KAJIAN ORGANOLOGIS TULILA BUATAN BAPAK J BADU PURBA SIBORO DI DESA LESTARI INDAH KECAMATAN SIANTAR
KABUPATEN SIMALUNGUN
SKRIPSI SARJANA O
L E H
NAMA: FITRI SUCI HATI SARAGIH NIM: 090707009
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
ABSTRAK
Tulila adalah merupakan salah satu alat musik tiup, yang berasal dari Simalungun Tulila termasuk dalam klasifikasi aerofon yang sama jenisnya seperti recorder.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses dan teknik pembuatan Tulila oleh Bapak J Badu Purba Siboro,dan teknik memainkan tulila. Di dalam penulisan ini, penulis melakukan pendekatan yang bersifat kualitatif yang menghasilkan data deskriptif. Sehingga menghasilkan tulisan dan pernyataan yang berasal dari informan maupun nara sumber.
Dengan berdasarkan uraian di atas maka penulis ingin meneliti proses teknik pembuatan tulila dan cara memainkan tulila, yang akan dituangkan kedalam bentuk skripsi yang berjudul :
“KAJIAN ORGANOLOGIS TULILA SIMALUNGUN BUATAN OLEH BAPAK J BADU PURBA DI DESA LESTARI INDAH KECAMATAN SIANTAR KABUPATEN SIMALUNGUN”.
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis ucapkan kehadirat Tunhan yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penyusunan skripsi yang berjudul “Kajian Organologis Tulila Simalungun Buatan Bapak J Badu Purba Siboro di Desa Lestari Indah Kecamatan
Siantar, Kabupaten Simalungun”. Ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana seni S-1 pada Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua tercinta Bapak I. Saragih dan Bunda (almh) Sumiati yang telah membesarkan penulis dengan kasih sayang dan bersusah payah membiayai, mendoakan, dan mendukung serta memberikan semangat yang luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaiakan studi ini. Juga kepada saudara-saudara penulis yang tersayang : Abangku M. Budi Ali Muchklis Saragih, SH kakak-kakaku Evi Maulina Saragih, SP Deni Rismawati, Spd Tri Putri Sri Rahayu, Putri Handayani dan Kakak Ipar Lauranica Ritonga ( Cuma bisa Ucapkan Terima Kasih). Keluarga yang selalu memberi dorongan, semangat dan masukkan, sebagai inspirasi dalam tulisan ini.
Terima Kasih Kepada Bapak Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si selaku dosen pembimbing I dan Drs. Komalo Tarigan, M.A. selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan banyak bimbingan dan masukkan yang berguna dalam penulisan skripsi ini.
Terima Kasih Kepada Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan tak lupa kepada ibu Adli yang telah banyak membantu di kantor jurusan, serta kepada seluruh staf pengajar jurusan etnomusikologi penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan bantuan yang diberikan, sehingga memperluas wawasan penulis dalam pengetahuan selama mengikuti perkuliahan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan bapak J Badu Purba Siboro, dan Keluarga , R.B Purba, dan D .Saragih yang telah mau menerima penulis selama melakukan penelitian.
Ucapan terima kasih juga kepada sahabat-sahabatku Teti, Ipah, Maruli, Vera, Sugi, Giat, Wahyu, Rendi, Rian, Tian, Herman, Reni, Nesya.
Terima Kasih juga buat Keluarga Bolang B. Perangin-Angin beserta keluarga yang telah banyak memberikan perhatian dan bimbingan kepada penulis.
Terima Kasih yang special buat kekasih penulis Serda Yuda Robin Shuhada, yang selalu memberi semangat, doa dan insprasi kepada penulis, sehingga penulis selalu bersemangat dalam menyelesaikan penulisan ini.
sifatnya membangun dari pada pembaca sekalian, sehingga lebih mengarah kepada kemajuan ilmu pengetahuan, khuusunya di bidang ilmu etnomusikologi.
Akhirnya penulis berharap tulisan ini dapat berguna dan menambah pengetahuan serta informasi baru bagi seluruh pembaca.
Medan, ...2014
Penulis
Fitri Suci Hati Saragih
DAFTAR ISI
BAB II : GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN BIOGRAFI BAPAK J BADU PURBA
3.4.2 Peralatan Yang Digunakan ……….. 39
5.1 Rangkuman ………...……… 79 5.2 Kesimpulan ………...……… 80
DAFTAR PUSTAKA ………...……… 81
DAFTAR INFORMAN ………...……… 83
Gambar 24 : Memotong Ruas Bambu Pada Pangkal dan Ujung ………….. 48
Gambar 25 : Mengikis Pangkal dan Ujung Bambu ……….. 48
Gambar 26 : Mengukur Menggunakan Garis Tengah ……….. 49
Gambar 27 : Mengukur dan Memberi Garis sebagai Tanda …...…… 49
Gambar 28 : Melilitkan Daun Pisang ………... 50
Gambar 29 : Memotong Kayu Silopak Bunga ………...………. 51
Gambar 30 : Mengikis Kayu Silopak Bunga ………...…… 51
Gambar 31 : Menyesuaikan Kayu Silopak Pada Bagian Pangkal ……...… 52
Gambar 32 : Memotong Kayu Silopak Bunga Yang Disesuaikan ……... 52
Gambar 33 : Kayu Silopak Bunga Yang Telah Disesuaikan ………...… 53
Gambar 34 : Pembelahan Kayu Silopak Bunga ………...……... 53
Gambar 35 : Mengikis Kulit Bambu ………...……… 54
Gambar 36 : Memasukkan Kulit Bambu ke Pembelahan Silopak Bunga …... 54
Gambar 37 : Pengikisan Kulit Bambu ………. 55
Gambar 43 : Melubangi Bawah Bagian Pangkal ……...……… 59
Gambar 44 : Proses Pelubangan Awal ………...………... 60
Gambar 45 : Pelubangan Akhir ……….. 60
Gambar 46 : Pemasukan Silopak Bunga ke Lubang Pangkal ……… 61
Gambar 48 : Meniup Tulila ………...………. 63
Gambar 49 : Menghaluskan Tulila ………...………. 63
Gambar 50 : Cara Memegang Tulila ………...……….. 65
Gambar 51 : Posisi Jari Tangan ………...………….. 65
Gambar 52 : Posisi Badan ………...…………... 66
DAFTAR TABEL
ABSTRAK
Tulila adalah merupakan salah satu alat musik tiup, yang berasal dari Simalungun Tulila termasuk dalam klasifikasi aerofon yang sama jenisnya seperti recorder.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses dan teknik pembuatan Tulila oleh Bapak J Badu Purba Siboro,dan teknik memainkan tulila. Di dalam penulisan ini, penulis melakukan pendekatan yang bersifat kualitatif yang menghasilkan data deskriptif. Sehingga menghasilkan tulisan dan pernyataan yang berasal dari informan maupun nara sumber.
Dengan berdasarkan uraian di atas maka penulis ingin meneliti proses teknik pembuatan tulila dan cara memainkan tulila, yang akan dituangkan kedalam bentuk skripsi yang berjudul :
“KAJIAN ORGANOLOGIS TULILA SIMALUNGUN BUATAN OLEH BAPAK J BADU PURBA DI DESA LESTARI INDAH KECAMATAN SIANTAR KABUPATEN SIMALUNGUN”.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Masyarakat Simalungun adalah salah satu kelompok etnis yang ada di wilayah Provinsi Sumatera Utara. Etnis Simalungun merupakan salah satu dari lima kelompok etnis batak lainnya yaitu Toba, Karo, Pak-pak, Mandailing-Angkola (Bangun, 1993 : 94). Setiap etnis yang ada di Sumatera Utara baik kelompok yang berbeda-beda antara etnis yang satu dengan yang lain, bahkan kebudayaan diantara kelompok tersebut etnis batak itu sendiri juga berbeda-beda. Demikian juga halnya dengan Simalungun, masyarakat Simalungun memiliki budaya yang diwariskan secara turun-temurun oleh leluhurnya, baik secara lisan maupun tulisan. Salah satu bentuk kebudayaan tersebut adalah kesenian. Kesenian pada masyarakat Simalungun sangat banyak antaranya adalah seni rupa, seni tari, seni ukir, dan seni musik. Dalam penulisan ini penulis berfokus untuk mengkaji aspek musiknya.
Gonrang Sipitu-pitu juga dapat mengiringi tarian tarian (tor-tor) dalam konteks hiburan misalnya Tor-torHuda-huda atau disebut juga Toping-toping. Tor-tor ini ditampilkan pada acara kematian, yaitu acara na matei sayur matua1
Alat musik tunggal yang terdapat pada masyarakat Simalungun sangat banyak antaranya adalah garattung, sordam, tulila, husapi, tengtung dan arbab. antara musik tunggal tersebut, tulila merupakan salah satu alat musik yang sudah sangat tua. Tulila juga ada dua macam yaitu yang kecil dan yang besar. Beberapa pemusik tradisional Simalungun menyatakan bahwa alat musik tiup, yang sama jenisnya seperti recorder dan alat musik ini memiliki 7 buah lubang, dalam klasifikasi termasuk ke dalam (aerofon) yang suaranya berasal dari udara, yang dimainkan dengan cara meniup tegak lurus (end bloen flute), sedangkan lubang tiup berada di tengah yang memiliki diameter pangkal 1,5 cm dan lubang diameter lubang hembus pada tulila bermacam-macam, ada yang segi empat, dan ada yang seperti tabung, pembuatan lubang diameter yang dilakukan oleh bapak J badu itu tidak sama, dan tidak ditentukan, hanya dibuat dengan selera bapak J badu. Tulila terbuat dari kayu daun buhu-buhui (wind instrument), Instrument ini dimainkan dengan ditiup menggunakan teknik pernapasan (circular breating). Namun kayu yang dipakai oleh bapak J badu ini bersifat liat sehingga memiliki daya tahan, umumnya dalam waktu tiga tahun, dan apabila pecah, tulila tidak dapat digunakan lagi. Alat musik Tradisional Simalungun adalah setiap untuk kepentingan religi, . Tor-tor ini berfungsi untuk menghibur masyarakat pada umumnya dan keluarga secara khusus agar tidak larut dalam kesedihan.
1
adat dan hiburan yang menjaga di buat ungkapan perasaan serta sudah lama dipakai atau dikenal oleh masyarakat.
Orang yang memainkan tulila disebut partulila, sementara orang yang membuat tulila disebut pambahen tulila. Dikota Pematang Siantar terdapat banyak partulila, tetapi tidak semua partulila mengerti tentang cara-cra pembuatan. Orang yang masih mengerti tentang cara-cara pembuatan tulila Simalungun tersebut adalah J Badu Purba Siboro lebih dikenal masyarakat di kota Pematang Siantar. Bapak J Badu Purba Siboro adalah salah satu pambahen tulila dan partulila, beliau adalah pemain tulila yang sangat dihormati dan disegani dikalangan peniup tulila. Selain dikenal kepiawaiannya dalam membuat dan memainkan tulila Simalungun, Beliau juga dikenal sebagai tokoh masyarakat yang tetap mendukung kelestarian musik tradisional Simalungun seperti memperkenalkan kebudayaan musik Simalungun pada muda-mudi Simalungun seperti mengisi acara Rondang Bittang. Beliau juga pernah mendapatkan piagam penghargaan dari pemerintah sebagai tanda terima kasih untuk kontribusinya dalam mendukung musik tradional khususnya musik Simalungun, Diantaranya adalah piagam penghargaan dari Pemerintah karena telah mengikuti Program Revitalisasi Musik Tradisi Sumatera Utara pada tahun 2007-2008 sebagai Instruktur, atas kerjasama pemberian penghargaan kepada seniman berprestasi di Sumatera Utara, dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Universitas Sumatera Utara dengan The Ford Fundation Jakarta.
Badu Purba Siboro berawal dari seorang pemain pemain gonrang kemudian beralih menjadi seorang pambahen tulila. Kemudian beliau sering dipanggil untuk ikut tampil di berbagai upacara adat Simalungun. Dulu nama group bapak J Badu adalah Dotorsi dan Harungguan, untuk masuk group dotorsi pada tahun 1971 dan di group harungguan pada tahun 1961, tetapi group ini sudah tidak ada lagi, bapak J Badu untuk mulai mempelajari cara memainkan alat musik tulila secarra otodidak pada saat berumur 7 tahun.
Cara belajar digunakan beliau untuk mempelajari tulila adalah dengan menghapal melodi-melodi lagu yang sering dimainkan oleh partulila di dalam group tersebut. Secara lambat laun beliau mulai bisa memainkan tulila, dua atau tiga lagu repertoar lagu, sehingga bapak J Badu dipercayai oleh group untuk menjadi salah satu partulila didalam group itu. Meskipun belajar secara otodidak dalam memainkan tulila beliau tetap menganggap teman-temannya sebagai tempat belajar dan membuat tulila , hal tersebut dikarenakan banyaknya waktu yang sudah dilalui beliau dengan teman-temannya, sehingga sedikit banyaknya telah mempengaruhi teknik permainan dan pembuatan tulila. Menurut wawancara yang penuliskan dapatkan, Bahwa orang tua tidak boleh memberikan pengetahuannya langsung kepada anaknya sendiri, sebab umur orang tuanya akan pendek.
menghaluskan keseluruhan dari badan tulila digunakan kertas pasir. Apabila terjadi pada lubang bagian pangkal, belum sesuai dan tidak pas, maka dimasukkan kulit bambu.
Menurut pengakuan beliau dan beberapa partulila Simalungun yang penulis jumpai tulila buatan bapak J Badu Purba ini lebih banyak digunakan, baik oleh partulila yang baru belajar maupun partulila yang sudah professional. Mereka beranggapan bahwa selain bapak J Badu Purba mahir memainkan tulilanya kualitas dari tulila buatanya juga dinilai baik.
Menurut J Badu Purba yang banyak memesan tulila kepada beliau adalah orang-orang yang hendak mempelajari tulila Simalungun (diantaranya pemuda-pemudi Simalungun maupun mahasiswa-mahasiswi diluar kabupaten Simalungun), begitu juga halnya dengan partulila yang sudah profesional.
J Badu Purba mematok harga Rp. 100.000-, untuk satu buah tulila. Akan tetapi menjadi pembuat tulila bukanlah pekerjaan tetap beliau, bapak J Badu Purba hanya membuat tulila bila ada yang memesan saja. Begitu juga halnya dengan meniup tulila. Pekerjaan tetap beliau pns (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Simalungun) , tetapi beliau sudah pensiun, dan sekarang beliau salah satu pengurus museum Siantar.
digunakan dalam setiap penyajian musik tradisional Simslungun di kota Pematang Siantar.
Sampai saat ini tulila masih dipegunakan sebagai instrumen musik dalam kegiatan yang berhubungan dengan musik pada masyarakat Simalungun. Tidak hanya dalam hal penggunaan, pembuatan Tulila oleh J Badu Purba pun masih berlangsung sampai saat ini di kota Pematang Siantar.
Dari uraian Latar Belakang atas, maka penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji, serta menuliskan dalam sebuah tulisan ilmiah dengan judul :
“ KAJIAN ORGANOLOGIS TULILA BUATAN BAPAK J BADU PURBA SIBORO DI DESA LESTARI INDAH KECAMATAN SIANTAR
KABUPATEN SIMALUNGUN” 1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan sebelumnya, pokok permasalahan yang menjadi topik bahasan dalam tulisan ini yaitu :
1. Bagaimana proses dan teknik pembuatan tulila Simalungun yang dilakukan bapak J Badu Purba Siboro?
2. Bagaimana Eksistensi, Fungsi dan Penggunaan alat musik Tulila di tengah-tengah masyarakat Simalungun ?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian terhadap Tulila Simalungun yaitu:
2. Untuk nmengetahui eksistensi, fungsi dan penggunaan alat musik tulila Simalungun di tengah –tengah masyarakat Simalungun.
1.3.2 Manfaat penelitian
Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai untuk menambah informasi dan pengetahuan tentang kebudayaan Simalungun. Selain hal tersebut, manfaat lain yang ingin diperoleh dalam penelituan ini adalah:
1. Sebagai dokumentasi untuk menambah referensi mengenai musik Simalungun di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.
2. Sebagai suatu proses pengaplikasian ilmu yang diperoleh penulis selama mengikuti perkuliahan di Departemen Etnomusikologi
1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep
Konsep merupakan rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005). Konsep juga dapat diartikan suatu kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang perlu dirumuskan (Mardalis 2003:46)
adalah materi kebudayaan musical (musical materials culture), (Merriam, 1964:45).
Sementara organologi merupakan bagian dari etrnomusikologi yang meliputi semua aspek, diantaranya adalah ukuran dan bentuk fisiknya termasuk pada pola biasanya, bahan dan prinsip pembuatannya, metode dan teknik memainkan, bunyi dan wilayah nada yang dihasilkan, serta aspek sosial budaya yang berkaitan dengan alat musik tersebut. Organologi juga tidak hanya membahas masalah teknik memainkan, fungsi musikal, dekorasi (pola hiasan) fisik, dab aspek sosial budaya, melainkan termasuk didalamnya sejarah dan deskripsi alat musik tersebut secara konstruksional, (Hood, 1982:124). Dari uraian tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pengertian Kajian Organologis adalah, suatu penyelidikan yang mendalam untuk mempelajari tentang instrumen musik baik mencakup aspek sejarahnya maupun deskripsi alat musik itu sendiri tanpa mengenyampingkan aspek- aspek budaya dari alat musik itu sendiri.
Tulila Simalungun merupakan alat musik tiup yang sejenis dengan recorder dan termasuk dalam klasifikasi alat musik aerofon yang berfungsi membawakan melodi lagu dalam penggunaanya. Masyarakat Simalungun mengelompokkan alat musik tulila ke dalam kelompok alat musik yang dimainkan secara tunggal (solo instrument), Namun pada kesempatan-kesempatan tertentu tulila tersebut dimainkan secara ensambel.
1.4.2 Teori
suatu permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis mempergunakan teori-teori yana relevan, yang sesuai untuk permasalahan tersebut.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005, Eksistensi artinya keberadaaan. Sementara pengertian kebudayaan menurut E.B Taylor, Primitive Culture, 1871 adalah: “keseluruhan yang mencakup pengetahuan dan kepercayaan, seni, hukum, moral, adat, serta kemampuan dam kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”.
Tulila Simalungun adalah instrumen musik aerofon yang memiliki 6 lubang, yang suaranya berasal dari udara. Oleh karena itu dalam pengklasifikasian alat musik tersebut, penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh Curt Sach dan Hornbostel 1961, yaitu :
“Sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyi. Sistem pengklasifikasian ini terbagi menjadi empat bagian yang terdiri dari: idiofon, (penggetar utama bunyinya adalah badan dari alat itu sendiri), aerofon (penggetar utama bunyinya adalah udara), membranofon (penggetar utama bunyinya adalah kulit atau membran ), dan kordofon ( penggetar utama bunyinya adalah senar)”.
Maka penulis menyimpulkan bahwa eksistensi kebudayaan merupakan keberadaan yang mencakup keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dari penjelasan tersebut, maka penulis menjadikan hal tersebut menjadi landasn teori eksistensi kebudayaan untuk menyatakan keberadaan intrumen tulila dalam masyarakat Simalungun.
terjemahan Rizaldi Siagian dalam laporan APTA, bahwa studi musik dapat dibagi dalam dua kelompok sudut pandang yang mendasar, yaitu studi struktural dan studi fungsional. Studi strukrural berkaitan dengan observasi (pengamatan), pengukuran, perekaman, atau bentuk pencatatan, ukuran besar kecil, konstruksi serta bahan-bahan yang dipakai untuk pembuatan alat musik tersebut. Kemudian studi fumgsional memperhatikan fungsi dari alat-alat atau komponen yang memproduksi (menghasilkan) suara, antara lain membuat pengukuran dan pencatatan terhadap metode memainkan alat musik tersebut, metode pelarasan dan keras lembutnya suara (louness) bunyi, nada, warna nada dan kualitas suara yang dihasilkan oleh alat musik tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis menggolongkan proses dan teknik pembuatan tulila simalungun yang dilakukan J Badu Purba Siboro kedalam studi sruktural.
Menurut Herskovits (1964 : 217-218) dalam Merriam, penggunaan musik dapat dibagi menjadi lima katogori unsur-unsur budaya yaitu : Kebudayaan Material, Kelembagaan Sosial, Hubungan Manusia dengan Alam, Estetika dan Bahasa.
Menurut Alan P Merriam (1964 :219-226) fungsi dapat dibagi dalam sepuluh kategori yaitu : Fungsi Pengungkapan Emosional, Fungsi Hiburan, Fungsi Komunikasi, Fungsi Perlambangan, Fungsi Reaksi dan Jasmani, Fungsi Kesinambungan Budaya, dan Fungsi Pengintegrasian Masyarakat.
1.5 Metode Penelitian
bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka 2005). Sedangkan penelitian merupakan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis dan penyajian data yang dilakukan secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka 2005).
Metode yang dapat digunakan penulis adalah metode penelitian kualitatif menurut Nawawi dan Martini, 1995:209 yaitu : Penelitian kualitatif adalah rangkaian kegiatan suatu proses menjaring data (informasi) yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek atau bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Untuk mendukung metode penelitian tersebut, penulis menggunakan metode ilmu etnomusikologi yang terdiri dari dua disiplin, yaitu : disiplin lapangan (field) dan disiplin laboratorium (laboratory dicipline). Hasil dari kedua metode ini kemudian digabungkan menjadi satu hasil akhir (a final study), (Merriam, 1964: 37). Untuk memperoleh data dan keterangan yang dibutuhkan dalam tulisan ini, penulis menggunakan Metode Pengumpulan Data, yaitu : (1) menggunakan daftar pertanyaan (2) wawancara.
1.5.1 Kerja Lapangan
mengajukan pertanyaan yang tidak terikat pada susunan pertanyaan, akan tetapi tetap pada berfokus permasalahan utama.
1.5.2 Wawancara
Wawancara adalah salah satunya teknik yang digunakan untuk memperoleh informasi tentang kejadian yang tidak dapat diamati secara langsung. Teknik wawancara yang dilakukan penulis adalah wawancara berfokus (focused interview) dan wawancara bebas (free interview). Sebelum melakukan wawancara, penulis terlebih dahulu menetapkan kepada siapa wawancara itu dilakukan, lalu menyiapkan pokok-pokok masalah yang menjadi bahan pembicaraan, kemudian melangsungkan wawancara, hasinya ditulis dalam catatan lapangan. Pada wawancara berfokus, pertanyaan berpusat pada aspek pokok permasalahan. Walaupun demikian, pertanyaan yang di ajukan lebih bersifat bebas, tidak hanya berpusat pada pokok permasalahan tetapi pertanyaan dapat beralih pada permasalahan lain dengan tujuan untuk memperoleh data yang beraneka ragam, namun tidak menyimpang dari objek permasalahan.
1.5.3 Lokasi Penelitian
1.5.4 Studi Kepustakaan
Sebelum melakukan penelitian ke lokasi penelitian, penulis terlebih dahulu mengadakan studi pustaka. Penulis membaca buku-buku dengan penelitian dan juga tulisan ilmiah dan catatan yang berhubungan dengan onjek penelitian. Karena teknologi semakin maju, dan banyak tulisan ilmiah dimasukkan ke dalam website, penulis juga mencari informasi dari internet. Studi pustaka ini diperlukan untuk melihat teori-teori dan komsep-konsep yang sesuai untuk mendukung penelitian ini.
1.5.5 Kerja Laboratorium
BAB II
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN BIOGRAFI
SINGKAT BAPAK J BADU PURBA SIBORO
Bab ini merupakan penjelasan tentang gambaran umum wilayah penelitian dan biografi singkat bapak Martuah Saragih sebagai seniman alat musik tradisional Simalungun. Wilayah yang dimaksud disini adalah bukan hanya lokasi penelitian, tetapi lebih terfokus kepada gambaran masyarakat Simalungun khususnya yang ada di Pematangsiantar secara umum. Namun sebelum membahas topik tersebut, akan diuraikan lebih dahulu Desa Lestari Indah Kecamatan Siantar Kebupaten Simalungun.
2.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang penulis teliti berada di Desa Lestari Indah yang
merupakan tempat tinggal sekaligus sebagai tempat pembuatan tulila instrument
bapak, J Badu Purba yang bertempat tinggal di Jalan Nangka I no.18 , Kecamatan
Siantar Kabupaten Simalungun. Menurut data yang didapat dari Kantor Lurah Desa
Lestari Indah, secara geografis Desa Lestari Indah adalah terletak antara 02,56o
LU-80,03o BT. Dengan suhu maksimum rata-rata 30o C, dan suhu minimum rata-rata 21o
C. Adapun luas wilayah Kecamatan siantar adalah 14.536 Ha. Kecamatan yang
terluas adalah Kecamatan Siantar Sitalasari dengan Luas Wilayah 23.476 km2
1. Sebelah timur berbatasan dengan Kebun
Adapun batas-batas wilayah Desa Lestari Indah adalah sebagai berikut :
2. Sebelah selatan berbatasan dengan Dolok Hataran
3. Sebelah barat berbatasan dengan Sitalasari
2.2 Keadaan penduduk
Pada awalnya penduduk asli Desa Lestari Indah didominasi oleh suku
Simalungun, namun setelah terjadi urbanisasi kependudukan, Desa Lestari Indah
menjadi bersifat heterogen, kerena terdiri dari berbagai ragam suku dan etnis, yaitu
Simalungun, Toba, Mandailing, Angkola, Jawa, Aceh, Pakpak, Minang kabau,
Melayu dan WNI (Warga Negara Indonesia) keturunan asing seperti China, India, dan
Pakistan. Pada tahun 2009 penduduk Desa Lestari Indah mencapai 243.768 jiwa
dengan kepadatan penduduk 3.146 jiwa per km2. Sedangkan laju pertumbuhan
penduduk Desa Lestari Indah pada tahun 2010 sebesar 0,53 persen. Penduduk
perempuan di Desa Lestari Indah lebih banyak dari penduduk laki-laki. Pada tahun
2009 penduduk Desa Lestari Indah yang berjenis kelamin perempuan berjumlah
117.516 jiwa dan penduduk laki-laki 127.381 jiwa.
Secara etimologi kata “Simalungun” dapat dibagi kedalam tiga suku kata
yaitu: Si berarti “Orang”, ma sebagai kata sambung berarti “yang” dan lungun
berarti “sunyi, kesepian”. Dengan demikian, Simalungun berarti “ia yang bersedih
hati, sunyi dan kesepian.
Secara umum masyarakat Simalungun yang tinggal di wilayah Simalungun
maupun di perantauan merupakan suatu pribadi yang pendiam dan tertutup. Menurut
Hendrik Kraemer ketika berkunjung ke Tanah Batak pada bulan Februari-April tahun
1930 melaporkan bahwa jika dibandingkan dengan orang Batak Toba, orang
Simalungun jelas lebih berwatak halus, lebih suka menyendiri di hutan dan secara
alamiah kurang bersemangat dibandingkan dengan orang Batak Toba. Hal yang
senada juga dikatakan oleh Walter Lempp tentang tabiat daripada masyarakat
Simalungun yaitu orang Simalungun lebih halus dan tingkah lakunya hormat sekali,
suku Simalungun satu-satunya yang pernah dijajah oleh suatu kerajaan di Jawa yang
berkedudukan di Tanah Jawa. Masyarakat Simalungun yang bertempat tinggal di
Pematangsiantar mengenal satu lembaga adat yang disebut Partuha Maujana
Simalungun. Lembaga adat ini telah ada mulai dari tingkat Serikat Tolong menolong
(STM), Desa, Kecamatan, Kabupaten dan Pusat.
Masyarakat yang tinggal di Kecamatan Siantar, Jalan nangka I ,
Pematangsiantar, pada umumnya bekerja sebagai Petani, Buruh, Wiraswasta, dan
Pegawai Negeri Sipil. Menurut wawancara penulis dengan bapak J Badu pekerjaan
beliau adalah pengurus museum siantar. Menjadi pemain musik merupakan pekerjaan
sampingan bagi beliau. Membuat tulila Simalungun dilakukan beliau apabila adanya
pesanan untuk membuat alat musik tersebut.
2.3 Sistem Bahasa
Asal usul kependudukan masyarakat Simalungun banyak dipengaruhi oleh berbagai aspek dan juga berbagai pendapat atau teori yang berbeda-beda untuk memberikan pembuktian terhadap kebenarannya. Sistem kemasyarakatan dalam suatu daerah temtu didasari oleh bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat di dalamnya. Menurut informasi dari informan saya dengan terkaitnya lokasi penelitian penulis bahwa keragaman seuku yang berada di daerah tersebut menggunakan bahasa simalungun untuk komunikasi bahasa sehari-harinya.
Sejak berabad-abad yang lampau suku-suku bangsa yang tinggal di berbagai
kepulauan di Nusantara memiliki bahasa masing-masing yang dipergunakan dalam
pergaulan dan komunikasi antar sesama suku tersebut. Bahasa itu dinamakan sebagai
“bahasa daerah” yang disebutkan sesuai dengan suku bangsa yang memiliki bahasa
tersebut. Misalnya bahasa Batak Toba dipergunakan oleh Batak Toba. Demikian juga
aksara yang sudah sangat tua usianya. Menurut seorang peneliti bahasa Dr. P.
Voorhoeve, yang menjadi Pejabat Taalambtenaar di Simalungun tahun 1937,
mengatakan bahwa bahasa Simalungun merupakan bahasa rumpun austronesia yang
lebih dekat dengan bahasa sansekerta yang banyak sekali mempengaruhi
bahasa-bahasa di Nusantara.
Voorhoeve mengatakan kedekatan bahasa Simalungun dengan bahasa
Sansekerta ditunjukkan dengan huruf pentup suku kata mati yaitu, uy dalam kata apuy
dan babuy, huruf g dalam kata dolog, huruf b dalam kata arbab, huruf d dalam kata
bagod, huruf ah dalam kata babah dan sabah, juga ei dalam kata simbei dan ou dalam
kata sopou dan lapou. Salah satu ciri masyarakat simalungun adalah memiliki
tingkatan bahasa yang disebut dengan ratting ni hata. Adapun tingkatan tersebut
adalah:
1. Lapung ni hata, merupakan bahasa sehari hari yang dipakai oleh masyarakat biasa
atau bahasa yang dipakai sehari-hari.
2. Guru ni hata, merupakan bahasa yang dipakai untuk mengucapkan sesuatu dan
dianggap lebih halus. Guru ni hata merupakan bahasa tertinggi yang digunakan oleh
kalangan keturunan raja-raja. Dimana bahasa tersebut adalah bahasa yang sopan
hormat, dan berisi nasehat, yang sering disampaikan melalui perumpamaan. Misalnya
adalah Simakidop artinya mata, Jambulan artinya rambut. Simakulsop artinya mulut.
3. Sait ni hata, yaitu bahasa yang dipakai ketika seseorang marah atau menghina
seseorang, karena tersinggung atas sesuatu. Sait ni hata merupakan bahasa yang
kasar, karena berisi kata-kata yang pedas, berisikan sindiran sehingga dapat
2.4 Sistem Kesenian
Kesenian adalah merupakan ekspresi perasaan manusia terhadap keindahan,
dalam kebudayaan suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat deskriptif
(Koentjaraniningrat, 1980:395-397). Kesenian pada masyarakat simalungun sangat
banyak dan beragam. Taralamsyah Saragih dalam Seminar Kebudayaan Simalungun
1964 mengatakan bahwa kesenian yang ada di Simalungun dapat dibagi atas Seni
Musik (Gual), Seni Suara (doding), Seni Tari (Tortor).
2.4.1 Seni Musik
Seni musik digunakan untuk upacara-upacara hiburan dan upacara-upacara
adat lainnya misalnya upacara dukacita (pusok ni uhur) dan sukacita (malas ni uhur).
Alat-alat musik pada masyarakat simalungun dapat dimainkan secara ensamel dan
dapat pula dimainkan secara tunggal. Alat musik yang dimainkan secara ensambel
adalah Gonrang Sidua-dua dan Gonrang Sipitu-pitu. Penggunaan instrumen sarunei
dalam ensambel Gonrang Sidua-dua dan Gonrang Sipitu-pitu sangat penting,
diantaranya:
1. Manombah yaitu suatu upacara untuk mendekatkan diri kepada sembahan
2. Maranggir yaitu upacara untuk membersihkan badan dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik, dan juga membersihkan diri dari gangguan roh-roh jahat
3. Ondos Hosah yaitu upacara khusus yang dilakukan suatu desa atau keluarga agar terhindar dari mara bahaya.
Adapun alat-alat musik yang dimainkan secara tunggal diantaranya
Jatjaulul/Tengtung, Husapi, Hodong-hodong, Tulila, Ole-ole, Saligung, Sordam dsb.
Alat-alat musik tersebut dimainkanuntuk hiburan pribadi ketika lelah bekerja di
ladang, maupun setelah pulang dari pekerjaan.
2.4.2 Seni Suara (Doding)
Musik vokal Simalungun dikenal dengan istilah doding dan ilah. Doding
dipakai untuk nyanyian solo sedangkan ilah dipakai sebagai nyanyian kelompok.
(Sihotang 1993:31). Nyanyian dalam masyarakat Simalungun sangat banyak dan
memiliki fungsi masing-masing. Selain itu masyarakat Simalungun memiliki teknik
bernyanyi yang disebut inggou. Adapun nyanyian tersebut diantaranya adalah :
1. Taur-taur yaitu nyanyian yang dilagukan oleh sepasang muda-muda secara bergantian untuk mengungkapkan perasaan stu sama lainnya.
2. Ilah yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan oleh sekelompok pemuda dan pemudi sambil menepuk tangan sambil membentuk lingkaran.
3. Doding-doding yaitu nyanyian yang dinyanyikan oleh sekelompok pemuda dan dan pemudi atau orang tua untuk menyampaikan pujian atau sindiran. Nyanyian inijuga dapat dilagukan untuk mengungkapkan kesedihan dan kesepian.
4. Urdo-urdo atau Tihtah yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan oleh seorang ibu kepada anaknya atau seorang anak perempuan kepada adiknya. Urdo-urdo untuk menidurkan sementara Tihtah untuk bermain.
6. Manalunda/Mangmang adalah mantera yang dinyanyikan oleh seorang datu untuk menyembuhkan suatu penyakit ataupun menobatkan seorang raja pada waktu dulu.
2.4.3 Seni Tari (Tor-Tor)
Seni tari dalam masyarakat Simalungun banyak mengalami penurunan dari segi
pertunjukan dimana pada saat ini sudah jarang dijumpai tor-tor yang sering dilakukan
pada zaman dahulu. Tor-tor yang dapat bertahan sampai saat ini adalah Tor-tor
Sombah. Adapun tor-tor yang sering dipertunjukkan pada zaman dahulu antara lain:
1. Tor-Tor Huda-Huda atau Toping-Toping yaitu tarian yang dilakukan untuk menghibur orang yang meninggal sayur matua yaitu orang yang telah berusia lanjut. Tarian ini merupakan tarian yang meniru gerakan kuda dan sebagian permainannya memakai topeng. Pada waktu dulu tarian ini digunakan untuk menghibur keluarga raja yang bersedih karena anaknya meninggal. Tarian ini bertujuan untuk menyambut berbagai kelompok adat( tondong,boru, dan sanina) dan menghibur para tamu undangan, namun mereka juga bertugas mengumpulkan oleh-oleh dari para tamu undangan. Jaman dulu kegiatan tersebut biasa dilakukan dalam pemakaman seorang raja.
2. Tor-tor Turahan yaitu Tor-tor yang dilakukan untuk menarik kayu untuk membangun istana atau rumah besar. Seorang mandor bergerak melompati batang kayu yang ditarik sambil mengibaskan daun-daun yang dipegan ke batang kayu dan ke badan orang yang menarik untuk memberi semangat.
Pada masyarakat Simalungun juga terdapat kesenian lain yang pada saat sekarang
terdapat pada dinding-dinding rumah, Seni Pahat, yaitu seni membuat patung-patung
dari batu ataupun dari kayu, Seni Tenun yaitu seni membuat kayu dengan
menggunakan benang-benang yang dibentuk dengan suatu keahlian, dan Seni
Arsitektur yaitu seni untuk membangun rumah dengan arsitektur tradisional.
Bentuk-bentuk kesenian tersebut telah banyak yang ditinggalkan oleh masyarakat
karena kurang sesuai dengan perkembangan zaman. Namun meskipun begitu masih
ada sebagian orang yang tetap mempertahankan pengetahuan tersebut seperti Seni
Tenun karena kain yang dihasilkan dari buatan tangan jauh lebih bagus daripada
buatan pabrik.
2.5 Sistem Kekerabatan
Menurut M.D. Purba dalam bukunya yang berjudul Adat Perkawinan
Simalungun(1985), ada dua cara yang umum yang dipakai untuk menarik garis
keturunan, yaitu :
1. Menarik garis keturunan hanya dari satu pihak, yaitu mungkin dari pihak laki-laki dan mungkin pula dari pihak permpuan. Masyarakat demikian dinamakan masyarakat unilateral. Jika masyarakat tersebut menarik garis keturunan dari pihak laki-laki atau ayah saja, maka keturunan tersebut disebut masyarakat patrilineal. Dan jika menarik dari garis keturunan perempuan (ibu) maka disebut matrilineal.
unilateral-patrilineal, yang artinya bahwa setiap anak-anak yang lahir baik laki-laki maupun
perempuan dengan sendirinya akan mengikuti klan atau marga dari ayahnya
(1985:108).
Bukti bahwa garis keturunan diambil dari pihak laki-laki adalah dengan adanya marga dalam masyarakat Simalungun. Setiap anak yang lahir dalam satu keluarga di etnis Simalungun, secara otomatis akan memiliki marga yang sama dengan marga si ayah.
Susunan masyarakat Simalungun didukung oleh berbagai marga yang mempunyai hubungan tertentu, yang disebabkan oleh hubungan perkawinn. Hubungan perkawinan antar marga-marga mengakibatkan adanya penggolongan antar tiap-tiap marga. Marga yang satu akan mempunyai kedudukan tertentu terhadap marga lain. Perkerabatan dalam masyarakat Simalungun disebut sebagai Partuturan. Partuturan ini menetukan dekat atau jauhnya hubungan kekeluargaan
(pardihadihaon), dan dibagi kedalam beberapa kategori sebagai berikut:
1. Tutur Manorus / Langsung
Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri. Misalnya: Botou artinya saudara perempuan baik lebih tua atau lebih muda. Mangkela (baca: Makkela) artinya suami dari saudara perempuan dari ayah. Sima-sima artinya anak dari Nono/Nini,
2. Tutur Holmouan / Kelompok
3. Tutur Natipak / Kehormatan
Tutur Natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak
berbicara sebagai tanda hormat. Misalnya: Kaha digunakan pada istri dari saudara
laki-laki yang lebih tua. Bagi wanita, kaha digunakan untuk memanggil suami boru
dari kakak ibu. Ambia Panggilan seorang laki terhadap laki lain yang seumuran atau
bawahan.
Ikatan kekerabatan diklasifikasikan dalam suatu sistem yang dalam bahasa Simalungun dikenal Tolu Sahundulan, yaitu :
1. Tondong (Pemberi istri)
2. Anak Boru/Boru (Penerima Istri)
3. Sanina/Sapanganonkon (Sanak saudara, individu semarga atau pembawa garis keturunan)
Dalam masyarakat Simalungun seorang pria belum dianggap sebagai orang dewasa dan belum dapat berperan serta dalam fungsi-fungsi adat bila yang bersangkutan belum menikah atau sudah menikah tapi belum mempunyai keturunan.
2.5.1 Marga-marga Simalungun
Terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan akronim
SISADAPUR, yaitu:
1. Sinaga
2. Saragih
3. Damanik
Keempat marga ini merupakan hasil dari “Harungguan Bolon” (Permusyawaratan
besar) antara empat raja besar berjanji untuk tidak saling menyerang dan tidak saling
bermusuhan, Marsiurupan bani hasunsuhan na legan, rup mangimbang
munsuh,keempat raja tersebut adalah:
1. Raja Nagur bermarga Damanik
Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa Simalungun,
Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma,
agung/terhormat, paling cerdas). Raja ini berasal dari kaum bangsawan India Selatan
dari Kerajaan Nagore. Pada abad ke-12, keturunan raja Nagur ini mendapat serangan
dari Raja Rajendra Chola dari India, yang mengakibatkan terusirnya mereka dari
Pamatang Nagur di daerah Pulau Pandan hingga terbagi menjadi 3 bagian sesuai
dengan jumlah puteranya: Marah Silau yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja
Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, tuan raja siantar dan tuan raja damanik Soro
Tilu (yang menurunkan marga rajaNagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik
Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan,
Sola) Timo Raya (yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya
Damanik Tomok). Selain itu datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja,
Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja yang berasal dari Pulau Samosir
dan mengaku Damanik di Simalungun.
2. Raja Banua Sobou bermarga Saragih
Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana Ragih berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang.
• Saragih Garingging yang pernah merantau ke Ajinembah dan kembali ke Raya. Saragih Garingging kemudian pecah menjadi dua, yaitu: Dasalak, menjadi raja di Padang Badagei, Dajawak merantau ke Rakutbesi dan Tanah Karo dan menjadi marga Ginting Jawak.
• Saragih Sumbayak keturunan Tuan Raya Tongah, Pamajuhi, dan Bona ni Gonrang.
Walaupun jelas terlihat bahwa hanya ada dua keturunan Raja Banua Sobou, pada zaman Tuan Rondahaim terdapat beberapa marga yang mengaku dirinya sebagai bagian dari Saragih (berafiliasi), yaitu: Turnip, Sidauruk, Simarmata, Sitanggang, Munthe, Sijabat, Sidabalok, Sidabukke, Simanihuruk. Ada satu lagi marga yang mengaku sebagai bagian dari Saragih yaitu Pardalan Tapian, marga ini berasal dari daerah Samosir. Rumah Bolon Raja Purba di Pematang Purba, Simalungun. 3. Raja Banua Purba bermarga Purba
Purba menurut bahasa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Purwa yang berarti timur, gelagat masa datang, pegatur, pemegang Undang-undang, tenungan pengetahuan, cendekiawan atau sarjana. Keturunannya adalah: Tambak,
Sigumonrong, Tua, Sidasuha (Sidadolog, Sidagambir). Kemudian ada lagi Purba
Siborom Tanjung, Pakpak, Girsang, Tondang, Sihala, Raya. Pada abad ke-18 ada
beberapa marga Simamora dari Bakkara melalui Samosir untuk kemudian menetap di
Haranggaol dan mengaku dirinya Purba. Purba keturunan Simamora ini kemudian
menjadi Purba Manorsa dan tinggal di Tangga Batu dan Purbasaribu.
4. Raja Saniang Naga bermarga Sinaga
melakukan ekspansi di Sumatera pada abad ke-14, pasukan dari Jambi yang dipimpin Panglima Bungkuk melarikan diri ke kerajaan Batangiou dan mengaku bahwa dirinya adalah Sinaga.
Menurut Taralamsyah Saragih, nenek moyang mereka ini kemudian menjadi raja Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah ia mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou dalam suatu ritual adu sumpah (Sibijaon). (Tideman, 1922).
2.6 Sistem Kepercayaan
Sepanjang yang dapat diketahui melalui catatan (analisis) Tiongkok sewaktu
Dinasty SWI (570-620) Kerajaan Nagur sebagai Simalungun Tua, telah banyak
disebut-sebut dalam hasil penelitian Sutan Martua Raja Siregar yang dimuat dalam
Buku Sejarah Batak oleh Batara Sangti Simanjuntak, dimana dinyatakan bahwa pada
abad ke V sudah ada Kerajaan “Nagur” sebagai satu “Simalungun Batak Friest
Kingdom” yang sudah mempunyai hubungan dagang dengan bangsa-bangsa lain
terutama dengan Tiongkok (China).
Menurut Hikayat “Parpandanan Na Bolag” (Pustaha Laklak lama Simalungun)
bahwa wilayah Kerajaan Parpandanan Na Bolag (Nagur) hampir meliputi seluruh
Perca (Sumatera) bagian Utara , yang terbentang luas dari pantai Barat berbatas
dengan Lautan Hindia, sampai ke Sebelah Timur dengan Selat Malaka, dari Sebelah
Utara berbatas dengan yang disebut Jayu (Aceh sekarang) sampai berbatas dengan
Toba di sebelah Selatan.
percaya akan adanya sang pencipta alam yang bersemayam di langit tertinggi, dan mengenal adanya tiga Dewa, yaitu :
1. Naibata na i babou/i nagori atas (di Benua Atas)
2. Naibata na i tongah/i nagori tongah (di Benua Tengah)
3. Naibata na i toruh/i nagori toruh (di Benua Bawah)
Pemanggilan arwah nenek moyang disebut “Pahutahon” yaitu melalui upacara
ritual, dimana dalam acara itu roh tersebut hadir melalui “Paninggiran” (kesurupan)
salah seorang keturunannya atau seseorang yang mempunyai kemampuan sebagai
perantara (paniaran).
Menurut penelitian G.L Tichelman dan P. Voorhoeve seperti dimuat dalam
bukunya “Steenplastiek Simaloengoen” terbitan Kohler & Co Medan tahun 1936
bahwa di Simalungun (kerajaan Nagur) terdapat 156 Panghulubalang (Berhala) yaitu
patung-patung batu yang ditempatkan pada tempat yang dikeramatkan (Sinumbah)
dan ditempat inilah dilakukan upacara pemujaan.
Pelaksanaan urusan kepercayaan diserahkan kepada “Datu” yang disebut juga
“Guru”. Pimpinan “datu-datu” ini ialah “GURU BOLON”. Setiap Datu/Guru
mempunyai “Tongkat Sihir” atau “Tungkot Tunggal Panaluan” (yang diperbuat dari
kayu tanggulan yang diukir dengan gana-gana bersambung-sambung untuk mengusir
penyakit). Acara kepercayaan itu dipegang penuh oleh Datu, baik di istana maupun di
tengah-tengah masyarakat umum. Raja-raja dan kaum bangsawan mereka sebut juga
“tuhan” bukan saja disegani tetapi ditakuti masyarakat, tetapi akhirnya sesudah
masuknya agama Islam dan Kristen sebutan tersebut berubah menjadi Tuan.
Masuknya Agama Islam ke Simalungun adalah pada abad ke-15 melalui
Awalnya perkembangan Agama Islam berada di daerah sekitar Perdagangan dan
Bandar ( Sihotang 1993:23).
Kemudian sekitar tahun 1903, Gereja Batak Toba (HKBP) yang berada dalam fase perkembangan kemudian berkembang hingga menjangkau masyarakat di luar lingkungan mereka sendiri. Pada suatu konferensi yang dilakukan pada tahun tersebut diambil suatu keputusan untuk memulai karya misi pada masyarakat Simalungun. Kelompok Kristen Simalungun yang masuk dari upaya ini pada awalnya hanya sekadar bagian dari Gereja Batak Toba (dinamakan HKBP-S). Namun pada tahun 1964 terjadi pemisahan dan lahirlah organisasi baru yang menamakan diri sebagai Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS). Salah satu bagian integral dari proses Kristenisasi adalah berupa pendirian gereja-gereja dan sekolah-sekolah. Di sana anak-anak dan orang-orang dewasa dapat belajar membaca dan menulis dalam bahasa mereka sendiri dan kemudian dalam bahasa Indonesia.
2.7 Biografi Singkat Bapak J Badu Purba Siboro
Pada Sub Bab ini, penulis akan membahas tentang riwayat hidup bapak J
Badu Purba, terutama yang berkaitan dengan peranan beliau sebagai pemusik dan
pembuat alat musik tradisioanal Simalungun di kota Pematangsiantar. Biografi yang
akan dibahas disini hanya berupa biogarfi ringkas, artinya hanya memuat hal-hal
umum mengenai kehidupan bapak Martuah Saragih dimulai dari masa kecil hingga
masa kehidupannya sekarang ini, temasuk pula pengalaman beliau sebagai pemusik
tradisional Simalungun, sebagai pembuat instrumen musik tradisional Simalungun,
dan pengalaman berkesenian lainnya. Biografi yang di bahas di sini sebagain besar
dengan saudara-saudara beliau, sahabat-sahabat beliau dan keluarga beliau, dan juga
beberapa musisi tradisional dan seniman musik. Hal ini dianggap perlu untuk
melengkapi dan menguji keabsahan biografi beliau.
Bapak J Badu lahir di Siantar, pada tanggal 18-Februari-1942 yang berumur
72 tahun dan penganut agama nasrani. Bapak J Badu lahir dari pasangan Bapak (alm)
Ismail Purba dan Ibu (alm) R.Damanik yang merupakan anak ke satu dari empat
bersaudara. Keterampilan bapak J badu dalam memainkan tulila diturunkan oleh
ayahanda beliau yang merupakan seorang pemain sarunei. Tetapi untuk mempelajari
tulila bapak J badu belajar dengan kawan-kawan dan tidak boleh belajar dengan
orangtuanya, untuk belajar dengan kawan-kawan cara bapak J badu adalah melihat,
mendengar, dan menghafal. Menurut hasil wawancara yang penulis dapatkan
Mengapa anak tidak boleh belajar dengan orang tua, menurut ceritanya bahwa orang
tua yang memberikan langsung pengetahuan terhadap anak, maka umurnya akan
pendek. Untuk permainan tulila bapak j badu melakukannya secara otodidak, dan
berumur tujuh tahun. Dan bermain secara professional sejak berumur 15 tahun.
Secara lambat lambat laun beliau mulai bisa memainkan tulila dua atau riga repertoar
lagu.
Pada saat ini bapak J badu telah menikah, yang diadakan pernikahan bapak J
badu pada tanggal 20-Juli-2002, dan memiliki istri yang bernama Saptaria Sri Rejeki
Purnami dan bapak J tidak memiki anak. Pendidikan terakhir bapak J badu adalah
SGA (Sekolah Guru A).
Dulunya bapak J badu mempunyai group yaitu dotorsi dan harungguan.
Bapak J badu Masuk ke group dotorsi pada tahun 1961 dan Harungguan pada tahun
bapak J badu dipercaya didalm group partulila utama di dalam group sampai
sekarang. Awal mulanya bapak J badu memainkan alat musik adalah gondang dua.
Dalam proses pembuatan satu buah tulila, apabila tulila ini harus disiapkan
maka membutuhkan waktu satu hari, apabila dilakukan dengan cara normal
membutuhkan waktu kurang lebih satu minggu. Menurut pengakuan beberapa
Partulila Simalungun yang penulis jumpai, tulila buatan bapak J badu ini telah banyak
digunakan. Baik oleh partulila yang baru belajar maupun partulila yang sudah
profesional. Mereka beranggapan bahwa selain bapak J badu mahir memainkan
tulilanya, kualitas dari tulila buatannya juga dinilai baik. Menurut beliau yang bnayak
memesan tulila beliau adalah orang-orang mempelajari tulila Simalungun.
Banyak even-even / acara-acara di kota Pematang Siantar maupun di beberapa
Negara yang telah dijalani oleh bapak j badu dalam kariernya sebagai pemusik,
diantaranya PRSU( Pekan Raya Sumatera Utara ) Medan, dan Senayan Jakarta,
untuk di luar negeri bapak j badu memainkan gonrang sidua-dua. Beliau adalah
partulila yang telah dikenal oleh masyarakat dikota pematang siantar khususnya
masyarakat simalungun.
Beliau juga telah banyak mendapatkan berbagai penghargaan dari pemerintah
khususnya untuk simalungun, diantaranya adalah piagam penghargaan dari Program
Revitalisasi musik Tradisi Sumatera Utara pada tahun 2007-2008 sebagai instruktur,
dengan kerjasama Universitas Sumatera Utara dan The Ford Foundation Jakarta dan
Pemberian Penghargaan Kepada Seniman Berprestasi di Sumut dan kerjasama Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Utara.
Walaupun demikian, menjadi peniup dan pembuat tulila bukanlah pekerjaan
tetap beliau. Pekerjaan tetap beliau adalah PNS (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Kabupaten Simalungun) dan sekarang bapak J badu adalah salah satu pengurus
BAB III
KAJIAN ORGANOLOGIS TULILA SIMALUNGUN
3.1 Klasifikasi Tulila Simalungun
Dalam mengklasifikasikan tulila Simalungun, penulis mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Curt Sachs dan Hornbostel (1961) yaitu :
“sistem pengklasifikasian alat musik yang berdasarkan sumber penggetar utama bunyinya. Sistem klasifikasi ini terbagi menjadi empat bagian yaitu :
Idiofon, (penggetar utama bunyinya adalah badan dari alat musik itu sendiri,
Aerofon, (penggetar utama bunyinya adalah udara), Membranofon, (penggetar
utama bunyinya adalah kulit atau membran), Kordofon, (penggetar utama
bunyinya adalah senar atau dawai)”.
Berdasarkan pengklasifikasian di atas, maka tulila merupakan jenis alat musik tiup dari Simalumgun, yang sama jenisnya sama seperti recorder, yang menghasilkan sumber suara dari udara (aeropon), yang terbuat kayu (wind instrument), yang dimainkan tidak putus-putus ( circular breating) yang dimainkan secara tegak lurus (end blown flute).
3.2 Konstruksi Bagian-Bagian Yang Terdapat Pada Tulila Simalungun
Gambar 1 : Bagian-bagian Tulila
Kepala
Ujung Tulila Tuhak Nada
Gambar 2 : Kayu Silopak Bunga
3.3 Ukuran Bagian-Bagian Tulila
Ukuran dan bagian-bagian Tulila pang penulis paparkan berikut ini adalah sesuai dengan ukuran Tulila Simalungun buatan bapak J Badu Purba, yang dibuat secara terpisah dapat dilihat pada gambar berikut ini :
Panjang Tulila 32 Cm
Gambar 3 : Ukuran Tulila
Ukuran Badan 12,5 Cm
Gambar 4 : Diameter Lubang Hembus
Diameter 0,8 Cm
Diameter Pangkal 1,5 Cm
Gambar 6 : Diameter Lubang Nada Tulila
Gambaran 7 : jarak antar lubang Tulila
Diameter lubang nada 0,8 Cm
Gambar 8 : Diameter Ujung Tulila
Gambar 9 : Diameter Kayu Silopak Bunga
Diameter Ujung 1,8 Cm
3.4 Teknik Pembuatan Tulila Simalungun
Pembuatan tulila simalungun masih sangat sederhana, semua teknik pengerjaan tulila tersebut mulai dari bahan baku yang digunakan, dan dikerjakan dengan alat-alat dan teknik yang sederhana, dengan menggunakan tangan tanpa bantuan oleh mesin. Berikut ini akan diterangkan bahan-bahan maupun alat-alat beserta fungsinya masing-masing hingga proses pembutan untuk membuat tulila simalungun.
3.4.1 Bahan Baku yang Digunakan
Bahan baku yang digunakan pada pembuatan tulila simalungun cukup sederhana. Selain itu bahan-bahan untuk membuatnya mudah didapatkan. Berikut ini penulis akan menjelaskan mengenai bahan-bahan dalam pembuatan tulila simalungun, serta fungsinya masing-masing.
3.4.1.1 Bambu daun buhu-buhui
Bambu adalah bahan baku yang digunakan untuk membuat tulila, dari penjelasan bapak J Badu Purba bambu yang didapatkan oleh bapak J badu dari hutan tepian sungai di daerah Raya pedalaman disungai Sipis-pis. Jenis bambu yang biasa dipakai oleh bapak J badu bambu yang liat dan langka , yang tidak mudah pecah dan retak. Untuk mendapatkan yang bagus pada bambu, bapak J badu mengambil pada bagian tengah. Dan harus tegak lurus bambu tersebut. Lalu ditebang dan setelah ditebang bambu akan dikeringkan, dalam beberapa hari. sebab bambu harus dikeringkan, karena tidak mudah pecah dan retak. menurut wawancara , bapak J badu menjelaskan bahwa untuk menebang bambu tersebut bapak J badu tidak ada membuat ritual dan jangan ambil bambu pada bulan muda karena bambu akan lembek . Kegunaan dari batang bambu tersebut sangat banyak yaitu membuat badan, lubang nada, berdiameter yang merupakan bagian dari tulila. Bapak J badu untuk mengukur bagian-bagian pada bambu bapak J badu menggunakan taksiran (gambar 10)
3.4.1.2 Kayu Silopak Bunga
Untuk membuat bagian diameter pada tulila Simalungun, dipergunakan kayu silopak bunga. Kayu silopak bunga didapatkan oleh bapak J badu di hutan, kayu silopak bunga ini sifatnya rapuh. Kayu silopak bunga yang digunakan sebagai penutup bagian dari tulila. Kayu silopak bunga ini akan dimasukkan ke dalam lubang pada bagian bambu (gambar 11)
3.4.1.3 Daun Pisang
Gambar 12 : Daun Pisang
dalam proses pengukuran. Dan untuk membuat jarak antar lubang nada bapak J badu melipatkan daun pisang tersebut sebanyak 5 kali (gambar 12)
3.4.1.4 Kulit Bambu
Gambar 13 : Kulit Bambu
3.4.2 Peralatan yang Digunakan
3.4.2.1 Parang
Parang yang dipakai adalah parang yang berukuran besar dan memiliki gagang yang terbuat dari kayu. Parang tersebut digunakan untuk menebang, memotong dan membersihkan dahan-dahan pada bambu, dan juga memotong ruas-ruas pangkal dan ujung pada tulila, juga memotong kayu silopak bunga (gambar 14)
3.4.2.2 Gergaji
Gambar 14 : Parang
Gergaji yang digunakan adalah sejenis gergaji potong, gergaji ini berguba untuk memotong kayu silopak bunga, apabila selesai dikikis oleh pisau besar (gambar 15)
3.4.2.3 Pisau Besar
Gambar 16 : Pisau Besar
Pisau besar yang digunakan adalah untuk mengikis bambu dan kayu silopak bunga (gambar 16)
3.4.2.4 Besi
Besi yang digunakan berfungsi sebagai meluruskan suara yang dihasilkan, apabila terjadi pemasangan yang kurang pas pada kayu silopak bunga, maka besi akan menusukkan ke atas secara pelan-pelan. Apabila kayu silopak bunga tersebut tidak luruskan suara yang akan dikeluarkan akan fals . Pertanda sudah selesai pembuatan sudah bagus, maka apabila dihembus tulila mengeluarkan 3 suara (gambar 17)
3.4.2.5 Kikir
Kikir yang dipakai adalah berfungsi untuk menghaluskan bagian pangkal dan ujung pada bambu, yang sudah terlebih dahulu dikikis oleh bpisau besar (gambar18)
3.4.2.6 Kaca Pembesar
Gambar 19 : Kaca Pembesar
Kaca pembesar yang dipakai berfungsi untuk melihat apakah sudah pas lubang yang sudah dibuat (gambar 19)
3.4.2.7 Pisau Kecil
Gambar 20 : Pisau Kecil
3.4.2.8 Kertas Pasir
Gambar 21 : Kertas Pasir
Kertas pasir yang digunakan berfungsi sebagai untuk menghaluskan dari keseluruhan badan tulila (gambar 21).
3.4.3 Proses Pembuatan
Tabel 2
Tahapan pengerjaan dalam pembuatan Tulila
NO TAHAP
PENGERJAAN
BAGIAN PENGERJAAN
1 Badan Tulila • Memotong bahan yang ada pada Bambu
• Membuat badan Tulila
• Mengikis ujung dan pangkal pada Tulila
• Mengukur dan memberi tanda untuk diameter di ukur dengan garis tengah dan jarak antar lubang
• Setelah di ukur kemudian di beri garis sebagai tanda
2 Kayu Silopak Bunga • Memotong Kayu Silopak Bunga
• Mengikis Kayu Silopak Bunga
3 Kulit Bambu • Dikikis tipis secara pelan-pelan dan hati-hati
3.4.3.1 Memilih dan Menebang Bambu
Dalam proses awal pembuatan tulila, dipilih bambu hutan yang liat yang dianggap baik untuk dapat dijadikan tulila. Bambu yang digunakan oleh bapak J Badu ini langka, karena beliau mendapatkan bambu di daerah Raya pedalaman terletak di tepian sungai sipis-pis. Batang bambu yang didapat harus lurus dan tidak terlalu muda, sebab apabila bambu muda maka bambu mudah retak dan menyusut sehingga tulila yang dihasilkannya dapat rusak. Bambu juga harus ditengok keadaaanya apakah mengalami pembusukan atau tidak. Setelah mendapatkan bambu yang sesuai, maka bambu ditebang dengan menggunakan parang. Dalam proses mengerjakannya, pak J Badu dilakukan hanya seorang diri. Menurut wawancara yang informan dapatkan bahwa apabila mengambil bambu jangan pada bulan muda, karena bambu lembek, seharusnya mengambil pada bulan tua.
3.4.3.2 Memotong dan Mengikis
Bambu yang sudah ditebang, dibersihkan dari dahan-dahan dan dipotong sesuai ukuran dan bagian-bagian tulila. Proses pemotongan dapat digunakan dengan parang, dan untuk mendapatkan hasil yang rapi. Setelah pemotongan selesai makan bambu dikikis secara pelan, dengan menggunakan pisau besar, dan setelah dikikis secara pelan maka terciptalah badan bambu yang dihasilkan.
3.4.3.3 Mengukur dan Memberi Garis
dan pembuatan lubang nada-nada pada tulila. Dalam proses ini bapak J Badu mengerjakannya sendiri.
3.4.3.3.1 Membuat Badan Tulila
Dalam pembuatan awal pertama tulila memotong bambu dengan menggunakan parang (gambar 22) , dan dibersihkan dahan-dahan yang ada pada bambu dan terbentuklah badan tulila (gambar 23) , memotong ruas-ruas yang ada di pangkal dan ujung (gambar 24). Lalu mengikis yang terdapat bagian ujung dan pangkal pada tulila (gambar 25), dengan mengukur bapak J badu menggunakan garis tengah (gambar 26). Setelah selesai membuat garis tengah, bapak j badu menggarisi sebagai tanda (gambar 27), setelah selesai bapak J badu bapak J badu melilitkana dua kali daun pisang (gambar 28), selanjutnya dililitkan lagi 2 kali lagi dan terakhir 1 lilitan lagi, gunanya untuk mengetahui jarak ke jarak pada badan tulila.
Gambar 23 : Badan tulila yang sudah diselesai
Gambar 25 : Mengikis bagian ujung dan pangkal pada Bambu
Gambar 27 : Mengukur dengan memberi garis sebagai tanda
Gambar 28 : Melilitkan Daun Pisang Sebanyak Dua Kali
3.4.3.3.2 Membuat dan Membentuk Kayu Silopak Bunga
bunga dikikis dengan pisau besar (gambar 30), setelah dikikis dengan pisau besar, bapak J badu menyesuaikan hasil kikisan kayu silopak pada lubang pangkal bambu (gambar 31), apabila tidak sesuai kikisan pada lubang pangkal bambu, maka untuk mengikis lagi, dan disesuaikan lagi, dan setelah selesai maka di sesuaikan kikisan pada bambu, maka kayu silopak bunga dipotong dengan menggunakan gergaji (gambar 32) dan terciptalah kayu silopak bunga yang di sesuaikan tadi (gambar 33), maka setelah selesai kayu silopak bunga, kayu silopak bunga tersebut dibelah sedikit (gambar 34) , juga untuk mengikis kulit bambu secara tipis dengan menggunakan pisau kecil (gambar 35 ), dan memasukkan kulit bambu yamg dikikis secara tipis yang dikerjakan secara hati-hati ke dalam pembelahan kayu silopak bunga (gambar 36) mengapa dibuat dibuat pembelahan pada kayu silopak, dan dimasukkan kulit bambu yang dikikis tersebut, karena membuat suara yang dihasilkan bagus dan mendaki. Dan apabila tidak dilakukan terhadap kayu silopak bunga yang dibelah dan tidak memasukan kulit bambu yang halus, maka suara yang dihasilkan pada tulila tidak bagus.
Gambar 30 : Mengikis Kayu Silopak Bunga
Gambar 31: Menyesuaikan Kayu Silopak Pada Lubang Bagian Pangkal
Gambar 33 : Kayu Silopak Bunga Yang Telah Disesuaikan
Gambar 35 : Mengikis Kulit Bambu Secara Tipis
3.4.3.3.3. Mengikis Kulit Bambu secara Pelan-Pelan dan Hati-Hati
Kulit bambu adalah sisa dari bagian bambu, dan dengan cara mengikis kulit bambu harus dilakukan secara pelan-pelan dan hati-hati (gambar 37) , dengan menggunakan pisau kecil, Mengapa dillakukan pengikisan pada kulit bambu tersebut, karena untuk dimasukan ke dalam kayu silopak bunga, yang akan dibelah. Apabila kulit bambu tidak tidak dimasukkan ke dalam pembelahan kayu silopak bunga, maka suara yang dihasilkan tidak bagus dan tidak mendaki.
Gambar 37 : Pengikisan Bambu
3.4.3.3.4 Mengukur, Memberi Garis, dan Membuat Jarak antar Lubang
pada Daun Pisang
garis menengah pada bambu (gambar 38), setelah hasil yang diukur sesuai pada garis menengah, maka bagian pangkal tersebut akan digarisi sebagai tanda . Lalu setelah itu daun pisang tersebut dililitkan dua kali, lalu diukur dan diberi garis sebagai tanda sesuai dengan lilitan, dan setelah itu dililitkan lagi dua kali lagi, setetah itu diukur dan diberi garis lagi sebagai tanda, dan yang terakhir satu kali lilitan lagi diukur dan diberi garis lagi, dan setelah itu terciptalah jarak antar jarak pada badan tulila. Maka setelah mengukur, bagian dari badan tulila, bapak J badu membuat lagi jarak antar lubang dengan cara memotong daun pisang tersebut (gambar 39) , dan dilipat lima kali, dan setelah selesai melipatkan lima kali pada daun pisang tersebut (gambar 40) , maka terciptalah untuk membuat jarak antar lubang pada tulila. Lalu setelah itu bapak J badu memotong daun pisang tersebut satu per satu yang terlebih dahulu sudah diukur (gambar 41), dan setelah selesai memotong satu per satu maka bapak J badu menggarisi sebagai tanda (gambar 42).
Gambar 39 : Pengukuran Lubang Nada
Gambar 41 : Memotong Satu Per Satu
3.4.4. Tahap Penyempurnaan
Tahap penyempurnaan dilakukan agar tulila simalungun dapat dilakukan dan dimainkan dengan baik. Tahap penyempurnaan ini dilakukan dengan melubangi lubang hembus, pada lubang-lubang nada pada tulila yang dikerjakan satu per satu berdasarkan bagian-bagiannya.
3.3.4.1 Proses Pelubangan Awal Pada Bagian Tulila
Proses pelubangan dilakukan dengan hati-hati dan pelan-pelan yang digunakan memakai pisau kecil, pertama yang akan di buat untuk mengikis secara pelan, dan kelamaan lubang yang dikikis akan membesar dan sesuaikan. Awal pembuatan lubang dilakukan pada dibawah pangkal dan setelah pembuatan lubang yang dibawah pangkal (gambar 43), maka untuk melubangi lagi lubang nada-nada yang menghasilkan suara awal (gambar 44), sampai pada akhir pelubangan (gambar 45).
Gambar 44 : Proses Pelubangan dari Awal sampai Akhir
3.4.4.2 Proses Pemasukan Kayu Silopak Bunga Ke Bagian Pangkal
Setelah pelubangan selesai, maka kayu silopak bunga yang lebih awal sudah dibuat, akan dimasukkan ke dalam lubang pangkal (gambar 46), lalu setelah dimasukkan ke dalam lubang pangkal, apabila terjadi belum lurus, digunakan besi untuk meluruskan letak kayu silopak bunga (gambar 47) kayu silopak bunga yang dimasukkan harus pas, jangan kelonggaran dan kesempitan, apabila terjadi penyempitan maka tulila akan pecah, dan apbila kelonggaran maka suara yang dimainkan tidak enak didengar. Dan setelah selesai dilakukan pulurusan dan pemasukan pada kayu silopak bunga, maka sisa dari kayu silopak bunga tersebut akan dikikis lagi untuk merapikan dan meratakan pada bagian pangkal tulila. Apabila terjadi belum padat untuk menutupi lubang pangkal tulila, maka masukan sisa kuli bambu.
Gambar 47 : Pemasukan Besi
3.4.4.3 Proses Selesainya Tulila dan Penghalusan Badan Tulila
Dan setelah dilakukan pelurusan terhadap kayu silopak bunga. Maka ditiup secara berulang-ulang, untuk menandakan tulila sudah bagus dan sempurna (gambar 48), apabila tulila sudah bagus dan sempurna, maka kalau di tiup tulila tiga suara dan ini menandakannya.
Gambar 48: Meniup Tulila
Gambar 49 : Menghaluskan Tulila
3.5 Kajian Fungsional
3.5.1 Proses Belajar
Menurut wawancara dengan bapak J Badu Purba Siboro, proses pertama yang harus dilakukan sebelum memainkan tulila adalah dengan cara melihat permainan, mendengarkan permainan tulila, menghafalkan bunyi tulila. Yang kemudian menirukan apa yang dilihat, didengarkan, dan dihafalkan.
Perlu diketahui juga untuk menjadi seorang pemain tulila tersebut adalah harus mempunyai sebuah keinginan yang kuat, yang harus bisa beradaptasi dan bersabar. Akan tetapi menurut beliau sebelum memainkan tulila orang ingin belajar dan mendapatkan hasil yang maksimal proses pertama yang harus dipelajari adalah belajar teknik meniup tulila. Untuk lagu yang pertama kali oleh bapak J badu saat memainkan tulila ialah sitalasari, yaitu lagu yang lambat. Di dalam masyarakat Simalungun untuk mempelajari musik dilakukan secara lisan yaitu sang guru bercerita dan muridnya mendengarkan apa-apa yang yang dikatakan guru tersebut.
3.5.2 Cara Memegang Tulila
Cara memegang tulila yang baik dan benar adalah dengan Tulila pada bagian depan, pemain tegak lurus (gambar 50).
3.5.3 Posisi Jari Tangan
Pada tulila simalungun, posisi jari tangan yang terjadi fleksibel (gambar 51).
Gambar 51 : Posisi Jari Tangan
3.5.4 Posisi Badan
Gambar 52 : Posisi Badan
3.5.5 Nada Yang Dihasilkan
TULILA SIMALUNGUN-SITALASARI
3.5.6 Teknik Memainkan
Memainkan tulila simalungun adalah dengan cara meniup, ditiup dengan tidak boleh putus-putus.
3.5.7 Penyajian Tulila yang baik
Berdasarkan informasi dari bapak J badu Purba, bahwa permainan tulila yang baik tidak hanya ditentukan dari kemampuan si pemain, contohnya permainan jari tangan dan penghapalan lagu. Perlu kita ketahui juga ketahanan dalam meniup dan kesehatan juga menjadi faktor yang sangat penting. Selain itu juga penghayatan dan naluri musikal sipemain tulila dalam membawakan lagu yang dimainkannya juga sangatlah penting. Apabila perasaan si pemain semakin dalam maka semakin sempurnalah rasa yang dituangkan dalam lagu. Fakror instrumen tulila juga digunakan cukup berpengaruh dalam penyajian permainan, semakin baik kualitas instrumen tulila yang digunakan, maka akan sangat mendukung untuk penyajian permaina tulila yang baik.
3.5.6 Teknik Memainkan
Memainkan tulila simalungun adalah dengan cara meniup.
3.5.7 Penyajian Tulila