• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III GAMBARAN UMUM KABUPATEN KARO

3.2.2 Sistem Pemerintahan, Sistem Kemasyarakatan

Pemerintahan Desa Melas dipimpin oleh seorang Kepala Desa. Kepala Desa saat ini adalah Dirman Kemit. Masyarakat Desa Melas memiliki sistem kemasyarakatan dan sistem kekerabatan sama seperti masyarakat Karo pada umumnya. Sistem kemasyarakatan berupa merga silima, tutur siwaluh dan mencakup sistem kekerabatan yaitu rakut sitelu seperti yang telah diuraikan sebelumnya.

3.2.3 Sistem Mata Pencaharian, Agama dan Kependudukan.

Desa Melas memiliki iklim yang sejuk dan tanah yang subur untuk bercocok tanam sehingga 90% dari penduduk bekerja sebagai petani dan 10% lagi bekerja sebagai pegawai dan pedagang. Tanaman yang ditanam biasanya adalah tanaman muda seperti sayuran, namun ada juga petani yang menanam tanaman tua seperti jeruk. Dari hasil pertanian tersebut yang mempunyai daya jual yang paling tinggi adalah sayuran. Di samping bertani, masyarakat juga memelihara ternak berupa lembu, kerbau dan unggas. Penduduk Desa Melas terdiri dari 103 kepala keluarga dengan jumlah laki-laki 244 jiwa dan perempuan 222 jiwa. Mayoritas masyarakatnya 80% beragama protestan dan 20% beragama Islam dan Katolik. Desa Melas memiliki satu buah Poliklinik Desa dengan satu orang bidan dan satu buah gereja yaitu GBKP (Gereja Batak Karo Protestan). Masyarakat yang beragama Islam atau Katolik melaksanakan ibadah di rumah ibadah yang ada di kecamatan yang jaraknya tidak jauh dari desa tersebut.

POTENSI RUMAH ADAT TRADISONAL KARO DESA MELAS SEBAGAI DAYA TARIK WISATA BUDAYA DI KABUPATEN KARO

4.1 Bagian-bagian Rumah Adat dan Fungsi Rumah Adat

4.1.1 Bagian-bagian Rumah Adat

a. Tiang (binangun) berbentuk bulat dan terbuat dari kayu besar yang digunakan sebagai penopang rumah untuk dapat berdiri tegak dan kokoh. Dapat juga dikatakan bahwa tiang tersebut gunanya untuk memungkinkan adanya jarak antara tanah dengan lantai rumah.

b. Tangga terbuat dari kayu atau bambu. Fungsinya sebagai jalan untuk naik dan turun dari dan ke rumah adat. Biasanya anak tangga berjumlah lima, menggambakan lima marga yang ada pada masyarakat Karo. Dalam satu rumah adat terdapat dua tangga yang terletak di masing-masing pintu masuk dan keluar rumah adat tersebut.

c. Ture terbuat dari bambu yang disusun. Fungsinya sebagai teras rumah adat. Ture merupakan tempat pertemuan kaum muda mudi pada waktu malam hari

dan bisa juga sebagai tempat menganyam bagi kaum wanita. Jadi, apabila ingin masuk ke dalam rumah adat, harus menaiki tangga dan melewati ture tersebut.

d. Lantai rumah yaitu sebagai tempat mengadakan aktifitas atau tempat kegiatan dari anggota keluarga. Lantai ini dibuat dari kayu ataupun papan.

e. Dapur yaitu sebagai tempat memasak dan merupakan pemisah antara jabu yang satu dengan jabu yang lain. Dapur terletak di dalam rumah sehingga dalam satu rumah adat terdapat empat dapur. Satu dapur memiliki 5 tungku yang terbuat dari batu. Tungku digunakan untuk menopang alat masak karena jaman dahulu untuk memasak masih mempergunakan kayu. Jika dilihat dari atas, susunan tungku seperti segitiga yang berhadapan.

f. Tiang penyokong terbuat dari kayu. Merupakan tiang besar yang letaknya di tengah-tengah terus sampai ke bubungan rumah. Sesuai dengan namanya, tiang ini berfungsi untuk menyokong serta memperkokoh berdirinya rumah.

g. Para terbuat dari kayu yang disusun. Letaknya tepat di atas dapur, digunakan untuk tempat menyimpan alat-alat dapur dan kayu api.

h. Dinding disebut juga derpih. Dinding rumah adat adalah papan yang dipotong, disusun berdiri dan pemasangannya agak miring. Menggambarkan kerendahan hati dari orang yang mendiami rumah tersebut. Tumpuan derpih sebelah bawah disebut melmelen. Dinding ini berguna untuk melindungi penghuni rumah adat dari angin, hujan dan binatang.

i. Atap terbuat dari ijuk dengan tebal kira-kira tiga inci. Berfungsi melindungi penghuni rumah dari panas, hujan dan juga melindungi bahan bangunan

supaya tidak cepat rusak. Bahan untuk dijadikan atap ialah ijuk yang agak lebar dan besar, sedangkan bagian ijuk yang kecil dan halus dijadikan kelempu (atap bagian bawah).

j. Tali Retret (Pengeretret) terbuat dari ijuk dan berfungsi sebagai pengikat dinding yang terbuat dari bahan papan karena rumah adat sama sekali tidak

menggunakan paku. Pengeretret ini disusun hingga bermotif cecak, sering juga disebut beraspati yang menurut kepercayaan suku karo dulu merupakan lambang dari dewa kemakmuran.

k. Ayo-ayo terbuat dari bambu yang dianyam. Berbentuk segitiga dan terletak di

depan atas searah dengan pintu rumah adat. Pemasangannya miring sama seperti memasang dinding yang nggambarkan kerendahan hati penghuni rumah. Dikarenakan rumah adat karo memiliki dua pintu maka setiap rumah adat memiliki dua ayo-ayo.

l. Tanduk kerbau terbuat dari ijuk yang dibentuk seperti tanduk kerbau. Terletak di masing-masing ujung ayo-ayo rumah adat dengan posisi tunduk dan saling membelakangi. Tanduk kerbau pada ujung bubungan atap rumah menandakan rasa hormat masyarakat karo terhadap orang yang datang dari luar serta keuletan dalam berjuang. (Sitepu, 1995; Tarigan, 1988; Sitanggang, 1994; Prinst, 1985)

Fungsi dari rumah adat tidak berbeda dengan fungsi rumah sekarang ini, yaitu suatu bangunan yang dijadikan tempat berlindung, maka fungsi rumah adat adalah tempat untuk berlindung dari panas, hujan, bahaya dari luar/ binatang buas dan sebagai salah satu sarana untuk bersosialisasi dengan saudara, sebagai tempat untuk beristirahat melepas lelah setelah seharian bekerja di luar rumah.

4.2 Jabu dalam Rumah Adat

Rumah adat biasanya dihuni oleh empat atau delapan keluarga. Dalam masyarakat karo disebut jabu. Jadi, dalam satu rumah adat yang dihuni oleh delapan keluarga memiliki delapan jabu. Penempatan keluarga dalam rumah adat (jabu) dilakukan berdasarkan ketentuan adat istiadat karo. Berikut akan disinggung sedikit mengenai sistem kemasyarakatan dan sistem kekerabatan masyarakat Karo yang biasanya mendiami rumah adat. Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan yang dikenal dengan nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu (Daliken Sitelu). Masyarakat Karo menganut sistem disebut merga diperuntukkan bagi beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Etnis Karo terdiri

dari 5 kelompok marga yang disebut merga silima. Kelima marga tersebut adalah:

1. Karo-karo 2. Tarigan

3. Ginting 4. Sembiring 5. Perangin-angin

Kelima marga ini masih mempunyai cabang masing-masing. Merga diperoleh secara otomatis dari ayah dalam arti, masyarakat Karo menganut sistem garis keturunan patrilineal. Dengan demikian, setiap orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara. Kalau laki-laki bermarga sama, maka mereka

disebut ersenina. Hal ini juga berlaku bagi perempuan. Perempuan dengan beru yang sama juga disebut ersenina. Sementara hubungan seorang laki-laki dengan perempuan yang bermarga sama, disebut erturang, sehingga perkawinan antara pihak yang bermarga sama tidak diijinkan.

Sistem kekerabatan masyarakat Karo disebut Daliken Sitelu atau Rakut Sitelu. Secara etymologis, daliken Sitelu berarti tungku yang tiga (Daliken = batu tungku, Si = yang, Telu = tiga). Unsur Daliken Sitelu ini adalah

Kalimbubu (Hula-hula (Toba), Mora (Mandailing))

Sembuyak/Senina (Dongan sabutuha (Toba), Kahanggi (Mandailing))

Anak Beru (Boru (Toba, Mandailing))

Tungku adalah tempat memasak bagi keluarga yang tinggal dalam rumah adat maupun yang tidak tinggal dalam rumah adat karena jaman dahulu belum ada kompor

sehingga untuk memasak masih mempergunakan kayu. Tungku terbuat dari batu. Jumlah tungku yang digunakan ada tiga dan disusun seperti bentuk segitiga. Sehingga apabila alat untuk memasak diletakkan di atasnya, ketiga tungku ini akan menopangnya dengan kokoh. Batu tersebut melambangkan kekokohan dan kebersamaan. Ketiga batu dari tungku tersebut melambangkan sistem kekerabatan masyarakat karo yang terikat dalam sistem kekerabatan daliken sitelu. Dengan demikian tungku adalah lambang kekokohan dan kebersamaan sistem kekerabatan masyarakat karo. Setiap anggota masyarakat Karo pada waktunya akan berada di salah satu posisi tersebut, baik sebagai kalimbubu, senina/sembuyak atau anak beru dalam lingkungan kekerabatannya.

Tutur siwaluh adalah konsep lain dari sistem kekerabatan masyarakat Karo, yang

berhubungan dengan tuturan sebagai berikut:

1. puang kalimbubu 2. kalimbubu 3. senina 4. sembuyak 5. senina sipemeren 6. senina sepengalon/sedalanen 7. anak beru

Berikut adalah susunan jabu yang menempati rumah adat tradisional masyarakat karo:

a. Jabu Bena Kayu

Dinamai juga jabu raja atau jabu rambu-rambu. Pada umumnya jabu ini didiami oleh pihak merga taneh (merga orang yang mendirikan kampung itu). Dialah yang menjadi kepala atau penghulu di dalam rumah tersebut, berhak memberi keputusan pada setiap masalah yang ada di dalam rumah adat itu seperti dalam perselisihan, pelaksanaan adat atau segala sesuatu yang menyangkut kepentingan anggota rumah dan juga sebagai penanggung jawab di dalam dan di luar rumah.

b. Jabu Ujung Kayu

Jabu ini bertindak untuk mewakili jabu bena kayu untuk menyampaikan

perintah terhadap anggota di rumah itu atau disebut sebagai tangan kanan dari jabu bena kayu. Jabu ini didiami oleh anak beru dari bena kayu dan

bertanggung jawab mencari pemecahan masalah yang timbul pada setiap anggota keluarga.

c. Jabu Sedapuren Bena Kayu (yang satu dapur dengan bena kayu)

Jabu ini dinamai jabu peningge-ninggel. Peninggel-ninggel artinya pencari informasi atau berita. Jabu ini didiami oleh senina atau anak beru menteri

dari jabu bena kayu. Bisa juga anak beru ujung kayu. Jabu ini berfungsi untuk mencari informasi atau berita baik di dalam maupun di luar jabu mengenai adat. Kepala keluarga dari jabu sedapur bena kayu berhak menggantikan peranan dari jabu bena kayu apabila penghuni dari jabu bena kayu berhalangan atau meninggal.

d. Jabu Sedapuren Ujung Kayu (yang satu dapur dengan jabu ujung kayu)

Jabu ini ditempati oleh sembuyak dari jabu ujung kayu. Sering disebut sebagai

jabu arinteneng. Arinteneng adalah semacam kain yang bagus buatannya dan

biasanaya dipakai orang untuk raleng tendi dan jadi perhiasan pada binangun (tiang) dari rumah baru yang dimasuki. Tujuannya untuk menyelamatkan anggota keluarga dalam rumah dari gangguan roh. Tugas jabu ini adalah untuk engkapuri belo, menyerahkan belo kinapur (persentabin) kepada tamu jabu bena kayu.

e. Jabu Lepar Bena Kayu (berseberangan dengan jabu bena kayu)

Jabu ini disebut juga jabu sungkun berita. Penghuni jabu ini adalah sembuyak

terjadi di luar rumah dan menyampaikannya kepada jabu bena kayu. Jabu ini bersama dengan jabu bena kayu merumuskan penyelesaian masalah apabila terjadi pada salah satu jabu atau keluarga.

f. Jabu Lepar Ujung Kayu (berseberangan dengan jabu ujung kayu)

Jabu ini disebut jabu simangan minem dan didiami oleh kalimbubu dari jabu

bena kayu. Fungsi jabu ini mengambil keputusan apabila ada persidangan

dalam rumah. Penghuni rumah ini sangat dihormati sehubungan dengan kedudukannya sebagai kalimbubu. Dalam pesta adat, jabu ini akan mendapat tempat duduk yang terhormat.

g. Jabu Sedapur Lepar Bena Kayu

Jabu ini didiami oleh sipemeren atau siparibanen jabu bena kayu. Sering juga

disebut jabu singkapur belo yang kewajibannya adalah jika raja kedatangan tamu maka istri (ibu) dari jabu ini akan datang untuk mengatur belo dan memberikannya kepada tamu tersebut.

h. Jabu Sedapur Lepar Ujung Kayu

Jabu ini disebut jabu bicara guru atau dukun. Kewajibannya adalah

mengatur hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan serta bertindak sebagai penolak bala di dalam rumah tersebut. (Sitepu, 1995; Tarigan, 1988; Sitanggang, 1994; Prinst, 1985)

Susunan Jabu pada rumah adat karo dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 4.1 Susunan Jabu pada Rumah Adat Tradisional Karo

a c h f

e g d b

( Sumber :

4.3. Bentuk dan Fungsi Ornamen pada Rumah Adat Karo

Rumah adat memiliki beberapa ornamen atau ragam hias. Adapun nama, jenis, fungsi dan makna dari beberapa ornamen yang ada pada rumah adat adalah:

a. Tapak Raja Sulaiman

Bentuk: Ornamen ini mengambil nama dari seorang raja yang dikenal sangat sakti dan berilmu tinggi. Konon ornamen digunakan sebagai petunjuk jalan supaya tidak tersesat di perjalanan. Ornamen ini terdapat pada dinding melmelen di pangkal dan ujungnya.

Fungsi: Ornamen ini mempunyai fungsi mistik sebagai penahan roh-roh jahat, penolak bala, penolak gatal-gatal dan keracunan.

Bentuk: Bentuknya seperti bintang delapan sebagai gambaran arah mata angin. Hiasan ini terletak di bagian tengah melmelen sesudah Bindu Natogog. Ornamen ini mengandung arti perlambangan mata angin

sebagai petunjuk arah dunia.

Fungsi: Fungsinya secara magis adalah menentukan hari dan bulan yang baik untuk manusia. Ornamen ini juga digunakan untuk mencari benda yang hilang.

c. Embun Sikawiten

Bentuk: Ornamen ini berbentuk hiasan ini dibuat berulang-ulang dan saling mengait satu sama lain untuk mengisi bidang melmelen yang mengandung arti kemakmuran.

Fungsi: Hanya berfungsi sebagai hiasan tanpa adanya unsur magis.

d. Bunga Gundur dan Pantil Manggis

Bentuk: Ornamen ini memiliki bentuk seperti bunga labu dan bagian bawah buah manggis. Kedua ornamen ini dibuat mendampingi motif Tapak Raja Sulaiman sebagai penambah keindahan. Ornamen ini dianggap

sebagai simbol keindahan dan tidak mengandung unsur mistik.

Fungsi: Fungsiornamen ini adalah sebagai hiasan.

Bentuk: Kedua ornamen ini berbentuk awan berarak yang dibuat berulang-ulang pada tepi bawah dan atas melmelan sebagai hiasan yang melambangkan kecerahan.

Fungsi: Fungsi ornamen ini adalah sebgai hiasan.

f. Teger Tudung

Bentuk: Ornamen ini berbentuk kubah mesjid dan dibuat di tengah melmelan pada pangkal dan ujungnya sebagai hiasan. Teger Tudung mengartikan ketampanan dengan simbol kewibawaan.

Fungsi: Ornamen ini berfungsi sebagai lambang keagungan.

g. Hiasan Cuping

Bentuk: Pada sudut rumah sebagai batas dinding (derpih) depan dan samping terdapat sebidang papan yang berbentuk telinga. Sedangkan pada bagian bawah cuping ini sering dihiasi dengan hiasan kemping yang melambangkan anting-anting. Cuping mengandung arti pendengaran tajam.

Fungsi: Fungsinya sebagai nasehat bahwa pemilik rumah harus pandai menyaring barita-berita atau ucapan orang yang didengar.

Bentuk: Ornamen ini berbentuk cecak dengan kepala berada di bagian kiri dan kanan. Bahannya terbuat dari tali ijuk yang ditempelkan pada dinding dan sebagai hiasan yang mengelilingi dinding (derpih) rumah.

Fungsi: Ornamen ini dianggap sebagai simbol kekuatan penangkal setan dan persatuan masyarakat. Selain itu, ornamen ini berfungsi untuk memperkuat ikatan antar dinding (fungsi konstruksi).

i. Pengalo-ngalo ( bendi-bendi)

Bentuk: Pengalo-ngalo (bendi-bendi) merupakan ukiran sebagai hiasan daun pintu. Apabila masuk ke dalam rumah, pengalo-ngalo ini harus dipegang untuk menjaga keseimbangan karena pintu rumah adat lebih kecil dari pintu rumah biasanya. Hiasan ini sebagai lambang kesopanan antara orang yang datang (tamu) dengan penghuni rumah.

Fungsi: Fungsi ornamen ini sebagai penyambut (pengalo-ngalo) tamu. (Sitepu, 1995; Tarigan, 1988; Sitanggang, 1994; Ginting 1994)

PENUTUP

Sumatera Utara adalah salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki potensi wisata, baik di bidang alam maupun budaya. Sektor pariwisata menjadi sangat penting ketika potensi kepariwisataan yang ada menjadi sektor yang dapat diandalkan untuk memberikan devisa (pemasukan) yang besar bagi negara, daerah dan masyarakat setempat. Seperti yang kita ketahui bahwa Kebudayaan Indonesia sebagai salah satu daya tarik kepariwisataan terdapat di berbagai daerah di nusantara. Begitu juga halnya di provinsi Sumatera Utara, keanekaragaman budaya yang dimiliki yang menjadi karakteristik atau keunikan masing-masing daerah adalah merupakan potensi kepariwisataan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Kabupaten Karo adalah salah satu daerah tujuan wisata yang memiliki beberapa objek wisata yang cukup potensial dan menarik. Rumah adat tradisional karo merupakan daya tarik wisata yang cukup potensial dalam meningkatkan kepariwisataan Kabupaten Karo. Keunikan arsitektur dan ornamen-ornamen rumah adat dapat menambah daya tarik bangunan tersebut. Desa Melas adalah salah satu desa di Tanah Karo yang memiliki dua rumah adat tradisional. Potensi yang ada di Desa Melas, baik potensi sumber daya alam, sumber daya budaya maupun sumber daya manusia dapat diberdayakan secara lebih optimal sehingga meningkatkan kualitas kepariwisataan Kabupaten Karo dan memberi manfaat bagi masyarakat karo umumnya dan masyarakat Desa Melas khususnya.

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Karo.2010.

Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Karo. 2010.

Ginting, Samaria. 1994. Ragam Hias (Ornamen) Rumah Adat. Medan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Museum Negeri Propinsi Sumatera Utara.

Ismayanti. 2010. Pengantar Pariwisata. Jakarta. PT.Gramedia Widiasarana Indonesia.

Kabupaten Karo

Karyono, A. Hari. 1997. Kepariwisataan. Jakarta. PT.Gramedia Widiasarana Indonesia.

Kerangka Rumah Adat Tradisional Karo

Maret 2011

Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Renika Cipta. Prinst, Darwan, 1985. Sejarah dan Kebudayaan Karo. Jakarta. Yrama

Sitanggang, Hilderia. 1994, Arsitektur Tradisional Batak Karo, Medan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Sitepu, Sempa. 1995. Sejarah Pijer Podi Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia, Medan. Adiyu

Tarigan, Henry Guntur. 1988. Percikan Budaya Karo. Medan. Yayasan Merga Silima

Yoeti,Oka A., 1996. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung. Angkasa.

LAMPIRAN FOTO

Pemuda Desa Melas sedang bergotong royong memperbaiki bagian rumah adat yang rusak.

Dokumen terkait