• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Sistem Perladangan di Indonesia dan Perkembangannya

Menurut Soekartawi (1986), ladang atau tegalan adalah suatu lahan usahatani pada lahan kering yang biasa dipakai untuk usaha bercocok tanam. Tanaman yang biasa dibudidayakan adalah tanaman yang berumur pendek seperti padi ladang, jagung, tanaman jenis kacang-kacangan dan umbi- umbian.

Perladangan merupakan wujud dari peradaban jaman dulu yang berlangsung turun temurun dan masih berkembang hingga sekarang. Praktek perladangan menurut data arkeologi sudah dimulai pada saat manusia pertama kali mengubah jaman berburu dan mengumpulkan tanaman liar ke sistem berproduksi tanaman dan beternak dengan budidaya yang masih primitif.

Demikian pula Pelzer dalam Geertz (1963) mengatakan bahwa perladangan itu ditandai oleh tidak adanya pembajakan, input tenaga-tenaga sedikit dibandingkan dengan bercocok tanam yang lain, tidak menggunakan tenaga hewan ataupun pemupukan dan tidak adanya konsep pemilikan tanah pribadi. Peladang pada umumnya hidup berpencar berjauhan satu dengan yang lain, baik antara tempat tinggal di dalam desa maupun antar desa yang satu dengan lainnya. Hal ini bukan karena sifat peladang yang enggan untuk hidup berdekatan, melainkan merupakan usaha ntuk menyesuaikan antara kepentingan beercocok tanam dengan keadaan alamnya (Soemarwoto, 1978 dalam Hariyanto, 1994).

Berdasarkan jangka waktu rotasinya, Dinas Kehutanan Kalimantan Barat (1981) dalam Hariyanto (1994), mengelompokkan pola perladangan menjadi: a. Berladang berpindah tanpa siklus dan tidak memiliki pemukiman tetap. b. Berladang dengan siklus panjang, terkadang memiliki pemukiman tetap. c. Berladang dengan siklus sedang diatas tujuh tahun dan memiliki pemukiman

tetap, terkadang memiliki kebun.

d. Berladang dengan siklus pendek sekitar lima tahun, memiliki pemukiman tetap dan kebun.

e. Berladang setiap tahun.

Menurut Ditjen Kehutanan Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi (1981) dalam Hariyanto (1994) beberapa sistem perladangan yang ada di Indonesia adalah :

a. Sistem rotasi alami, yang merupakan sistem yang paling sederhana. Lahan-lahan bekas perladangan yang sedang menurun produktivitasnya, baik karena

tingkat kesuburannya sudah berkurang atau besarnya gangguan gulma, diserahkan begitu saja kepada kekuatan alam untuk merehabilitasi dirinya melalui suksesi alami. Sistem ini terdapat dipedalaman Kalimantan.

b. Sistem tanaman sela, merupakan suatu peningkatan dari sistem rotasi alami. Lahan- lahan perladangan pada saat penggarapan pertama sudah ditanami tanaman sela yang ditanam dalam bentuk larikan sejajar kontur, sehingga dapat berfungsi sebagai pencegah erosi serta penyubur tanah. Tanaman sela itupun dibiarkan tumbuh sehingga suksesi alami berjalan lebih cepat. Sistem ini ditemui di Nusa Tenggara Timur terutama Kupang.

c. Sistem tumpang sari. Sejak saat pertama penggarapan ladangnya, para peladang menanam tanaman keras secara bersamaan dengan tanaman pangan. Jenis-jenis tanaman keras yang dipilih adalah yang mempunyai prospek ekonomis baik seperti karet, kelapa, lada, kopi dan cengkeh. Sistem ini terdapat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, Lampung dan Sumatera Selatan.

d. Sistem talun, yang merupakan perkembangan dari sistem rotasi alami, sebagai akibat masuknya pertimbangan pemilihan jenis tanaman yang disesuaikan dengan keadaan pasar dan kondisi fisik lahannya. Yang dimaksud dengan talun adalah lapangan yang ditanami dengan berbagai macam pohon, baik kayu-kayuan maupun buah-buahan. Jenis dan susunan pepohonan tersebut dibuat sedemikian sehingga mempunyai prospek ekonomis serta sesuai dengan kebutuhan pemiliknya. Sistem talun ini muncul atau dikenal terdapat di daerah Jawa Barat.

Simon (1981) dalam Hariyanto (1994), mengemukakan bahwa perladangan hampir selalu dilakukan dengan cara yang sama. Secara kronologis pekerjaan yang dilakukan adalah :

a. Pemilihan tempat, dengan urutan prioritas dari yang paling disukai : hutan perawan, hutan sekunder, belukar dan yang terakhir padang alang-alang. b. Menebas, yaitu : pemotongan belukar kecil dengan menggunakan parang c. Menebang, yaitu : memotong pohon berdiameter besar dengan menggunakan

kapak (beliung).

d. Membakar daun dan ranting yang sudah kering. Pembakaran ini selain ditujukan untuk membersihkan lahan dari sisa-sisa penebasan dan penebangan, juga berguna untuk mengurangi keasaman tanah.

e. Menugal dan menanam biji. Menugal adalah membuat lubang- lubang pada permukaan tanah dengan menggunakan ranting atau dahan yang diruncingkan ujungnya (tuga l) dimana biji-biji padi kemudian dimasukkan. f. Merumput, yaitu : pekerjaan mencabut/membunuh rumput-rmput yang

tumbuh diantara tanaman padi, karena bila rumput dibiarkan tumbuh lebat, maka tanaman padi akan tertekan sehingga hasilnya sangat rendah.

g. Menjaga tanaman dari serangan hama seperti babi hutan. h. Mengetam atau memanen hasil padi.

Selain itu ada kegiatan lain yang menurut Dove (1988) dalam Hariyanto (1994), pada dasarnya tidak berurutan yaitu : (a) memanen hasil tanaman bukan padi, (b) membat pondok diladang, (c) membuat alat-alat untuk bekerja di ladang. Bila ditinjau dari aspek ekonomi peladang berpindah (perladangan) dicirikan oleh produktivitas yang rendah. Rendahnya produksi yang dihasilkan oleh peladang

juga ditunjukkan oleh ketidakpastian hasil ya ng disebabkan tingginya pengaruh iklim, hama dan penyakit. Dengan sifat perladangan yang masih tradisional upaya pengendalian terhadap hama dan penyakit juga dilaksanakan dengan cara yang sederhana. Padahal bila dilihat dari lingkungan sistem perladangan kemungkinan uuntuk terserang hama dan penyakit sangat tinggi dan upaya pengendalian lebih sulit.

Produktivitas yang rendah cenderung diikuti pula oleh rendahnya kualitas produksi yang dihasilkan. Akibatnya harga jual produksi yang dihasilkan rendah, ditamb ah lagi dengan belum adanya prospek pemasaran hasil produksi dan sifat komoditi yang dihasilkan masih bersifat musiman. Keseluruhan faktor- faktor di atas menyebabkan rendahnya tingkat pendapatan usahatani peladang berpindah (Simon, 1981 dalam Hariyanto, 1994).

Dari aspek sosial peladang dicirikan oleh rendahnya tingkat pendidikan, tingkat ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki peladang dalam pengelolaan lahan serta tingginya angka kelahiran dan kematian penduduk karena masih rendahnya tingkat kesehatan. Tempat tinggal yang berpencar dan kemungkinan pindah mengikuti rotasi perladangan, menyebabkan anak-anak peladang sangat sulit untuk mengikuti pendidikan formal secara teratur. Bagi pemerintah pun tidak mudah untuk menyelenggarakan fasilitas pendidikan dan fasilitas sosial lainnya, bukan karena biayanya yang menjadi mahal, tetapi juga kegunaannya tidak mencapai tingkat optimal yang diharapkan. Oleh karena itu sebagian dari peladang tidak berpendidikan sama sekali. Masyarakat di Kalimantan Timur, seperti ya ng dikemukakan Simon (1981) dalam Hariyanto (1994), 61 persen tidak

pernah sekolah, sedang 27 persen hanya pernah sekolah tidak lebih dari kelas tiga sekolah dasar.

Dokumen terkait