• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.7 Sistem Penunjang Keputusan Cerdas

2.7.3 Sistem Pakar ( Expert System )

Sistem pakar adalah sistem informasi berbasis komputer yang menggunakan pengetahuan dari para pakar untuk memperoleh keputusan tingkat tinggi di dalam lingkup masalah yang sempit. Pakar adalah orang yang memiliki

pengetahuan, pertimbangan dan pengalaman serta metode-metode kusus dan kemampuan untuk mengaplikasikan kemampuannya ini dalam memberikan nasehat dan memecahkan suatu persoalan. Sistem pakar mencakup beberapa fitur yaitu kepakaran (expertise), alasan-alasan simbolik ( symbolic reasoning), pengetahuan mendalam (deep knowledge) dan pengetahuan sendiri (self knowledge) (Turban et al, 2005)

Terdapat beberapa alasan mengapa sistem pakar diperlukan yaitu: 1) seorang pakar di suatu perusahaan atau organisasi akan pensiun atau meninggalkan perusahaan sehingga diperlukan suatu alat untuk menyimpan pengetahuan dari pakar tersebut untuk kelangsungan suatu organisasi, 2) pengetahuan tertentu perlu didokumentasikan dan diperbaiki di mana sistem pakar adalah sesuatu alat yang sangat baik untuk mendokumentasikan pengetahuan profesional supaya bisa diuji dan diperbaiki kembali, 3) pendidikan dan latihan adalah sesuatu yang penting tetapi sulit dilakukan, dimana sistem pakar merupakan perangkat yang bagus untuk membantu proses latihan/training dan mendistribusikan pengetahuan baru kepada pekerja baru di dalam suatu organisasi. 4) pakar seringkali langka dan mahal. Sistem pakar memungkinkan pengetahuan ditransfer dengan lebih mudah dan biaya yang lebih rendah.

Beberapa keterbatasan sistem pakar adalah: 1) pengetahuan tidak selalu tersedia, 2) kadang-kadang sulit untuk menyerap pengetahuan dari manusia, 3) pendekatan yang digunakan oleh beberapa pakar kadang-kadang berbeda-beda untuk situasi yang sama, 4) kadang-kadang sulit bahkan untuk pakar yang sangat ahli untuk menyarikan pengetahuan yang berkaitan dengan situasi tertentu, 5) sistem pakar bekerja dengan baik hanya untuk area pengetahuan terbatas, yang 6) sebagian besar pakar tidak memiliki cara yang bebas untuk menguji apakah kesimpulan mereka masuk akal, 7) kosakata atau jargon yang digunakan para pakar untuk mengekspresikan pengetahuan seringkali terbatas dan tidak dimengerti oleh orang lain, 8) untuk memindahkan pengetahuan dari para pakar dibutuhkan knowledge engineer yang langka dan mahal sehingga membuat biaya konstruksi sistem pakar menjadi sangat mahal, dan 9) tidak adanya kepercayaan pengguna akhir (end users) untuk menggunakan sistem pakar tersebut (Turban et al, 2005).

Marimin (2005) menguraikan tahapan-tahapan dalam pembentukan sistem pakar adalah sebagai berikut : 1) identifikasi masalah, 2) mencari sumber pengetahuan, 3) akuisisi pengetahuan, 4) representasi pengetahuan, 5) pengembangan mesin inferensi, 6) implementasi, dan 7) pengujian.

Sistem pakar terdiri dari beberapa komponen-komponen yang menyusunnya, yaitu : 1) Fasilitas akuisisi (penembahan) pengetahuan, 2) basis pengetahuan (knowledge based system), 3) mesin inferensi (inference engine), 4) faisilitas untuk penjelasan dan justifikasi, dan 5) penghubung antara pengguna dan sistem pakar (user interface).

Sumber pengetahuan yang berasal dari para pakar perlu memenuhi beberapa kriteria tertentu tentang yang dimaksud dengan ahli (pakar). Menurut Marimin (2005), ahli bisa berupa praktisi atau ilmuwan. Praktisi adalah orang yang bekerja dan berpengalaman dalam bidang tertentu, sedangkan ilmuwan adalah orang yang mempelajari dan mendalamai suatu pengetahuan lewat jalur formal (akademis).

Beberapa alat untuk representasi pengetahuan yang diperoleh dari para pakar atau sumber lainnya seperti literatur atau bacaan adalah : 1) Ekspresi logika, 2) jaringan semantik, 3) kaidah produksi, 4) frame, 5) obyek-atribut nilai, 6) script, 7) jaringan neural, 8) representasi fuzzy, 9) tabel keputusan, dan 10) pohon keputusan (Marimin, 2005 ; Turban et al, 2005).

Pohon keputusan (decision tree) merupakan salah satu alat representasi pengetahuan yang sering digunakan pada sistem pakar. Solusi pada pohon keputusan dihasilkan dari serangkaian solusi yang mungkin melalui serangkaian keputusan atau pertanyaan yang akan memangkas (mengurangi) area pencarian solusi. Masalah yang sesuai menggunakan pohon keputusan adalah masalah yang telah menyediakan jawaban untuk masalah tersebut dari satu set atau beberapa alternatif jawaban yang mungkin (Giarratano dan Riley, 2005).

Pohon keputusan terdiri dari sejumlah simpul (nodes) dan cabang (branch) yang menghubungkan simpul orang tua (parents) ke simpul anak (child) dari bagian atas sampai bagian bawah dari pohon keputusan. Simpul paling atas disebut juga sebagai akar (roots). Akar tidak memiliki parents, sedangkan setiap simpul yang di bawahnya hanya memiliki satu parent. Simpul paling bawah yang

tidak memiliki anak disebut sebagai simpul daun (leaf). Simpul daun merepresentasikan semua solusi (keputusan) yang diturunkan melalui pohon keputusan. Secara umum pohon keputusan menggunakan beberapa kriteria untuk memilih mana cabang yang akan dilalui sehingga nantinya hanya terpilih satu cabang yang menghasilkan keputusan (Giarratano dan Riley, 2005).

Teknik penalaran untuk membangun suatu pohon keputusan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu : 1) Penalaran maju (forward chaining) dan 2) penalaran mundur (backward reasoning) (Kusumadewi, 2003 ; Marimin, 2005).

Pohon keputusan kemudian dapat dikonversi menjadi serangkaian aturan (rules) yang direpresentasikan oleh jalur (path) yang berbeda-beda pada pohon keputusan. Aturan yang dihasilkan dari pohon keputusan selanjutnya digunakan sebagai basis pengetahuan yang diperlukan pada sistem pakar.

Attar (2005) menyebutkan bahwa representasi pengetahuan menggunakan pohon keputusan memiliki beberapa kelebihan sebagai berkut : 1) bersifat kompak dengan tampilan grafis yang mudah dipahami dan diimplementasikan, 2) proses penalaran (inference) melalui pohon keputusan lebih cepat daripada inferensi langung dari aturan-aturan karena tidak membutuhkan proses pencarian yang rumit, dan 3) strategi penalaran yang kompleks jauh lebih mudah untuk diimplementasikan dengan menggunakan pohon keputusan dibandingkan menggunakan teknik lainnya.

2.8 Model Penjadwalan Flowshop

Penjadwalan adalah suatu rencana pengaturan urutan kerja serta pengalokasian sumber, baik berupa waktu maupun fasilitas yang ada untuk menyelesaikan sekumpulan tugas dalam jangka waktu tertentu. Penjadwalan bisa dikatakan sebagai suatu fungsi pengambilan keputusan, yaitu suatu proses untuk menentukan jadwal yang mengalokasikan aktifitas pada sumber daya (Baker 1974). Selanjuttnya Fogarty et al (1991) menyatakan penjadwalan adalah suatu penentuan saat memulai suatu tugas atau order dan saat penyelesaian tugas-tugas atau order tersebut, termasuk kapan saat tugas tersebut masuk dan keluar dari setiap setasiun kerja atau departemen.

Definisi yang lain menyatakan bahwa penjadwalan pesanan (job) berkaitan dengan bagaimana mengalokasikan job pada mesin-mesin yang tersedia dalam urutan tertentu sehingga tujuan penjadwalan dapat tercapai dan kendala-kendala yang ada dapat diatasi dengan memuaskan (Kusiak, 1990; Pinedo dan Chao, 1999; Yandra dan Tamura, 2007).

Menurut Bedworth (1987) beberapa tujuan dari aktifitas penjadwalan adalah: 1) memanfaatkan kemampuan dari sumber yang ada semaksimal mungkin dengan mengurangi waktu menganggur dari sumber sehingga dapat meningkatkan produktivitas mesin, 2) mengurangi persediaan barang setengah jadi dalam proses, 3) mengurangi keterlambatan setiap pekerjaan, dan 4) membantu pengambilan keputusan mengenai perencanaan kapasitas fabrik dan jenis kapasitas yang dibutuhkan.

Berdasarkan pola aliran proses yang terdapat pada suatu lantai produksi, masalah penjadwalan pesanan (job) dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

flow shop dan job shop. Pada proses flow shop, semua komponen atau unit produk yang akan diproses mengalir pada arah yang sama dari satu mesin ke mesin lainnya, sedangkan pada proses job shop, komponen-komponen atau unit produk yang akan diproses bisa mengalir pada arah yang berbeda-beda dari satu mesin ke mesin lainnya, dan juga bisa terjadi satu mesin dilewati lebih dari satu kali oleh komponen yang sama (Kusiak, 1990).

M1 M2 M3 M4

P1

P2

P3

Gambar 7 Pola Aliran Proses Flow Shop (Kusiak, 1990).

Pada tipe flow shop yang sederhana (pure / simpe flow shop), semua komponen (job) diproses pada semua mesin dengan urutan yang persis sama untuk setiap job. Pola aliran flow shop mempunyai beberapa variasi yaitu:

1. Flexible flow-shop

Kondisi flexible flow shop disebut juga Skip flow shop (Morton dan Pentico, 1993) atau General flow shop. Pada flexible flow shop, tugas (job) yang datang tidak harus diproses pada semua mesin, tetapi dapat melompati beberapa mesin (Gambar 7)

2. Hybrid flow shop

Pada hybrid flow shop (compound flow shop), terjadi kombinasi antara proses produksi flow shop dengan proses produksi dengan mesin paralel (multiple processor). Setiap tahapan proses yang pada tipe pure flow-shop atau general flow-shop terdiri dari satu mesin, sekarang terdiri dari beberapa mesin.

Stage 1

Stage 2

Stage 3

Gambar 8 Hybrid Flow shop (Adaptasi dari Morton & Pentico, 1990).

Pola aliran hybrid flow-shop memiliki beberapa variasi yang antara lain ditentukan oleh (Jin et al, 2002; Kurz & Askin, 2003; Ruiz dan Maroto, 2006). 1. Jumlah tahapan (stage)

Penelitian tentang penjadwalan flowshop dengan beberapa tahapan (multiple stage) sudah banyak dilakukan. Semakin banyak tahapan yang terdapat pada suatu kasus penjadwalan, semakin kompleks model penjadwalan yang dihasilkan.

2. Karakteristik mesin pada satu stage

Mesin-mesin paralel yang terdapat pada suatu stage bisa bersifat identik atau tidak. Pada stage dengan mesin-mesin yang bersifat identik, suatu job bisa diproses pada mesin mana saja yang terdapat pada stagetersebut, namun pada

stage dengan mesin tidak identik, suatu job mungkin hanya bisa dikerjakan pada mesin tertentu yang terdapat pada stage tersebut

3. Fleksibilitas aliran

Pada penjadwalan hybrid flowshop dengan aliran yang fleksibel (flexible flow lines), setiap job tidak harus melalui setiap tahapan proses.

Beberapa karakteristik proses dan kendala yang dihadapi pada lantai produksi juga dapat meningkatkan kompleksitas model penjadwalan flow-shop, seperti yang diuraikan oleh Pinedo dan Chao, 1999:

1. Pengurutan pekerjaan yang dipengaruhi oleh waktu setup (sequence dependent setup times).

Kondisi yang terjadi jika antara dua pekerjaan yang berurutan pada suatu mesin dibutuhkan waktu setup, dimana lamanya waktu setup ini tergantung kepada urutan job yang diproses pada mesin tersebut (Kurs dan Askin, 2003). 2. Interupsi Pekerjaan (Preemptions)

Model penjadwalan yang mempertimbangkan adanya interupsi (masuknya job baru) pada jadwal yang sedang dilaksanakan. Hal ini terjadi jika terdapat job dengan prioritas yang tinggi dan harus diproses segera.

3. Adanya peruntukan mesin untuk suatu job (machine eligibility)

Kondisi dimana suatu job tidak dapat diproses pada mesin mana saja yang tersedia pada suatu stage, melainkan hanya bisa diproses pada mesin tertentu. Situasi ini terjadi jika mesin-mesin paralel yang terdapat pada satu stage tidak sama (identik), misal terdapat perbedaan kecepatan atau spesifikasi lain.

Tantangan dalam penjadwalan flowshop adalah bagaimana menentukan urutan pemrosesan job yang optimum sehingga ukuran performansi penjadwalan seperti makespan, total flowtime atau ukuran performansi lainnya dapat diminimasi (Yandra dan Tamura (2007).

Pinedo dan Chao (1999) menjelaskan bahwa beberapa tujuan yang menjadi ukuran dari performansi penjadwalan adalah:

1. Keluaran (Throughput) dan Makespan

Meningkatkan atau memaksimasi keluaran (tingkat output) merupakan salah satu tujuan yang penting bagi banyak perusahaan. Upaya untuk meminimasi makespan berkaitan erat dengan tujuan untuk meningkatkan output.

Algoritma heuristik yang bertujuan untuk meminimasi makespan pada lingkungan mesin dengan jumlah job terbatas akan cenderung untuk memaksimasi tingkat output.

Makespan (Cmax) adalah waktu ketika job terakhir meninggalkan sistem (selesai diproses), di mana:

Cmax = max (C1, ..., Cn) untuk Cj = 1, ..., n ... (1)

Cj = waktu job j selesai diproses (completion time dari job j)

2. Batas waktu yang ditetapkan (Due Date)

Upaya untuk menepati batas waktu yang ditetapkan (due date) pada suatu model penjadwalan merupakan salah satu tujuan penting yang biasanya dilihat dari keterlambatan (lateness) dari suatu job. Keterlambatan biasanya diukur dari keterlambatan maksimum (maximum lateness), jumlah pesanan (job) yang terlambat (number of tardy jobs) , rata-rata keterlambatan, dan total keterlambatan yang berbobot (total weighted tardiness).

Keterlambatan dari suatu job j (Lj) didefinisikan sebagai:

Lj = Cj – dj ... (2)

Dimana : dj= due date dari job j.

Salah satu tujuan penjadwalan adalah meminimasi keterlambatan maksimum (Lmax) yang didefinisikan:

Lmax = max (L1, ... Ln) ... (3)

Keterlambatan (tardiness) dari suatu job j didefinisikan sebagai

Tj = max (Cj– dj, 0) ... . (4)

Fungsi tujuan adalah untuk meminimasi total tardiness sebagai berikut : ... (5) Jika job-job yang dijadwal memiliki prioritas yang berbeda-beda, maka digunakan fungsi tujuan meminimasi total weighted tardiness sebagai berikut:

... (6) Dimana wj = bobot dari job j

3. Biaya Setup

Upaya untuk memaksimasi throughput atau meminimasi makespan seringkali sejalan dengan upaya untuk meminimasi waktu setup. Namun pada beberapa

kondisi, biaya setup tidak tergantung kepada waktu setup. Misalnya terdapat beberapa mesin yang proses setupnya bisa menghasilkan banyak buangan (waste) sehingga meningkatkan biaya setup. Pada situasi ini upaya meminimasi biaya setup merupakan suatu tujuan yang berbeda dengan upaya untuk meminimasi waktu setup

4. Persediaan Barang Setengah Jadi (Work-in-Process Inventory)

Ukuran performansi yang dapat mewakili Work-in Process (WIP) adalah rata- rata waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu output (throughput time). Waktu output (throghput time) adalah waktu yang diperlukan suatu job

berada di dalam sistem. Upaya untuk meminimasi waktu output akan meminimasi tingkat WIP. Minimasi waktu output berkaitan erat dengan minimasi jumlah waktu peyelesaian setiap job (completion time), sehingga fungsi tujuannya menjadi :

... (7) Jika setiap job memiliki prioritas yang berbeda, maka tujuan untuk meminimasi WIP diukur melalui minimasi jumlah weighted completion time

sebagai berikut :

... (8)

Dokumen terkait