan ... 34
3.3.1 Bahan Baku yang Digunakan ... 34
3.3.1.1 Bambu …... 34
3.3.2 Peralatan yang Digunakan ... 36
3.4.3.5 Mengukur Jarak dan Menggarisi ... 44
3.6 Ukuran Bagian–Bagian Saligung ... 55 3.7 Kajian Fungsional ... 56
3.7.1 Proses Belajar ... BAB IV EKSISTENSI DAN FUNGSI SALIGUNG SIMALUNGUN ... 72
4.1 Sejarah Saligung ... 72
4.2 Fungsi dan Penggunaan Saligung ... 74
4.2.2.3 Fungsi Hiburan ... 79
4.2.2.4 Fungsi yang Berkaitan Dengan Norma Sosial ... 79
Gambar 12 : Arang ... 40
Gambar 13 : Cara Memotong Bambu ... 42
Gambar 14 : Cara Mengikis Batas Pangkal Bambu ... 43
Gambar 15 : Bentuk Batas Pangkal Ruas Bambu (Panoppulan) ... 43
Gambar 16 : Cara Mengikis Ujung Bambu ... 44
Gambar 17 : Bentuk Ujung Bambu ... 44
Gambar 18 : Pengukuran Awal ... 45
Gambar 19 : Pengukuran Garis Tengah ... 46
Gambar 20 : Pengukuran Untuk Membuat Lubang Nada Terakhir ... 46
Gambar 21 : Pengukuran Lubang Penyelaras ... 47
Gambar 22 : Pengukuran Lubang Nada Kedua ... 47
Gambar 23 : Pengukuran Lubang Nada Ketiga ... 48
Gambar 24 : Garis Lubang Nada ... 48
Gambar 25 : Pembentukan Lubang Hembusan ... 50
Gambar 26 : Pembentukan Lubang Keluaran Udara ... 51
Gambar 27 : Pelubangan Nada Pertama ... 52
Gambar 28 : Pelubangan Nada Kedua ... 52
Gambar 29 : Pelubangan Nada Ketiga ... 53
Gambar 30 : Pelubangan Nada Keempat ... 53
Gambar 31 : Pelubangan Nada Penyelaras ... 54
Gambar 32 : Menghaluskan Batas Panoppulan. ... 54
Gambar 33 : Menghaluskan Lubang Keluaran Udara ... 55
Gambar 34 : Ukuran Bagian Saligung ... 56
Gambar 35 : Posisi Tangan ... 62
Gambar 36 : Posisi Badan Ketika Menghembus Saligung ... 62
Gambar 37 : Posisi Hidung Terhadap Lubang Hembusan ... 62
Gambar 38 : Posisi Jari Terhadap Lubang Nada Pada Saligung ... 64
Gambar 39 : Nada F ... 64
Gambar 40 : Nada G ... 65
Gambar 41 : Nada A ... 65
Gambar 42 : Nada #A ... 66
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Studi Organologis Saligung Simalungun Buatan Bapak Ja Huat Purba Di Desa Tengkoh, Kecamatan Panombean Pane, Kabupaten Simalungun”.
Permasalahan yang paling pokok dalam penelitian skripsi ini adalah tentang
proses pembuatan saligung. Tujuan utama penelitian ini adalah jawaban atas permasalahan yang peneliti temukan, dan untuk melestarikan kembali alat musik
Simalungun yang sudah hampir punah berdasarkan pertimbangan ilmu organologi
agar masyarakat Simalungun khususnya tidak lupa akan alat musiknya sendiri.
Pemilihan metode ini berdasarkan arah dan sifat penelitian yang cenderung untuk
memberi pemaparan dan gambaran secara sistematis tentang bagaimana cara untuk
membuat Saligung. Objek penelitian ini adalah seorang informan yaitu Bapak Ja Huat Purba. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui wawancara
dan observasi. Hasil penelitian yang diperoleh adalah bahwa dalam proses
pembuatan Saligung yang baik harus benar-benar dapat memahami kualitas bahan, proses pembuatan, menerapkan ilmu organologi dengan sentuhan estetis tanpa
Gambar 44 : Tablatular ... 68
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Masyarakat Simalungun adalah salah satu kelompok etnis yang ada di wilayah Provinsi Sumatera Utara. Etnis Simalungun merupakan salah satu dari lima kelompok etnis batak lainnya yaitu Toba, Karo, Pak-pak, dan Mandailing-Angkola (Bangun, 1993 :
94). Setiap etnis yang ada di Sumatera Utara, baik itu etnis batak maupun etnis
halnya dengan simalungun, dimana masyarakat Simalungun memiliki kebudayaan
yang diwariskan secara turun temurun baik secara lisan maupun tulisan oleh
leluhurnya. Salah satu bentuk kebudayaan itu adalah kesenian. Ada banyak kesenian
pada masyarakat Simalungun diantaranya adalah seni tari, seni musik, dan seni rupa.
Pada tulisan ini penulis lebih terfokus untuk mengkaji aspek musiknya.
Pada masyarakat Simalungun, seni musik terbagi dua bagian besar, yaitu
musik vokaldan musik instrumen. Musik vokal dalam masyarakat Simalungun
disebut Doding, Bernyanyi dalam bahasa Simalungun disebut Mandoding. Beberapa
jenis nyanyian rakyat pada masyarakat Simalungun yaitu : Taur-taur simanggei
(nyanyian cinta), Ilah (nyanyian untuk bekerja), Urdo-urdo (nyanyian untuk menidurkan anak), Tihtah (nyanyian permainan anak), Tangis (tangisan), Mandilo tonduy dan Manalundu/Mangmang (nyayian untuk pengobatan) dan juga Inggou Turi-turian (nyanyian bercerita). Selain musik vokal, masyarakat Simalungun juga memiliki musik instrument yang terbagi dalam beberapa klasifikasi, yaitu :
Idiofon(Mongmongan, Ogung, Sitalasayak, Garantung), Membranofon(Gonrang
sidua-dua, Gonrang sipitu-pitu/Gonrang bolon), Kordofon(Arbab, Husapi,
Jatjaulul/Tengtung), Aerofon(Sarunei bolon, Sarunei buluh, Tulila, Sulim, Sordam,
Saligung, Ole-ole, Hodong-hodong, dan Ingon-ingon).
Alat musik simalungun dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu musik yang
dimainkan secara ensambel, dan musik yang dimainkan secara tunggal. Musik
ensambel yang terdapat pada masyarakat simalungun yaitu Gonrang Sidua-duadan
Gonrang Bolon. Gonrang Sidua-dua merupakan seperangkat musik tradisional
Simalungun yang terdiri atas dua buah Mongmongan, dua buah Gonrang, dua buah
Ogung, dan satu buah Sarune Bolon. Gonrang Bolon yaitu seperangkat alat musik
tujuh buah Gonrang dan satu buah Sarunei Bolon. Kedua ensambel musik tersebut memiliki fungsi yang sama yaitu untuk upacara religi, upacara adat, malas ni ruha
dan upacara sayur matua. Gonrang Sidua-dua dan Gonrang Bolon juga di gunakan
untuk mengiringi tarian atau tor-tor.
Pada masyarakat Simalungun terdapat juga alat musik yang dimainkan secara
tunggal. Diantaranya adalah Sordam, Husapi, Tulila, Sulim, dan Saligung. Pada
tulisan ini penulis ingin mengkaji tentang alat musik yang dimainkan secara tunggal
pada masyarakat simalungun yaitu Saligung.
Pada zaman dahulu Saligung adalah alat musik yang digunakan garama1
Orang yang memainkan Saligung disebut parsaligung, kata “par” menjadi awalan dari kata “saligung” yang berarti orang yang memainkan. Orang yang masih
mengerti tentang cara pembuatan Saligung Simalungun adalah Bapak Jahuat Purba, beliau mengenal Saligung pada tahun 90-an yaitu dengan melihat Saligung buatan Bapak Jintar Damanik. Keunikan alat musik Saligung menjadi alasan beliau tertarik untuk mengetahui cara memainkan dan membuat Saligung. Bapak Ja Huat purba adalah salah satu pembuat (pambahen) Saligung, selain mengetahui tentang cara pembuatan Saligung beliau juga mengerti tentang cara memainkannya. Beliau juga
dikenal sebagai tokoh masyarakat yang tetap mendukung kelestarian musik
tradisional Simalungun, seperti memperkenalkan kebudayaan musik Simalungun
pada muda-mudi Simalungun pada acara pesta Rondang Bintang.
untuk menyampaikan perasaannya kepada gadis yang dicintainya, dimana pria
tersebut tidak berani mengungkapkan perasaannya secara langsung kepada seorang
wanita dan juga Saligung di gunakan untuk pelipur lara.
1
Saligung merupakan alat musik yang sangat unik. Dikatakan alat musik yang unik karena saligung dimainkan atau di hembus dengan menggunakan hidung yang
merupakan satu-satunya alat musik yang di mainkan atau di hembus dengan hidung
yang ada di sumatera utara. Saligung adalah alat musik yang terbuat dari bambu, bambu merupakan tanaman yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia.
Tanaman ini dapat tumbuh di daerah iklim basah sampai iklim kering Menurut
Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999,hal 78).
Menurut Bapak Ja Huat Purba bahwa bambu yang digunakan untuk membuat Saligung adalah bambu Dihon, dikarenakan bambu dihon lebih tipis dan ruasnya tidak
panjang. Saligung tergolong dalam klasifikasi aerofon, yang memiliki empat lubang
nada, satu lubang hembusan, satu lobang keluaran udara dan satu lubang penyelaras
nada. alat musik Saligung ini hanya bisa memainkan bebarapa lagu yang mana biasanya lagu-lagu yang di mainkan sebagai gambaran kesedihan (Tangis-tangis) dan ungkapan perasaan.
Cara pembuatan Saligung yaitu batas ruas bambu bagian terluar (lubang panoppulan) dikikis membentuk miring dengan tujuan agar letak hidung dengan sisi
lubang hembusan tepat, sehingga si pemain merasa nyaman. Selain itu kedua sisi
terluar ruas bambu di kikis setipis mungkin namun jangan sampai pecah. Setelah
proses pengkikisan, dilanjutkan dengan proses pembuatan lubang hembusan, dengan
bahasa Simalungun panoppulan yang artinya penghembusan dan manoppul artinya
menghembus dan pelubangan keluaran udara. Kemudian dilanjutkan dengan proses
pembuatan lubang nada.
Musik tentu tidak lepas dari alat pendukungnya, yaitu alat musik. Dalam
tulisan ini, penulis lebih terfokus kepada alat musik Saligung, Dimana alat musik
Proses perjalanan kesenian tradisional saat sekarang sudah menapak ke posisi
krisis, akibat derasnya arus perubahan berupa adaptasi, akulturasi, enkulturasi.
Proses perubahan ini bisa saja bermanfaat apabila masyarakat pendukung suatu
kebudayaan dapat menjadikan budaya sebagai modal menghadapi kehidupan modis
yang semakin kompleks. Namun sebaliknya, terjadinya pergeseran nilai-nilai dapat
pula mengikis nilai-nilai budaya tradisional.
Globalisasi merupakan perkembangan kontemporer yang mempunyai
pengaruh dalam mendorong munculnya berbagai kemungkinan tentang perubahan
dunia yang akan berlangsung. Pengaruh globalisasi dapat menghilangkan berbagai
halangan dan rintangan yang menjadikan dunia semakin terbuka dan saling
bergantung satu sama lain. Dapat di katakan bahwa globalisasi membawa dampak
baru tentang konsep "Dunia Tanpa Batas" yang saat ini menjadi realita dan sangat
mempengaruhi perkembangan budaya dan membawa perubahan baru,Selain
globalisasi penyebab goyahnya ketahanan budaya adalah modernisasi.
Modernisasi menurut Soerjono Soekanto adalahsuatu bentuk
dari perubahan sosial yang terarah yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasanya
dinamakan social planning (dalam buku Sosiologi: suatu pengantar).
Pada saat sekarang kesenian tradisional sudah semakin terpinggirkan/terasing
karena dianggap kurang praktis dan banyak aturannya. Masyarakat lebih memilih
menggunakan alat musik yang ringkas, instan dan murah dalam hal dana
penyelenggaraannya, sehingga semakin kuat kecenderungan memadukan alat musik
modern (keyboard) dan alat musik tradisional. pertunjukan kesenian tradisional tidak
lagi menggunakan alat musik tradisional, melainkan menggunakan alat musik
Disisi lain penggunaan alat musik modern, seperti keyboard dapat membantu
proses pertunjukan kesenian tradisional. Tetapi sebaliknya, penggunaan alat musik
modern akan menggeser dan akhirnya menghilangkan kesenian tradisional. Hal ini
sejalan dengan konsep kebudayaan yang mengatakan bahwa kebudayaan merupakan
suatu hal yang dipelajari maupun diwariskan secara turun temurun oleh leluhurnya.
Dampak dari globalisasi dan modernisasi sampai pada masyarakat
Simalungun khususnya pada salah satu alat musik tradisional Simalungun yaitu
Saligung. Berdasarkan hasil wawancara saya dengan Bapak Ja Huat Purba, beliau mengatakan bahwa Saligung digunakan untuk menyampaikan perasaan, Pelipur lara
selain itu juga sebagai tanda bahwa si Garama sudah berada didepan rumah si Anak Boru2
Menurut Bapak JaHuat Purba, pada saat beliau masih kecil alat musik
Saligung sudah jarang di mainkan seperti layaknya Suling, Sarune Simalungun dan lain sebagainya. Dan saat sekarang menurut bapak JaHuat Purba boleh dikatakan
bahwa Saligung sudah hilang dari masyarakat Simalungun.
. Tetapi pada saat sekarang eksistensi alat musik Saligung sudah hampir hilang
dari masyarakat Simalungun, untuk penyajiannya hanya bapak Setia Dermawan
purba yang selalu mempertunjukan Saligung, Dan untuk yang Mengetahui tentang bagaimana cara pembuatan alat musik Saligung hanya bapak J Badu Purba dan bapak Ja Huat purba. Melihat dari keberadaan alat musik Saligung yang sudah hampir punah penulis mewawancarai bapak S sinaga tentang keberadaan alat musik
Saligung, beliau adalah tokoh masyarakat di dareah tempat penelitian penulis. Beliau mengatakan bahwa masyarakat Simalungun lebih cenderung mengikuti
perkembangan zaman sehingga alat musik Saligung dilupakan.
2
Dari uraian tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji, menganalisa dan
menuliskannya menjadi sebuah tulisan ilmiah yang diberi judul “Studi Organologis Saligung Simalungun Buatan Bapak Ja Huat Purba di Desa Tengkoh, Kecamatan Panombean Pane, Kabupaten Simalungun”
1.2 Pokok Permasalah
1. Bagaimana proses dan teknik pembuatan Saligung Simalungun yang
dilakukan Bapak Ja Huat Purba?
2. Bagaimana Eksistensi, Fungsi dan Penggunaan alat musik Saligung di
tengah-tengah masyarakat Simalungun ?
1.3 Tujuan dan Mamfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian
1) Untuk mengetahui bagaimana proses dan teknik pembuatan Saligung
Simalungun Bapak JaHuat Purba
2) Untuk mengetahui Eksistensi, Fungsi dan Penggunaan alat musik Saligung di
tengah-tengah masyarakat Simalungun
1) Sebagai bahan tambahan untuk menambah referensi tentang Saligung
Simalungun di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara.
2) Untuk melestarikan alat musik Saligung yang sudah punah.
3) Sebagai suatu proses mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh penulis
selama mengikuti perkuliahan di Departemen Etnomusikologi.
1.4 Konsep dan Teori
1.4.1 Konsep
Konsep merupakan rangkaian ide atau pengertian yang diabstrakkan dari
peristiwa kongkrit (Kamus besar bahasa indonesia, Balai Pustaka, 1991:431). Studi
disebut juga dengan kajian (menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia). Kajian
merupakan kata jadian dari kata”kaji” yang berarti mengkaji, mempelajari,
memeriksa, mempertimbangkan secara matang, dan mendalami. Dari keterangan
diatas dapat diketahui bahwa pengertian kata’kajian’ dalam hal ini adalah suatu
penelitian atas pemeriksaan yang dilakukan dengan teliti (Badudu. 1982:132).
Sedangkan ‘organologi’ merupakan bagian dari etnomusikologi yang
meliputi semua aspek diantaranya adalah ukuran dan bentuk fisiknya termasuk
hiasannya, bahan dan prinsip pembuatannya, metode dan teknik memainkan, bunyi
dan wilayah nada yang dihasilkan, serta aspek sosial budaya yang berkaitan dengan
Seperti yang dikemukakan oleh Mantle Hood (1982:124) bahwa organologi
yang digunakan adalah berhubungan dengan alat musik itu sendiri. Menurut beliau
organologi adalah ilu pengetahuan alat musik, yang tidak hanya meliputi sejarah dan
deskipsi alat musik, akan tetapi sama pentingnya dengan ilmu pengetahuan dari alat
musik itu sendiri antara lain : teknik pertunjukan, fungsi musikal, dekoatif, dan
variasi sosial budaya.
Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa studi organologis
adalah suatu penyelidikan yang mendalam untuk mempelajari instrumen musik baik
mencakup aspek sejarahnya maupun deskripsi alat musik itu sendiri dari berbagai
pendekatan ilmu sosial budaya.
Saligung adalah Instrumen musik Aerophon yang memiliki empat lobang
pengatur nada dan satu lobang udara serta satu lobang tiupan dan satu lobang
keluaran suara. Saligung juga memiliki ruang resonator sebagai sumber bunyi. Alat
musik ini biasanya dimainkan secara tunggal.
1.4.2 Teori
Teori merupakan pendapat yang dikemukakan mengenai suatu peristiwa
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005). Sebagai acuan berpikir dalam penelitian ini
penulis mempergunakan teori-teori yang relevan, yang sesuai untuk permasalahan
penelitian penulis.
Tulisan ini membahas deskripsi alat musik , penulis berpedoman pada teori
yang di utarakan oleh Susumu Kashima 1978:174) terjemahan Rizaldi Siagian dalam
laporan ATPA, bahwa studi musik dapat dibagi kedalam dua sudut pandang yakni
Studi Struktural dan Studi Fungsional. Studi Struktural adalah Studi yang berkaitan
kecil, konstruksi serta bahan bahan yang dipakai dalam pembuatan alat musik
tersebut. Sedangkan Studi Fungsionnal memperhatikan fungsi dari alat dan
komponen yang menghasilkan suara, antara lain membuat pengukuran dan
pencatatan terhadap metode memainkan alat musik tersebut, metode pelarasan dan
keras lembutnya suara bunyi, nada,warna nada dan kualitas suara yang dihasilkan
oleh alat musik tersebut. Berdasar penjelasan tersebut diatas maka, penulis
mengggolongkan proses dan teknik pembuatan Saligung Simalungun buatan Bapak
Ja Huat Purba kedalam Studi Struktural.
Saligung Simalungun adalah Instrumen musik yang tergolong kedalam
klasifikasi Aerophon yang memiliki empat lobang pengatur nada, satu lobang tiupan
dan satu lobang keluaran udara dari resonator. Saligung juga memiliki ruang
resonator sebagai sumber bunyi, oleh karena itu dalam pengklasifikasian alat musik
tersebut, penulis menggunakan teori yang diutarakan Curt Sach dan Hornbostel
1961, Yaitu:
“ Sistem Pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyi. Sistem klasifikasi ini terbagi menjadi empat bagian yang terdiri dari; Idiofon ( alat itu sendiri sebagai sumber penggetar utama bunyi ), Membranofon ( kulit sebagai sumber penggetar utama bunyi ), kordofon ( senar sebagai sumber penggetar utama bunyi ), dan aerofon (udara sebagai penggetar utama bunyi ) “.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) Eksistensiartinya
keberadaaan. Sementara pengertian kebudayaan menurut E.B Taylor, Primitive
seni, hukum, moral, adat, serta kemampuan dam kebiasaan yang diperoleh manusia
sebagai anggota masyarakat”.
Menurut Herskovits (1964 : 217-218) dalam Merriam, penggunaan musik
dapat dibagi menjadi lima kategori unsur-unsur budaya yaitu : Kebudayaan Material,
Kelembagaan Sosial, Hubungan Manusia dengan Alam, Estetika dan Bahasa.
Menurut Alan P Merriam (1964:219-226) fungsi dapat dibagi dalam sepuluh
kategori yaitu: Fungsi Pengungkapan Emosional, Fungsi Pengungkapan Estetika,
Fungsi Hiburan, Fungsi Komunikasi, Fungsi Perlambangan, Fungsi Reaksi Jasmani,
Fungsi yang Berkaitan Dengan Norma Sosial, Fungsi Pengesahan Lembaga Sosial,
Fungsi Kesinambungan Kebudayaan, dan Fungsi Pengintegrasian Masyarakat.
1.5 Metode Penelitian
Metode adalah cara yang digunakan dalam melaksanakan suatu pekerjaan
agar hasil dari pekerjaan tersebut sesuai dengan yang diharapkan dan dikehendaki
melalui cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksaan suatu kegiatan guna
mencapai tujuan yang telah ditentukan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka 2005). Sementara penelitian merupakan kegiatandalam mengumpulkan,
mengolah, menganalisis serta menyajikan data yang dilakukan secara sistematis dan
objektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis untuk
mengembangkan prinsip-prinsip umum (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka: 2005).
1.5.1 Studi Kepustakaan
Untuk mendukung keseluruhan data yang disertakan penulis, maka penulis
juga melakukan studi keperpustakaan untuk mengumpulkan data-data yang
yang berhubungan dengan data penelitian, mengumpulkan beberapa referensi,
majalah dan skripsi-skripsi terdahulu yang berhubungan dengan topik penelitian.
Studi pustaka diperlukan untuk melengkapi teori-teori yang berhubungan
dengan topik penelitian penulis.
1.5.2 Kerja Lapangan
Untuk memperoleh informasi yang lebih akurat mengenai tulisan ini maka
penulis melakukan observasi langsung ke lokasi penelitian yang telah diketahui
sebelumnya, dan juga melakukan wawancara kepada beberapa informan yang
mengetahui jelas tentangSaligung Simalungun dan penulis juga mengajukan
beberapa pertanyaan yang diyakini penulis nantinya dapat mendukung dalam proses
penelitian.
1.5.3 Wawancara
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian wawancara adalah proses
tanya-jawab dengan seseorang yang diperlukan untuk dimintai keterangan atau
pendapatnya mengenai suatu hal. Dalam hal ini penulis melakukan wawancara
terhadap Bapak Ja Huat Purba dengan tujuan untuk memperoleh data yang lebih
akurat yang berguna dalam penulisan karya ilmiah ini.
1.5.4 Kerja Laboratorium
Seluruh data diperoleh oleh penulis dari berbagai sumber yaitu dari hasil
pengamatan langsung kelapangan. Kemudian melakukan wawancara, dimana hasil
tersebut kemudian akan diolah dalam kerja laboratorium.
Setelah penulis melakukan kerja laboratorium, penulis membuatnya menjadi
ilmiah. Dan tulisan ini diharapkan akan bermanfaat bagi masyarakat guna untuk
menambah pengetahuan.
1.6 Lokasi Penelitian
Adapun lokasi penelitian dalam mengumpulkan data untuk tulisan ini adalah di rumah bapak Jahuat Purba yang berlokasi di desa Tengkoh, Kecamatan Panombean Pane, Kabupaten Simalungun. Namun untuk mendukung informasi mengenai Saligung Simalungun tersebut, penulis juga mengumpulkan data-data maupun informasi dari orang-orang yang mengetahui tentang alat musik tersebut dan tokoh-tokoh masyarakat.
BAB II
Bab ini merupakan penjelasan tentang gambaran umum wilayah penelitian
dan biografi singkat bapak Jahuat Purba sebagai seniman musik tradisional
Simalungun. Wilayah yang dimaksud disini adalah bukan hanya lokasi penelitian,
tetapi lebih terfokus kepada gambaran masyarakat Simalungun khususnya yang ada
di Panombean Pane secara umum. Namun sebelum membahas topik tersebut, akan
diuraikan lebih dahulu Desa Tengkoh Simbolon, Kecamatan Panombean Pane,
Kebupaten Simalungun.
2.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang penulis teliti berada di Desa Tengko yang merupakan
tempat tinggal sekaligus sebagai tempat pembuatan Saligung bapak Ja Huat Purba
yang bertempat tinggal di Jalan Si batu-batu, Kecamatan Panombean Pane
Kabupaten Simalungun. Menurut data yang didapat dari Kantor Lurah Desa Tengko,
Kecamatan Panombean Panei merupakan salah satu kecamatan baru di Kabupaten
Simalungun. Kecamatan ini pemekaran dari Kecamatan Panei memiliki luas 82,2
Km2., dengan letak geografis
• sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Serdang Bedagai
• sebelah Selatan berbatasan dengan kecamtan Sidamanik dan kecamatan Panei
• sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Raya
• sebelah Timur berbatasan dengan Kota Pematangsiantar.
Jarak Kecamatan Panombean Panei dari Pematang Raya Ibukota Kabupaten
Simalungun ± 20 Km.
Pada awalnya penduduk asli Desa Tengko didominasi oleh suku Simalungun,
namun setelah terjadi urbanisasi kependudukan, Desa Tengko menjadi bersifat
heterogen, kerena terdiri dari berbagai ragam suku dan etnis, yaitu Simalungun,
Toba, Mandailing, Angkola, Jawa, Aceh. Pada tahun 2011 penduduk Desa tengko
simbolon mencapai 1.918 jiwa. Dengan jumlah rumah tangga 518. dengan kepadatan
penduduk 85 jiwa per km2. Penduduk laki-laki di Desa Simbolon tengko lebih
banyak dari penduduk perempuan. Pada tahun 2011 penduduk Desa Simbolon
Tengko yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 966 jiwa dan penduduk
perempuan 952 jiwa.
Secara Etimologi kata “Simalungun” dapat dibagi kedalam tiga suku kata yaitu: Si berarti “Orang”, ma sebagai kata sambung berarti “yang” dan lungun
berarti “sunyi, kesepian”. Dengan demikian, Simalungun berarti “ia yang bersedih hati, sunyi dan kesepian.
Secara umum masyarakat Simalungun yang tinggal di wilayah Simalungun
maupun di perantauan merupakan suatu pribadi yang pendiam dan tertutup. Menurut
Hendrik Kraemer ketika berkunjung ke Tanah Batak pada bulan Februari-April
tahun 1930 melaporkan bahwa jika dibandingkan dengan orang Batak Toba, orang
Simalungun jelas lebih berwatak halus, lebih suka menyendiri di hutan dan secara
alamiah kurang bersemangat dibandingkan dengan orang Batak Toba. Hal yang
senada juga dikatakan oleh Walter Lempp tentang tabiat daripada masyarakat
Simalungun yaitu orang Simalungun lebih halus dan tingkah lakunya hormat sekali,
tidak pernah keras atau meletus, meskipun sakit hati. Hal itu dimungkinkan karena
suku Simalungun satu-satunya yang pernah dijajah oleh suatu kerajaan di Jawa yang
berkedudukan di Tanah Jawa. Masyarakat Simalungun yang bertempat tinggal di
Maujana Simalungun. Lembaga adat ini telah ada mulai dari tingkat Serikat Tolong menolong (STM), Desa, Kecamatan, Kabupaten dan Pusat.
Masyarakat yang tinggal di Kecamatan Panombean pane, pada umumnya
bekerja sebagai Petani, Buruh, Wiraswasta, dan Pegawai Negeri Sipil. Menurut
wawancara penulis dengan bapak Ja Huat Purba pekerjaan beliau adalah Sebagai
pemain musik Sarunei Simalungun, dan bertani adalah pekerjaan sampingan beliau.
Untuk membuat Saligung Simalungun dilakukan Bapak Ja Huat purba apabila adanya pesanan untuk membuat alat musik Saligung tersebut.
2.3 Sistem Bahasa
Asal usul kependudukan masyarakat Simalungun banyak dipengaruhi oleh
berbagai aspek dan juga berbagai pendapat atau teori yang berbeda-beda untuk
memberikan pembuktian terhadap kebenarannya. Sistem kemasyarakatan dalam
suatu daerah tentu didasari oleh bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat
di dalamnya. Menurut informasi dari informan saya dengan terkaitnya lokasi
penelitian penulis bahwa keragaman suku yang berada di daerah tersebut
menggunakan bahasa Simalungun dan bahasa indonesia untuk berkomunikasi dalam
bahasa sehari-harinya.
Sejak berabad-abad yang lampau suku-suku bangsa yang tinggal di berbagai
kepulauan di Nusantara memiliki bahasa masing-masing yang dipergunakan dalam
pergaulan dan komunikasi antar sesama suku tersebut. Bahasa itu dinamakan sebagai
“bahasa daerah” yang disebutkan sesuai dengan suku bangsa yang memiliki bahasa
tersebut. Misalnya bahasa Batak Toba dipergunakan oleh Batak Toba. Demikian
juga dengan bahasa Simalungun. Disamping itu masyarakat Simalungun juga
P. Voorhoeve, yang menjadi Pejabat Taalambtenaar di Simalungun tahun 1937, mengatakan bahwa bahasa Simalungun merupakan bahasa rumpun austronesia yang lebih dekat dengan bahasa sansekerta yang banyak sekali mempengaruhi
bahasa-bahasa di Nusantara.
Voorhoeve mengatakan kedekatan bahasa Simalungun dengan bahasa
Sansekerta ditunjukkan dengan huruf penutup suku kata mati yaitu, uy dalam kata
apuy dan babuy, huruf g dalam kata dolog, huruf b dalam kata arbab, huruf d dalam kata bagod, huruf ah dalam kata babah dan sabah, juga ei dalam kata simbei dan ou
dalam kata sopou dan lapou. Salah satu ciri masyarakat Simalungun adalah memiliki tingkatan bahasa yang disebut dengan ratting ni hata. Adapun tingkatan tersebut adalah:
1. Lapung ni hata, merupakan bahasa sehari hari yang dipakai oleh masyarakat biasa atau bahasa yang dipakai sehari-hari.
2. Guru ni hata, merupakan bahasa yang dipakai untuk mengucapkan sesuatu dan dianggap lebih halus. Guru ni hata merupakan bahasa tertinggi yang digunakan
oleh kalangan keturunan raja-raja. Dimana bahasa tersebut adalah bahasa yang
sopan hormat, dan berisi nasehat, yang sering disampaikan melalui perumpamaan.
Misalnya adalah Simakidop artinya mata, Jambulan artinya rambut. Simakulsop
artinya mulut.
3. Sait ni hata, yaitu bahasa yang dipakai ketika seseorang marah atau menghina seseorang, karena tersinggung atas sesuatu. Sait ni hata merupakan bahasa yang
kasar, karena berisi kata-kata yang pedas, berisikan sindiran sehingga dapat
menyakitkan hati orang lain. Misalnya panjamah (tangan) bahasa kasarnya tiput.
Kesenian adalah merupakan ekspresi perasaan manusia terhadap keindahan,
dalam kebudayaan suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat deskriptif
(Koentjaraniningrat, 1980:395-397). Kesenian pada masyarakat simalungun sangat
banyak dan beragam. Taralamsyah Saragih dalam Seminar Kebudayaan Simalungun
1964 mengatakan bahwa kesenian yang ada di Simalungun dapat dibagi atas Seni
Musik (Gual), Seni Suara (doding), Seni Tari (Tortor).
2.4.1 Seni Musik
Seni musik digunakan untuk upacara-upacara hiburan dan upacara-upacara
adat lainnya misalnya upacara dukacita (pusok ni uhur) dan sukacita (malas ni uhur).
Alat-alat musik pada masyarakat simalungun dapat dimainkan secara ensamel dan
dapat pula dimainkan secara tunggal. Alat musik yang dimainkan secara ensambel
adalah Gonrang Sidua-dua dan Gonrang Sipitu-pitu.
Penggunaan instrumen sarunei dalam ensambel Gonrang Sidua-dua dan
Gonrang Sipitu-pitu sangat penting, diantaranya:
1. Manombah yaitu suatu upacara untuk mendekatkan diri kepada sembahan
2. Maranggir yaitu upacara untuk membersihkan badan dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik, dan juga membersihkan diri dari gangguan roh-roh jahat
3. Ondos Hosah yaitu upacara khusus yang dilakukan suatu desa atau keluarga agar terhindar dari mara bahaya.
4. Rondang Bittang yaitu acara tahunan yang diadakan suatu desa karena mendapatkan panen yang baik. Muda-mudi menggunakan kesempatan tersebut
untuk mencari jodoh. Adapun alat-alat musik yang dimainkan secara tunggal
Saligung, Sordam dsb. Alat-alat musik tersebut dimainkanuntuk hiburan pribadi
ketika lelah bekerja di ladang, maupun setelah pulang dari pekerjaan.
2.4.2 Seni Suara (Doding)
Musik vokal Simalungun dikenal dengan istilah doding dan ilah. Doding
dipakai untuknyanyian solo sedangkan ilah dipakai sebagai nyanyian kelompok.
(Sihotang 1993:31). Nyanyian dalam masyarakat Simalungun sangat banyak dan
memiliki fungsi masing-masing. Selain itu masyarakat Simalungun memiliki teknik
bernyanyi yang disebut inggou. Adapun nyanyian tersebut diantaranya adalah : 1. Taur-taur yaitu nyanyian yang dilagukan oleh sepasang muda-muda secara
bergantian untuk mengungkapkan perasaan stu sama lainnya.
2. Ilah yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan oleh sekelompok pemuda dan pemudi sambil menepuk tangan sambil membentuk lingkaran.
3. Doding-doding yaitu nyanyian yang dinyanyikan oleh sekelompok pemuda dan dan pemudi atau orang tua untuk menyampaikan pujian atau sindiran. Nyanyian
inijuga dapat dilagukan untuk mengungkapkan kesedihan dan kesepian.
4. Urdo-urdo atau Tihtah yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan oleh seorang ibu kepada anaknya atau seorang anak perempuan kepada adiknya. Urdo-urdo untuk
menidurkan sementara Tihtah untuk bermain.
5. Tangis-tangis yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan seorang gadis karena putus asa ataupun karena berpisah dengan keluarga karena akan menikah.
6. Manalunda/Mangmang adalah mantera yang dinyanyikan oleh seorang datu untuk menyembuhkan suatu penyakit ataupun menobatkan seorang raja pada
2.4.3 Seni Tari (Tor-Tor)
Seni tari dalam masyarakat Simalungun banyak mengalami penurunan dari
segi pertunjukan dimana pada saat ini sudah jarang dijumpai tor-tor yang sering
dilakukan pada zaman dahulu. Tor-tor yang dapat bertahan sampai saat ini adalah
Tor-tor Sombah. Adapun tor-tor yang sering dipertunjukkan pada zaman dahulu antara lain:
1. Tor-Tor Huda-Huda atau Toping-Toping yaitu tarian yang dilakukan untuk menghibur orangyang meninggal sayur matua yaitu orang yang telah berusia lanjut. Tarian ini merupakan tarian yang meniru gerakan kuda dan sebagian permainannya
memakai topeng. Pada waktu dulu tarian ini digunakan untuk menghibur keluarga
raja yang bersedih karena anaknya meninggal. Tarian ini bertujuan untuk
menyambut berbagai kelompok adat( tondong,boru, dan sanina) dan menghibur para
tamu undangan, namun mereka juga bertugas mengumpulkan oleh-oleh dari para
tamu undangan. Jaman dulu kegiatan tersebut biasa dilakukan dalam pemakaman
seorang raja.
2. Tor-tor Turahan yaitu Tor-tor yang dilakukan untuk menarik kayu untuk membangun istana atau rumah besar. Seorang mandor bergerak melompati batang
kayu yang ditarik sambil mengibaskan daun-daun yang dipegan ke batang kayu dan
ke badan orang yang menarik untuk memberi semangat.
Pada masyarakat Simalungun juga terdapat kesenian lain yang pada saat
sekarang ini sudah sangat jarang dijumpai diantaranya adalah Seni Gorga yaitu seni
ukir yang terdapat pada dinding-dinding rumah, Seni Pahat, yaitu seni membuat
patung-patung dari batu ataupun dari kayu, Seni Tenun yaitu seni membuat kayu
dengan menggunakan benang-benang yang dibentuk dengan suatu keahlian, dan Seni
Bentuk-bentuk kesenian tersebut telah banyak yang ditinggalkan oleh
masyarakat karena kurang sesuai dengan perkembangan zaman. Namun meskipun
begitu masih ada sebagian orang yang tetap mempertahankan pengetahuan tersebut
seperti Seni Tenun karena kain yang dihasilkan dari buatan tangan jauh lebih bagus
daripada buatan pabrik.
2.5 Sistem Kekerabatan
Menurut M.D. Purba dalam bukunya yang berjudul Adat Perkawinan
Simalungun(1985), ada dua cara yang umum yang dipakai untuk menarik garis
keturunan, yaitu :
1. Menarik garis keturunan hanya dari satu pihak, yaitu mungkin dari pihak
laki-laki dan mungkin pula dari pihak permpuan. Masyarakat demikian dinamakan
masyarakat unilateral. Jika masyarakat tersebut menarik garis keturunan dari pihak
laki-laki atau ayah saja, maka keturunan tersebut disebut masyarakat patrilineal. Dan
jika menarik dari garis keturunan perempuan (ibu) maka disebut matrilineal.
2. Menarik garis keturunan dari kedua orang tua, yaitu ayah dan ibu,
masyarakat demikian disebut masyarakat bilateral atau masyarakat parental.
Dari kedua cara tersebut diatas,masyarakat Simalungun termasuk masyarakat
yang menarik garis keturunan dari salah satu pihak saja, yaitu dari pihak laki-laki
atau ayah. Dengan demikian masyarakat Simalungun adalah masyarakat
perempuan dengan sendirinya akan mengikuti klan atau marga dari ayahnya
(1985:108).
Bukti bahwa garis keturunan diambil dari pihak laki-laki adalah dengan
adanya marga dalam masyarakat Simalungun. Setiap anak yang lahir dalam satu
keluarga di etnis Simalungun, secara otomatis akan memiliki marga yang sama
dengan marga si ayah.
Susunan masyarakat Simalungun didukung oleh berbagai marga yang
mempunyai hubungan tertentu, yang disebabkan oleh hubungan perkawinn.
Hubungan perkawinan antar marga-marga mengakibatkan adanya penggolongan
antar tiap-tiap marga. Marga yang satu akan mempunyai kedudukan tertentu
terhadap marga lain. Perkerabatan dalam masyarakat Simalungun disebut sebagai
Partuturan. Partuturan ini menetukan dekat atau jauhnya hubungan kekeluargaan (pardihadihaon), dan dibagi kedalam beberapa kategori sebagai berikut:
1.Tutur Manorus / Langsug
Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri. Misalnya: Botou
artinya saudara perempuan baik lebih tua atau lebih muda. Mangkela (baca: Makkela) artinya suami dari saudara perempuan dari ayah. Sima-sima artinya anak dari Nono/Nini,
2. Tutur Holmouan / Kelompok
Melalui tutur Holmouan ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat
Simalungun. Misalnya: Bapa Tongah artinya saudara lelaki ayah yang lahir
dipertengahan (bukan paling muda, bukan paling tua). Tondong Bolon artinya
pambuatan (orang tua atau saudara laki dari istri/suami). Panogolan artinya
kemenakan, anak laki/perempuan dari saudara perempuan.
Tutur Natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak
berbicara sebagai tanda hormat. Misalnya: Kaha digunakan pada istri dari saudara
laki-laki yang lebih tua. Bagi wanita, kaha digunakan untuk memanggil suami boru
dari kakak ibu. Ambia Panggilan seorang laki terhadap laki lain yang seumuran atau
bawahan.
Ikatan kekerabatan diklasifikasikan dalam suatu sistem yang dalam bahasa
Simalungun dikenal Tolu Sahundulan, yaitu :
1. Tondong (Pemberi istri)
2. Anak Boru/Boru (Penerima Istri)
3. Sanina/Sapanganonkon (Sanak saudara, individu semarga atau pembawa garis
keturunan)
Dalam masyarakat Simalungun seorang pria belum dianggap sebagai orang
dewasa dan belum dapat berperan serta dalam fungsi-fungsi adat bila yang
bersangkutan belum menikah atau sudah menikah tapi belum mempunyai keturunan.
2.5.1 Marga-marga Simalungun
Terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan akronim
SISADAPUR, yaitu: 1. Sinaga
2. Saragih
3. Damanik
4. Purba
Keempat marga ini merupakan hasil dari “Harungguan Bolon”
menyerang dan tidak saling bermusuhan, Marsiurupan bani hasunsuhan na legan, rup
mangimbang munsuh,keempat raja tersebut adalah:
1. Raja Nagur bermarga Damanik
Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa Simalungun,
Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma,
agung/terhormat, paling cerdas). Raja ini berasal dari kaum bangsawan India Selatan
dari Kerajaan Nagore. Pada abad ke-12, keturunan raja Nagur ini mendapat serangan
dari Raja Rajendra Chola dari India, yang mengakibatkan terusirnya mereka dari
Pamatang Nagur di daerah Pulau Pandan hingga terbagi menjadi 3 bagian sesuai
dengan jumlah puteranya: Marah Silau yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja
Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, tuan raja siantar dan tuan raja damanik Soro
Tilu (yang menurunkan marga rajaNagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik
Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan,
Sola) Timo Raya (yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya
Damanik Tomok). Selain itu datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja,
Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja yang berasal dari Pulau Samosir
dan mengaku Damanik di Simalungun.
2. Raja Banua Sobou bermarga Saragih
Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana Ragih
berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik aturan atau pengatur,
penyusun atau pemegang undang-undang.
Keturunannya adalah :
• Saragih Garingging yang pernah merantau ke Ajinembah dan kembali ke
di Padang Badagei, Dajawak merantau ke Rakutbesi dan Tanah Karo dan menjadi
marga Ginting Jawak.
• Saragih Sumbayak keturunan Tuan Raya Tongah, Pamajuhi, dan Bona ni
Gonrang.
Walaupun jelas terlihat bahwa hanya ada dua keturunan Raja Banua Sobou,
pada zaman Tuan Rondahaim terdapat beberapa marga yang mengaku dirinya
sebagai bagian dari Saragih (berafiliasi), yaitu: Turnip, Sidauruk, Simarmata,
Sitanggang, Munthe, Sijabat, Sidabalok, Sidabukke, Simanihuruk. Ada satu lagi
marga yang mengaku sebagai bagian dari Saragih yaitu Pardalan Tapian, marga ini
berasal dari daerah Samosir. Rumah Bolon Raja Purba di Pematang Purba,
Simalungun.
3. Raja Banua Purba bermarga Purba
Purba menurut bahasa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Purwa yang
berarti timur, gelagat masa datang, pegatur, pemegang Undang-undang, tenungan
pengetahuan, cendekiawan atau sarjana. Keturunannya adalah: Tambak,
Sigumonrong, Tua, Sidasuha (Sidadolog, Sidagambir). Kemudian ada lagi Purba
Siborom Tanjung, Pakpak, Girsang, Tondang, Sihala, Raya. Pada abad ke-18 ada
beberapa marga Simamora dari Bakkara melalui Samosir untuk kemudian menetap
di Haranggaol dan mengaku dirinya Purba. Purba keturunan Simamora ini kemudian
menjadi Purba Manorsa dan tinggal di Tangga Batu dan Purbasaribu.
4. Raja Saniang Naga bermarga Sinaga
Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal
sebagai penebab Gempa dan Tanah Longsor. Keturunannya adalah marga Sinaga di
Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan. Saat kerajaan Majapahit melakukan
Bungkuk melarikan diri ke kerajaan Batangiou dan mengaku bahwa dirinya adalah
Sinaga.
Menurut Taralamsyah Saragih, nenek moyang mereka ini kemudian menjadi
raja Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah ia mengalahkan Tuan
Raya Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou dalam suatu ritual adu
sumpah (Sibijaon). (Tideman, 1922).
2.6 Sistem Kepercayaan
Sepanjang yang dapat diketahui melalui catatan (analisis) Tiongkok sewaktu
Dinasty SWI (570-620) Kerajaan Nagur sebagai Simalungun Tua, telah banyak
disebut-sebut dalam hasil penelitian Sutan Martua Raja Siregar yang dimuat dalam
Buku Sejarah Batak oleh Batara Sangti Simanjuntak, dimana dinyatakan bahwa pada
abad ke V sudah ada Kerajaan “Nagur” sebagai satu “Simalungun Batak Friest
Kingdom” yang sudah mempunyai hubungan dagang dengan bangsa-bangsa lain
terutama dengan Tiongkok (China).
Menurut Hikayat “Parpandanan Na Bolag” (Pustaha Laklak lama Simalungun) bahwa wilayah Kerajaan Parpandanan Na Bolag (Nagur) hampir
meliputi seluruh Perca (Sumatera) bagian Utara , yang terbentang luas dari pantai
Barat berbatas dengan Lautan Hindia, sampai ke Sebelah Timur dengan Selat
Malaka, dari Sebelah Utara berbatas dengan yang disebut Jayu (Aceh sekarang)
sampai berbatas dengan Toba di sebelah Selatan.
Agama yang dianut kerajaan Nagur adalah Animisme yang disebut dengan
supajuh begu-begu/sipele begu. Sebagai jabatan pendeta disebut Datu, mereka percaya akan adanya sang pencipta alam yang bersemayam di langit tertinggi, dan
1. Naibata na i babou/i nagori atas (di Benua Atas)
2. Naibata na i tongah/i nagori tongah (di Benua Tengah)
3. Naibata na i toruh/i nagori toruh (di Benua Bawah)
Pemanggilan arwah nenek moyang disebut “Pahutahon” yaitu melalui
upacara ritual, dimana dalam acara itu roh tersebut hadir melalui “Paninggiran”
(kesurupan) salah seorang keturunannya atau seseorang yang mempunyai
kemampuan sebagai perantara (paniaran).
Menurut penelitian G.L Tichelman dan P. Voorhoeve seperti dimuat dalam
bukunya “Steenplastiek Simaloengoen” terbitan Kohler & Co Medan tahun 1936
bahwa di Simalungun (kerajaan Nagur) terdapat 156 Panghulubalang (Berhala) yaitu
patung-patung batu yang ditempatkan pada tempat yang dikeramatkan (Sinumbah)
dan ditempat inilah dilakukan upacara pemujaan.
Pelaksanaan urusan kepercayaan diserahkan kepada “Datu” yang disebut juga
“Guru”. Pimpinan “datu-datu” ini ialah “GURU BOLON”. Setiap Datu/Guru
mempunyai “Tongkat Sihir” atau “Tungkot Tunggal Panaluan” (yang diperbuat dari
kayu tanggulan yang diukir dengan gana-gana bersambung-sambung untuk mengusir
penyakit). Acara kepercayaan itu dipegang penuh oleh Datu, baik di istana maupun
di tengah-tengah masyarakat umum. Raja-raja dan kaum bangsawan mereka sebut
juga “tuhan” bukan saja disegani tetapi ditakuti masyarakat, tetapi akhirnya sesudah
masuknya agama Islam dan Kristen sebutan tersebut berubah menjadi Tuan.
Masuknya Agama Islam ke Simalungun adalah pada abad ke-15 melalui
daerah Asahan dan Bedagai yang dibawa oleh orang-orang dari kerajaan Aceh.
Awalnya perkembangan Agama Islam berada di daerah sekitar Perdagangan dan
Kemudian sekitar tahun 1903, Gereja Batak Toba (HKBP) yang berada
dalam fase perkembangan kemudian berkembang hingga menjangkau masyarakat di
luar lingkungan mereka sendiri. Pada suatu konferensi yang dilakukan pada tahun
tersebut diambil suatu keputusan untuk memulai karya misi pada masyarakat
Simalungun. Kelompok Kristen Simalungun yang masuk dari upaya ini pada
awalnya hanya sekadar bagian dari Gereja Batak Toba (dinamakan HKBP-S).
Namun pada tahun 1964 terjadi pemisahan dan lahirlah organisasi baru yang menamakan diri sebagai Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS). Salah satu bagian integral dari proses Kristenisasi adalah berupa pendirian gereja-gereja
dan sekolah-sekolah. Di sana anak-anak dan orang-orang dewasa dapat belajar
membaca dan menulis dalam bahasa mereka sendiri dan kemudian dalam bahasa
Indonesia.
2.7 Biografi Singkat Bapak Ja Huat Purba
Bapak Ja Huat Purba adalah seorang Seniman Simalungun yang ahli dalam
memainkan alat musik Sarunei Simalungun. Bapak Ja Huat Purba lahir di desa Saribu Janji, Kecamatan Pematang Purba, Kabupaten Simalungun, pada 21
Desember 1949. Ayahnya bernama Jutam Purba (Alm)seorang pemain Sarunei
Simalungun. Ibunya bernama T br. Simarmata (Alm)..Bapak Ja Huat memiliki dua
saudara perempuan dan satu saudara laki-laki, beliau merupakan anak bungsu.Selain
bekerja sebagai petani, Ayah beliau juga memiliki pekerjaan sampingan yaitu
sebagai pemain Sarunei, jiwa seni yang dimilikibeliau diwariskan oleh orang tuanya.
Beliau menikah dengan Ibu br. Saragih pada tahun 1972 dan memiliki enam orang
Beliau mengenal alat musik Sarunei dari Ayahnya dan mulai belajar alat
musik tersebut dengan cara melihat orang bermain Sarunei pada acara pesta-pesta.
Dengan keinginan yang besar beliau belajar sendiri memainkan Sarunei, Lambat
laun beliau sudah bisa memainkan Sarunei dan pada saat beliau berumur 18 tahun,
beliau sudah bisa memainkan Sarunei.
Banyak acara yang sudah diikuti oleh Bapak Ja Huat di Kabupaten
Simalungun khususnya bahkan di Sumatera Utara. Pada tahun 1974 dan 1979 bapak
Ja Huat Purba sudah di panggil ke Senayan untuk bermain Sarunei dalam Festival
Musik Nusantara. Pada saat itu bapak Ja Huat merupakan perwakilan dari kabupaten
Simalungun dan dari Sumatera Utara. Kemudian Pada tahun 1993 beliau bersama
dengan bapak Rizaldi Siagian pergi ke luar negeri seperti Prancis, Swiss, Berlin,
Belanda dan Kanada memainkan Sarunei.
Beliau merupakan seniman yang sangat disegani dan terpandang di
masyarakat Simalungun. Seperti pada acara Rondang Bintang, beliau selalu di
panggil dan menjadi juara sebagai pemain sarunei. Dikarenaka kondisi kesehatan
beliau saat sekarang sudah sangat menurun danbeliau sudah tidak dapat lagi
memainkan sarunei namun pada acara Rondang Bintang beliau selalu dipanggil
karena masyarakat Simalungun mengakui dan menghargai Bapak Ja Huat sebagai
Pemain Sarunei yang handal.Beliau mendapat berbagai penghargaan dari
pemerintah, dan pada tahun 2007-2008 beliau mendapat piagam penghargaan dari
program Revitalisasi musik Tradisi Sumatera Utara dengan kerjasama dengan
Universitas Sumatera Utara dan The Ford Foundation Jakarta.
Dari hasil wawancara saya dengan masyarakat setempat bahwa bunyi suara
sarunei yang di mainkan bapak Ja Huat purba memiliki ciri khas yang sangat
tidak bapak Ja Huat Purba yang bermain Sarunei masyarakat mengatakan ibarat
sayur tanpa garam.
Pemusik adalah pekerjaan utama bapak Ja Huat Purba.Beliau mencukupi
kebutuhan keluarga dan menghidupi anak serta istri dalam keseharian dari hasil
bekerja sebagai pemusik.
Bapak Ja Huat mengetahui alat musik Saligung melalui bapak Jintar Damanik pada tahun 90-an di Museum Simalungun yang bertempat di Siantar.
BAB III
STUDI ORGANOLOGIS SALIGUNG SIMALUNGUN
3.1 Klasifikasi Saligung
Dalam mengklasifikaskani Saligung, penulis mengacu kepada teori yang
dikemukakan oleh Sachs dan Hornbostel (1914) yaitu :
“sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar
utama bunyi. Sistem klasifikasi ini terbagi menjadi empat bagian yang
terdiri dari : idiofon ( alat itu sendiri sebagai sumber penggetar utama
bunyi,aerofon (udara sebagai sumber penggetar bunyi), membranofon
(kulit sebagai penggetar utama bunyi), dan kordofon (senar sebagai
penggetar utama bunyi).”
Sesuai dengan tinjauan penelitian mengenai organologis alat musik Saligung.
Peneliti mengklasifikasikan alat musik ini ke dalam kelompok aerofone. Aerofone
ada beberapa jenis yaitu, Blown Flute, End Blown Flute, Side Blown Flute, Rim
Blown Flute, Wistle Flute, Nose Flute. Dengan mengacu pada teori diatas, maka alat
musik Saligung jika dilihat dari sumber bunyinya yaitu alat musik yang memiliki prinsip kerja hembusan udara, alat musik Saligung ini di golongkan ke pada klasifikasi aerofone yaitu sumber utama bunyi yang dihasilkan oleh getaran udara.
Sedangkan dalam pembagian jenis klasifikasi aerofone, musik Saligung tergolong
3.2Konstruksi Bagian –Bagian Saligung
Konstruksi bagian Saligung adalah gambaran tentang nama yang terdapat pada bagian alat musik Saligung yang mana alat musik ini memiliki 7 lubang, diantaranya adalah 4 lubang nada, 1 lubang penyelaras nada, 1 lubang Panoppulan
dan 1 lubang keluaran udara.
Gambar 3 : Keluaran Udara
3.3 Teknik Pembuatan
Pembuatan Saligung masih sangat sederhana. Semua proses pengerjaan
Saligung tersebut mulai dari tahap pengadaan bahan sampai proses pembuatan dikerjakan tanpa adanya campur tangan mesin. Berikut ini akan dijelaskan bahan,
alat-alat serta fungsi masing-masing yang digunakan dalam pembuatan Saligung.
3.3.1 Bahan Baku Yang Digunakan
Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan Saligung sangat sederhana. Pembuatan Saligung tidaklah sesulit pembuatan alat musik Simalungun yang lain
seperti Gonrang ataupun Arbab yang membutuhkan bahan baku yang kompleks dengan proses yang sulit dan butuh waktu yang sangat lama. Saligung adalah salah satu alat musik Simalungun yang sederhana dalam proses pembuatannya. Sebab
bahan utama yang digunakan dalam pembuatan Saligung hanya seruas bambu.
Bambu adalah
batangnya. Bambu memiliki banyak tipe. Nama lain dari bambu adalah buluh dalam
bahasa Simalungun. bambu merupakan tanaman yang tidak asing lagi bagi
masyarakat Indonesia. Tanaman ini dapat tumbuh di daerah iklim basah sampai
iklim kering Menurut Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999,hal 78).
Untuk pembuatan alat musik Saligung bahan yang digunakan adalah hanya Bambu. Dimana bambu yang digunakan adalah bambu Dihon ataupun bambu
lemang, hal tersebut disebabkan bahwa bambu Dihon memiliki ruas yang tidak
terlalu panjang dan tipis serta berdiameter tidak terlalu besar. Namun karena sulitnya
memperoleh bambu Dihon maka dapat diganti dengan bambu Lemang yang
memiliki ciri-ciri yang hampir menyerupai bambu Dihon. Mengapa harus bambu
yang memiliki ruas pendek? Hal tersebut disebabkan karena tekanan udara yang
dikeluarkan dari hidung lemah. Sehingga ruang bambu yang pendek lebih
memudahkan pemunculan suara yang dihasilkan dari tekanan udara lemah dari
Gambar 4 : pohon bambu
3.3.2 Peralatan Yang digunakan
Merupakan benda-benda atau alat yang dipakai untuk proses pembuatan
Saligung. Selain bahan baku yang sederhana, peralatan yang digunakan untuk pembuatan Saligung juga tidak begitu banyak dan sederhana, yaitu hanya membutuhkan parang, daun lalang, pisau besar dan kecil, pukkor atau paku, kertas
pasir dan arang.
Daun lalang digunakan untuk mengukur panjang bambu dan menentukan
jarak lobang nada. Jika sulit untuk mengukur dengan menggunakan daun lalang,
dapat diganti dengan menggunakan Penggaris.
Gambar 5 : Daun Lalang
Gambar 6 : Penggaris
3.3.2.2 Parang
Parang yang digunakan adalah parang yang berukuran besar dan panjang,
Gambar 7 : Parang
3.3.2.3 Pisau Besar
Pisau besar digunakan untuk mengikis pangkal ruas dan ujung ruas bambu.
Gambar 8 : Pisau Besar
3.3.2.4 Pisau Kecil
Pisau kecil digunakan untuk membuat lobang Panoppulan (lobang hembusan), serta lobang keluaran udara. Disini jenis pisau yang digunakan harus
memiliki ujung yang lancip dan tajam agar lebih mudah untuk pembuatan lobang
Gambar 9 : Pisau Kecil
3.3.2.5 Pukkor atau Paku
Pukkor adalah sejenis besi panjang yang digunakan untuk pembuatan lobang nada,jika tidak ada pukkor dapat juga menggunakan paku yang berdiameter kurang lebih 2 cm.
Gambar 10 : Paku
3.3.2.6 Kertas Pasir
Kertas pasir digunakan dalam proses penghalusan batang bambu, terutama
Gambar 11 : Kertas Pasir
3.3.2.7 Arang
Arang digunakan untuk memberi tanda jarak nada dan memberi garis pada
saat pengukuran nada.
Gambar 12 : Arang
3.4.3 Proses Pembuatan
Dalam proses pembuatan Saligung ini yang pertama dilakukan dengan
mempersiapkan bahan baku yaitu bambu dihon atau bambu lemang sebagai bahan
yang di gunakan dalam membuat Saligung.
3.4.3.1 Memilih dan Menebang Bambu
Pemilihan bambu yang berkualitas akan sangat berpengaruh terhadap daya
tahan atau kekuatan bambu tersebut. Jenis bambu yang baik untuk dijadikan alat
musik Saligung adalah bambu yang sudah tua dan matang. Hal ini dimaksudkan agar
bambu tersebut tidak mengalami perubahan fisik dan tidak mudah kisut/susut
sewaktu dikeringkan.
Kemudian memilih ruas bambu sesuai dengan ukuran untuk membuat
Saligung yaitu memiliki panjang ruas kurang lebih 35 cm dan diameter lebih kurag 5 cm. Pada umumnya bambu yang memiliki ruas pendek tumbuh di tanah yang tandus.
Bapak Ja huat purba mengatakan bahwa bambu yang sangat baik untuk di jadikan
Saligung dalah bambu yang marsining3, dan bambu terdapat gigitan limbatar4
Menurut hasil wawancara yang penulis lakukan dengan Bapak Sinaga, untuk
menebang bambu biasanya dilakukan pada sore hari. Hal tersebut dikarenakan erat
dengan kebiasaan masyarakat setempat yang melakukan pekerjaan tambahan setelah
.
Dengan demikian, tidak semua jenis bambu dapat dipergunakan untuk membuat
Saligung. Hal ini disebabkan karena pertimbangan kualitas jenis bambu sebagai
bahan untuk mencapai kesempurnaan bunyi yang dihasilkan dari alat musik
Saligung.
3
Marsining yaitu pada badan bambu terdapat garis alami yg disebabkan oleh sinar matahari 4
selesai melakukan pekerjaan pokok contohnya mengambil bambu dilakukan ketika
hendak pulang dari ladang yang biasaanya pada sore hari.
3.4.3.2 Memotong Bambu
Satu ruas bambu di potong di kedua batas ruasnya dengan menggunakan
parang besar, dimana kedua batas ruas bambu harus dipakai untuk membuat
Saligung. Batas pangkal bambu akan dipakai menjadi lubang hembusan dan batas ujung bambu akan menjadi lubang keluaran udara, pada saat memotong batas ruas
bambu jangan terlalu memotong bambu sampai terkena batas ruas bambu terutama
pada bagian pangkal, karena pada saat pembentukan pangkal panoppulan akan lebih
mudah untuk mengukur kemiringan dari bentuk pangkal panoppulan.
Gambar 13 : cara memotong bambu
3.4.3.3 Mengikis Batas Ruas Pangkal Bambu
untuk mengikis batas ruas pangkal bambu. alat yang digunakan untuk
mengikisnya adalah parang kecil yang tajam, agar lebih mempermudah dalam
pengikisan batas ruas pangkal bambu yang akan menjadi lubang hembusan. Dalam
pengikisan tersebut ujung pangkal hembusan harus tipis dan dengan kemiringan
saligung dimana posisi lobang hidung dan lubang panoppulan yang membuat pemain
Saligung merasa nyaman dalam memainkan Saligung.
Gambar 14 : Cara mengikis batas pangkal Bambu
Gambar15 : bentuk batas pangkal ruas
bambu (Panoppulan)
3.4.3.4 Mengikis Batas Ruas Ujung Bambu
Alat yang digunakan dalam mengikis ujung keluaran yaitu parang kecil yang
tajam. Lubang keluaran udara tidak harus membentuk suatu pola atau bentuk tertentu
misalanya seperti pada lubang panumpulan dengan kemiringan tertentu. Hanya pada batas ujung bambu jangan sampai pecah atau sampai melewati batas ruas. Dengan
Gambar 16 : cara mengikis ujung bambu
Gambar 17 : bentuk ujung bambu (keluaran udara)
3.4.3.5 Mengukur jarak dan Menggarisi
Mengukur satu ruas panjang bambu yang akan dijadikan bahan Saligung.
Panjang seluruh ruas bambu di bagi dua, merupakan posisi tempat untuk lubang nada
paling tinggi. Seperempat panjang ruas akan menjadi lubang nada paling rendah dan
dengan lubang penyelaras nada. Sedangkan untuk membuat lubang nada, maka jarak
lubang nada terendah ke lubang nada paling tinggi di bagi tiga.
Cara pengukuran seperti ini dapat dipermudah dengan alat bantu tradisional
seperti daun lalang, tali plastik atau benda sejenis tali. Dengan cara memotong alat
ukur sepanjang ruas bambu yang akan dibuat menjadi saligung. Kemudian dilipat
dua untuk mendapatkan lubang nada tertinggi. Kemudian untuk mendapatkan lubang
nada terendah kita tinggal melipat dua alat ukur itu lagi. Lalu lipat dua lagi untuk
mendapatkan lubang penyelaras dari ujung ruas. Untuk mendapatkan lubang nada
maka jarak lubang nada terendah ke lubang nada tertinggi alat ukur dilipat tiga. Cara
pengukuran seperti ini merupakan cara pengukuran tradisional dan sangat sederhana
yang diwariskan turun temurun oleh guru bapak Ja Huat purba yang hanya
menggunakan daun lalang dan insting dalam menentukan nada.
Gambar 19 : Pengukuran Garis Tengah (lalang dilipat dua)
Gambar 21 : Pengukuran Lubang penyelaras (daun lalang di lipat dua kembali)
Gambar 23 : Pengukuran Lobang nada Ketiga
Setelah selesai pengukuran, Semua ukuran yang telah dibuat akan diberi
tanda garis dengan menggunakan arang, yang prosesnya disebut menggarisi. Garis
dibuat agar ketika menentukan titik lubang jaraknya tidak berubah.
Gambar 24 : Garis Lubang Nada
Tahap penyempurnaan merupakan proses finishing dari pembuatan. Dimana
pada tahap sebelumnya merupakan tahap pembentukan badan saligung seperti
memotong bambu, pembuatan pangkal Panoppulan, ujung keluaran udara, dan mengukur / memberi tanda lubang nada pada badan Saligung.
Pada tahap proses penyempurnaan adalah memberi lubang pada Saligung,
hal pertama yang dilakukan adalah pembuatan lubang Panoppulan dan lubang
keluaran udara setelah itu memberi lubang nada yang sudah diukur jaraknya dan
diberi garis. Setelah proses pelubangan selesai, maka dilanjutkan dengan
penghalusan badan Saligung, terutama pada bagian pangkal Panoppulan, Dengan tujuan agar bagian pangkal Panoppulan tidak terdapat sisa potongan-potongan bambu yang bisa menggangu atau memberi rasa sakit terhadap lubang hidung.
penghalusan dilakukan dengan cara menggesekkan kertas pasir pada badan
Saligung, pangkal, dan ujung bambu.
3.5.1 Pelubangan Awal Bagian Saligung
Pelubangan awal dimulai dari lubang hembusan yang berada pada pangkal
ruas bambu, kemudian diikuti dengan melubangi lubang keluaran udara yang berada
pada ujung ruas bambu. Setelah lubang hembusan dan lubang keluaran udara selesai,
yang terakhir melubangi lubang nada.
Lubang panoppulan5 berada pada pangkal ruas bambu yang akan dijadikan lubang hembusan Saligung. Ruas yang sudah tipis dan sudah terbentuk di lubangi dengan menggunakan ujung pisau yang lancip dan tajam, bentuk dari lubang
panopulan tersebut membentuk pola kurang lebih seperti bulan sabit. Mengapa harus berbentuk pola bulan sabit karena berhubungan dengan lubang hidung yang kecil,
dengan kondisi lubang hidung yang kecil sehingga produksi udara yang dihasilkan
sedikit. Selain itu bentuk bulan sabit tersebut sangat membantu dalam pembelahan
udara sehingga dapat menghasilkan bunyi. Pada proses pembentukan lubang
panoppulan dibutuhkan ketelitian yang lebih hati-hati agar batas ruas bambu tidak pecah dan jangan lubang terlalu besar ataupun kecil karena pada lubang panoppulan
adalah bagian terpenting pada alat musik Saligung untuk memproduksi bunyi.
Gambar 25 : Pembentukan lubang hembusan
3.5.1.2 Pembentukan Lubang Keluaran Udara
Lubang keluaran udara terdapat pada ujung ruas bambu yang akan dijadikan
saligug. Pada proses pembentukan lubang keluaran udara alat yang digunakan pisau
5