• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI ORGANOLOGIS SALIGUNG SIMALUNGUN BUATAN BAPAK JA HUAT PURBA DI DESA TENGKOH, KECAMATAN PANOMBEAN PANE, KABUPATEN SIMALUNGUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI ORGANOLOGIS SALIGUNG SIMALUNGUN BUATAN BAPAK JA HUAT PURBA DI DESA TENGKOH, KECAMATAN PANOMBEAN PANE, KABUPATEN SIMALUNGUN"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI ORGANOLOGIS SALIGUNG SIMALUNGUN BUATAN

BAPAK JA HUAT PURBA DI DESA TENGKOH, KECAMATAN

PANOMBEAN PANE, KABUPATEN SIMALUNGUN

SKRIPSI SARJANA

O

L

E

H

NAMA : TRIBUDI SYAHPUTRA PURBA

NIM : 100707039

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(2)

ii

STUDI ORGANOLOGISSALIGUNG SIMALUNGUN BUATAN

BAPAK JAHUAT PURBA DIDESA TENGKOH, KECAMATAN

PANOMBEAN PANE, KABUPATEN SIMALUNGUN

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H

NAMA : TRIBUDI SYAHPUTRA PURBA NIM : 100707039

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si Drs. Kumalo Tarigan, M.A.

NIP 195608281986012001 NIP 195812131986011002

Skripsi ini diajukan kepada panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(3)

iii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2014

TRIBUDI SYAHPUTRA PURBA NIM : 100707039

(4)

iv

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Studi OrganologisSaligung Simalungun Buatan Bapak Ja Huat Purba Di Desa Tengkoh, Kecamatan Panombean Pane, Kabupaten Simalungun”.

Permasalahan yang paling pokok dalam penelitian skripsi ini adalah tentang proses pembuatan saligung. Tujuan utama penelitian ini adalah jawaban atas permasalahan yang peneliti temukan, dan untuk melestarikan kembali alat musik Simalungun yang sudah hampir punah berdasarkan pertimbangan ilmu organologi agar masyarakat Simalungun khususnya tidak lupa akan alat musiknya sendiri. Pemilihan metode ini berdasarkan arah dan sifat penelitian yang cenderung untuk memberi pemaparan dan gambaran secara sistematis tentang bagaimana cara untuk membuat Saligung. Objek penelitian ini adalah seorang informan yaitu Bapak Ja Huat Purba. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui wawancara dan observasi. Hasil penelitian yang diperoleh adalah bahwa dalam proses pembuatan Saligung yang baik harus benar-benar dapat memahami kualitas bahan, proses pembuatan, menerapkan ilmu organologi dengan sentuhan estetis tanpa mengurangi kualitas bunyi dari Saligung itu sendiri.

(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis ucapkan kehadirat Tunhan yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penyusunan skripsi yang berjudul “Study Organologi Saligung Simalungun Buatan

Bapak Ja Huat Purba Di Desa Simbolon Tengko Kecamatan Panombean Pane Kabupaten Simalungun”. Ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar

sarjana seni S-1 pada Departemen Etnomusikologi, Fakultas lmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua tercinta Bapak M. Purba dan mama H.br Sijabat yang telah membesarkan penulis dengan kasih sayang dan bersusah payah membiayai, mendoakan, dan mendukung serta memberikan semangat yang luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaiakan skripsiini. Juga kepada saudara/i penulis yang tersayang : Abangku Robert Pardamen Purba, Viktor Manogari Purba, kakak saya tersayang Anita br Purba dan adik saya (Alm) Hendra Reza Gunawan Purba. Keluarga yang selalu memberi dorongan, semangat dan doa, sebagai inspirasi dalam tulisan ini.

Terima Kasih Kepada Ketua Departemen Etnomusikologi Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D. dan Dra. Heristina Dewi M.PD selaku sekretaris Departemen Etnomusikologi yang telah memberikan dukungan dan bantuan administrasi serta registrasi perkuliahan dalam menyelesaikan tugas akhir penulis.

Terima Kasih Kepada Bapak Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si selaku dosen pembimbing I dan Drs. Komalo Tarigan, M.A. selaku dosen pembimbing yang telah dengan sabar, tekun, tulus dan ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran

(6)

vi

memberikan bimbingan, motivasi, arahan, dan saran-saran yang sangat berharga kepada penulis selama menyusun skripsi.

Terima Kasih Kepada Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan tak lupa kepada ibu Adli yang telah banyak membantu di kantor jurusan, serta kepada seluruh staf pengajar jurusan etnomusikologi penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan bantuan yang diberikan, sehingga memperluas wawasan penulis dalam pengetahuan selama mengikuti perkuliahan.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh informan bapak Ja Huat Purba, dan Keluarga, kepada bapak S sinaga dan kepada oppung R. br Sipayung yang telah mau menerima penulis selama melakukan penelitian.

Ucapan terima kasih juga kepada sahabat-sahabat saya yang telah membantu dalam melaksanakan penelitian, Chandra Marbun, Marihot Purba, Roberto Murphy Manik S.Kom, Benny Sofyan Samosir S.Si, Tomy Manurung S.Sn, Michael Sibarani S.Kom, Dermawan Siboro, Imelda Nadeak, Roman Hutagalung, Mario sinaga, Laorent dan kepada seluruh angkatan 2010. Terima Kasih yang special kepada Erni Juita br Marbun, yang selalu memberi semangat, doa dan insprasi kepada penulis, sehingga penulis selalu bersemangat dalam menyelesaikan penulisan ini.

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan, sehingga penulis mengharapkan adanya saran dan kritikyang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. sehingga lebih mengarah kepada kemajuan ilmu pengetahuan, yang khususnya di bidang ilmu etnomusikologi.

(7)

vii

penulis berharap tulisan ini dapat berguna dan menambah pengetahuan serta informasi baru bagi seluruh pembaca.

Medan, ...2014

Penulis

(8)

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi DAFTAR GAMBAR ... ix BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 LatarBelakangMasalah ... 1 1.2 PokokPermasalahan ... 7 1.3 TujuandanManfaat Penelitian ... 7 1.3.1 TujuanPenelitian ... 7 1.3.2 ManfaatPenelitian ... 7 1.4 KonsepdanTeori ... 8 1.4.1 Konsep ... 8 1.4.2 Teori ... 9 1.5 Metode Penelitian ... 11 1.5.1 StudiKepustakaan ... 11 1.5.2 KerjaLapangan ... 12 1.5.3 Wawancara …... 12 1.5.4 KerjaLaboratorium ... 12 1.6 Lokasi Penelitian ... 13

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN BIOGRAFI BAPAK JA HUAT PURBA ... 14

2.1 Lokasi Penelitian ... 14 2.2. Keadaan Penduduk ... 15 2.3. Sistem Bahasa ... 16 2.4. Sistem Kesenian ... 18 2.4.1 Seni Musik ... 18 2.4.2 Seni Suara ... 19 2.4.3 SeniTari( Tor-tor ) ... 20 2.5 Sistem Kekerabatan ... 22 2.5.1 Marga-Marga Simalungun ... 24 2.6 Sistem Kepercayaan ... 27

2.7 Biografi Singkat Bapak Ja Huat Purba ... 29

BAB III STUDI ORGANOLOGIS SALIGUNG SIMALUNGUN ... 32

3.1 Klasifikasi Saligung Simalungun ... 32

3.2 Konstruksi Bagian-Bagian Saligung ... 33

3.3Teknik Pembuatan ... 34

3.3.1 Bahan Baku yang Digunakan ... 34

3.3.1.1 Bambu …... 34

3.3.2 Peralatan yang Digunakan ... 36

3.3.2.1 DaunLalang/ Penggaris …... 36

3.3.2.2 Parang …... 37

3.3.2.3 Pisau Besar …... 37

(9)

ix

3.3.2.5 Pukkor Atau Paku …... 39

3.3.2.6 Kertas Pasir ... 39

3.3.2.7 Arang ... 40

3.4.3 Proses Pembuatan ... 40

3.4.3.1 Memilih dan Menebang Bambu ... 40

3.4.3.2 Memotong Bambu …... 41

3.4.3.3 Mengikis Batas Ruas Pangkal Bambu( Lobang Panoppulan ) ... 42

3.4.3.4 Mengikis Batas Ruas UjungBambu ( KeluaranUdara ) …... 43

3.4.3.5 Mengukur Jarak dan Menggarisi ... 44

3.5 Tahap Penyempurnaan ... 49

3.5.1 Pelobangan Awal Bagian Saligung ... ... 49

3.5.1.1 PembentukanLubang Panoppulan ... 50

3.5.1.2 Pembentukan Lubang Keluaran Udara ... 51

3.5.1.3 Pelobangan Nada ... 51

3.5.1.4 Penghalusan …... 54

3.6 Ukuran Bagian–Bagian Saligung ... 55

3.7 Kajian Fungsional ... 56

3.7.1 Proses Belajar ... 57

3.7.2 Sistem Pelarasan Bunyi ... 58

3.7.3 Cara Memainkan Saligung ... 60

3.7.4 Nada Yang Di Hasilkan Alata Musik Saligung ... 63

3.7.5 Teknik Memainkan Saligung ... 67

3.8 Penyajian Saligung ... 69

BAB IV EKSISTENSI DAN FUNGSI SALIGUNG SIMALUNGUN ... 72

4.1 Sejarah Saligung ... 72

4.2 Fungsi dan Penggunaan Saligung ... 74

4.2.1 Penggunaan ... 75 4.2.1.1 Estetika …... 75 4.2.2 Fungsi ... 76 4.2.2.1 FungsiPengungkapanEmosional ... 77 4.2.2.2 Fungsi Komunikasi ... 78 4.2.2.3 Fungsi Hiburan ... 79

4.2.2.4 Fungsi yang Berkaitan Dengan Norma Sosial ... 79

4.3 EksistensiSaligungSimalungun ... 81

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 84

5.1 Kesimpulan ... 84

5.2 Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 87

(10)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Badan Saligung ... 33

Gambar 2 : Lubang Panoppulan ... 33

Gambar 3 : Keluaran Udara ... 33

Gambar 4 : Pohon Bambu ... 35

Gambar 5 : Daun Lalang ... 36

Gambar 6 : Penggaris ... 37

Gambar 7 : Parang ... 37

Gambar 8 : Pisau Besar ... 38

Gambar 9 : Pisau Kecil ... 38

Gambar 10 : Paku ... 39

Gambar 11 : Kertas Pasir ... 39

Gambar 12 : Arang ... 40

Gambar 13 : Cara Memotong Bambu ... 42

Gambar 14 : Cara Mengikis Batas Pangkal Bambu ... 43

Gambar 15 : Bentuk Batas Pangkal Ruas Bambu (Panoppulan) ... 43

Gambar 16 : Cara Mengikis Ujung Bambu ... 44

Gambar 17 : Bentuk Ujung Bambu ... 44

Gambar 18 : Pengukuran Awal ... 45

Gambar 19 : Pengukuran Garis Tengah ... 46

Gambar 20 : Pengukuran Untuk Membuat Lubang Nada Terakhir ... 46

Gambar 21 : Pengukuran Lubang Penyelaras ... 47

Gambar 22 : Pengukuran Lubang Nada Kedua ... 47

Gambar 23 : Pengukuran Lubang Nada Ketiga ... 48

Gambar 24 : Garis Lubang Nada ... 48

Gambar 25 : Pembentukan Lubang Hembusan ... 50

Gambar 26 : Pembentukan Lubang Keluaran Udara ... 51

Gambar 27 : Pelubangan Nada Pertama ... 52

Gambar 28 : Pelubangan Nada Kedua ... 52

Gambar 29 : Pelubangan Nada Ketiga ... 53

Gambar 30 : Pelubangan Nada Keempat ... 53

Gambar 31 : Pelubangan Nada Penyelaras ... 54

Gambar 32 : Menghaluskan Batas Panoppulan. ... 54

Gambar 33 : Menghaluskan Lubang Keluaran Udara ... 55

Gambar 34 : Ukuran Bagian Saligung ... 56

Gambar 35 : Posisi Tangan ... 62

Gambar 36 : Posisi Badan Ketika Menghembus Saligung ... 62

Gambar 37 : Posisi Hidung Terhadap Lubang Hembusan ... 62

Gambar 38 : Posisi Jari Terhadap Lubang Nada Pada Saligung ... 64

Gambar 39 : Nada F ... 64 Gambar 40 : Nada G ... 65 Gambar 41 : Nada A ... 65 Gambar 42 : Nada #A ... 66 Gambar 43 : Nada C ... 66 Gambar 44 : Tablatular ... 68

(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Masyarakat Simalungun adalah salah satu kelompok etnis yang ada di wilayah Provinsi Sumatera Utara. Etnis Simalungun merupakan salah satu dari lima kelompok etnis batak lainnya yaitu Toba, Karo, Pak-pak, dan Mandailing-Angkola (Bangun, 1993 : 94). Setiap etnis yang ada di Sumatera Utara, baik itu etnis batak maupun etnis lainnya memiliki kebudayaan, serta adat istiadat yang berbeda beda. Demikian juga halnya dengan simalungun, dimana masyarakat Simalungun memiliki kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun baik secara lisan maupun tulisan oleh leluhurnya. Salah satu bentuk kebudayaan itu adalah kesenian. Ada banyak kesenian pada masyarakat Simalungun diantaranya adalah seni tari, seni musik, dan seni rupa. Pada tulisan ini penulis lebih terfokus untuk mengkaji aspek musiknya.

Pada masyarakat Simalungun, seni musik terbagi dua bagian besar, yaitu musik vokaldan musik instrumen. Musik vokal dalam masyarakat Simalungun disebut Doding, Bernyanyi dalam bahasa Simalungun disebut Mandoding. Beberapa jenis nyanyian rakyat pada masyarakat Simalungun yaitu : Taur-taur simanggei (nyanyian cinta), Ilah (nyanyian untuk bekerja), Urdo-urdo (nyanyian untuk menidurkan anak), Tihtah (nyanyian permainan anak), Tangis (tangisan), Mandilo

tonduy dan Manalundu/Mangmang (nyayian untuk pengobatan) dan juga Inggou Turi-turian (nyanyian bercerita). Selain musik vokal, masyarakat Simalungun juga

memiliki musik instrument yang terbagi dalam beberapa klasifikasi, yaitu : Idiofon(Mongmongan, Ogung, Sitalasayak, Garantung), Membranofon(Gonrang sidua-dua, Gonrang sipitu-pitu/Gonrang bolon), Kordofon(Arbab, Husapi,

(12)

2

Jatjaulul/Tengtung), Aerofon(Sarunei bolon, Sarunei buluh, Tulila, Sulim, Sordam, Saligung, Ole-ole, Hodong-hodong, dan Ingon-ingon).

Alat musik simalungun dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu musik yang dimainkan secara ensambel, dan musik yang dimainkan secara tunggal. Musik ensambel yang terdapat pada masyarakat simalungun yaitu Gonrang Sidua-duadan Gonrang Bolon. Gonrang Sidua-dua merupakan seperangkat musik tradisional Simalungun yang terdiri atas dua buah Mongmongan, dua buah Gonrang, dua buah Ogung, dan satu buah Sarune Bolon. Gonrang Bolon yaitu seperangkat alat musik tradisional Simalungun yang terdiri atas dua buah Ogung, dua buah Mongmongan, tujuh buah Gonrang dan satu buah Sarunei Bolon. Kedua ensambel musik tersebut memiliki fungsi yang sama yaitu untuk upacara religi, upacara adat, malas ni ruha dan upacara sayur matua. Gonrang Sidua-dua dan Gonrang Bolon juga di gunakan untuk mengiringi tarian atau tor-tor.

Pada masyarakat Simalungun terdapat juga alat musik yang dimainkan secara tunggal. Diantaranya adalah Sordam, Husapi, Tulila, Sulim, dan Saligung. Pada tulisan ini penulis ingin mengkaji tentang alat musik yang dimainkan secara tunggal pada masyarakat simalungun yaitu Saligung.

Pada zaman dahulu Saligung adalah alat musik yang digunakan

garama1untuk menyampaikan perasaannya kepada gadis yang dicintainya, dimana pria tersebut tidak berani mengungkapkan perasaannya secara langsung kepada seorang wanita dan juga Saligung di gunakan untuk pelipur lara.

Orang yang memainkan Saligung disebut parsaligung, kata “par” menjadi awalan dari kata “saligung” yang berarti orang yang memainkan. Orang yang masih mengerti tentang cara pembuatan Saligung Simalungun adalah Bapak Jahuat Purba,

1

(13)

3

beliau mengenal Saligung pada tahun 90-an yaitu dengan melihat Saligung buatan Bapak Jintar Damanik. Keunikan alat musik Saligung menjadi alasan beliau tertarik untuk mengetahui cara memainkan dan membuat Saligung. Bapak Ja Huat purba adalah salah satu pembuat (pambahen) Saligung, selain mengetahui tentang cara pembuatan Saligung beliau juga mengerti tentang cara memainkannya. Beliau juga dikenal sebagai tokoh masyarakat yang tetap mendukung kelestarian musik tradisional Simalungun, seperti memperkenalkan kebudayaan musik Simalungun pada muda-mudi Simalungun pada acara pesta Rondang Bintang.

Saligung merupakan alat musik yang sangat unik. Dikatakan alat musik yang

unik karena saligung dimainkan atau di hembus dengan menggunakan hidung yang merupakan satu-satunya alat musik yang di mainkan atau di hembus dengan hidung yang ada di sumatera utara. Saligung adalah alat musik yang terbuat dari bambu, bambu merupakan tanaman yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Tanaman ini dapat tumbuh di daerah iklim basah sampai iklim kering Menurut Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999,hal 78).

Menurut Bapak Ja Huat Purba bahwa bambu yang digunakan untuk membuat

Saligung adalah bambu Dihon, dikarenakan bambu dihon lebih tipis dan ruasnya tidak

panjang. Saligung tergolong dalam klasifikasi aerofon, yang memiliki empat lubang

nada, satu lubang hembusan, satu lobang keluaran udara dan satu lubang penyelaras nada. alat musik Saligung ini hanya bisa memainkan bebarapa lagu yang mana biasanya lagu-lagu yang di mainkan sebagai gambaran kesedihan (Tangis-tangis) dan ungkapan perasaan.

Cara pembuatan Saligung yaitu batas ruas bambu bagian terluar (lubang panoppulan) dikikis membentuk miring dengan tujuan agar letak hidung dengan sisi lubang hembusan tepat, sehingga si pemain merasa nyaman. Selain itu kedua sisi

(14)

4

terluar ruas bambu di kikis setipis mungkin namun jangan sampai pecah. Setelah proses pengkikisan, dilanjutkan dengan proses pembuatan lubang hembusan, dengan bahasa Simalungun panoppulan yang artinya penghembusan dan manoppul artinya menghembus dan pelubangan keluaran udara. Kemudian dilanjutkan dengan proses pembuatan lubang nada.

Musik tentu tidak lepas dari alat pendukungnya, yaitu alat musik. Dalam tulisan ini, penulis lebih terfokus kepada alat musik Saligung, Dimana alat musik

Saligung saat ini sudah terancam punah.

Proses perjalanan kesenian tradisional saat sekarang sudah menapak ke posisi krisis, akibat derasnya arus perubahan berupa adaptasi, akulturasi, enkulturasi. Proses perubahan ini bisa saja bermanfaat apabila masyarakat pendukung suatu kebudayaan dapat menjadikan budaya sebagai modal menghadapi kehidupan modis yang semakin kompleks. Namun sebaliknya, terjadinya pergeseran nilai-nilai dapat pula mengikis nilai-nilai budaya tradisional.

Globalisasi merupakan perkembangan kontemporer yang mempunyai pengaruh dalam mendorong munculnya berbagai kemungkinan tentang perubahan dunia yang akan berlangsung. Pengaruh globalisasi dapat menghilangkan berbagai halangan dan rintangan yang menjadikan dunia semakin terbuka dan saling bergantung satu sama lain. Dapat di katakan bahwa globalisasi membawa dampak baru tentang konsep "Dunia Tanpa Batas" yang saat ini menjadi realita dan sangat mempengaruhi perkembangan budaya dan membawa perubahan baru,Selain globalisasi penyebab goyahnya ketahanan budaya adalah modernisasi.

Modernisasi menurut Soerjono Soekanto adalahsuatu bentuk dari perubahan sosial yang terarah yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasanya dinamakan social planning (dalam buku Sosiologi: suatu pengantar).

(15)

5

Pada saat sekarang kesenian tradisional sudah semakin terpinggirkan/terasing karena dianggap kurang praktis dan banyak aturannya. Masyarakat lebih memilih menggunakan alat musik yang ringkas, instan dan murah dalam hal dana penyelenggaraannya, sehingga semakin kuat kecenderungan memadukan alat musik modern (keyboard) dan alat musik tradisional. pertunjukan kesenian tradisional tidak lagi menggunakan alat musik tradisional, melainkan menggunakan alat musik keyboard tunggal yang kini semakin trend.

Disisi lain penggunaan alat musik modern, seperti keyboard dapat membantu proses pertunjukan kesenian tradisional. Tetapi sebaliknya, penggunaan alat musik modern akan menggeser dan akhirnya menghilangkan kesenian tradisional. Hal ini sejalan dengan konsep kebudayaan yang mengatakan bahwa kebudayaan merupakan suatu hal yang dipelajari maupun diwariskan secara turun temurun oleh leluhurnya.

Dampak dari globalisasi dan modernisasi sampai pada masyarakat Simalungun khususnya pada salah satu alat musik tradisional Simalungun yaitu

Saligung. Berdasarkan hasil wawancara saya dengan Bapak Ja Huat Purba, beliau

mengatakan bahwa Saligung digunakan untuk menyampaikan perasaan, Pelipur lara selain itu juga sebagai tanda bahwa si Garama sudah berada didepan rumah si Anak

Boru2. Tetapi pada saat sekarang eksistensi alat musik Saligung sudah hampir hilang dari masyarakat Simalungun, untuk penyajiannya hanya bapak Setia Dermawan purba yang selalu mempertunjukan Saligung, Dan untuk yang Mengetahui tentang bagaimana cara pembuatan alat musik Saligung hanya bapak J Badu Purba dan bapak Ja Huat purba. Melihat dari keberadaan alat musik Saligung yang sudah hampir punah penulis mewawancarai bapak S sinaga tentang keberadaan alat musik

Saligung, beliau adalah tokoh masyarakat di dareah tempat penelitian penulis. Beliau

2

(16)

6

mengatakan bahwa masyarakat Simalungun lebih cenderung mengikuti perkembangan zaman sehingga alat musik Saligung dilupakan.

Menurut Bapak JaHuat Purba, pada saat beliau masih kecil alat musik

Saligung sudah jarang di mainkan seperti layaknya Suling,Sarune Simalungun dan

lain sebagainya. Dan saat sekarang menurut bapak JaHuat Purba boleh dikatakan bahwa Saligung sudah hilang dari masyarakat Simalungun.

Dari uraian tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji, menganalisa dan menuliskannya menjadi sebuah tulisan ilmiah yang diberi judul “Studi Organologis Saligung Simalungun Buatan Bapak Ja Huat Purba di Desa Tengkoh, Kecamatan Panombean Pane, Kabupaten Simalungun”

1.2 Pokok Permasalah

1. Bagaimana proses dan teknik pembuatan Saligung Simalungun yang dilakukan Bapak Ja Huat Purba?

2. Bagaimana Eksistensi, Fungsi dan Penggunaan alat musik Saligung di tengah-tengah masyarakat Simalungun ?

1.3 Tujuan dan Mamfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

1) Untuk mengetahui bagaimana proses dan teknik pembuatan Saligung Simalungun Bapak JaHuat Purba

2) Untuk mengetahui Eksistensi, Fungsi dan Penggunaan alat musik Saligung di tengah-tengah masyarakat Simalungun

(17)

7

1.3.2 Manfaat Penelitian

1) Sebagai bahan tambahan untuk menambah referensi tentang Saligung Simalungun di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

2) Untuk melestarikan alat musik Saligung yang sudah punah.

3) Sebagai suatu proses mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh penulis selama mengikuti perkuliahan di Departemen Etnomusikologi.

1.4 Konsep dan Teori

1.4.1 Konsep

Konsep merupakan rangkaian ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kongkrit (Kamus besar bahasa indonesia, Balai Pustaka, 1991:431). Studi disebut juga dengan kajian (menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia). Kajian merupakan kata jadian dari kata”kaji” yang berarti mengkaji, mempelajari, memeriksa, mempertimbangkan secara matang, dan mendalami. Dari keterangan diatas dapat diketahui bahwa pengertian kata’kajian’ dalam hal ini adalah suatu penelitian atas pemeriksaan yang dilakukan dengan teliti (Badudu. 1982:132).

Sedangkan ‘organologi’ merupakan bagian dari etnomusikologi yang meliputi semua aspek diantaranya adalah ukuran dan bentuk fisiknya termasuk hiasannya, bahan dan prinsip pembuatannya, metode dan teknik memainkan, bunyi dan wilayah nada yang dihasilkan, serta aspek sosial budaya yang berkaitan dengan alat musik tersebut.

(18)

8

Seperti yang dikemukakan oleh Mantle Hood (1982:124) bahwa organologi yang digunakan adalah berhubungan dengan alat musik itu sendiri. Menurut beliau organologi adalah ilu pengetahuan alat musik, yang tidak hanya meliputi sejarah dan deskipsi alat musik, akan tetapi sama pentingnya dengan ilmu pengetahuan dari alat musik itu sendiri antara lain : teknik pertunjukan, fungsi musikal, dekoatif, dan variasi sosial budaya.

Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa studi organologis adalah suatu penyelidikan yang mendalam untuk mempelajari instrumen musik baik mencakup aspek sejarahnya maupun deskripsi alat musik itu sendiri dari berbagai pendekatan ilmu sosial budaya.

Saligung adalah Instrumen musik Aerophon yang memiliki empat lobang pengatur nada dan satu lobang udara serta satu lobang tiupan dan satu lobang keluaran suara. Saligung juga memiliki ruang resonator sebagai sumber bunyi. Alat musik ini biasanya dimainkan secara tunggal.

1.4.2 Teori

Teori merupakan pendapat yang dikemukakan mengenai suatu peristiwa (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005). Sebagai acuan berpikir dalam penelitian ini penulis mempergunakan teori-teori yang relevan, yang sesuai untuk permasalahan penelitian penulis.

Tulisan ini membahas deskripsi alat musik , penulis berpedoman pada teori yang di utarakan oleh Susumu Kashima 1978:174) terjemahan Rizaldi Siagian dalam laporan ATPA, bahwa studi musik dapat dibagi kedalam dua sudut pandang yakni Studi Struktural dan Studi Fungsional. Studi Struktural adalah Studi yang berkaitan dengan pengamatan, pengukuran, perekaman, atau pencatatan bentuk, ukuran besar

(19)

9

kecil, konstruksi serta bahan bahan yang dipakai dalam pembuatan alat musik tersebut. Sedangkan Studi Fungsionnal memperhatikan fungsi dari alat dan komponen yang menghasilkan suara, antara lain membuat pengukuran dan pencatatan terhadap metode memainkan alat musik tersebut, metode pelarasan dan keras lembutnya suara bunyi, nada,warna nada dan kualitas suara yang dihasilkan oleh alat musik tersebut. Berdasar penjelasan tersebut diatas maka, penulis mengggolongkan proses dan teknik pembuatan Saligung Simalungun buatan Bapak Ja Huat Purba kedalam Studi Struktural.

Saligung Simalungun adalah Instrumen musik yang tergolong kedalam klasifikasi Aerophon yang memiliki empat lobang pengatur nada, satu lobang tiupan dan satu lobang keluaran udara dari resonator. Saligung juga memiliki ruang resonator sebagai sumber bunyi, oleh karena itu dalam pengklasifikasian alat musik tersebut, penulis menggunakan teori yang diutarakan Curt Sach dan Hornbostel 1961, Yaitu:

“ Sistem Pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyi. Sistem klasifikasi ini terbagi menjadi empat bagian yang terdiri dari; Idiofon ( alat itu sendiri sebagai sumber penggetar utama bunyi ), Membranofon ( kulit sebagai sumber penggetar utama bunyi ), kordofon ( senar sebagai sumber penggetar utama bunyi ), dan aerofon (udara sebagai penggetar utama bunyi ) “.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) Eksistensiartinya keberadaaan. Sementara pengertian kebudayaan menurut E.B Taylor, Primitive Culture, 1871 adalah: “keseluruhan yang mencakup pengetahuan dan kepercayaan,

(20)

10

seni, hukum, moral, adat, serta kemampuan dam kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”.

Menurut Herskovits (1964 : 217-218) dalam Merriam, penggunaan musik dapat dibagi menjadi lima kategori unsur-unsur budaya yaitu : Kebudayaan Material, Kelembagaan Sosial, Hubungan Manusia dengan Alam, Estetika dan Bahasa.

Menurut Alan P Merriam (1964:219-226) fungsi dapat dibagi dalam sepuluh kategori yaitu: Fungsi Pengungkapan Emosional, Fungsi Pengungkapan Estetika, Fungsi Hiburan, Fungsi Komunikasi, Fungsi Perlambangan, Fungsi Reaksi Jasmani, Fungsi yang Berkaitan Dengan Norma Sosial, Fungsi Pengesahan Lembaga Sosial, Fungsi Kesinambungan Kebudayaan, dan Fungsi Pengintegrasian Masyarakat.

1.5 Metode Penelitian

Metode adalah cara yang digunakan dalam melaksanakan suatu pekerjaan agar hasil dari pekerjaan tersebut sesuai dengan yang diharapkan dan dikehendaki melalui cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka 2005). Sementara penelitian merupakan kegiatandalam mengumpulkan, mengolah, menganalisis serta menyajikan data yang dilakukan secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka: 2005).

1.5.1 Studi Kepustakaan

Untuk mendukung keseluruhan data yang disertakan penulis, maka penulis juga melakukan studi keperpustakaan untuk mengumpulkan data-data yang mendukung tulisan.mulai dari menelaah berbagai buku, membuka situs-situs internet

(21)

11

yang berhubungan dengan data penelitian, mengumpulkan beberapa referensi, majalah dan skripsi-skripsi terdahulu yang berhubungan dengan topik penelitian.

Studi pustaka diperlukan untuk melengkapi teori-teori yang berhubungan dengan topik penelitian penulis.

1.5.2 Kerja Lapangan

Untuk memperoleh informasi yang lebih akurat mengenai tulisan ini maka penulis melakukan observasi langsung ke lokasi penelitian yang telah diketahui sebelumnya, dan juga melakukan wawancara kepada beberapa informan yang mengetahui jelas tentangSaligung Simalungun dan penulis juga mengajukan beberapa pertanyaan yang diyakini penulis nantinya dapat mendukung dalam proses penelitian.

1.5.3 Wawancara

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian wawancara adalah proses tanya-jawab dengan seseorang yang diperlukan untuk dimintai keterangan atau pendapatnya mengenai suatu hal. Dalam hal ini penulis melakukan wawancara terhadap Bapak Ja Huat Purba dengan tujuan untuk memperoleh data yang lebih akurat yang berguna dalam penulisan karya ilmiah ini.

1.5.4 Kerja Laboratorium

Seluruh data diperoleh oleh penulis dari berbagai sumber yaitu dari hasil pengamatan langsung kelapangan. Kemudian melakukan wawancara, dimana hasil tersebut kemudian akan diolah dalam kerja laboratorium.

Setelah penulis melakukan kerja laboratorium, penulis membuatnya menjadi sebuah tulisan ilmiah berbentuk skripsi sesuai dengan aturan penulisan sebuah karya

(22)

12

ilmiah. Dan tulisan ini diharapkan akan bermanfaat bagi masyarakat guna untuk menambah pengetahuan.

1.6 Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian dalam mengumpulkan data untuk tulisan ini adalah di rumah bapak Jahuat Purba yang berlokasi di desa Tengkoh, Kecamatan Panombean Pane, Kabupaten Simalungun. Namun untuk mendukung informasi mengenai Saligung Simalungun tersebut, penulis juga mengumpulkan data-data maupun informasi dari orang-orang yang mengetahui tentang alat musik tersebut dan tokoh-tokoh masyarakat.

(23)

13

BAB II

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN BIOGRAFI SINGKAT BAPAK JA HUAT PURBA

Bab ini merupakan penjelasan tentang gambaran umum wilayah penelitian dan biografi singkat bapak Jahuat Purba sebagai seniman musik tradisional Simalungun. Wilayah yang dimaksud disini adalah bukan hanya lokasi penelitian, tetapi lebih terfokus kepada gambaran masyarakat Simalungun khususnya yang ada di Panombean Pane secara umum. Namun sebelum membahas topik tersebut, akan diuraikan lebih dahulu Desa Tengkoh Simbolon, Kecamatan Panombean Pane, Kebupaten Simalungun.

2.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang penulis teliti berada di Desa Tengko yang merupakan tempat tinggal sekaligus sebagai tempat pembuatan Saligung bapak Ja Huat Purba yang bertempat tinggal di Jalan Si batu-batu, Kecamatan Panombean Pane Kabupaten Simalungun. Menurut data yang didapat dari Kantor Lurah Desa Tengko, Kecamatan Panombean Panei merupakan salah satu kecamatan baru di Kabupaten Simalungun. Kecamatan ini pemekaran dari Kecamatan Panei memiliki luas 82,2 Km2., dengan letak geografis

 sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Serdang Bedagai

 sebelah Selatan berbatasan dengan kecamtan Sidamanik dan kecamatan Panei  sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Raya

(24)

14

Jarak Kecamatan Panombean Panei dari Pematang Raya Ibukota Kabupaten Simalungun ± 20 Km.

2.2 Keadaan Penduduk

Pada awalnya penduduk asli Desa Tengko didominasi oleh suku Simalungun, namun setelah terjadi urbanisasi kependudukan, Desa Tengko menjadi bersifat heterogen, kerena terdiri dari berbagai ragam suku dan etnis, yaitu Simalungun, Toba, Mandailing, Angkola, Jawa, Aceh. Pada tahun 2011 penduduk Desa tengko simbolon mencapai 1.918 jiwa. Dengan jumlah rumah tangga 518. dengan kepadatan penduduk 85 jiwa per km2. Penduduk laki-laki di Desa Simbolon tengko lebih banyak dari penduduk perempuan. Pada tahun 2011 penduduk Desa Simbolon Tengko yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 966 jiwa dan penduduk perempuan 952 jiwa.

Secara Etimologi kata “Simalungun” dapat dibagi kedalam tiga suku kata yaitu: Si berarti “Orang”, ma sebagai kata sambung berarti “yang” dan lungun berarti “sunyi, kesepian”. Dengan demikian, Simalungun berarti “ia yang bersedih

hati, sunyi dan kesepian.

Secara umum masyarakat Simalungun yang tinggal di wilayah Simalungun maupun di perantauan merupakan suatu pribadi yang pendiam dan tertutup. Menurut Hendrik Kraemer ketika berkunjung ke Tanah Batak pada bulan Februari-April tahun 1930 melaporkan bahwa jika dibandingkan dengan orang Batak Toba, orang Simalungun jelas lebih berwatak halus, lebih suka menyendiri di hutan dan secara alamiah kurang bersemangat dibandingkan dengan orang Batak Toba. Hal yang senada juga dikatakan oleh Walter Lempp tentang tabiat daripada masyarakat Simalungun yaitu orang Simalungun lebih halus dan tingkah lakunya hormat sekali,

(25)

15

tidak pernah keras atau meletus, meskipun sakit hati. Hal itu dimungkinkan karena suku Simalungun satu-satunya yang pernah dijajah oleh suatu kerajaan di Jawa yang berkedudukan di Tanah Jawa. Masyarakat Simalungun yang bertempat tinggal di Kecamatan Panombean Pane mengenal satu lembaga adat yang disebut Partuha

Maujana Simalungun. Lembaga adat ini telah ada mulai dari tingkat Serikat Tolong

menolong (STM), Desa, Kecamatan, Kabupaten dan Pusat.

Masyarakat yang tinggal di Kecamatan Panombean pane, pada umumnya bekerja sebagai Petani, Buruh, Wiraswasta, dan Pegawai Negeri Sipil. Menurut wawancara penulis dengan bapak Ja Huat Purba pekerjaan beliau adalah Sebagai pemain musik Sarunei Simalungun, dan bertani adalah pekerjaan sampingan beliau. Untuk membuat Saligung Simalungun dilakukan Bapak Ja Huat purba apabila adanya pesanan untuk membuat alat musik Saligung tersebut.

2.3 Sistem Bahasa

Asal usul kependudukan masyarakat Simalungun banyak dipengaruhi oleh berbagai aspek dan juga berbagai pendapat atau teori yang berbeda-beda untuk memberikan pembuktian terhadap kebenarannya. Sistem kemasyarakatan dalam suatu daerah tentu didasari oleh bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat di dalamnya. Menurut informasi dari informan saya dengan terkaitnya lokasi penelitian penulis bahwa keragaman suku yang berada di daerah tersebut menggunakan bahasa Simalungun dan bahasa indonesia untuk berkomunikasi dalam bahasa sehari-harinya.

Sejak berabad-abad yang lampau suku-suku bangsa yang tinggal di berbagai kepulauan di Nusantara memiliki bahasa masing-masing yang dipergunakan dalam pergaulan dan komunikasi antar sesama suku tersebut. Bahasa itu dinamakan sebagai

(26)

16

“bahasa daerah” yang disebutkan sesuai dengan suku bangsa yang memiliki bahasa tersebut. Misalnya bahasa Batak Toba dipergunakan oleh Batak Toba. Demikian juga dengan bahasa Simalungun. Disamping itu masyarakat Simalungun juga memiliki aksara yang sudah sangat tua usianya. Menurut seorang peneliti bahasa Dr. P. Voorhoeve, yang menjadi Pejabat Taalambtenaar di Simalungun tahun 1937, mengatakan bahwa bahasa Simalungun merupakan bahasa rumpun austronesia yang lebih dekat dengan bahasa sansekerta yang banyak sekali mempengaruhi bahasa-bahasa di Nusantara.

Voorhoeve mengatakan kedekatan bahasa Simalungun dengan bahasa Sansekerta ditunjukkan dengan huruf penutup suku kata mati yaitu, uy dalam kata

apuy dan babuy, huruf g dalam kata dolog, huruf b dalam kata arbab, huruf d dalam

kata bagod, huruf ah dalam kata babah dan sabah, juga ei dalam kata simbei dan ou dalam kata sopou dan lapou. Salah satu ciri masyarakat Simalungun adalah memiliki tingkatan bahasa yang disebut dengan ratting ni hata. Adapun tingkatan tersebut adalah:

1. Lapung ni hata, merupakan bahasa sehari hari yang dipakai oleh masyarakat biasa

atau bahasa yang dipakai sehari-hari.

2. Guru ni hata, merupakan bahasa yang dipakai untuk mengucapkan sesuatu dan

dianggap lebih halus. Guru ni hata merupakan bahasa tertinggi yang digunakan oleh kalangan keturunan raja-raja. Dimana bahasa tersebut adalah bahasa yang sopan hormat, dan berisi nasehat, yang sering disampaikan melalui perumpamaan. Misalnya adalah Simakidop artinya mata, Jambulan artinya rambut. Simakulsop artinya mulut.

3. Sait ni hata, yaitu bahasa yang dipakai ketika seseorang marah atau menghina seseorang, karena tersinggung atas sesuatu. Sait ni hata merupakan bahasa yang

(27)

17

kasar, karena berisi kata-kata yang pedas, berisikan sindiran sehingga dapat menyakitkan hati orang lain. Misalnya panjamah (tangan) bahasa kasarnya tiput.

2.4 Sistem Kesenian

Kesenian adalah merupakan ekspresi perasaan manusia terhadap keindahan, dalam kebudayaan suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat deskriptif (Koentjaraniningrat, 1980:395-397). Kesenian pada masyarakat simalungun sangat banyak dan beragam. Taralamsyah Saragih dalam Seminar Kebudayaan Simalungun 1964 mengatakan bahwa kesenian yang ada di Simalungun dapat dibagi atas Seni Musik (Gual), Seni Suara (doding), Seni Tari (Tortor).

2.4.1 Seni Musik

Seni musik digunakan untuk upacara-upacara hiburan dan upacara-upacara adat lainnya misalnya upacara dukacita (pusok ni uhur) dan sukacita (malas ni uhur). Alat-alat musik pada masyarakat simalungun dapat dimainkan secara ensamel dan dapat pula dimainkan secara tunggal. Alat musik yang dimainkan secara ensambel adalah Gonrang Sidua-dua dan Gonrang Sipitu-pitu.

Penggunaan instrumen sarunei dalam ensambel Gonrang Sidua-dua dan Gonrang Sipitu-pitu sangat penting, diantaranya:

1. Manombah yaitu suatu upacara untuk mendekatkan diri kepada sembahan

2. Maranggir yaitu upacara untuk membersihkan badan dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik, dan juga membersihkan diri dari gangguan roh-roh jahat

3. Ondos Hosah yaitu upacara khusus yang dilakukan suatu desa atau keluarga agar terhindar dari mara bahaya.

(28)

18

4. Rondang Bittang yaitu acara tahunan yang diadakan suatu desa karena mendapatkan panen yang baik. Muda-mudi menggunakan kesempatan tersebut untuk mencari jodoh. Adapun alat-alat musik yang dimainkan secara tunggal diantaranya Jatjaulul/Tengtung, Husapi, Hodong-hodong, Tulila, Ole-ole, Saligung, Sordam dsb. Alat-alat musik tersebut dimainkanuntuk hiburan pribadi ketika lelah bekerja di ladang, maupun setelah pulang dari pekerjaan.

2.4.2 Seni Suara (Doding)

Musik vokal Simalungun dikenal dengan istilah doding dan ilah. Doding dipakai untuknyanyian solo sedangkan ilah dipakai sebagai nyanyian kelompok. (Sihotang 1993:31). Nyanyian dalam masyarakat Simalungun sangat banyak dan memiliki fungsi masing-masing. Selain itu masyarakat Simalungun memiliki teknik bernyanyi yang disebut inggou. Adapun nyanyian tersebut diantaranya adalah : 1. Taur-taur yaitu nyanyian yang dilagukan oleh sepasang muda-muda secara

bergantian untuk mengungkapkan perasaan stu sama lainnya.

2. Ilah yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan oleh sekelompok pemuda dan pemudi sambil menepuk tangan sambil membentuk lingkaran.

3. Doding-doding yaitu nyanyian yang dinyanyikan oleh sekelompok pemuda dan dan pemudi atau orang tua untuk menyampaikan pujian atau sindiran. Nyanyian inijuga dapat dilagukan untuk mengungkapkan kesedihan dan kesepian.

4. Urdo-urdo atau Tihtah yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan oleh seorang ibu kepada anaknya atau seorang anak perempuan kepada adiknya. Urdo-urdo untuk menidurkan sementara Tihtah untuk bermain.

5. Tangis-tangis yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan seorang gadis karena putus asa ataupun karena berpisah dengan keluarga karena akan menikah.

(29)

19

6. Manalunda/Mangmang adalah mantera yang dinyanyikan oleh seorang datu untuk menyembuhkan suatu penyakit ataupun menobatkan seorang raja pada waktu dulu.

2.4.3 Seni Tari (Tor-Tor)

Seni tari dalam masyarakat Simalungun banyak mengalami penurunan dari segi pertunjukan dimana pada saat ini sudah jarang dijumpai tor-tor yang sering dilakukan pada zaman dahulu. Tor-tor yang dapat bertahan sampai saat ini adalah

Tor-tor Sombah. Adapun tor-tor yang sering dipertunjukkan pada zaman dahulu

antara lain:

1. Tor-Tor Huda-Huda atau Toping-Toping yaitu tarian yang dilakukan untuk menghibur orangyang meninggal sayur matua yaitu orang yang telah berusia lanjut. Tarian ini merupakan tarian yang meniru gerakan kuda dan sebagian permainannya memakai topeng. Pada waktu dulu tarian ini digunakan untuk menghibur keluarga raja yang bersedih karena anaknya meninggal. Tarian ini bertujuan untuk menyambut berbagai kelompok adat( tondong,boru, dan sanina) dan menghibur para tamu undangan, namun mereka juga bertugas mengumpulkan oleh-oleh dari para tamu undangan. Jaman dulu kegiatan tersebut biasa dilakukan dalam pemakaman seorang raja.

2. Tor-tor Turahan yaitu Tor-tor yang dilakukan untuk menarik kayu untuk membangun istana atau rumah besar. Seorang mandor bergerak melompati batang kayu yang ditarik sambil mengibaskan daun-daun yang dipegan ke batang kayu dan ke badan orang yang menarik untuk memberi semangat.

Pada masyarakat Simalungun juga terdapat kesenian lain yang pada saat sekarang ini sudah sangat jarang dijumpai diantaranya adalah Seni Gorga yaitu seni

(30)

20

ukir yang terdapat pada dinding-dinding rumah, Seni Pahat, yaitu seni membuat patung-patung dari batu ataupun dari kayu, Seni Tenun yaitu seni membuat kayu dengan menggunakan benang-benang yang dibentuk dengan suatu keahlian, dan Seni Arsitektur yaitu seni untuk membangun rumah dengan arsitektur tradisional.

Bentuk-bentuk kesenian tersebut telah banyak yang ditinggalkan oleh masyarakat karena kurang sesuai dengan perkembangan zaman. Namun meskipun begitu masih ada sebagian orang yang tetap mempertahankan pengetahuan tersebut seperti Seni Tenun karena kain yang dihasilkan dari buatan tangan jauh lebih bagus daripada buatan pabrik.

2.5 Sistem Kekerabatan

Menurut M.D. Purba dalam bukunya yang berjudul Adat Perkawinan Simalungun(1985), ada dua cara yang umum yang dipakai untuk menarik garis keturunan, yaitu :

1. Menarik garis keturunan hanya dari satu pihak, yaitu mungkin dari pihak laki-laki dan mungkin pula dari pihak permpuan. Masyarakat demikian dinamakan masyarakat unilateral. Jika masyarakat tersebut menarik garis keturunan dari pihak laki-laki atau ayah saja, maka keturunan tersebut disebut masyarakat patrilineal. Dan jika menarik dari garis keturunan perempuan (ibu) maka disebut matrilineal.

2. Menarik garis keturunan dari kedua orang tua, yaitu ayah dan ibu, masyarakat demikian disebut masyarakat bilateral atau masyarakat parental.

(31)

21

Dari kedua cara tersebut diatas,masyarakat Simalungun termasuk masyarakat yang menarik garis keturunan dari salah satu pihak saja, yaitu dari pihak laki-laki atau ayah. Dengan demikian masyarakat Simalungun adalah masyarakat unilateral-patrilineal, yang artinya bahwa setiap anak-anak yang lahir baik laki-laki maupun perempuan dengan sendirinya akan mengikuti klan atau marga dari ayahnya (1985:108).

Bukti bahwa garis keturunan diambil dari pihak laki-laki adalah dengan adanya marga dalam masyarakat Simalungun. Setiap anak yang lahir dalam satu keluarga di etnis Simalungun, secara otomatis akan memiliki marga yang sama dengan marga si ayah.

Susunan masyarakat Simalungun didukung oleh berbagai marga yang mempunyai hubungan tertentu, yang disebabkan oleh hubungan perkawinn. Hubungan perkawinan antar marga-marga mengakibatkan adanya penggolongan antar tiap-tiap marga. Marga yang satu akan mempunyai kedudukan tertentu terhadap marga lain. Perkerabatan dalam masyarakat Simalungun disebut sebagai

Partuturan. Partuturan ini menetukan dekat atau jauhnya hubungan kekeluargaan

(pardihadihaon), dan dibagi kedalam beberapa kategori sebagai berikut: 1. Tutur Manorus / Langsug

Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri. Misalnya: Botou artinya saudara perempuan baik lebih tua atau lebih muda. Mangkela (baca: Makkela) artinya suami dari saudara perempuan dari ayah. Sima-sima artinya anak dari Nono/Nini,

2. Tutur Holmouan / Kelompok

Melalui tutur Holmouan ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat Simalungun. Misalnya: Bapa Tongah artinya saudara lelaki ayah yang lahir

(32)

22

dipertengahan (bukan paling muda, bukan paling tua). Tondong Bolon artinya pambuatan (orang tua atau saudara laki dari istri/suami). Panogolan artinya kemenakan, anak laki/perempuan dari saudara perempuan.

3. Tutur Natipak / Kehormatan

Tutur Natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak berbicara sebagai tanda hormat. Misalnya: Kaha digunakan pada istri dari saudara laki-laki yang lebih tua. Bagi wanita, kaha digunakan untuk memanggil suami boru dari kakak ibu. Ambia Panggilan seorang laki terhadap laki lain yang seumuran atau bawahan.

Ikatan kekerabatan diklasifikasikan dalam suatu sistem yang dalam bahasa Simalungun dikenal Tolu Sahundulan, yaitu :

1. Tondong (Pemberi istri)

2. Anak Boru/Boru (Penerima Istri)

3. Sanina/Sapanganonkon (Sanak saudara, individu semarga atau pembawa garis keturunan)

Dalam masyarakat Simalungun seorang pria belum dianggap sebagai orang dewasa dan belum dapat berperan serta dalam fungsi-fungsi adat bila yang bersangkutan belum menikah atau sudah menikah tapi belum mempunyai keturunan.

2.5.1 Marga-marga Simalungun

Terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan akronim SISADAPUR, yaitu:

1. Sinaga 2. Saragih 3. Damanik

(33)

23 4. Purba

Keempat marga ini merupakan hasil dari “Harungguan Bolon” (Permusyawaratan besar) antara empat raja besar berjanji untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan, Marsiurupan bani hasunsuhan na legan, rup mangimbang munsuh,keempat raja tersebut adalah:

1. Raja Nagur bermarga Damanik

Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa Simalungun, Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas). Raja ini berasal dari kaum bangsawan India Selatan dari Kerajaan Nagore. Pada abad ke-12, keturunan raja Nagur ini mendapat serangan dari Raja Rajendra Chola dari India, yang mengakibatkan terusirnya mereka dari Pamatang Nagur di daerah Pulau Pandan hingga terbagi menjadi 3 bagian sesuai dengan jumlah puteranya: Marah Silau yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, tuan raja siantar dan tuan raja damanik Soro Tilu (yang menurunkan marga rajaNagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola) Timo Raya (yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok). Selain itu datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja yang berasal dari Pulau Samosir dan mengaku Damanik di Simalungun.

2. Raja Banua Sobou bermarga Saragih

Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana Ragih berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang.

(34)

24

• Saragih Garingging yang pernah merantau ke Ajinembah dan kembali ke Raya. Saragih Garingging kemudian pecah menjadi dua, yaitu: Dasalak, menjadi raja di Padang Badagei, Dajawak merantau ke Rakutbesi dan Tanah Karo dan menjadi marga Ginting Jawak.

• Saragih Sumbayak keturunan Tuan Raya Tongah, Pamajuhi, dan Bona ni Gonrang.

Walaupun jelas terlihat bahwa hanya ada dua keturunan Raja Banua Sobou, pada zaman Tuan Rondahaim terdapat beberapa marga yang mengaku dirinya sebagai bagian dari Saragih (berafiliasi), yaitu: Turnip, Sidauruk, Simarmata, Sitanggang, Munthe, Sijabat, Sidabalok, Sidabukke, Simanihuruk. Ada satu lagi marga yang mengaku sebagai bagian dari Saragih yaitu Pardalan Tapian, marga ini berasal dari daerah Samosir. Rumah Bolon Raja Purba di Pematang Purba, Simalungun.

3. Raja Banua Purba bermarga Purba

Purba menurut bahasa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Purwa yang berarti timur, gelagat masa datang, pegatur, pemegang Undang-undang, tenungan pengetahuan, cendekiawan atau sarjana. Keturunannya adalah: Tambak, Sigumonrong, Tua, Sidasuha (Sidadolog, Sidagambir). Kemudian ada lagi Purba Siborom Tanjung, Pakpak, Girsang, Tondang, Sihala, Raya. Pada abad ke-18 ada beberapa marga Simamora dari Bakkara melalui Samosir untuk kemudian menetap di Haranggaol dan mengaku dirinya Purba. Purba keturunan Simamora ini kemudian menjadi Purba Manorsa dan tinggal di Tangga Batu dan Purbasaribu.

4. Raja Saniang Naga bermarga Sinaga

Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal sebagai penebab Gempa dan Tanah Longsor. Keturunannya adalah marga Sinaga di

(35)

25

Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan. Saat kerajaan Majapahit melakukan ekspansi di Sumatera pada abad ke-14, pasukan dari Jambi yang dipimpin Panglima Bungkuk melarikan diri ke kerajaan Batangiou dan mengaku bahwa dirinya adalah Sinaga.

Menurut Taralamsyah Saragih, nenek moyang mereka ini kemudian menjadi raja Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah ia mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou dalam suatu ritual adu sumpah (Sibijaon). (Tideman, 1922).

2.6 Sistem Kepercayaan

Sepanjang yang dapat diketahui melalui catatan (analisis) Tiongkok sewaktu Dinasty SWI (570-620) Kerajaan Nagur sebagai Simalungun Tua, telah banyak disebut-sebut dalam hasil penelitian Sutan Martua Raja Siregar yang dimuat dalam Buku Sejarah Batak oleh Batara Sangti Simanjuntak, dimana dinyatakan bahwa pada abad ke V sudah ada Kerajaan “Nagur” sebagai satu “Simalungun Batak Friest Kingdom” yang sudah mempunyai hubungan dagang dengan bangsa-bangsa lain terutama dengan Tiongkok (China).

Menurut Hikayat “Parpandanan Na Bolag” (Pustaha Laklak lama Simalungun) bahwa wilayah Kerajaan Parpandanan Na Bolag (Nagur) hampir meliputi seluruh Perca (Sumatera) bagian Utara , yang terbentang luas dari pantai Barat berbatas dengan Lautan Hindia, sampai ke Sebelah Timur dengan Selat Malaka, dari Sebelah Utara berbatas dengan yang disebut Jayu (Aceh sekarang) sampai berbatas dengan Toba di sebelah Selatan.

Agama yang dianut kerajaan Nagur adalah Animisme yang disebut dengan

(36)

26

percaya akan adanya sang pencipta alam yang bersemayam di langit tertinggi, dan mengenal adanya tiga Dewa, yaitu :

1. Naibata na i babou/i nagori atas (di Benua Atas) 2. Naibata na i tongah/i nagori tongah (di Benua Tengah) 3. Naibata na i toruh/i nagori toruh (di Benua Bawah)

Pemanggilan arwah nenek moyang disebut “Pahutahon” yaitu melalui upacara ritual, dimana dalam acara itu roh tersebut hadir melalui “Paninggiran” (kesurupan) salah seorang keturunannya atau seseorang yang mempunyai kemampuan sebagai perantara (paniaran).

Menurut penelitian G.L Tichelman dan P. Voorhoeve seperti dimuat dalam bukunya “Steenplastiek Simaloengoen” terbitan Kohler & Co Medan tahun 1936 bahwa di Simalungun (kerajaan Nagur) terdapat 156 Panghulubalang (Berhala) yaitu patung-patung batu yang ditempatkan pada tempat yang dikeramatkan (Sinumbah) dan ditempat inilah dilakukan upacara pemujaan.

Pelaksanaan urusan kepercayaan diserahkan kepada “Datu” yang disebut juga “Guru”. Pimpinan “datu-datu” ini ialah “GURU BOLON”. Setiap Datu/Guru mempunyai “Tongkat Sihir” atau “Tungkot Tunggal Panaluan” (yang diperbuat dari kayu tanggulan yang diukir dengan gana-gana bersambung-sambung untuk mengusir penyakit). Acara kepercayaan itu dipegang penuh oleh Datu, baik di istana maupun di tengah-tengah masyarakat umum. Raja-raja dan kaum bangsawan mereka sebut juga “tuhan” bukan saja disegani tetapi ditakuti masyarakat, tetapi akhirnya sesudah masuknya agama Islam dan Kristen sebutan tersebut berubah menjadi Tuan.

Masuknya Agama Islam ke Simalungun adalah pada abad ke-15 melalui daerah Asahan dan Bedagai yang dibawa oleh orang-orang dari kerajaan Aceh.

(37)

27

Awalnya perkembangan Agama Islam berada di daerah sekitar Perdagangan dan Bandar ( Sihotang 1993:23).

Kemudian sekitar tahun 1903, Gereja Batak Toba (HKBP) yang berada dalam fase perkembangan kemudian berkembang hingga menjangkau masyarakat di luar lingkungan mereka sendiri. Pada suatu konferensi yang dilakukan pada tahun tersebut diambil suatu keputusan untuk memulai karya misi pada masyarakat Simalungun. Kelompok Kristen Simalungun yang masuk dari upaya ini pada awalnya hanya sekadar bagian dari Gereja Batak Toba (dinamakan HKBP-S). Namun pada tahun 1964 terjadi pemisahan dan lahirlah organisasi baru yang menamakan diri sebagai Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS). Salah satu bagian integral dari proses Kristenisasi adalah berupa pendirian gereja-gereja dan sekolah-sekolah. Di sana anak-anak dan orang-orang dewasa dapat belajar membaca dan menulis dalam bahasa mereka sendiri dan kemudian dalam bahasa Indonesia.

2.7 Biografi Singkat Bapak Ja Huat Purba

Bapak Ja Huat Purba adalah seorang Seniman Simalungun yang ahli dalam memainkan alat musik Sarunei Simalungun. Bapak Ja Huat Purba lahir di desa Saribu Janji, Kecamatan Pematang Purba, Kabupaten Simalungun, pada 21 Desember 1949. Ayahnya bernama Jutam Purba (Alm)seorang pemain Sarunei Simalungun. Ibunya bernama T br. Simarmata (Alm)..Bapak Ja Huat memiliki dua saudara perempuan dan satu saudara laki-laki, beliau merupakan anak bungsu.Selain bekerja sebagai petani, Ayah beliau juga memiliki pekerjaan sampingan yaitu sebagai pemain Sarunei, jiwa seni yang dimilikibeliau diwariskan oleh orang tuanya.

(38)

28

Beliau menikah dengan Ibu br. Saragih pada tahun 1972 dan memiliki enam orang anak laki-laki dan satu perempuan.

Beliau mengenal alat musik Sarunei dari Ayahnya dan mulai belajar alat musik tersebut dengan cara melihat orang bermain Sarunei pada acara pesta-pesta. Dengan keinginan yang besar beliau belajar sendiri memainkan Sarunei, Lambat laun beliau sudah bisa memainkan Sarunei dan pada saat beliau berumur 18 tahun, beliau sudah bisa memainkan Sarunei.

Banyak acara yang sudah diikuti oleh Bapak Ja Huat di Kabupaten Simalungun khususnya bahkan di Sumatera Utara. Pada tahun 1974 dan 1979 bapak Ja Huat Purba sudah di panggil ke Senayan untuk bermain Sarunei dalam Festival Musik Nusantara. Pada saat itu bapak Ja Huat merupakan perwakilan dari kabupaten Simalungun dan dari Sumatera Utara. Kemudian Pada tahun 1993 beliau bersama dengan bapak Rizaldi Siagian pergi ke luar negeri seperti Prancis, Swiss, Berlin, Belanda dan Kanada memainkan Sarunei.

Beliau merupakan seniman yang sangat disegani dan terpandang di masyarakat Simalungun. Seperti pada acara Rondang Bintang, beliau selalu di panggil dan menjadi juara sebagai pemain sarunei. Dikarenaka kondisi kesehatan beliau saat sekarang sudah sangat menurun danbeliau sudah tidak dapat lagi memainkan sarunei namun pada acara Rondang Bintang beliau selalu dipanggil karena masyarakat Simalungun mengakui dan menghargai Bapak Ja Huat sebagai Pemain Sarunei yang handal.Beliau mendapat berbagai penghargaan dari pemerintah, dan pada tahun 2007-2008 beliau mendapat piagam penghargaan dari program Revitalisasi musik Tradisi Sumatera Utara dengan kerjasama dengan Universitas Sumatera Utara dan The Ford Foundation Jakarta.

(39)

29

Dari hasil wawancara saya dengan masyarakat setempat bahwa bunyi suara sarunei yang di mainkan bapak Ja Huat purba memiliki ciri khas yang sangat indah.Masyarakat setempat juga mengatakan apabila ada acara adat atau pesta jika tidak bapak Ja Huat Purba yang bermain Sarunei masyarakat mengatakan ibarat sayur tanpa garam.

Pemusik adalah pekerjaan utama bapak Ja Huat Purba.Beliau mencukupi kebutuhan keluarga dan menghidupi anak serta istri dalam keseharian dari hasil bekerja sebagai pemusik.

Bapak Ja Huat mengetahui alat musik Saligung melalui bapak Jintar Damanik pada tahun 90-an di Museum Simalungun yang bertempat di Siantar. Beliau mengetahui Saligung dengan cara melihat dan memperhatikan bagaimana bentuk Saligung tersebut, kemudian beliau membuat Saligung itu sendiri dirumahnya.

(40)

30

BAB III

STUDI ORGANOLOGIS SALIGUNG SIMALUNGUN

3.1 Klasifikasi Saligung

Dalam mengklasifikaskani Saligung, penulis mengacu kepada teori yang dikemukakan oleh Sachs dan Hornbostel (1914) yaitu :

“sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyi. Sistem klasifikasi ini terbagi menjadi empat bagian yang terdiri dari : idiofon ( alat itu sendiri sebagai sumber penggetar utama bunyi,aerofon (udara sebagai sumber penggetar bunyi), membranofon (kulit sebagai penggetar utama bunyi), dan kordofon (senar sebagai penggetar utama bunyi).”

Sesuai dengan tinjauan penelitian mengenai organologis alat musik Saligung. Peneliti mengklasifikasikan alat musik ini ke dalam kelompok aerofone. Aerofone ada beberapa jenis yaitu, Blown Flute, End Blown Flute, Side Blown Flute, Rim Blown Flute, Wistle Flute, Nose Flute. Dengan mengacu pada teori diatas, maka alat musik Saligung jika dilihat dari sumber bunyinya yaitu alat musik yang memiliki prinsip kerja hembusan udara, alat musik Saligung ini di golongkan ke pada klasifikasi aerofone yaitu sumber utama bunyi yang dihasilkan oleh getaran udara. Sedangkan dalam pembagian jenis klasifikasi aerofone, musik Saligung tergolong kedalam “nose flute” karena alat musik Saligung hidung sebagai penghembus udara.

(41)

31

3.2Konstruksi Bagian –Bagian Saligung

Konstruksi bagian Saligung adalah gambaran tentang nama yang terdapat pada bagian alat musik Saligung yang mana alat musik ini memiliki 7 lubang, diantaranya adalah 4 lubang nada, 1 lubang penyelaras nada, 1 lubang Panoppulan dan 1 lubang keluaran udara.

Gambar 1 : Badan Saligung Gambar 2 : lubang Panoppulan

Gambar 3 : Keluaran Udara

(42)

32

3.3 Teknik Pembuatan

Pembuatan Saligung masih sangat sederhana. Semua proses pengerjaan

Saligung tersebut mulai dari tahap pengadaan bahan sampai proses pembuatan

dikerjakan tanpa adanya campur tangan mesin. Berikut ini akan dijelaskan bahan, alat-alat serta fungsi masing-masing yang digunakan dalam pembuatan Saligung.

3.3.1 Bahan Baku Yang Digunakan

Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan Saligung sangat sederhana. Pembuatan Saligung tidaklah sesulit pembuatan alat musik Simalungun yang lain seperti Gonrang ataupun Arbab yang membutuhkan bahan baku yang kompleks dengan proses yang sulit dan butuh waktu yang sangat lama. Saligung adalah salah satu alat musik Simalungun yang sederhana dalam proses pembuatannya. Sebab bahan utama yang digunakan dalam pembuatan Saligung hanya seruas bambu.

3.3.1.1 Bambu

Bambu adalah tanaman jenis rumput-rumputan dengan rongga dan ruas di batangnya. Bambu memiliki banyak tipe. Nama lain dari bambu adalah buluh dalam bahasa Simalungun. bambu merupakan tanaman yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Tanaman ini dapat tumbuh di daerah iklim basah sampai iklim kering Menurut Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999,hal 78).

Untuk pembuatan alat musik Saligung bahan yang digunakan adalah hanya Bambu. Dimana bambu yang digunakan adalah bambu Dihon ataupun bambu lemang, hal tersebut disebabkan bahwa bambu Dihon memiliki ruas yang tidak terlalu panjang dan tipis serta berdiameter tidak terlalu besar. Namun karena sulitnya memperoleh bambu Dihon maka dapat diganti dengan bambu Lemang yang

(43)

33

memiliki ciri-ciri yang hampir menyerupai bambu Dihon. Mengapa harus bambu yang memiliki ruas pendek? Hal tersebut disebabkan karena tekanan udara yang dikeluarkan dari hidung lemah. Sehingga ruang bambu yang pendek lebih memudahkan pemunculan suara yang dihasilkan dari tekanan udara lemah dari hidung.

Gambar 4 : pohon bambu

3.3.2 Peralatan Yang digunakan

Merupakan benda-benda atau alat yang dipakai untuk proses pembuatan

(44)

34

pembuatan Saligung juga tidak begitu banyak dan sederhana, yaitu hanya membutuhkan parang, daun lalang, pisau besar dan kecil, pukkor atau paku, kertas pasir dan arang.

3.3.2.1 Daun Lalang/ Penggaris

Daun lalang digunakan untuk mengukur panjang bambu dan menentukan jarak lobang nada. Jika sulit untuk mengukur dengan menggunakan daun lalang, dapat diganti dengan menggunakan Penggaris.

Gambar 5 : Daun Lalang

(45)

35

3.3.2.2 Parang

Parang yang digunakan adalah parang yang berukuran besar dan panjang, parang tersebut digunakan untuk menebang dan membersihkan dahan bambu.

Gambar 7 : Parang

3.3.2.3 Pisau Besar

Pisau besar digunakan untuk mengikis pangkal ruas dan ujung ruas bambu.

Gambar 8 : Pisau Besar

3.3.2.4 Pisau Kecil

Pisau kecil digunakan untuk membuat lobang Panoppulan (lobang hembusan), serta lobang keluaran udara. Disini jenis pisau yang digunakan harus

(46)

36

memiliki ujung yang lancip dan tajam agar lebih mudah untuk pembuatan lobang Panoppulan dan lobang keluaran udara.

Gambar 9 : Pisau Kecil

3.3.2.5 Pukkor atau Paku

Pukkor adalah sejenis besi panjang yang digunakan untuk pembuatan lobang

nada,jika tidak ada pukkor dapat juga menggunakan paku yang berdiameter kurang lebih 2 cm.

(47)

37

3.3.2.6 Kertas Pasir

Kertas pasir digunakan dalam proses penghalusan batang bambu, terutama pada bagian panoppulan agar pada saat memainkan Saligung tidak memberikan rasa sakit atau gelik pada hidung.

Gambar 11 : Kertas Pasir

3.3.2.7 Arang

Arang digunakan untuk memberi tanda jarak nada dan memberi garis pada saat pengukuran nada.

(48)

38

3.4.3 Proses Pembuatan

Proses pebuatan merupakan tahap awal dalam membuat Saligung, dimana pada tahap ini semua cara dalam membentuk badan Saligung dan pengukuran terdapat dalam proses ini.

Dalam proses pembuatan Saligung ini yang pertama dilakukan dengan mempersiapkan bahan baku yaitu bambu dihon atau bambu lemang sebagai bahan yang di gunakan dalam membuat Saligung.

3.4.3.1 Memilih dan Menebang Bambu

Pemilihan bambu yang berkualitas akan sangat berpengaruh terhadap daya tahan atau kekuatan bambu tersebut. Jenis bambu yang baik untuk dijadikan alat musik Saligung adalah bambu yang sudah tua dan matang. Hal ini dimaksudkan agar bambu tersebut tidak mengalami perubahan fisik dan tidak mudah kisut/susut sewaktu dikeringkan.

Kemudian memilih ruas bambu sesuai dengan ukuran untuk membuat

Saligung yaitu memiliki panjang ruas kurang lebih 35 cm dan diameter lebih kurag 5

cm. Pada umumnya bambu yang memiliki ruas pendek tumbuh di tanah yang tandus. Bapak Ja huat purba mengatakan bahwa bambu yang sangat baik untuk di jadikan

Saligung dalah bambu yang marsining3, dan bambu terdapat gigitan limbatar4.

Dengan demikian, tidak semua jenis bambu dapat dipergunakan untuk membuat Saligung. Hal ini disebabkan karena pertimbangan kualitas jenis bambu sebagai bahan untuk mencapai kesempurnaan bunyi yang dihasilkan dari alat musik Saligung.

3 Marsining yaitu pada badan bambu terdapat garis alami yg disebabkan oleh sinar matahari 4

(49)

39

Menurut hasil wawancara yang penulis lakukan dengan Bapak Sinaga, untuk menebang bambu biasanya dilakukan pada sore hari. Hal tersebut dikarenakan erat dengan kebiasaan masyarakat setempat yang melakukan pekerjaan tambahan setelah selesai melakukan pekerjaan pokok contohnya mengambil bambu dilakukan ketika hendak pulang dari ladang yang biasaanya pada sore hari.

3.4.3.2 Memotong Bambu

Satu ruas bambu di potong di kedua batas ruasnya dengan menggunakan parang besar, dimana kedua batas ruas bambu harus dipakai untuk membuat

Saligung. Batas pangkal bambu akan dipakai menjadi lubang hembusan dan batas

ujung bambu akan menjadi lubang keluaran udara, pada saat memotong batas ruas bambu jangan terlalu memotong bambu sampai terkena batas ruas bambu terutama pada bagian pangkal, karena pada saat pembentukan pangkal panoppulan akan lebih mudah untuk mengukur kemiringan dari bentuk pangkal panoppulan.

Gambar 13 : cara memotong bambu

3.4.3.3 Mengikis Batas Ruas Pangkal Bambu

untuk mengikis batas ruas pangkal bambu. alat yang digunakan untuk mengikisnya adalah parang kecil yang tajam, agar lebih mempermudah dalam pengikisan batas ruas pangkal bambu yang akan menjadi lubang hembusan. Dalam

(50)

40

pengikisan tersebut ujung pangkal hembusan harus tipis dan dengan kemiringan kurang lebih 30o, yang tujuannya adalah untuk mempermudah dalam memainkan saligung dimana posisi lobang hidung dan lubang panoppulan yang membuat pemain

Saligung merasa nyaman dalam memainkan Saligung.

Gambar 14 : Cara mengikis batas pangkal Bambu

Gambar15 : bentuk batas pangkal ruas bambu (Panoppulan)

3.4.3.4 Mengikis Batas Ruas Ujung Bambu

Alat yang digunakan dalam mengikis ujung keluaran yaitu parang kecil yang tajam. Lubang keluaran udara tidak harus membentuk suatu pola atau bentuk tertentu misalanya seperti pada lubang panumpulan dengan kemiringan tertentu. Hanya pada

(51)

41

batas ujung bambu jangan sampai pecah atau sampai melewati batas ruas. Dengan demikian untuk membentuk lubang keluaran udara lebih mudah.

Gambar 16 : cara mengikis ujung bambu

Gambar 17 : bentuk ujung bambu (keluaran udara)

Gambar

Gambar 4 : pohon bambu
Gambar 5 : Daun Lalang
Gambar 9 :  Pisau Kecil
Gambar 12 : Arang
+7

Referensi

Dokumen terkait

In the classroom there are kinds of things the watch is green and the chalk is colourful the ruler is brown.. In the classroom there are kinds

Pitik, bebek di purik asile yaiku endhog, lan daginge, yen manuk merga unine.. Manuk padha ngoceh lan manggung, agawe

[r]

Carane gemi kanthi ngurangi tuku jajan lan kesenengan.. Wong nyelengi iku yen kulino ora

If the requested content is cached by multiple cache servers, the cache control server sends the instruction message to the cache server with the lowest load to forward

KEYWORDS: Decision-making, imprecision management, data warehouse, multidimensional model, qualitative data processing, urban sites

Tanam semangka buahnya besar Buah semangka siap diambil Selagi muda giatlah belajar Kelak kan jadi orang berhasilA. Giatlah belajar menanam kelak hidupmu akan

[r]