KAJIAN ORGANOLOGIS SARUNEI SIMALUNGUN BUATAN
BAPAK MARTUAH SARAGIH DI KECAMATAN SIANTAR UTARA
KOTA PEMATANGSIANTAR
SKRIPSI SARJANA
Dikerjakan oleh:
Nama: Henry N. D. Situmeang NIM: 050707032
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI MEDAN
KAJIAN ORGANOLOGIS SARUNEI SIMALUNGUN BUATAN BAPAK
MARTUAH SARAGIH DI KECAMATAN SIANTAR UTARA KOTA
PEMATANGSIANTAR
SKRIPSI SARJANA Dikerjakan oleh:
NAMA : Henry N. D. Situmeang NIM : 050707032
PEMBIMBING I PEMBIMBING II
Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si
NIP : 1956 0828 198601 2001 NIP : 1961 0220 198903 1001 Drs. Fadlin, M.A.
Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Usu Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Seni Di Departemen Etnomusikologi
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penyusunan skripsi yang
berjudul “Kajian Organologis Sarunei Simalungun Buatan Bapak Martuah Saragih di
Kecamatan Siantar Utara Kota Pematang Siantar” ini diajukan sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Seni S-1 pada Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua tercinta Bapak N.R.Situmeang
dan Bunda D.br.Hutabarat yang telah membesarkan penulis dengan kasih sayang dan
bersusah payah membiayai, mendoakan, dan mendukung serta memberikan semangat yang
luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. Juga kepada saudara-saudara
penulis yang tersayang: Abangku Amser Bona Parulian (Cuma bisa ucapkan terima kasih
untukmu), kakak Juliana Tiurida Purba, S.E, Gavriella Situmeang (Selamat datang
dikeluarga Situmeang) dan Fernando. Situmeang yang selalu memberi dorongan, semangat
dan masukkan sebagai inspirasi dalam penulisan ini.
Terima kasih kepada Ketua Departemen Etnomusikologi Bapak Drs. Muhammad
Takari, M.Hum, Ph.D. dan Dra. Heristina Dewi M.PD selaku sekretaris departemen
etnomusikologi yang telah memberikan dukungan dan bantuan dalam administrasi serta
registrasi perkuliahan dalam menyelesaikan tugas akhir penulis.
Terima kasih kepada Bapak Drs.Setia Dermawan, M.Si selaku dosen pembimbing I
dan Drs. Fadlin, M.A. selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan banyak
Terima kasih Kepada Bapak dr. Drs. Syahron Lubis. MA selaku dekan Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sumatera Utara Dan tak lupa kepada mam Audri yang telah banyak
membantu di kantor jurusan, serta kepada seluruh staf pengajar jurusan Etnomusikologi
penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan bantuan yang diberikan, sehingga
memperluas wawasan penulis dalam ilmu pengetahuan selama mengikuti perkuliahan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan Bapak Martuah
Saragih dan Keluarga, Bapak Dolok Saribu, Bapak Jahuat Purba, bapak Karden Purba, Rido
purba, paskah sumbayak, ibu R. Br Damanik yang telah mau menerima penulis selama
melakukan penelitian.
Ucapan terima kasih juga kepada sahabat-sahabat 05: Tulus. Nainggolan, Chandra.
Pasaribu, Dippu S.Sn, Reza.Simanjuntak S.Sn, Kasiro. Nainggolan S.Sn , Ivan. Sianipar,
Zaini elhudaya, bim-bim, Gaza. Naiggolan, Rendy. Sirait, Cindy. P. Napitupulu, Indior, Ami.
David Simanungkalit. Gugun, Agus Tarigan, Almarhum Simon.Siahaan, Ami.
Terimakasih banyak buat abang-abang saya alumni dan veteran yang telah
memberikan banyak masukan dalam penyusunan skripsi ini. Tidak lupa juga kepada Ikatan
Mahasiswa Enomusikologi.
Terimaksih juga atas bantuan dan dukungan dari anak 07: Mbahoan, Tumpal, Fuad,
Fredy, Winka. Silaban, Rizky (Ketua IME yg baru), Jakup dan semuanya yang belum sempat
penulis tuliskan dan anak 09: Martin Tambunan dan kawan-kawan, juga terimakasih banyak
buat Benny.Purba, Hosea (bam-bam), Rani.Tarigan, Upay, Lido, Surung, Sudarsono.
Terimakasih yang sangat besar buat Franseda Sitepu, S.Sn, Saidul.Hutabarat, S.Sn,
Terima kasih juga buat keluarga Tulang Ken. Hutabarat beserta keluarga yang telah
banyak memberikan perhatian dan bimbingan kepada penulis, Terimakasih juga buat Tulang
Mampe dan Keluarga, Nantulang T.br Sinaga, Spd dan Keluarga, Oppung Polisi, Oppung
Laksus, Mak tua Gendut atas semua dukungan dan doanya pada penulis.
Terima kasih yang spesial buat Juniarti. Roselin. Saragih, S.Pd yang selalu memberi
semangat, doa dan ispirasi kepada penulis, sehingga penulis selalu bersemangat dalam
menyelesaikan penulisan ini.
Penulis menyadari ini masih belum dapat dikatakan sempurna, oleh sebab itu penulis
juga masih tetap mengharapkan segala masukkan dan saran-saran yang sifatnya membangun
dari pembaca sekalian, sehingga lebih mengarah kepada kemajuan ilmu pengetahuan,
khususnya di bidang ilmu Etnomusikologi.
Akhirnya, penulis berharap tulisan ini dapat berguna dan menambah pengetahunan
serta informasi baru bagi seluruh pembaca.
Medan, Juli 2011 Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Pokok Permasalahan ... 9
1.3 Tujuan Penelitian ... 9
1.3.1 Tujuan Penelitian ... 9
1.3.2 Manfaat Penelitian... 9
1.4 Konsep dan Teori ... 10
1.4.1 Konsep ... 10
1.4.2 Teori ... 10
1.5 Metode Penelitian ... 13
1.5.1 Studi Kepustakaan ... 14
1.5.2 Kerja Lapangan ... 14
1.5.2.1 Wawancara ... 15
1.5.2.2 Perekaman ... 16
1.5.2.3 Pemotretan ... 16
1.5.3 Kerja Laboratorium ... 16
1.5.4 Lokasi Peneltian ... 17
BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN BIOGRAFI SINGKAT BAPAK MARTUAH SARAGIH 2.1 Sejarah Singkat Kota Pematangsiantar ... 18
2.2 Lokasi Penelitian... 23
2.3 Keadaan Penduduk... 24
2.4 Sistem Bahasa ... 29
2.5 Sistem Kesenian... 30
2.5.1 Seni Musik ... 30
2.5.2 Seni Suara ... 31
2.5.3 Seni Tari ... 32
2.6 Sistem Kekerabatan ... 34
2.6.1 Marga-Marga Simalunun ... 37
2.7 Sistem Kepercayaan ... 40
2.8 Biografi Singkat Bapak Martuah Saragih ... 42
BAB III EKSISTENSI DAN FUNGSI SARUNEI SIMALUNUN 3.1 Eksistensi Sarunei Pada Masyarakat Simalungun di Kota Pematangsiantar .... 46
3.2 Fungsi Sarunei Pada Masyarakat Simalungun di Kota Pematangsiantar... 50
3.2.1. Fungsi Pengungkapan Emosional ... 52
3.2.2. Fungsi Hiburan ... 53
3.2.3. Fungsi kesinambungan kebudayaan ... 54
3.2.5. Fungsi Reaksi Jasmani dan Komunikasi ... 55
BAB IV KAJIAN ORGANISASI SARUNEI SIMALUNGUN 4.1. Perspektif Sejarah Sarunei Simalungun ... 56
4.2. Klasifikasi Sarunei Simalungun ... 58
4.3. Konstruksi Bagian Yang Terdapat Pada Sarunei Simalungun ... 59
4.4. Ukuran Bagian-Bagian Sigumbangi ... 61
4.4.1 Ukuran Bagian Sigumbangi ... 61
4.4.2 Ukuran Bagian Baluh ... 63
4.4.3 Nalih ... 66
4.4.4 Anak Ni Sarunei ... 68
4.4.5 Tuppak Bibir ... 69
4.5 Bahan Baku Yang Digunakan ... 71
4.5.1 Kayu Pohon Silastom Codiaeum Variegatum BL. ... 71
4.5.2 Bambu... 73
4.6 Peralatan Yang Digunakan 4.6.1 Parang ... 76
4.6.2 Pisau Belati ... 77
4.6.3 Pecahan Botol Kaca ... 78
4.6.4 Pukkor Kecil ... 79
4.6.10 Bambu Cetakan Badan Nalih ... 82
4.6.11 Bambu Cetakan Lubang Nalih ... 83
4.6.12 Gunting ... 84
4.6.13 Gergaji ... 84
4.7 Proses Pembuatan Sarunei... 85
4.7.1 Pembuatan Badan Sarunei ... 87
4.7.1.1 Memotong Batang Pohon ... 87
4.7.1.2 Membentuk Bentuk Kasar Badan Sarunei ... 88
4.7.1.3 Proses Pelubangan ... 89
4.7.1.4 Menyempurnakan dan Menghaluskan Bentuk Sarunei ... 90
4.7.1.5 Mengukur Jarak Lubang jari Dan Memberi tanda ... 91
4.7.2 Pembuatan Sigumbangi ... 92
4.7.2.1 Pemilihan Bambu ... 92
4.7.2.2 Pembuatan Sigumbangi ... 92
4.7.3 Pembuatan Nalih ... 93
4.7.3.2 Memanaskan Timah ... 94
4.7.3.3 Menuangkan Timah Cair Kedalam Cetakan ... 95
4.7.3.4 Mendinginkan Nalih ... 96
4.7.3.5 Menyempurnakan Bentuk Nalih ... 96
4.7.4 Pembuatan Tuppak Bibir ... 98
4.7.4.1 Pemilihan Batok Kelapa ... 98
4.7.4.2 Membentuk bentuk kasar tuppak bibir ... 98
4.7.4.3 Menghaluskan Dan Menyempurnakan Bentuk Tuppak bibir ... 99
4.7.5 Pembuatan Anak Ni Sarunei... 100
4.7.5.1 Pemilihan Daun Kelapa Dan Bulu Ayam ... 100
4.7.5.2 Pembuatan Bahan-bahan Anak Ni Sarunei ... 101
4.7.5.3 Pengikatan Reed ... 103
4.7.6 Kajian Fungsional ... 104
4.7.6.1 Proses Belajar ... 104
4.7.6.2 Posisi Memainkan ... 105
4.7.6.3 Teknik Memainkan Sarunei ... 106
4.7.6.4 Penyajian Sarunei Yang Baik ... 107
4.7.6.5 Perawatan Sarunei ... 110
4.7.6.6 Nada Yang Dihasilkan Sarunei ... 113
4.7.6.7 Wilayah nada...113
BAB V PENUTUP 5.1. Rangkuman ... 116
5.2. Kesimpulan ... 120
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Bagian-bagian Sarunei ... 60
Gambar 2. Bagian Sigumbangi ... 61
Gambar 3. Diameter Pangkal ... 62
Gambar 4. Diameter ujung ... 62
Gambar 5. Panjang Badan Sarunei ... 63
Gambar 6. Diameter bagian ujung baluh ... 64
Gambar 7. Diameter bagian pangkal baluh ... 64
Gambar 8 dan 9. Diameter lubang jari ... 65
Gambar 10. Jarak antara lubang ... 66
Gambar 11. Panjang Nalih ... 67
Gambar 12 dan 13. Diameter bagian pangkal dan ujung nalih ... 68
Gambar 14. Anak ni Sarunei ... 69
Gambar 15. Diameter lubang tengah tuppak bibir ... 70
Gambar 16. Diameter tuppak bibir ... 70
Gambar 17. Pohon kayu silastom ... 72
Gambar 18. Bambu ... 73
Gambar 19. Daun kelapa ... 74
Gambar 20. Timah ... 75
Gambar 22. Benang ... 76
Gambar 23. Parang ... 77
Gambar 24. Pisau belati ... 77
Gambar 25. Potongan botol kaca ... 78
Gambar 26. Pukkor kecil ... 79
Gambar 32. Cetakan Badan Nalih ... 83
Gambar 33. Cetakan lubang nalih ... 83
Gambar 34. Gunting ... 84
Gambar 35. Gergaji ... 84
Gambar 36. Proses mengikis kulit ... 88
Gambar 37. Membentuk badan sarunei ... 89
Gambar 38. Proses Pelubangan sarunei ... 90
Gambar 39. Proses pelubangan sarunei ... 90
Gambar 40. Proses menghaluskan bentuk sarunei ... 91
Gambar 41. Badan sarunei setelah di haluskan ... 91
Gambar 42. Proses pengukuran untuk pembuatan lubang jari ... 93
Gambar 43. Proses memanaskan pukkor ... 93
Gambar 44. Proses pelubangan ... 94
Gambar 45. Proses lubangan ... 94
Gambar 46. Proses pengukuran untuk pembuatan lubang bawah ... 95
Gambar 47. Proses pelubangan ... 95
Gambar 48. Proses pembuatan sigumbangi ... 97
Gambar 49. Proses pembuatan sigumbagi ... 97
Gambar 50. Cetakan badan nalih ... 98
Gambar 51: Cetakan lobang nalih ... 99
Gambar 52: Cetakan nalih ... 99
Gambar 53: Proses memanaskan timah ... 100
Gambar 54: Proses pencetakan nalih ... 100
Gambar 55: Nalih setelah didinginkan ... 101
Gambar 56: Nalih sebelum dihaluskan ... 102
Gambar 57: Nalih setelah di haluskan ... 102
Gambar 58: Bentuk kasar tuppak bibir ... 103
Gambar 59: Proses menghaluskan ... 103
Gambar 60: Tuppak bibir ... 104
Gambar 61 : Bulu Ayam Jantan ... 105
Gambar 62: Daun kelapa tua ... 105
Gambar 63 : Anak Sarunei Yang Sudah Dibentuk ... 106
Gambar 64 : Lubang tiup dari bulu ayam ... 106
Gambar 65 : Pengikatan reed ... 108
Gambar 66 : Pengikatan reed dengan lubang tiup ... 108
Gambar 68 : Posisi Jari ... 111
Gambar 69 : Penulis bersama Bapak Martuah Saragih ... 126
Gambar 70 : Penulis bersama Bapak Martuah Saragih ... 126
DAFTAR TABEL Tabel 1. Banyaknya Penduduk menurut Suku Bangsa ... 27
Tabel 2. Banyaknya Penduduk menurut Suku Bangsa ... 28
Tabel 3. Klasifikasi instrumen musik sarunei ... 59
Tabel 4. Tahap pekerjaan dalam pembuatan sarunei ... 85
Lampiran I ... 123
Lampiran II ... 124
Lampiran III ... 125
DAFTAR INFORMAN ... 127
ABSTRAKSI
Sarune adalah salah satu jenis instrument musik pada masyarakat Batak simalungun.
Yang termasuk kedalam ansambel gorang sipitu pitu. Ansambel gonrang sipitu pitu terdiri
dari beberapa alat musik, yaitu satu set gonrang, 4 buah gong, satu buah gong jantan, satu
buah betina, dan dua buah gong kecil yang disebut mong mongan, dan satu buah sarune
sebagai pembawa melodi.
Sarune dalam klasifikasinya termasuk kedalam aerophone. Alat musik sarune ini
terbuat dari kayu silastom. Sarune memiliki tujuh buah lubang jari. Dimainkan dan ditiup
dengan circular breathing, yang artinya melakukan tiupan tanpa putus putus dengan
mengatur pernapasan, sambil menghirup udara kembali lewat hidung sembari meniup .
Biasa dimainkan pada upacara upacara adat masyarakat simalungun, seperti upacara
pernikahan, upacara kematian hingga sebagai hiburan.
Dalam ansambel gonrang sipitu pitu Sipeniup sarune selalu diakui sebagai pemimpin
di antara mereka, baik secara adat maupun secara musik. Peniup sarune mempunyai peranan
yang sangat besar dalam menentukan ansambel musik yang akan dimainkan. Menurut adat
juga, bila pihak yang meminta gual memberikan penghargaan maka si peniup sarunei-lah
yang harus menerima penghargaan tersebut.
Bapak Martuah Saragih merupakan salah satu pembuat sarune yang masih mengerti
tentang proses pembuatan dan masih aktif dalam memainkan alat musik sarune dalam
upacara upacara adat simalungun, dan juga memainkan sarune keberbagai belahan dunia,
lakukan dilapangan, Bapak Martuah Saragih merupakan orang yang masih mengerti cara cara
pembuatan sarune dan sudah berpengalaman.
Dengan berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik ingin meneliti proses
pembuatan alat musik sarune simalungun buatan Bapak Martuah Saragih di daerah Pematang
Siantar, Kecamatan siantar utara yang akan dituangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul :
“KAJIAN ORGANOLOGIS SARUNE SIMALUNGUN BUATAN BAPAK MARTUAH
ABSTRAKSI
Sarune adalah salah satu jenis instrument musik pada masyarakat Batak simalungun.
Yang termasuk kedalam ansambel gorang sipitu pitu. Ansambel gonrang sipitu pitu terdiri
dari beberapa alat musik, yaitu satu set gonrang, 4 buah gong, satu buah gong jantan, satu
buah betina, dan dua buah gong kecil yang disebut mong mongan, dan satu buah sarune
sebagai pembawa melodi.
Sarune dalam klasifikasinya termasuk kedalam aerophone. Alat musik sarune ini
terbuat dari kayu silastom. Sarune memiliki tujuh buah lubang jari. Dimainkan dan ditiup
dengan circular breathing, yang artinya melakukan tiupan tanpa putus putus dengan
mengatur pernapasan, sambil menghirup udara kembali lewat hidung sembari meniup .
Biasa dimainkan pada upacara upacara adat masyarakat simalungun, seperti upacara
pernikahan, upacara kematian hingga sebagai hiburan.
Dalam ansambel gonrang sipitu pitu Sipeniup sarune selalu diakui sebagai pemimpin
di antara mereka, baik secara adat maupun secara musik. Peniup sarune mempunyai peranan
yang sangat besar dalam menentukan ansambel musik yang akan dimainkan. Menurut adat
juga, bila pihak yang meminta gual memberikan penghargaan maka si peniup sarunei-lah
yang harus menerima penghargaan tersebut.
Bapak Martuah Saragih merupakan salah satu pembuat sarune yang masih mengerti
tentang proses pembuatan dan masih aktif dalam memainkan alat musik sarune dalam
upacara upacara adat simalungun, dan juga memainkan sarune keberbagai belahan dunia,
lakukan dilapangan, Bapak Martuah Saragih merupakan orang yang masih mengerti cara cara
pembuatan sarune dan sudah berpengalaman.
Dengan berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik ingin meneliti proses
pembuatan alat musik sarune simalungun buatan Bapak Martuah Saragih di daerah Pematang
Siantar, Kecamatan siantar utara yang akan dituangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul :
“KAJIAN ORGANOLOGIS SARUNE SIMALUNGUN BUATAN BAPAK MARTUAH
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Sumatera Utara adalah sebuah provinsi yang terletak di pulau Sumatera, berbatasan
dengan Aceh di sebelah utara dan dengan Sumatera Barat serta Riau di sebelah selatan.
Provinsi Sumatera Utara merupakan wilayah multietnis yang dihuni oleh banyak suku bangsa
dengan suku Batak, Melayu, dan Nias sebagai penduduk asli wilayah ini1
Pada masyarakat Simalungun seni musik terdiri atas dua bagian, yaitu musik vokal
yang disebut inggou dan musik instrumen yang disebut gual.
. Masyarakat
Simalungun adalah salah satu kelompok etnis asli Provinsi Sumatera Utara. Etnis Simalungun
merupakan salah satu dari lima kelompok etnis batak lainnya, yaitu, Toba, Karo, Pakpak,
Mandailing-Angkola (Bangun,1993:94). Setiap etnis yang ada di Sumatera Utara memiliki
kebudayaan yang berbeda-beda. Baik etnis Batak maupun etnis lainnya, bahkan kebudayaan
diantara etnis Batak itu sendiri juga memiliki perbedaan.
Masyarakat Simalungun memiliki kebudayaan yang diturunkan secara turun-temurun
oleh leluhurnya, baik secara lisan maupun tulisan. Salah satu bentuk dari kebudayaan tersebut
adalah kesenian. Kesenian pada masyarakat Simalungun sangat banyak, di antaranya adalah
seni rupa, seni tari, seni ukir, dan seni musik. Dalam tulisan ini, penulis lebih terfokus untuk
mengkaji seni musiknya.
2
1
http://id.wikipedia.org/wiki/Sumatera_Utara
2
Sinaga, Saridin Tua. 2007. “Kajian Organologis Arbab Simalungun Buatan Bapak Arisden Purba di Desa Maniksaribu Kecamatan Pematang Sidamanik Kabupaten Simalungun”
dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu musik instrumen yang dimainkan secara ensambel3
Sarunei merupakan Alat musik tiup dari kayu, alat musik ini memiliki enam buah
lubang yang sejajar dengan bibir bagian atas dan satu buah lubang sejajar dengan bibir bagian
bawah jika dilihat dari posisi memainkannya. Sarunei juga memiliki penahan bibir (bibir
moncong) yang terbuat dari tempurung kelapa berbentuk bulat berdiameter ± 5-5,5 cm, yang dan
musik instrumen yang dimainkan secara tunggal (solo instrumen). Instrumen yang dimainkan
secara tunggal (solo instrumen) yang ada dalam kebudayaan Simalungun adalah saligung,
Jatjaulul atau tengtung, husapi, Tulila, Ingon-ingon, arbab, garattung, sordam. Sedangkan Musik instrumen yang dimainkan secara ensambel yaitu Gonrang Sidua-dua dan Gonrang
Sipitu-pitu atau Gonrang bolon. Gonrang Sipitupitu dan Gonrang Bolon adalah ensambel yang sama, akan tetapi penamaan dalam upacara adat saja yang membedakannya. Gonrang
Sipitu-pitu disebut pada saat upacara dukacita (pusok ni uhur) sedangkan Gonrang Bolon
disebut pada upacara sukacita (malas ni uhur). Ensambel Gonrang Sipitu-pitu terdiri dari satu
set gonrang yang terdiri dari tujuh buah gendang satu sisi, sepasang Gong besar, serta dua
buah gong kecil yang disebut dengan Mongmongan. Dan satu buah Sarunei sebagai
pembawa melodi.
Ensambel Gonrang Sidua-dua terdiri dari dua buah gendang dua sisi yang dimainkan
dengan cara dipukul dengan stik untuk bagian sisi sebelah kanan, dan dengan tangan untuk
bagian sebelah kiri, Sedangkan untuk pembawa melodi Sarunei dan gong prinsipnya
sama saja dengan ensambel gonrang sipitu-pitu atau gonrang bolon.
3
sering disebut dengan piruet (tuppak bibir). Bagian baluh4nya terbuat dari kayu silastom atau
bambu. Bagian sigumbangi5nya terbuat dari bahan kayu atau bambu fungsi praktisnya ialah
untuk menurunkan nada. Alat musik ini memiliki lidah (buluh)6
Orang yang memainkan sarunei disebut parsarunei
getar ganda, ditiup dengan
cara circular breathing, yang artinya melakukan tiupan tanpa putus putus dengan mengatur
pernapasan, sambil menghirup udara kembali lewat hidung. Sarunei terbuat dari kayu
silastom. Bahan-bahan alternatif lain yang juga dapat digunakan untuk membuat sarunei
adalah kayu arang, sanggubor, silanlan dan kayu juhar. Namun kayu-kayu jenis ini bersifat
agak lunak sehingga tidak memiliki daya tahan. Umumnya dalam waktu dua tahun, baluh
akan pecah dan sarunei tidak dapat digunakan lagi.
7
Bapak Martuah Saragih adalah salah satu pambahen sarunei dan parsarunei, beliau
adalah pemain sarunei yang sangat dihormati dan disegani dikalangan peniup sarunei. Dari
informasi yang didapat penulis dengan informan mengatakan bahwa teknik meniup dan
permainan beliau sangat mirip dengan almarhum Nokah Sinaga.
, sementara orang yang membuat
sarunei disebut pambahen sarunei. Di kota Pematangsiantar terdapat banyak parsarunei,
tetapi tidak semua parsarunei mengerti tentang cara-cara pembuatan sarunei. Orang yang
masih mengerti tentang cara-cara pembuatan sarunei Simalungun tersebut adalah Martuah
Saragih dan Jahuat Purba. Bapak Martuah Saragih lebih dikenal oleh masyarakat di Kota
Pematangsiantar sedangkan bapak Jahuat Purba lebih dikenal oleh di masyarakat simalungun
di kabupaten Simalungun.
4
Baluh adalah Badan sarunei atau bagian laras pada alat musik sarunei yang terdapat tujuh buah lubang tempat jari.
5
Sigumbangi adalah sambungan yang berbentuk selongsong, umumnya memeliki panjang setengah atau dua pertiga panjang baluh.
6
Buluh adalah lidah sarune atau sering disebut dengan anak ni sarunei.
7
Selain dikenal karena kepiawaiannya dalam memainkan dan membuat sarunei
Simalungun beliau juga dikenal sebagai seorang tokoh masyarakat yang tetap mendukung
kelestarian musik tradisional Simalungun seperti memperkenalkan kebudayaan musik
Simalungun pada muda-mudi Simalungun seperti mengisi acara pada saat Rondang Bittang,
selain itu beliau juga telah memperkenalkan kebudayaan Simalungun ketingkat internasional
di berbagai negara di antaranya adalah Malaysia, Thailand, Singapura, Amerika dan Canada.
Beliau adalah parsarunei yang telah dikenal oleh masyarakat di kota Pematangsiantar
khususnya masyarakat Simalungun.
Beliau juga telah banyak mendapatkan berbagai piagam penghargaan dari pemerintah
sebagai tanda ucapan terima kasih untuk kontribusinya dalam mendukung musik tradisional
khususnya musik Simalungun, di antaranya adalah piagam penghargaan dari pemerintah,
karena telah mendukung tim kesenian pemerintah Kotamadya Pematangsiantar ke Malaysia
pada tanggal 28 Oktober sampai dengan 2 Nopember 1993. Selain itu beliau juga
memenangkan beberapa acara seperti festival Gondang Simalungun yang diselenggarakan
pada Hut ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) ke 51 pada tahun 1996. 8
8
Lihat Lampiran 1-3
Latar belakang keluarga menjadi dorongan beliau untuk menjadi seorang pemain
musik. Dimana kakek dari Martuah Saragih merupakan parsarunei, ayahnya merupakan
penabuh Gonrang. Hal ini menjadi motivasi beliau untuk menjadi seorang seniman. Martuah
Saragih berawal dari seorang pemain gong yang kemudian beralih menjadi seorang penabuh
gonrang, kemudian beliau sering dipanggil untuk ikut tampil di berbagai upacara adat
Nama grup Bapak Martuah Saragih adalah Sitalasari. Di dalam grup tersebut bapak
Martuah Saragih mulai mempelajari cara memainkan alat musik sarunei secara otodidak pada
saat berurumur 13 tahun. Pertama-tama bapak Martuah Saragih memainkan sarunei buluh
(terbuat dari bambu)9
Bapak Martuah Saragih mulai belajar membuat sarunei ketika berada di dalam grup
Sitalasari. Awalnya bapak Martuah Saragih belajar adalah saat disuruh untuk memperbaiki anak ni sarunai (lidah atau buluh getar) sarunei dan nalih
.
Cara belajar yang digunakan beliau untuk mempelajari sarunei adalah dengan
menghapal melodi-melodi lagu yang sering dimainkan oleh parsarunei di dalam grup
tersebut. Secara lambat laun beliau mulai bisa memainkan sarunei, dan mulai menggantikan
parsarunei utama dengan memainkan dua atau tiga repertoar lagu ketika panarunei utama
istirahat. Hingga bapak Martuah Saragih dipercaya oleh grupnya untuk menjadi salah satu
parsarunei utama di dalam grup itu. Meskipun beliau belajar secara otodidak dalam
memainkan sarunei beliau tetap menganggap almarhum Nokah Sinaga sebagai gurunya. Hal
tersebut dikarenakan banyaknya waktu yang sudah dilalui beliau dengan almarhum Nokah
Sinaga sehinga sedikit banyaknya telah mempengaruhi teknik permainan sarunei bapak
Martuah Saragih.
10
Kemudian secara perlahan-lahan beliau mulai mencoba untuk membuat sarunei hasil
karya ciptanya sendiri. Walaupun telah berkali-kali gagal tetapi bapak martuah saragih tidak sarune oleh mendiang Nokah
Sinaga. Setelah mengetahui cara membuat anak ni sarunei dan memperbaiki nalih, bapak
Martuah Saragih sering ikut melihat dan bertanya tentang proses-proses pembuatan sarunei
kepada mendiang Nokah Sinaga.
9
Hasil wawancara penulis dengan bapak Martuah Saragih 22 maret 2011.
10
pernah berhenti untuk mencoba hingga beliau menghasilkan sarunei pertamanya. Untuk
membuat satu buah sarunei bapak martuah membutuhkan waktu kurang lebih satu bulan.
Dalam proses pembuatannya, bapak Martuah Saragih masih tetap menggunakan
alat-alat yang masih tergolong sederhana, yakni berupa parang, pisau belati, kikir, pukor besar,
pukor kecil, pecahahan botol kaca ,kape11
Proses pembuatannya tergolong sederhana, karena hanya menggunakan tenaga
manusia, tanpa bantuan mesin. Hal pertama yang dilakukan pambahen sarunei adalah
mencari ranting kayu silastom yang sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan. Ranting kayu
tersebut harus tegak lurus, kemudian ranting tersebut dilubangi menggunakan pukor yang
tajam. Setelah itu bagian kulit luarnya di haluskan dengan pisau dan kaca. Setelah itu
mengukur dan memberi tanda untuk lobang. Setelah itu tanda tersebut dilobangi dengan
pukor kecil yang sudah dipanasi. Proses selanjutnya adalah membuat cetakan untuk nalih
yang terbuat dari bambu, setelah memanaskan timah di sebuah kaleng susu yang telah dibagi
dua, setelah timah mencair maka di masukkan kecetakan yang telah disiapkan tadi melalui
sebuah corong yang terbuat dari kaleng/ seng yang dibentuk seperti corong. Setelah
didiamkan selama kurang lebih 3 menit maka cetakan tadi sudah bisa di buka. Kemudian
membuat bagian sigumbangi yang terbuat dari bambu. Dan membuat bagian alap-alap dari dan bahan-bahan yang juga sederhana yaitu,
bambu, kayu pohon silastom, benang, alumunium, timah, seng, daun kelapa, batok kelapa,
dan bulu ayam. Akan tetapi pada saat ini kape diganti dengan kaca, alasan beliau mengganti
kape menjadi kaca adalah karena kaca mudah didapat dan hasil dari penggunaannya sama.
Karena itu kape sudah tidak digunakan lagi oleh bapak Martuah Saragih sebagai alat
pembuatan sarunei.
11
bagian tengah batok kelapa. Dan membuat lidah sarune dari daun kelapa yang sudah tua yang
diikatkan pada potongan ombul ni dayok12
12
Bagian ujung dari bulu ayam/batang dari bulu ayam.
.
Menurut pengakuan beliau dan beberapa parsarunei Simalungun yang penulis jumpai
sarunei buatan Martuah Saragih ini telah banyak digunakan. Baik oleh parsarunei yang baru
belajar maupun parsarunei yang sudah profesional. Mereka beranggapan bahwa selain bapak
Martuah Saragih mahir memainkan saruneinya kualitas dari sarunei buatannya juga dinilai
baik. Menurut Martuah Saragih yang banyak memesan sarunei kepada beliau adalah
orang-orang yang hendak mempelajari Sarunei Simalungun (Diantaranya pemuda-pemuda
Simalungun maupun mahasiswa-mahasiswa diluar kabupaten simalungun). Dan begitu juga
halnya dengan parsarunei yang sudah profesional.
Martuah Saragih mematok harga Rp. 300.000.- untuk satu buah sarunei. Akan tetapi
menjadi pembuat sarunei bukanlah pekerjaan tetap beliau, bapak Martuah Saragih hanya
membuat sarunei bila ada orang yang memesan saja. Begitu juga halnya dengan meniup
sarunei. Pekerjaan tetap beliau selain bertani adalah sebagai Ketua RT/RW Kelurahan
Martoba, Kecamatan Siantar utara.
Terdapat banyak upacara maupun kegiatan adat masyarakat Simalungun di kota
Pematang Siantar yang selalu melibatkan musik tradisional dalam pelaksanaanya seperti
upacara pernikahan dan upacara sayur matua. Sehingga membuat keberadaan musik
tradisional Simalungun di kota Pematang Siantar tetap bertahan dan dilestariakan. Begitu
juga dengan instrumen sarunei yang kerap digunakan dalam setiap penyajian musik
Sampai saat ini Sarunei masih dipergunakan sebagai instrumen musik dalam kegiatan
yang berhubungan dengan musik pada masyarakat Simalugun. Tidak hanya dalam hal
penggunaan, pembuatan sarunei oleh Martuah Saragih pun masih berlangsung sampai saat ini
di kota Pematang Siantar.
Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti,
mengkaji, serta menuliskannya dalam sebuah tulisan ilmiah dengan judul: “Kajian
1.2. Pokok Permasalahan
1. Bagaimana keberadaan (eksistensi) Sarunei buatan bapak Martuah Saragih
pada masyarakat Batak Simalungun di Kota Pematang Siantar
2. Bagaimana proses dan teknik pembuatan sarunei Simalungun oleh bapak
Martuah Saragih
3. Bagaimana teknik permainan Sarunei Simalungun sebagai instrumen
pembawa melodi
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui keberadaan (eksistensi) sarunei Simalungun
ditengah-tengah masyarakat Simalungun khususnya di kota Pematang Siantar.
2. Untuk mengetahui proses dan teknik pembuatan sarunei Simalungun oleh
Bapak Martuah Saragih
3. Untuk mengetahui bagaimana teknik permainan sarunei simalungun sebagai
instrumen pembawa melodi
1.3.2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai bahan dokumentasi untuk menambah referensi mengenai Sarunei
Simalungun di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
2. Sebagai bahan masukan dan perbandingan bagi penelitian yang berkaitan
selanjutnya.
3. Sebagai kontribusi bagi kelompok-kelompok ensambel musik dikalangan
masyarakat Simalungun.
4. Sebagai suatu proses pengaplikasian ilmu yang diperoleh penulis selama
perkuliahan di Departemen Etnomusikologi.
5. Untuk memenuhi syarat ujian untuk mendapatkan gelar Sarjana di
Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya USU.
1.4. Konsep dan Teori 1.4.1. Konsep
Konsep merupakan rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa
kongkrit (Kamus besar bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1991 : 431). Kajian merupakan kata
jadian dari kata ”kaji” yang berarti mengkaji, mempelajari, memeriksa, mempertimbangkan
secara matang, dan mendalami. Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa pengertian
kata ”kajian” dalam hal ini adalah suatu penelitian atas pemeriksaan yang dilakukan dengan
teliti. (Badudu. 1982 : 132).
Sedangkan organologi merupakan ilmu tentang instrumen musik (alat musik) yang
seharusnya tidak hanya mencakup sejarah dan deskripsi instrumen saja, tetapi juga sama
pentingnya, walaupun sebagai aspek yang terabaikan dalam ”ilmu” instrumen musik, seperi
teknik-teknik tertentu dalam memainkan, fungsi secara musik, hiasan (yang dibedakan dari
Dari kedua konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa kajian organologis sarunei
buatan bapak Martuah Saragih, di Kecamatan Siantar Utara, Kota Pematang Siantar, adalah
penelitian secara mendalam mengenai deskripsi instrumen, proses pembuatan, dan teknik
permainan dari instrumen sarunei.
1.4.2. Teori
Teori merupakan landasan pendapat yang dikemukakan mengenai suatu peristiwa.
(Kamus besar bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1991 : 1041). Sesuai dengan permasalahan
yang akan dibahas dalam skripsi ini, maka penulis menggunakan beberapa landasan teori
yang berkaitan (relevan) dengan tulisan ini.
Dalam konteks penelitian, teori digunakan sebagai arahan untuk melakukan
kerja-kerja penelitian. Teori hanya sebagai acuan sementara, agar penelitian tidak melebar ke
mana-mana. Teori adalah bangunan yang mapan, ada pendapat peneliti, ada simpulan awal.
Itulah sebabnya teori harus dibangun terstruktur, sejalan dengan apa saja yang mungkin akan
digunakan (Suwardi, 2006:107).
Penulis juga akan membahas tentang pendeskripsian instrumen sarunei simalungun
buatan bapak Martuah Saragih, maka dalam hal ini penulis mengacu pada teori yang
dikemukakan oleh Susumu Khasima (1978 : 74), yaitu:
Teori ini digunakan untuk membahas mengenani kajian struktural dan kajian
fungsional dari sarunei Simalungun buatan Martuah Saragih, yang akan dirangkumkan dalam
kajian organologis sarune buatan bapak Martuah Saragih. Sesuai dengan teori klasifikasi
musik oleh Curt Sach dan Hornbostel (1961) yang membagi alat musik menjadi empat
bagian berdasarkan sumber bunyinya yaitu: Aerophone, Idiophone, Membranophone,
Chordophone.
Menurut pembagian tersebut maka sarunei Simalungun adalah instrumen musik
Aerofon, memiliki lidah ganda (double reed), berbentuk sedikit menerucut , terbuat dari kayu pohon silastom dan bambu, ditiup dengan circular breathing, yang artinya melakukan tiupan
tanpa putus-putus dengan mengatur pernapasan, sambil menghirup udara kembali lewat
hidung sembari meniup.
Berdasarkan Kamus besar bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1991 : 253, ”Eksistensi
artinya keberadaan”. Hal ini berkaitan juga dengan eksistensi (keberadaan) sarunei pada etnis
Simalungun, dalam hal ini yang berada di Pematang Siantar. Teori ini digunakan untuk
membahas mengenai keberadaan dan eksistensi sarunei yang terdapat di kota Pematang
Siantar.
Untuk mengetahui sistem permainan atau teknik permainan sarunei oleh bapak
Martuah maka penulis menggunakan dua pendekatan yang dikemukakan oleh Nettl (1963 :
98) yaitu:
Selanjutnya Charles Seeger juga mengemukakan dalam Nettl (1964 : 100) yaitu :
” Ada dua tujuan musikal yaitu secara perspektif dan deskriptif. Secara ringkas diterangkan bahwa perspektif dapat disebut sebagai notasi yang tidak lebih dari untuk membantu pemain mengingat terhadap musik pada saat pertunjukan. Sedangkan deskriptif adalah notasi yang menuliskan semua karakter musikal secara rinci dari suatu komposisi musik yang diperdengarkan.”
1.5. Metode Penelitian
Metode adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan, (Koentjaraningrat 1997 : 16). Dalam melakukan penelitian penulis
menggunakan metode penelitian deskriptif yang bersifat kualitatif untuk memahami
permasalahan yang terdapat dalam pembuatan sarune oleh bapak Martuah Saragih.
Tahap kerja lapangan, Analisis data dan Penulisan laporan. (Moleong, 2002 : 109). Di
samping itu, untuk mendukung metode penelitian yang dikemukakan oleh Moleong, penulis
juga menggunakan metode penelitian lainnya, yaitu: disiplin lapangan (field) dan disiplin
laboratorium (laboratory discipline). Hasil dari kedua disiplin ini kemudian digabungkan
menjadi satu hasil akhir (a final study), (Meriam, 1964 : 37).
Untuk memperoleh data dan keterangan yang dibutuhkan dalam penulisan ini, penulis
menggunakan Metode Pengumpulan Data, umumnya ada dua macam, yakni: Menggunakan
daftar pertanyaan, dan Menggunakan wawancara.
Untuk melengkapi pengumpulan data dengan daftar pertanyaan maupun wawancara
tersebut dapat pula digunakan pengamatan dan penggunaan catatan harian, (Djarwanto,
1.5.1 Studi Kepustakaan
Untuk mendukung keseluruhan Informasi yang terkumpul dari lokasi penelitian maka
penulis melakukan studi kepustakaan yaitu dengan menelaah sejumlah buku-buku
metodologi penelitian (ilmu sosial), situs-situs internet, tulisan-tulisan ilmiah, literatur,
majalah dan skripsi-skripsi terdahulu yang berhubungan topik penelitian ini.
Studi pustaka ini diperlukan untuk mendapatkan konsep-konsep dan teori juga
informasi yang dapat digunakan sebagai pendukung penelitian pada saat melakukan
penelitian dan penulisan skripsi ini.
1.5.2 Kerja Lapangan
Menurut Harja W. Bachtiar (1985 : 108), bahwa pengumpulan data dilakukan melalui
kerja lapangan (field work) dengan menggunakan teknik observasi untuk melihat, mengamati
objek penelitian dengan tujuan mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan.
Untuk memperoleh informasi yang akurat dalam tulisan ini maka penulis tulisan ini,
penuis melakukan observasi langsung ke lokasi penelitian yang telah diketahui sebelumnya,
dan langsung melakukan wawancara bebas dan juga wawancara mendalam antara penulis
dengan informan13
13
Informan: Pihak pemberi informasi
, yaitu dengan mengajukan pertanyaan yang telah dipersiapkan
sebelumnya, walaupun saat melakukan penelitian terdapat juga hal-hal baru yang penulis rasa
1.5.2.1Wawancara
Teknik wawancara yang penulis lakukan adalah seperti apa yang telah dikemukakan
oleh koenjaraningrat (1985:138-140) yaitu wawancara dapat dilakukan dengan tiga cara:
1. Wawancara bebas (Free interview) : pertanyaan yang berpusat pada
satu pokok permasalahan yang sebelumnya telah ditentukan penulis
terlebih dahulu.
2. Wawancara bebas (Free interview) : pertanyaan yang lebih beragam
tidak pada satu pokok masalah namun tetap berkaitan dengan
informasi objek penelitian sipenulis.
3. Wawancara sambil lalu (Casual interview) : pertanyaan yang diajukan
pada suasana yang tidak terkonsep.
Dalam hal ini penulis terlebih dahulu menyiapkan terlebih dahulu daftar pertanyaan
yang akan ditanyakan saat wawancara, pertanyaan yang penulis ajukan bisa beralih dari satu
topik ke topik lain secara bebas. Sedangkan data yang terkumpul dalam suatu wawancara
bebas sangat beraneka ragam, tetapi tetap materinya berkaitan dengan topik penelitian.
Menurut Harja W. Bachtiar (1985 : 155), wawancara adalah untuk mencatat
keterangan-keterangan yang dibutuhkan dengan maksud agar data atau keterangan-keterangan tidak ada yang hilang.
1.5.2.2Perekaman
Untuk perekaman baik audio maupun video penulis menggunakan tape recorder
bermerk Sony Microcassette-Corder M-55. Handphone merk Nokia 6300, Digital Voice
1.5.2.3Pemotretan
Penulis melakukan pengambilan gambar atau pengabadian dalam bentuk visual
menggunakan kamera digital bermerk Canon x-3s, ekamera digital merk Olympus dan
kamera handphone merk Nokia 6300.
1.5.3 Kerja Laboratorium
Setelah pengumpulan data yang penulis lakukan baik itu hasil wawancara, rekaman
audio dan video maka selanjutnya akan dianalisis dan diproses dalam kerja laboratorium. Hal
ini dilakukan untuk memperoleh data yang akurat dan mempermudah pengerjaan tulisan ini.
data yang bersifat analisis disusun dengan sistematika penulisan ilmiah.
Data-data berupa gambar, audio diteliti kembali sesuai ukuran yang telah ditentukan kemudian
dianalisis seperlunya dan membuang data-data yang dianggap tidak penting dan mencari
tambahan data yang dianggap kurang. Kemudian semua hasil pengolahan data tersebut
disusun dalam satu laporan hasil penelitian berbentuk skripsi. (Meriam 1995 : 85).
1.5.4 Lokasi Penelitian
Adapun lokasi penelitian yang penulis pilih adalah lokasi yang merupakan tempat
tinggal yang juga sekaligus sebagai bengkel instrumen beliau yaitu bapak Martuah Saragih,
yang bertempat tinggal di Jalan Rindung, Kecamatan Siantar Utara, Kota Pematang Siantar.
Alasan penulis memilih lokasi tersebut adalah bahwa banyak musisi-musisi tradisional
simalungun yang lahir dari daerah tersebut yang sudah mengeluti musik tradisional
simalungun di Kota pematang siantar ini seperti Nokah Sinaga, Martuah Saragih. Jahuat
BAB II
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN BIOGRAFI SINGKAT BAPAK MARTUAH SARAGIH
Bab ini merupakan penjelasan tentang gambaran umum wilayah penelitian dan
biografi singkat bapak Martuah Saragih sebagai seniman alat musik tradisional Simalungun.
Wilayah yang dimaksud disini adalah bukan hanya lokasi penelitian, tetapi lebih terfokus
kepada gambaran masyarakat Simalungun khususnya yang ada di Pematangsiantar secara
umum. Namun sebelum membahas topik tersebut, akan diuraikan lebih dahulu Sejarah
singkat Kota Pematangsiantar.
2.1 Sejarah Singkat Kota Pematangsiantar
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Pematangsiantar merupakan
daerah kerajaan. Pematangsiantar berkedudukan di Pulau holing dan Raja terakhir dari dinasti
ini adalah keturunan marga Damanik yaitu Tuan sang Nawaluh Damanik yang memegang
kekuasaan sebagai Raja tahun 1906.
Disekitar pulau holoing kemudian berkembang menjadi perkampungan tempat tinggal
penduduk diantaranya kampung suhi haluan, siantar bayu, suhi kahaean, pantoan, suhi bah
bosar, dan tomuan. Daerah-daerah tersebut kemudian menjadi daerah hukum kota
pematangsiantar, yaitu:
1. Pulau Holing menjadi Kampung Pematang
3. Suhi Kahean menjadi Kampung Sipinggol-pinggol, kampung melayu,
Martoba,Sukadame, dan Bane
4. Suhi Bah Bosar menjadi Kampung Kristen, Karo, Tomuan, Pantoan,
Toba dan Martimbang.
Setelah belanda memasuki daerah Sumatera Utara, daerah Simalungun menjadi
daerah kekuasaan belanda sehingga pada tahun 1907 berakhirlah kekuasaan Raja-raja. Sejak
itu Pematangsiantar berkembang menjadi daerah yang banyak dikunjungi pendatang baru,
bangsa china mendiami kawasan timbang galung dan kampung melayu.
Pada tahun 1910 didirikan Badan Persiapan Kota Pematangsiantar. Kemudian pada
tanggal 1 Juni 1917 berdasarkan Stad Blad No. 285 Pematangsiantar berubah menjadi
Gemente yang mempunyai otonomi sendiri. Sejak Januari 1939 berdasarkan Stad Blad No.
717 berubah menjadi Gemente yang mempunyai Dewan.
Pada zaman penjajahan Jepang berubah menjadi Siantar State dan Dewan dihapus.
Setelah proklamasi Kemerdekaan Pematangsiantar kembali menjadi daerah otonomi.
Berdasarkan undang_undang No. 27/ 1948 status Gemente menjadi Kota Kabupaten
Simalungun dan Walikota dirangkap oleh Bupati Simalungun sampai tahun 1957.
Berdasarkan UU No1/1957 berubah menjadi Kota Praja penuh dan dengan keluarnya UU
No.18/1965 berubah menjadi Kotamadya, dan dengan keluarnya UU No.5/1974 Tentang
pokok-pokok pemerintah di daerah berubah menjadi daerah tingkat II Pematangsiantar
Kemudian pada tanggal 10 Maret 1986 Kota Daerah Tingkat II Pematangsiantar
diperluas dari 4 (empat) kecamatan menjadi 6 (enam) kecamatan, dimana 9 desa dari wilayah
kabupaten Simalungun menjadi wilayah Kota Pematangsiantar. Sehingga luas kota
pematangsiantar bertambah dari 12,48 km2 menjadi 70,230 km2.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.15 tahun 1986 tanggal 10 maret 1986 Kota
daerah tingkat II Pematangsiantar diperluas menjadi 6 (enam) wilayah Kecamatan yaitu:
1. Kecamatan Siantar Barat
2. Kecamatan Siantar Utara
3. Kecamatan Siantar Timur
4. Kecamatan Siantar Selatan
5. Kecamatan Siantar Marihat
6. Kecamatan Siantar Martoba
Kemudian pada tahun 2007, diterbitkan peraturan daerah tentang pemekaran wilayah
admisnistrasi Kota Pematangsiantar yaitu:
1. Peraturan Daerah No.3 tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan
Siantar Sitalasari
2. Peraturan Daerah No.6 tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan
Siantar Marimbun
Sehingga secara administrasi wilayah Kota Pematangsiantar terbagi menjai 8
1. Kecamatan Siantar Marihat
2. Kecamatan Siantar Marimbun
3. Kecamatan Siantar Selatan
4. Kecamatan Siantar Barat
5. Kecamatan Siantar Utara
6. Kecamatan Siantar Timur
7. Kecamatan Siantar Martoba
8. Kecamatan Siantar Sitalasari14
14
2.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang penulis teliti berada di Kota Pematangsiantar yang merupakan
tempat tinggal sekaligus sebagai bengkel instrumen bapak Martuah Saragih, yang bertempat
tinggal di Jalan Rindung, Kecamatan Siantar Utara.
Kota Pematangsiantar ini terletak di tengah-tengah Kabupaten Simalungun dengan keadaan
topografi berbukit-bukit rendah dan berada pada ketingian 400-500 m di atas permukaan laut.
Daerah ini terletak pada garis 2º53’40”-3º01’00” Lintang Utara dan 99º1’00’’-99º6’35’’
Bujur Timur, dengan suhu maksimum rata-rata 30,ºC dan suhu minimum rata-rata 21,0 ºC.
Luas daratan kota Pematangsiantar adalah 79,971 Km2. Kecamatan yang terluas adalah
Kecamatan Siantar Sitalasari dengan luas wilayah 22,723 km2. 15
Sejak proklamasi kemerdekaan 1945 hingga sekarang, kota Pematangsiantar telah 26
kali berganti Kepala Daerah. Masing-masing adalah: Tuan Maja Purba (1945), Muhammad
Kasim (1946-1947), Forensius Lumbantobing (1950-1952), Tuan Maja Purba (1952-1956), Kota Pematangsiantar merupakan kota terbesar kedua di provinsi Sumatera utara
setelah Medan. Kota Pematangsiantar berjarak 128 km dari Kota Medan dan 52 km
dari Parapat. Kota Pematangsiantar di kelilingi oleh daerah pertanian yang luas dan subur
seperti persawahan, perkebunan karet, kelapa sawit dan teh. Pematangsiantar mempunyai
sungai besar yaitu Bah Bolon dan mempunyai 12 sungai kecil yaitu Bah Sorma, Bah Kapul,
Bah Bane, Bah Kadang, Bah Kahean, Bah Sigulang-gulang, Bah Sibarambang, Bah Silulu,
Bah Sibatu-batu, Bah Kora, Bah Kaitan, dan Bah Silobang. Sungai-sungai ini sebagian
dimanfaatkan oleh sebagian penduduk untuk mengairi sawah, tambak ikan, alat drainage
alamiah dan menjadi batas alam wilayah kecamatan dan kelurahan.
15
HP Situmorang (menjabat saat Tuan Maja Purba di Ampera), Farel Pasaribu (1954-1956).
Mereka ini merangkap sebagai Bupati Simalungun. Setelah pemisahan dari Kabupaten
Simalungun, Walikota pertama adalah OKH Salamuddin (1956-1957), dilanjutkan
Jamaluddin Tambunan (1957-1959), Rakoetta Sembiring (1960-1964), Abner Situmorang
(1964), Pandak Tarigan (1965), Zainuddin Hasan (1965), Tarif Siregar (1965-1966), Drs
Mulatua Pardede (1966-1968), Letkol Laurimba Saragih (1968-1974), Kolonel Sanggup
Ketaren (1974-1979), Kolonel Drs MJT Sihotang (1979-1984), Drs Djabanten Damanik
(1984-1989), Drs H Zulkifli Harahap (1989-1994), Drs Abu Hanifah (1994-1999), Ir Marsal
Hutagalung (Pelaksana Walikota mulai Juni 1999-Januari 2000), Drs Makmur Saleh Pasaribu
(Pelaksana Walikota Januari- Juni 2000) dan Drs Marim Purba/Ir Kurnia Rajasyah Saragih
(2000-2005). Drs. Nabari Ginting Msi (Pejabat sementara) (2005 - 2005), Ir. R.E. Siahaan
(2005 - 2010), Hulman Sitorus, SE (2010 - sampai sekarang).16
2.3 Keadaan penduduk
Pada awalnya penduduk asli kota Pematang Siantar didominasi oleh suku
Simalungun, namun setelah terjadi urbanisasi kependudukan, Pematangsiantar menjadi
bersifat heterogen, kerena terdiri dari berbagai ragam suku dan etnis, yaitu Simalungun,
Toba, Mandailing, Angkola, Jawa, Aceh, Pakpak, Minang kabau, Melayu dan WNI (Warga
Negara Indonesia) keturunan asing seperti China, India, dan Pakistan. Pada tahun 2009
penduduk Kota Pematangsiantar mencapai 250.997 jiwa dengan kepadatan penduduk 3.146
jiwa per km2. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk Kota Pematangsiantar pada tahun 2009
sebesar 0,40 persen. Penduduk perempuan di Kota pematangsiantar lebih banyak dari
16
penduduk laki-laki. Pada tahun 2009 penduduk Kota pematangsiantar yang berjenis kelamin
perempuan berjumlah 127.516 jiwa dan penduduk laki-laki 123.481 jiwa.17
Secara umum masyarakat Simalungun yang tinggal di wilayah Simalungun maupun di
perantauan merupakan suatu pribadi yang pendiam dan tertutup. Menurut Hendrik Kraemer
ketika berkunjung ke Tanah Batak pada bulan Februari-April tahun 1930 melaporkan bahwa
jika dibandingkan dengan orang Batak Toba, orang Simalungun jelas lebih berwatak halus,
lebih suka menyendiri di hutan dan secara alamiah kurang bersemangat dibandingkan dengan
orang Batak Toba
Secara etimologi kata “Simalungun” dapat dibagi kedalam tiga suku kata yaitu: Si
berarti “Orang”, ma sebagai kata sambung berarti “yang” dan lungun berarti “sunyi,
kesepian”. Dengan demikian, Simalungun berarti “ia yang bersedih hati, sunyi dan kesepian.
18
. Hal yang senada juga dikatakan oleh Walter Lempp tentang tabiat
daripada masyarakat Simalungun yaitu orang Simalungun lebih halus dan tingkah lakunya
hormat sekali, tidak pernah keras atau meletus, meskipun sakit hati. Hal itu dimungkinkan
karena suku Simalungun satu-satunya yang pernah dijajah oleh suatu kerajaan di Jawa yang
berkedudukan di Tanah Jawa19. Masyarakat Simalungun yang bertempat tinggal di
Pematangsiantar mengenal satu lembaga adat yang disebut Partuha Maujana Simalungun20
Masyarakat yang tinggal di Kecamatan Siantar Utara, Jalan Rindung, Pematangsiantar,
pada umumnya bekerja sebagai Petani, Buruh, Wiraswasta, dan Pegawai Negeri Sipil.
Menurut wawancara penulis dengan bapak Martuah Saragih, pekerjaan beliau adalah petani. .
Lembaga adat ini telah ada mulai dari tingkat Serikat Tolong menolong (STM), Desa,
Kecamatan, Kabupaten dan Pusat.
17
Sumber : Pematangsiantar Dalam Angka 2010
18
Hendrik kramer (Boekentrum, The Haque 1958:55)
19
Walter Lempp (12) : Geraja-Gereja di Sumatera Utara : Jakarta, 1976: 52
20
Menjadi pemain musik merupakan pekerjaan sampingan bagi beliau. Membuat sarunei
Simalungun dilakukan beliau apabila adanya pesanan untuk membuat alat musik tersebut.
Masyarakat di pematangsiantar terdiri dari berbagai suku asli indonesia maupun warga
Tabel 1
Banyaknya Penduduk menurut Suku Bangsa
Tabel 2
Banyaknya Penduduk menurut Suku Bangsa
2.4 Sistem Bahasa
Sejak berabad-abad yang lampau suku-suku bangsa yang tinggal di berbagai
kepulauan di Nusantara memiliki bahasa masing-masing yang dipergunakan dalam pergaulan
dan komunikasi antar sesama suku tersebut. Bahasa itu dinamakan sebagai “bahasa daerah”
yang disebutkan sesuai dengan suku bangsa yang memiliki bahasa tersebut. Misalnya bahasa
Batak Toba dipergunakan oleh Batak Toba. Demikian juga dengan bahasa Simalungun.
Disamping itu masyarakat Simalungun juga memiliki aksara yang sudah sangat tua usianya.
Menurut seorang peneliti bahasa Dr. P. Voorhoeve, yang menjadi Pejabat Taalambtenaar di
Simalungun tahun 1937, mengatakan bahwa bahasa Simalungun merupakan bahasa rumpun
austronesia yang lebih dekat dengan bahasa sansekerta yang banyak sekali mempengaruhi bahasa-bahasa di Nusantara21
1. Lapung ni hata, merupakan bahasa sehari hari yang dipakai oleh masyarakat biasa atau bahasa yang dipakai sehari-hari.
.
Voorhoeve menagtakan kedekatan bahasa Simalungun dengan bahasa Sansekerta
ditunjukkan dengan huruf pentup suku kata mati yaitu, uy dalam kata apuy dan babuy, huruf
g dalam kata dolog, huruf b dalam kata arbab, huruf d dalam kata bagod, huruf ah dalam kata babah dan sabah, juga ei dalam kata simbei dan ou dalam kata sopou dan lapou.
Salah satu ciri masyarakat simalungun adalah memiliki tingkatan bahasa yang disebut
dengan ratting ni hata. Adapun tingkatan tersebut adalah:
2. Guru ni hata, merupakan bahasa yang dipakai untuk mengucapkan sesuatu dan dianggap lebih halus. Guru ni hata merupakan bahasa tertinggi yang digunakan oleh
kalangan keturunan raja-raja. Dimana bahasa tersebut adalah bahasa yang sopan
21
hormat, dan berisi nasehat, yang sering disampaikan melalui perumpamaan. Misalnya
adalah Simakidop artinya mata, Jambulan artinya rambut. Simakulsop artinya mulut.
3. Sait ni hata, yaitu bahasa yang dipakai ketika seseorang marah atau menghina seseorang, karena tersinggung atas sesuatu. Sait ni hata merupakan bahasa yang
kasar, karena berisi kata-kata yang pedas, berisikan sindiran sehingga dapat
menyakitkan hati orang lain. Misalnya panjamah (tangan) bahasa kasarnya tiput.
2.5 Sistem Kesenian
Kesenian adalah merupakan ekspresi perasaan manusia terhadap keindahan, dalam
kebudayaan suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat deskriptif (Koentjaraniningrat,
1980:395-397). Kesenian pada masyarakat simalungun sangat banyak dan beragam.
Taralamsyah Saragih dalam Seminar Kebudayaan Simalungun 1964 mengatakan bahwa
kesenian yang ada di Simalungun dapat dibagi atas Seni Musik (Gual), Seni Suara (doding),
Seni Tari (Tortor).
2.5.1 Seni Musik
Seni musik digunakan untuk upacara-upacara hiburan dan upacara-upacara adat
lainnya misalnya upacara dukacita (pusok ni uhur) dan sukacita (malas ni uhur). Alat-alat
musik pada masyarakat simalungun dapat dimainkan secara ensamel dan dapat pula
dimainkan secara tunggal. Alat musik yang dimainkan secara ensambel adalah Gonrang
Sidua-dua dan Gonrang Sipitu-pitu. Penggunaan instrumen sarunei dalam ensambel Gonrang
Sidua-dua dan Gonrang Sipitu-pitu sangat penting, diantaranya:
2. Maranggir yaitu upacara untuk membersihkan badan dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik, dan juga membersihkan diri dari gangguan roh-roh jahat
3. Ondos Hosah yaitu upacara khusus yang dilakukan suatu desa atau keluarga agar terhindar dari mara bahaya.
4. Rondang Bittang yaitu acara tahunan yang diadakan suatu desa karena mendapatkan panen yang baik. Muda-mudi menggunakan kesempatan tersebut
untuk mencari jodoh.
Adapun alat-alat musik yang dimainkan secara tunggal diantaranya
Jatjaulul/Tengtung, Husapi, Hodong-hodong, Tulila, Ole-ole, Saligung, Sordam dsb. Alat-alat
musik tersebut dimainkanuntuk hiburan pribadi ketika lelah bekerja di ladang, maupun
setelah pulang dari pekerjaan.
2.5.2 Seni Suara (Doding)
Musik vokal Simalungun dikenal dengan istilah doding dan ilah. Doding dipakai untuk
nyanyian solo sedangkan ilah dipakai sebagai nyanyian kelompok. (Sihotang 1993:31).
Nyanyian dalam masyarakat Simalungun sangat banyak dan memiliki fungsi masing-masing.
Selain itu masyarakat Simalungun memiliki teknik bernyanyi yang disebut inggou. Adapun
nyanyian tersebut diantaranya adalah :
1. Taur-taur yaitu nyanyian yang dilagukan oleh sepasang muda-muda secara bergantian untuk mengungkapkan perasaan stu sama lainnya.
3. Doding-doding yaitu nyanyian yang dinyanyikan oleh sekelompok pemuda dan dan pemudi atau orang tua untuk menyampaikan pujian atau sindiran. Nyanyian inijuga
dapat dilagukan untuk mengungkapkan kesedihan dan kesepian.
4. Urdo-urdo atau Tihtah yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan oleh seorang ibu kepada anaknya atau seorang anak perempuan kepada adiknya. Urdo-urdo untuk
menidurkan sementara Tihtah untuk bermain.
5. Tangis-tangis yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan seorang gadis karena putus asa ataupun karena berpisah dengan keluarga karena akan menikah.
6. Manalunda/Mangmang adalah mantera yang dinyanyikan oleh seorang datu untuk menyembuhkan suatu penyakit ataupun menobatkan seorang raja pada waktu dulu.
2.5.3 Seni Tari (Tor-Tor)
Seni tari dalam masyarakat Simalungun banyak mengalami penurunan dari segi
pertunjukan dimana pada saat ini sudah jarang dijumpai tor-tor yang sering dilakukan pada
zaman dahulu. Tor-tor yang dapat bertahan sampai saat ini adalah Tor-tor Sombah. Adapun
tor-tor yang sering dipertunjukkan pada zaman dahulu antara lain :
1. Tor-Tor Huda-Huda atau Toping-Toping yaitu tarian yang dilakukan untuk menghibur orang yang meninggal sayur matua yaitu orang yang telah berusia lanjut.
Tarian ini merupakan tarian yang meniru gerakan kuda dan sebagian permainannya
memakai topeng. Pada waktu dulu tarian ini digunakan untuk menghibur keluarga raja
yang bersedih karena anaknya meninggal. Tarian ini bertujuan untuk menyambut
berbagai kelompok adat( tondong,boru, dan sanina) dan menghibur para tamu
undangan. Jaman dulu kegiatan tersebut biasa dilakukan dalam pemakaman seorang
raja.
2. Tor-tor Turahan yaitu Tor-tor yang dilakukan untuk menarik kayu untuk membangun istana atau rumah besar. Seorang mandor bergerak melompati batang kayu yang
ditarik sambil mengibaskan daun-daun yang dipegan ke batang kayu dan ke badan
orang yang menarik untuk memberi semangat.
Pada masyarakat Simalungun juga terdapat kesenian lain yang pada saat sekarang ini
sudah sangat jarang dijumpai diantaranya adalah Seni Gorga yaitu seni ukir yang terdapat
pada dinding-dinding rumah, Seni Pahat, yaitu seni membuat patung-patung dari batu
ataupun dari kayu, Seni Tenun yaitu seni membuat kayu dengan menggunakan
benang-benang yang dibentuk dengan suatu keahlian, dan Seni Arsitektur yaitu seni untuk
membangun rumah dengan arsitektur tradisional.
Bentuk-bentuk kesenian tersebut telah banyak yang ditinggalkan oleh masyarakat
karena kurang sesuai dengan perkembangan zaman. Namun meskipun begitu masih ada
sebagian orang yang tetap mempertahankan pengetahuan tersebut seperti Seni Tenun karena
kain yang dihasilkan dari buatan tangan jauh lebih bagus daripada buatan pabrik.
2.6 Sistem Kekerabatan
Menurut M.D. Purba dalam bukunya yang berjudul Adat Perkawinan
Simalungun(1985), ada dua cara yang umum yang dipakai untuk menarik garis keturunan,
1. Menarik garis keturunan hanya dari satu pihak, yaitu mungkin dari pihak
laki-laki dan mungkin pula dari pihak permpuan. Masyarakat demikian dinamakan
masyarakat unilateral. Jika masyarakat tersebut menarik garis keturunan dari
pihak laki-laki atau ayah saja, maka keturunan tersebut disebut masyarakat
patrilineal. Dan jika menarik dari garis keturunan perempuan (ibu) maka
disebut matrilineal.
2. Menarik garis keturunan dari kedua orang tua, yaitu ayah dan ibu, masyarakat
demikian disebut masyarakat bilateral atau masyarakat parental
Dari kedua cara tersebut diatas,masyarakat Simalungun termasuk masyarakat yang
menarik garis keturunan dari salah satu pihak saja, yaitu dari pihak laki-laki atau ayah.
Dengan demikian masyarakat Simalungun adalah masyarakat unilateral-patrilineal, yang
artinya bahwa setiap anak-anak yang lahir baik laki-laki maupun perempuan dengan
sendirinya akan mengikuti klan atau marga dari ayahnya (1985:108).
Bukti bahwa garis keturunan diambil dari pihak laki-laki adalah dengan adanya marga
dalam masyarakat Simalungun. Setiap anak yang lahir dalam satu keluarga di etnis
Simalungun, secara otomatis akan memiliki marga yang sama dengan marga si ayah.
Susunan masyarakat Simalungun didukung oleh berbagai marga yang mempunyai
hubungan tertentu, yang disebabkan oleh hubungan perkawinn. Hubungan perkawinan antar
marga-marga mengakibatkan adanya penggolongan antar tiap-tiap marga. Marga yang satu
akan mempunyai kedudukan tertentu terhadap marga lain. Perkerabatan dalam masyarakat
hubungan kekeluargaan (pardihadihaon), dan dibagi kedalam beberapa kategori sebagai
berikut22
1. Tutur Manorus / Langsung
:
Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri. Misalnya: Botou artinya
saudara perempuan baik lebih tua atau lebih muda. Mangkela (baca: Makkela) artinya suami
dari saudara perempuan dari ayah. Sima-sima artinya anak dari Nono/Nini,
2. Tutur Holmouan / Kelompok
Melalui tutur Holmouan ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat Simalungun.
Misalnya: Bapa Tongah artinya saudara lelaki ayah yang lahir dipertengahan (bukan paling
muda, bukan paling tua). Tondong Bolon artinya pambuatan (orang tua atau saudara laki dari
istri/suami). Panogolan artinya kemenakan, anak laki/perempuan dari saudara perempuan.
3. Tutur Natipak / Kehormatan
Tutur Natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak berbicara
sebagai tanda hormat. Misalnya: Kaha digunakan pada istri dari saudara laki-laki yang lebih
tua. Bagi wanita, kaha digunakan untuk memanggil suami boru dari kakak ibu. Ambia
Panggilan seorang laki terhadap laki lain yang seumuran atau bawahan.
Ikatan kekerabatan diklasifikasikan dalam suatu sistem yang dalam bahasa
Simalungun dikenal Tolu Sahundulan, yaitu :
1. Tondong (Pemberi istri)
2. Anak Boru/Boru (Penerima Istri)
3. Sanina/Sapanganonkon (Sanak saudara, individu semarga atau pembawa garis
keturunan)
22
Dalam masyarakat Simalungun seorang pria belum dianggap sebagai orang dewasa
dan belum dapat berperan serta dalam fungsi-fungsi adat bila yang bersangkutan belum
menikah atau sudah menikah tapi belum mempunyai keturunan.
2.6.1 Marga-marga Simalungun
Terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan
akronim SISADAPUR, yaitu23
Keempat marga ini merupakan hasil dari “Harungguan Bolon” (Permusyawaratan besar)
antara empat raja besar berjanji untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan,
Marsiurupan bani hasunsuhan na legan, rup mangimbang munsuh,keempatrajatersebutadalah:
1. Raja Nagur bermarga Damanik
Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa Simalungun, Manik
berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma,
agung/terhormat, paling cerdas). Raja ini berasal dari kaum bangsawan India Selatan dari
Kerajaan Nagore. Pada abad ke-12, keturunan raja Nagur ini mendapat serangan dari Raja
Rajendra Chola dari India, yang mengakibatkan terusirnya mereka dari Pamatang Nagur di
daerah Pulau Pandan hingga terbagi menjadi 3 bagian sesuai dengan jumlah puteranya:
Marah Silau yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja
Siantar, tuan raja siantar dan tuan raja damanik Soro Tilu (yang menurunkan marga raja
23
Nagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu,
Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola) Timo Raya (yang menurunkan raja
Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok). Selain itu datang marga keturunan
Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja yang berasal
dari Pulau Samosir dan mengaku Damanik di Simalungun.
2. Raja Banua Sobou bermarga Saragih
Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana Ragih berarti
atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau
pemegang undang-undang.
Keturunannya adalah :
• Saragih Garingging yang pernah merantau ke Ajinembah dan kembali ke Raya.
Saragih Garingging kemudian pecah menjadi dua, yaitu: Dasalak, menjadi raja di
Padang Badagei, Dajawak merantau ke Rakutbesi dan Tanah Karo dan menjadi
marga Ginting Jawak.
• Saragih Sumbayak keturunan Tuan Raya Tongah, Pamajuhi, dan Bona ni Gonrang.
Walaupun jelas terlihat bahwa hanya ada dua keturunan Raja Banua Sobou, pada zaman
Tuan Rondahaim terdapat beberapa marga yang mengaku dirinya sebagai bagian dari Saragih
(berafiliasi), yaitu: Turnip, Sidauruk, Simarmata, Sitanggang, Munthe, Sijabat, Sidabalok,
Sidabukke, Simanihuruk. Ada satu lagi marga yang mengaku sebagai bagian dari Saragih
yaitu Pardalan Tapian, marga ini berasal dari daerah Samosir. Rumah Bolon Raja Purba di
Pematang Purba, Simalungun.
Purba menurut bahasa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Purwa yang berarti timur,
gelagat masa datang, pegatur, pemegang Undang-undang, tenungan pengetahuan,
cendekiawan atau sarjana. Keturunannya adalah: Tambak, Sigumonrong, Tua, Sidasuha
(Sidadolog, Sidagambir). Kemudian ada lagi Purba Siborom Tanjung, Pakpak, Girsang,
Tondang, Sihala, Raya. Pada abad ke-18 ada beberapa marga Simamora dari Bakkara melalui
Samosir untuk kemudian menetap di Haranggaol dan mengaku dirinya Purba. Purba
keturunan Simamora ini kemudian menjadi Purba Manorsa dan tinggal di Tangga Batu dan
Purbasaribu.
4. Raja Saniang Naga bermarga Sinaga
Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal sebagai
penebab Gempa dan Tanah Longsor. Keturunannya adalah marga Sinaga di Kerajaan Tanah
Jawa, Batangiou di Asahan. Saat kerajaan Majapahit melakukan ekspansi di Sumatera pada
abad ke-14, pasukan dari Jambi yang dipimpin Panglima Bungkuk melarikan diri ke kerajaan
Batangiou dan mengaku bahwa dirinya adalah Sinaga.
Menurut Taralamsyah Saragih, nenek moyang mereka ini kemudian menjadi raja
Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah ia mengalahkan Tuan Raya Si
Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou dalam suatu ritual adu sumpah (Sibijaon).
(Tideman, 1922).
2.7 Sistem Kepercayaan
Sepanjang yang dapat diketahui melalui catatan (analisis) Tiongkok sewaktu Dinasty
SWI (570-620) Kerajaan Nagur sebagai Simalungun Tua, telah banyak disebut-sebut dalam
Batara Sangti Simanjuntak, dimana dinyatakan bahwa pada abad ke V sudah ada Kerajaan
“Nagur” sebagai satu “Simalungun Batak Friest Kingdom” yang sudah mempunyai hubungan
dagang dengan bangsa-bangsa lain terutama dengan Tiongkok (China).
Menurut Hikayat “Parpandanan Na Bolag” (Pustaha Laklak lama Simalungun)
bahwa wilayah Kerajaan Parpandanan Na Bolag (Nagur) hampir meliputi seluruh Perca
(Sumatera) bagian Utara , yang terbentang luas dari pantai Barat berbatas dengan Lautan
Hindia, sampai ke Sebelah Timur dengan Selat Malaka, dari Sebelah Utara berbatas dengan
yang disebut Jayu (Aceh sekarang) sampai berbatas dengan Toba di sebelah Selatan.
Agama yang dianut kerajaan Nagur adalah Animisme yang disebut dengan supajuh
begu-begu/sipele begu. Sebagai jabatan pendeta disebut Datu, mereka percaya akan adanya sang pencipta alam yang bersemayam di langit tertinggi, dan mengenal adanya tiga Dewa,
yaitu :
1. Naibata na i babou/i nagori atas (di Benua Atas)
2. Naibata na i tongah/i nagori tongah (di Benua Tengah)
3. Naibata na i toruh/i nagori toruh (di Benua Bawah)
Pemanggilan arwah nenek moyang disebut “Pahutahon” yaitu melalui upacara ritual,
dimana dalam acara itu roh tersebut hadir melalui “Paninggiran” (kesurupan) salah seorang
keturunannya atau seseorang yang mempunyai kemampuan sebagai perantara (paniaran).
Menurut penelitian G.L Tichelman dan P. Voorhoeve seperti dimuat dalam bukunya
“Steenplastiek Simaloengoen” terbitan Kohler & Co Medan tahun 1936 bahwa di
Simalungun (kerajaan Nagur) terdapat 156 Panghulubalang (Berhala) yaitu patung-patung
batu yang ditempatkan pada tempat yang dikeramatkan (Sinumbah) dan ditempat inilah