• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. PENERAPAN PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM

B. Sistem Pemidanaan di Indonesia

Andi Hamzah memberikan arti sistem pidana dan pemidanaan sebagai susunan (pidana) dan cara pemidanan. M. Sholehuddin menyatakan bahwa masalah sanksi merupakan hal yang sentral dalam hukum pidana karena seringkali menggambarkan nilai-nilai sosial budaya suatu bangsa. Artinya pidana mengandung

tata nilai (value) dalam suatu masyarakat mengenai apa yang baik dan yang tidak baik, apa yang bermoral dan apa yang amoral serta apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang109

Sistem merupakan jalinan dari beberapa unsur yang menjadi satu fungsi. Sistem pemidanaan memegang posisi strategis dalam upaya untuk menanggulangi tindak pidana yang terjadi. Sistem pemidanaan adalah suatu aturan perundang- undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan. Apabila pengertian sistem pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana. Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana subtantif, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pemidanaan tidak dapat terlepas dari jenis-jenis pidana yang diatur dalam hukum positif suatu negara. Pemidanaan yang dilakukan oleh suatu masyarakat yang teratur terhadap pelaku kejahatan dapat berbentuk menyingkirkan atau melumpuhkan para pelaku tindak pidana, sehingga pelaku tersebut tidak lagi menggangu di masa yang akan datang. Cara menyingkirkan dapat dilakukan bermacam-macam yaitu berupa pidana mati, pembuangan, pengiriman keseberang lautan dan sampai pemenjaraan. Secara

109

Ekaputra, Mohammad dan Abul Khair, Sistem Pidana Di Dalam KUHP Dan

berangsur-angsur ada kecenderungan cara pemidanaan itu mengalami pergeseran dari waktu ke waktu.

Dalam sistem pemidanaan di dalam K.U.H.Pidana diatur Jenis-jenis pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tercantum dalam Pasal 10. Pasal ini sebagai dasar bagi hakim dalam menjatuhkan pidana.

Pasal ini menyebutkan ada 2 (dua) jenis pidana yaitu : a. Jenis pidana pokok meliputi ;

1. pidana mati 2. pidana penjara 3. pidana kurungan 4. pidana denda

b. Jenis pidana tambahan meliputi ;. 1. pencabutan hak – hak tertentu

2. perampasan barang – barang tertentu

3. pengumuman putusan hakim

Untuk sistem pemidanaan yang terdapat di luar Undang-undang Hukum Pidana, juga menganut sistem pemidanaan alternatif dan sistem pemidaan kumulatif, ini bisa dilihat dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi. Adapun selain Undang-undang Nomor 11 Tahun

1963 yang menganut sistem pemidanaan alternatif dan kumulatif, yaitu Undang- undang No 3 tahun 1971 tentang pemberantasan korupsi, khususnya Pasal 28 (alternatif dan kumulatif), 29, 30, 31, dan 32 (kumulatif dan alternatif), Undang- undang Nomor 7/drt/Tahun 1955 tentang penyusutan, penuntutan, dan peradilan tindak pidana ekonomi, misalnya Pasal 6 yang mengadakan sistem kumulatif. Untuk Undang-undang Nomor 12/drt/Tahun 1951 tentang senjata api, yaitu Pasal 1 ayat (1) (alternatif) dan Pasal 2 (tunggal).

Sistem pemidanaan yang digunakan dalam konsep atau rancangan K.U.H Pidana Baru terdiri dari dua jenis pidana yaitu jenis pidana dan tindakan, hal ini tertuang dalam Pasal 65- 101 Rancangan K.U.H Pidana Baru tahun 2006, masing- masing jenis sanksi ini terdiri dari :

1. Pidana pokok diatur dalam pasal 65 dimana disebutkan: a. Pidana penjara;

b. Pidana tutupan; c. Pidana pengawasan; d. Pidana denda; dan e. pidana kerja sosial

2. Pidana tambahan diatur dalam pasal 67 antara lain: a. Pencabutan hak-hak tertentu;

b. Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; c. Pengumuman putusan hakim;

e. Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.

Pidana mati ditempatkan sebagai pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif (diatur dalam pasal 66).

Tindakan (pasal 101) terdiri dari

1. Setiap orang yang memenuhi ketentuan sebagaimana disebutkan dalam pasal 40 dan pasal 41 mengenai setiap orang yang tidak atau kurang mampu bertanggung jawab dapat dikenakan tindakan tanpa dijatuhi pidana pokok, berupa

a. Perawatan dirumah sakit jiwa

b. Penyerahan kepada pemerintah; atau c. Penyerahan kepada seseorang.

2. Tindakan yang dapat dijatuhkan bersama pidana pokok berupa: a. Pencabutan surat ijin mengemudi

b. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana c. Perbaikan akibat tindak pidana

d. Latihan kerja

e. Rehabilitasi; dan/atau f. Perawatan di lembaga.

Kemudian penjelasan dari Pasal 60, mengatakan bahwa hakim dapat menjatuhkan jenis-jenis pidana yang tercantum dalam Pasal tersebut, sehingga hakim tidak terlalu rumit untuk memilih. Terhadap tindak pidana yang dirumuskan dalam

buku ke II yang diancamkan hanyalah tiga jenis pidana ; pidana penjara, pidana denda dan pidana mati. Pidana tutupan dan pengawasan sebenarnya merupakan suatu cara pelaksanaan pidana sebagai alternatif dari pidana penjara. Pidana mati dicantumkan dalam ayat tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar- benar istimewa jika dibandingkan dengan jenis-jenis pidana yang lain, pidana mati di pandang paling berat.

Di samping jenis-jenis sanksi yang dikemukakan di atas, Rancangan K.U.H Pidana Baru tahun 2006 merencanakan juga jenis-jenis sanksi khusus untuk anak yang terdiri dari pidana pokok, pidana tambahan dan tindakan. Untuk anak tidak ada pidana mati dan pidana seumur hidup. Apabila dilihat dari pengelompokan jenis sanksi menurut konsep di atas, ada kesamaan dengan K.U.H Pidana (W.V.S) yang agak berbeda hanya jenisnya.

Jenis pidana tambahan dan tindakan di dalam konsep ini mengenal penambahan / perluasan, yang agak menonjol dari penambahan tersebut ialah dirumuskan secara eksplisit jenis pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat.

Dilihat dari sudut ini dapat dikatakan bahwa sistem sanksi menurut Rancangan K.U.H Pidana Baru tahun 2006 terdiri dari sanksi formal (sanksi yang sudah disebutkan secara konkret dan eksplisit menurut undang-undang hukum) dan sanksi informal (sanksi yang hidup menurut hukum tertulis yang jenisnya tidak tegas disebutkan dalam undang-undang). Adanya jenis sanksi informal ini karena

Rancangan K.U.H Pidana Baru tahun 2006 mengakui adanya tindak pidana menurut hukum adat yang tidak ada tandingnya dalam K.U.H Pidana.

Untuk delik yang secara formal sudah diatur secara tegas di dalam K.U.H Pidana, tersedia formal sedangkan untuk delik menurut hukum adat tersedia sanksi informal. Dalam Rancangan K.U.H Pidana Baru tahun 2006 tidak lagi membedakan jenis tindak pidana yang berupa kejahatan dan pelanggaran, akan tetapi mengklasifikasikan tindak pidana yang sifat/bobotnya dipandang sangat ringan, berat dan sangat serius. Untuk delik yang sangat ringan hanya diancam dengan pidana denda (alternatif), untuk delik yang dipandang berat diancam dengan pidana penjara saja (perumusan tunggal) atau dalam keadaan khusus dapat juga diancam dengan pidana mati yang dialternatifkan dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara dalam waktu tertentu.

Rancangan K.U.H Pidana Baru tahun 2006, di samping menganut sistem yang terdapat di dalam dan di luar K.U.H Pidana yang berlaku sekarang, juga menganut “Double Track Sistem” artinya hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perbuatan yang diancam pidana dapat menjatuhkan dua jenis sanksi sekaligus, yaitu jenis sanksi pidana dan tindakan misalnya hakim dalam putusannya menjatuhkan pidana denda bersama-sama dengan penjatuhan tindakan berupa pencabutan Surat Ijin Mengemudi (SIM).

Dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001 terdapat 30 rumusan bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terpisah dan terperinci mengenai perbuatan-perbuatan yang

dikenakan pidana korupsi. Namun pada dasarnya 30 bentuk/jenis korupsi itu dapat dikelompokan menjadi:

a. Kerugian keuangan negara b. Suap menyuap

c. Pengelapan dalam jabatan d. Pemerasan

e. Perbuatan curang

f. Benturan kepentingan dalam pengadaan, dan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 12A menyatakan, bahwa pidana minimum khusus tidak dapat diberlakukan untuk tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).

g. Gratifikasi

Pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diatur batas hukuman minimal dan batas hukuman pidana maksimalnya, sehingga mencegah hakim menjatuhkan putusan aneh, yang dirasa tidak adil. Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sangat banyak terjadi ketidak adilan terhadap hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa tindak pidana korupsi. Hal ini disebabkan karena adanya perumusan aturan hukuman minimum yang bilamana dipikir-pikir sangatlah tidak adil. Dalam rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang–Undang Nomor 31 tahun 1999 yang sudah dirubah dengan Undang–Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, walaupun

sudah terjadi perubahan dalam Undang–Undang ini, namun dalam hal pengaturan hukuman minimalnya (straf minimum rule) tetap pada rumusan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang–Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 2 ayat (1) berbunyi:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

Pasal 3 berbunyi:

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

Pidana dalam kedua pasal tersebut berbeda dengan prinsip-prinsip yang umum yang terdapat dalam ketentuan-ketentuan pidana umum yang sudah belaku di Indonesia. Dalam isi Pasal 2 ayat (1), Undang–Undang tersebut adalah adanya larangan bagi setiap orang dengan tidak memandang apakah ia dalam posisi menduduki suatu jabatan tertentu, atau sedang memiliki suatu kewenangan tertentu jika ia terbukti melakukan perbuatan memperkaya kaya diri sendiri atau orang lain, atau koorporasi yang dapat merugikan keuangan Negara maka ia dapat dipidana, dengan Pidana Penjara sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun. Sementara itu, dalam isi Pasal 3 yang memuat adanya unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan, hanya dipidana dengan Pidana Penjara sekurang– kurangnya selama 1 (satu) Tahun.

Istilah pedoman pemidanaan harus dibedakan dengan pengertian pola pemidanaan menunjukan pada suatu yang dapat digunakan sebagai model, acuan, pegangan atau pedoman untuk membuat atau menyusun sistem sanksi (hukum) pidana, sedangkan pedoman pemidanaan lebih merupakan pedoman bagi hakim untuk menjatuhkan atau menerapkan pemidanaan. Jadi pedoman pemidanaan merupakan hak bagi badan legislatif110

Kitab Undang-undang Hukum Pidana, tidak mengenal istilah pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana, baik pidana mati maupun pidana lainnya. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang merupakan warisan kolonial, hanya mengenal istilah hal-hal yang meringankan dan hal-hal

.

110

Barda Nawawi Arief, Pola Pemidanaan Menurut KUHP dan Konsep KUHP,

memberatkan, hal ini digunakan oleh hakim sehingga saat ini dalam memberikan standar penjatuhan pidana disamping itu juga hakim dalam menjatuhkan pidana bagi terpidana harus melihat atau memperhatikan asas yang terdapat dalam pasal 1 ayat (1) K.U.H Pidana yaitu asas legalitas. Berlainan dengan kitab Undang-undang Hukum Pidana, maka dalam konsep Rancangan K.U.H. Pidana Baru Tahun 2006, ditentukan atau dicantumkan pedoman pemidanaan. Hal ini diharapkan agar menjadi suatu pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan atau menetapkan pidana, sehingga akan tercapai tujuan pemidanaan tersebut. Pedoman pemidanaan sangat diperlukan bagi hakim agar tidak menimbulkan keragu-raguan dalam penerapannya dan dapat mempertebal rasa percaya diri bagi hakim itu sendiri serta lebih jauh dapat memberikan kepastian hukum.

Pedoman pemidanaan dalam Rancangan Kitab Undang – undang Hukum Pidana Baru tahun 2006 tercantum dalam pasal 55.

Dalam pemidanaan wajib dipertahankan : a. kesalahan pembuat tindak pidana.

b. motif dan tujuan melakukan kejahatan tindak pidana. c. sikap batin pembuat tindak pidana.

d. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana. e. cara melakukan tindak pidana.

f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana.

g. riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana. h. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana.

i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban. j. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau.

k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. ”

Lebih lanjut dalam penjelasan pasal 55 tersebut di atas mengatakan bahwa pedoman pemidanaan akan sangat membantu hakim dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Ini akan memudahkan dalam menetapkan takaran pemidanaan. Jadi merupakan semacam Cheek List sebelum hakim menjatuhkan pidana. Dengan memperhatikan butir – butir yang tercantum dalam daftar tersebut, maka diharapkan pidana yang dijatuhkan dapat lebih profesional dan dapat dipahami baik oleh masyarakat maupun oleh terpidana itu sendiri.

Pencantuman butir-butir diatas tidak bersifat limitative. Hakim bisa saja “menambahkan” pertimbangan pada hal-hal lain selain apa yang tercantum dalam pasal ini. Namun apa yang disebutkan dalam pasal 55, juga mengatur hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan dalam penjatuhan pidana oleh hakim. Hal ini tertuang dalam Pasal 132 dan Pasal 134 Rancangan K.U.H.Pidana Baru.

C. Pembayaran Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan

Dokumen terkait