• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.3. Sistem Nilai Tukar Di Indonesia

Indonesia telah mengimplementasikan sistem nilai tukar yang berbeda- beda dalam periode tiga dekade terakhir. Tahun 1960-an rezim nilai tukar yang dianut Indonesia adalah multiple exchange rate system. Sejak Agustus 1971 sampai dengan November 1978 Indonesia menganut fixed exchange rate system. Selanjutnya setelah November 1978 sampai September 1992 Indonesia menganut

1997 Indonesia menganut Managed Floating dengan crawling band system. Terakhir sejak tanggal 14 Agustus 1997 hingga saat ini BI mengubah arah kebijakan menjadi free floating/flexible system hal tersebut berkaitan dengan terjadinya currency turmoil dan keterbatasan cadangan devisa yang dimiliki BI (Kurniati dan Hardiyanto, 1999).

2.3.1. Sistem Nilai Tukar Tetap (Fixed Exchange Rate System)

Pada sistem nilai tukar tetap nilai tukar mata uang suatu negara ditetapkan secara tetap dengan mata uang asing tertentu. Dengan penetapan nilai tukar secara tetap, terdapat kemungkinan nilai tukar yang ditetapkan terlalu tinggi (over- valued) atau terlalu rendah (under-valued) dari nilai yang sebenarnya. Terdapat dua penyebab utama suatu negara meninggalkan sistem ini yaitu:

Pertama, dapat menganggu neraca perdagangan. Dengan menerapkan sistem nilai tukar tetap, maka nilai mata uang domestik akan dapat lebih mahal dibandingkan dengan nilai sebenarnya. Kondisi ini dapat mengakibatkan barang- barang ekspor suatu negara menjadi lebih mahal di luar negeri dan akan mengurangi daya kompetisi dan selanjutnya akan menurunkan volume ekspor. Disisi impor, nilai tukar yang over-valued mengakibatkan harga barang-barang impor menjadi lebih murah dan impor dapat meningkat. Secara keseluruhan nilai tukar yang over-valued akan memperburuk neraca perdagangan suatu negara.

Kedua, ketidakcukupan cadangan devisa untuk mempertahankan nilai tukar ini. Negara-negara yang memiliki cadangan devisa sedikit akan rentan terhadap serangan nilai tukar karena negara tidak mempunyai cadangan devisa

yang cukup untuk mengintervensi ke pasar valas dalam mempertahankan nilai tukar. (Simorangkir dan Suseno, 2005).

Indonesia menganut sistem nilai tukar tetap sejak Agustus tahun 1971 sampai dengan November 1978. Penerapan sistem nilai tukar tetap ini memberikan kestabilan dari waktu ke waktu namun memerlukan cadangan devisa dalam jumlah yang besar untuk melakukan intervensi. Pada sistem nilai tukar tetap ini, dengan sistem kontrol devisa dan masih belum berkembangnya lembaga keuangan khususnya pasar valas, volume transaksi devisa yang terjadi masih relatif kecil.

Pada rezim sistem nilai tukar ini pemerintah mem-peg-kan Rupiah terhadap Dollar Amerika, dimana penentuan nilai tukar mutlak dilakukan oleh pemerintah atas dasar nilai tukar riil dan BI memiliki wewenang penuh dalam mengawasi transaksi devisa. Untuk menjaga kestabilan nilai tukar pada level yang telah ditetapkan, BI melakukan intervensi aktif di pasar valas. Untuk menghindari nilai tukar yang over-valued yang dapat mengurangi daya saing produk-produk ekspor di pasar internasional, pemerintah melakukan devaluasi mata uang sebanyak tiga kali, yaitu pada tanggal 17 April 1970 dengan kurs sebesar Rp 378/USD, 23 Agustus 1971 dengan kurs sebesar Rp 415/USD dan 15 November 1978 dengan kurs sebesar Rp 625/USD.

Gambar 2.1. Keseimbangan Nilai Tukar Tetap

Gambar 2.1 (a) mengasumsikan bahwa pemerintah menetapkan kurs sebesar e dibawah keseimbangan pasar (under-valued) sebesar e*. Pada kondisi ini jumlah permintaan valas melebihi jumlah penawarannya atau dengan kata lain terjadi kelebihan permintaan (excess demand) valas sebesar D – S. Kelebihan permintaan ini akan dipenuhi oleh bank sentral melalui penjualan valas pada sektor privat untuk mencegah kurs bergerak diatas level yang telah ditetapkan. Hal tersebut menyebabkan bank sentral kehilangan sejumlah cadangan internasional sebesar D – S. Dalam rezim nilai tukar tetap, Bank Sentral harus memiliki cadangan internasional untuk menjaga kurs pada level yang telah ditetapkan. (Batiz dan Batiz, 1994)

Gambar 2.2 (b) mengasumsikan bahwa pemerintah menetapkan kurs sebesar e diatas keseimbangan pasar (over-valued) sebesar e*. Pada kondisi ini terjadi kelebihan penawaran kurs (excess supply) sebesar S – D. Kelebihan penawaran valas oleh privat sektor akan dibeli oleh bank sentral untuk mencegah

S S

D

e*

O S

S

jumlah valuta asing

D e

D

D

Kurs Kurs

jumlah valuta asing

S D e e* O D S

Sumber: Batiz dan Batiz, 1994

supaya kurs tidak bergerak dibawah level yang telah ditetapkan. (Batiz dan Batiz, 1994)

2.3.2. Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali (Managed Floating Exchange Rate System)

Menurut Simorangkir dan Suseno (2005), suatu negara menerapkan nilai tukar mengambang terkendali apabila bank sentral melakukan intervensi di pasar valuta asing tetapi tidak ada komitmen untuk mempertahankan nilai tukar pada tingkat tertentu atau pada suatu batasan target (target zone). Tujuan dari intervensi tersebut adalah untuk menstabilkan pergerakan nilai tukar secara berkala atau setidaknya mengurangi tingkat volatilitas pada tingkat moderat, serta mencegah pergerakan nilai yang terlalu besar.

Keuntungan dari sistem ini adalah pembuat kebijakan mendapat kebebasan untuk menggunakan intervensi atau kebijakan lain, seperti suku bunga, untuk mencapai nilai tukar yang diharapkan sesuai dengan kebutuhan ekonomi tanpa harus kehilangan kredibilitas. Akan tetapi, kelemahan dari sistem ini dapat mendorong kegiatan spekulasi dan (jika) bank sentral atau pemerintah tidak mempunyai cadangan devisa yang cukup, dapat mengakibatkan ambruknya sistem nilai tukar ini.

Sistem nilai tukar mengambang terkendali ini diberlakukan di Indonesia sejak November 1978 sampai 13 Agustus 1997. Dalam pelaksanaannya, sistem ini memiliki esensi yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik perekonomian pada saat itu dan berhubungan erat dengan seberapa besar BI mengendalikan nilai tukar dengan melakukan penekanan pada unsur floating-nya.

Pada sistem ini, nilai tukar akan diupayakan untuk berada dalam kisaran tertentu yang diputuskan oleh otoritas moneter. Dalam mempertahankan nilai tukar efektif, nilai tukar dari waktu ke waktu disesuaikan dengan selisih inflasi antara Indonesia dengan sekeranjang mata uang negara-negara mitra dagang utama dan kompetitor Indonesia, sehingga perkembangan nilai tukar Rupiah mudah diprediksi dan relatif stabil. Dalam menjaga kestabilan nilai Rupiah pemerintah melakukan intervensi apabila kurs mengalami fluktuasi melebihi batas atas atau batas bawah dari selisih atau spread tertentu. Kebijakan sistem nilai tukar ini diimplementasikan bersamaan dengan adanya devaluasi Rupiah pada tahun 1978 sebesar 33.6%.

Fleksibilitas nilai tukar semakin ditingkatkan melalui penerapan kebijakan nilai tukar crawling band sejak tahun 1992 sampai dengan Agustus 1997. Peningkatan fleksibilitas nilai tukar melalui pelebaran rentang intervensi telah memberikan keleluasaan kepada BI dalam melaksanakan kebijakan moneter dan mendorong berkembangnya pasar valas dalam negeri.

2.3.3. Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas (Free Floating Exchange Rate System)

Dalam sistem nilai tukar ini, mekanisme penetapan nilai mata uang domestik terhadap mata uang asing ditentukan oleh mekanisme pasar. Besarnya nilai tukar ini juga dipengaruhi oleh perilaku penjual dan pembeli khususnya para spekulan. Dengan demikian, pada sistem ini nilai mata uang akan dapat berubah setiap saat tergantung dari permintaan dan penawaran mata uang domestik relatif terhadap mata uang asing dan perilaku spekulan.

Bank Sentral tidak menargetkan besarnya nilai tukar dan tidak melakukan intervensi langsung ke pasar valuta asing. Sistem nilai tukar ini banyak dianut oleh negara-negara di dunia. Hal tersebut dikarenakan sistem ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu: Pertama, sistem ini memungkinkan suatu negara mengisolasikan kebijakan ekonomi makronya dari dampak kebijakan dari luar sehingga suatu negara mempunyai kebebasan untuk mengeluarkan kebijakan yang independen. Kedua, sistem ini tidak memerlukan cadangan devisa yang besar karena tidak ada kewajiban untuk mempertahankan nilai tukar. Tetapi sistem ini juga memiliki kelemahan, yaitu penetapan nilai tukar berdasarkan pasar dapat mengakibatkan nilai tukar berfluktuasi. Depresiasi nilai tukar dapat mengakibatkan peningkatan harga barang-barang impor dan pada akhirnya akan memicu inflasi di dalam negeri (Simorangkir dan Suseno, 2005).

Sumber : Batiz dan Batiz, 1994

S

D

O jumlah valuta asing

Kurs

e*

Gambar 2.2 Keseimbangan Kurs Pada Sistem Nilai Tukar Mengambang D

Gambar 2.2 mengasumsikan hanya ada dua mata uang yaitu mata uang domestik dan mata uang asing dan tidak ada intervensi yang sistematis dari pemerintah dalam pasar valuta asing. Jumlah permintaan valas sektor privat ditunjukkan oleh kurva DD sementara SS menunjukkan penawaran valas dan e* adalah keseimbangan kurs dalam sistem nilai tukar mengambang yang ditentukan oleh mekanisme pasar.

Pemberlakuan sistem nilai tukar mengambang bebas di Indonesia mulai tanggal 14 Agustus 1997 yang terkait dengan semakin terkurasnya cadangan devisa negara akibat dari depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika yang berawal dari adanya tekanan yang berasal dari adanya serangan spekulasi terhadap mata uang Baht Thailand yang kemudian berdampak menjalar (contagion efffect) ke mata uang Indonesia (Warjiyo, 2004).

Melemahnya nilai tukar Rupiah telah mendorong investor asing menarik dananya pada waktu yang bersamaan dari Indonesia yang diinvestasikan dalam bentuk portofolio surat-surat berharga seperti commercial papers, promisorry notes, dan medium-term notes maupun saham dan obligasi. Kepanikan mulai terjadi lagi di pasar valas terutama karena perusahaan dan bank-bank di dalam negeri ingin memborong devisa untuk membayar atau melindungi kewajiban luar negerinya dari resiko nilai tukar. Akibatnya nilai tukar Rupiah semakin merosot hingga pernah mencapai tingkat terendah sekitar Rp15.000 per Dollar AS pada awal tahun 1998.

Dalam menghadapi tekanan yang begitu besar terhadap melemahnya nilai tukar Rupiah, pada awalnya BI, sesuai dengan sistem nilai tukar mengambang

terkendali yang berlaku pada waktu itu, melakukan intervensi di pasar valas untuk mempertahankan nilai tukar pada kisaran yang telah ditetapkan. Demikian besarnya pembelian valas di pasar mengharuskan BI menyelamatkan jumlah cadangan devisa yang tersedia dengan tetap berupaya menstabilkan Rupiah, antara lain dengan memperlebar kisaran intervensi nilai tukar Rupiah dan terus mengendalikan likuiditas di pasar.

Sementara itu, tekanan Rupiah yang sangat kuat dan demikian cepat terhadap melemahnya nilai tukar Rupiah yang disertai dengan penurunan devisa dalam jumlah yang cukup besar akhirnya memaksa pemerintah untuk mengubah sistem nilai tukar yang berlaku dari sistem kebijakan nilai tukar mengambang terkendali menjadi sistem nilai tukar mengambang bebas.

Dokumen terkait