• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Sistem Pertahanan Ikan

Ikan seperti hewan pada umumnya, memiliki mekanisme pertahanan diri terhadap patogen. Sistem pertahanan tersebut terdiri dari sistem pertahanan

9

konstitutif dan yang diinduksi (inducible). Sistem pertahanan konstitutif menjalankan perlindungan secara umum terhadap invasi flora normal, kolonisasi, dan penyakit infeksi yang disebabkan oleh patogen. Sistem pertahanan konstitutif dikenal pula sebagai sistem pertahanan innate (bawaan atau alami). Adapun sistem pertahanan yang diinduksi atau dapatan (acquaired), maka untuk berfungsi dengan baik harus diinduksi antara lain dengan pemaparan pada patogen atau produk-produk yang berasal dari patogen (misal: LPS, vaksin) (Irianto 2005).

Ikan merupakan rantai penghubung antara invertebrata dan vertebrata tingkat tinggi. Meskipun sistem imun belum selengkap pada vertebrata tinggi tetapi jauh lebih berkembang dibandingkan sistem imun pada invertebrata (Irianto 2005). Ikan memiliki kemampuan respon imun humoral dan yang diperantai sel

(cell mediated immune respon). Selain itu pada ikan sudah mulai terdapat respon

imun spesifik terhadap antigen (immunoglobulin). Selain itu organ limfoid (organ yang merespon antigen) serta myeloid (organ penghasil darah) menjadi satu, yaitu pada ginjal untuk teleostei (Irianto 2005).

Pada ikan teleostei ginjal merupakan organ limfoid penting. Secara umum ginjal ikan terdiri dari tiga bagian yaitu ginjal anterior, bagian tengah, dan posterior. Ginjal anterior merupakan situs yang memiliki kapasitas hematopoietik tertinggi tetapi memiliki fungsi renal yang terbatas. Pada ginjal ditemukan adanya limfosit mirip sel B dan sel T yang menunjukan peran jaringan limfoid ginjal dalam mekanisme pertahanan tubuh. Organ limfoid sekunder meliputi limpa dan jaringan limfoid yang berasosiasi dengan intestinum (gut-associated lymphoid

tissue, GALT) (Irianto 2005).

Pada ikan teleostei terdapat dua macam sistem imun yaitu sistem imun bawaan atau alamiah (innate) yang bersifat spesifik dan sistem imun dapatan

(adaptive) yang bersifat spesifik. Kedua macam sistem imun tersebut mirip

dengan sistem imun mamalia, meskipun akibat perkembangan evolusinya menyebabkan ikan memiliki aspek imunitas yang spesifik. Perbedaan terbesar diantara mamalia dan teleostei, yaitu pada teleostei tidak ada nodus limfatikus serta ontogeni leukosit dan sistem imunnya sangat terpengaruh suhu karena sifat ikan yang poikilotermal (Irianto 2005).

Sistem imun non spesifik ikan, meliputi penghalang fisik (mukus, kulit, sisik dan insang), pertahanan humoral dan sel-sel fagositik. Penghalang fisik ikan teleostei meliputi kulit (sisik) dan mukus (lendir). Mukus memiliki kemampuan menghambat kolonisasi mikroorganisme pada kulit, insang dan mukosa. Mukus ikan mengandung immunoglobulin alami, bukan sebagai respon dari pemaparan terhadap antigen. Immunoglobulin (antibodi) tersebut dapat menghancurkan patogen yang menginfeksi (Irianto 2005). Sedangkan sisik atau kulit merupakan pelindung fisik yang melindungi ikan dari kemungkinan luka dan berperan dalam mengendalikan osmoralitas tubuh. Kerusakan sisik atau kulit akan mempermudah patogen menginfeksi inang (Irianto 2005).

Sistem imun non spesifik didukung oleh dua komponen utama yaitu respon selular dan respon humoral (Irianto 2005). Respon selular imun non spesifik meliputi beberapa tipe mekanisme : inflamasi, fagositosis, fagositosis sebagai penyaji antigen (antigen presenting cells) dan non spesific citotoxic cells.

Inflamasi merupakan upaya proteksi reaksi restoratif dari tubuh sejak ikan berusaha menjaga kondisi kestabilan sistem dari pengaruh lingkungan yang kurang baik (Tizard 1988). Inflamasi ditandai dengan rasa sakit, pembengkakan, kulit memerah atau peradangan, suhu tubuh naik atau kehilangan fungsi-fungsi fisiologis. Hal tersebut merupakan respon protektif awal tubuh dalam upaya menghalangi patogen dan menghancurkannya (Irianto 2005).

Fagositosis merupakan pertahanan pertama dari respon selular yang dilakukan oleh monosit (makrofag) dan granulosit (netrofil). Proses fagositosis meliputi tahap kemotaksis, tahap pelekatan, tahap penelanan dan tahap pencernaan. Tahap kemotaksis yaitu pergerakan sel fagosit yang terarah dibawah pengaruh rangsangan kimiawi eksternal (pelbagai produk patogen yang menginfeksi ataupun sel yang rusak akibat infeksi patogen) (Tizard 1988).

Setelah sel fagosit bertemu dengan suatu partikel yang akan ditelannya, partikel tersebut diikat kuat-kuat, proses ini disebut perlekatan. Sekali terpasang kuat pada membrane sel fagosit, partikel yang melekat tampak merangsang membran sel lokal dan aktivitas mikrotubul, yang sebaliknya menyebabkan sitoplasma mengalir diatas dan sekitar partikel dan menelannya, proses ini disebut penelanan. Sebuah partikel yang terkurung dalam sitoplasma sel fagosit

11

menempatkan dirinya dalam ruang yang disebut fagosom. Penghancuran partikel terjadi bila enzim hidrolitik yang biasanya tersimpan di dalam lisosom, dikosongkan ke dalam fagosom. Hal ini terjadi sebagai akibat granula bermigrasi melalui sitoplasma dan bersatu dengan fagosom membentuk fagolisosom. Enzim lisosom dapat mencernakan beberapa dinding sel bakteri, sedangkan enzim proteolotik, mieloperoksidase, ribonuklease dan fosfolipase bersifat letal bagi sebagian mikroorganisme (Tizard 1988).

Proses fagositosis oleh sel-sel fagosit (makrofag) berperan pula dalam mekanisme penyajian antigen (antigen presenting cells) untuk menstimulasi respon sel limfosit. Partikel yang difagosit diproses dan dipresentasikan sebagai peptide antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas II pada permukaan sel fagosit (Gillund et al. 2008). T cell receptor ( TCR) mampu mengenali peptide antigen yang dipresentesikan oleh MHC kelas I dan MHC kelas II, yang masing- masing merangsang CD 8+ T sel ( cytotoxic T sel, CTL) dan CD4+T sel (helper-T sel) (Gillund et al. 2008).

Mekanisme lain dari pertahanan seluler adalah non spesific cytotoxic cells

(NCCs), pada mamalia dikenal sebagai sel natural killer (NK). Sel NK merupakan subpopulasi sel limfosit yang dapat membunuh sel sasaran secara spontan tanpa pengaktifan terlebih dahulu dan tanpa bergantung pada produk-produk MHC (Kresno 2001). Sel NK memegang peranan penting dalam pertahanan alamiah terhadap pertumbuhan sel kanker dan berbagai penyakit infeksi, khususnya infeksi virus tanpa pengaktifan sebelumnya (Kresno 2001).

Respon humoral imun nonspesifik meliputi beberapa tipe mekanisme dalam perlawanan terhadap invasi patogen. Diantara tipe mekanisme tersebut, komplemen dan interferon sangat berperan dalam respon pertahanan terhadap infeksi virus (Affandi dan Tang 2002). Komplemen adalah suatu komplek enzim- enzim yang terdiri atas sebelas unsur protein yang terpisah, yang terdapat dalam serum dan diduga dibentuk oleh makrofag-makrofag. Komplemen memiliki potensi aktivitas antimikroba melalui siat-sifat penghancurannya (Nabib dan Pasaribu 1989). Sedangkan interferon adalah suatu polipeptida yang diproduksi selama infeksi virus dan aktivitas antivirusnya bersifat spesifik (Affandi dan Tang 2002). Cara kerja interferon adalah dengan memasuki sel yang dapat diinfeksi

virus dan mencegah replikasi dari asam nukleus. Pada ikan pembentukan interferon ini dipengaruhi oleh suhu (Affandi dan Tang 2002).

Sistem imun spesifik (adaptive immunity) merupakan mekanisme interaksi antara sel limfosit dan fagosit. Respon spesifik ini diawali dengan aktifitas sel-sel fagosit atau antigen presenting cells (APC) yang memproses dan mempresentasikan potongan-potongan antigen pada sel-sel imun spesifik (Kresno 2001). Sel limfosit merupakan inti dalam respon imun spesifik karena sel-sel ini merupakan sel yang mengenal berbagai antigen, baik antigen yang terdapat intraselular maupun ekstraselular (dalam cairan tubuh ataupun dalam darah) (Kresno 2001).

Antigen merupakan subtansi spesifik yang dapat merangsang suatu reaksi- reaksi kekebalan yang spesifik. Umumnya subtansi antigen tersebut berupa molekul besar seperti protein dan polisakarida (Nabib dan Pasaribu 1989). Pengolahan antigen merupakan proses yang penting untuk merangsang limfosit selanjutnya, karena reseptor pada sel limfosit akan mengenali antigen berdasarkan susunan asam amino dalam rantai peptide (bukan proteinnya) peptide antigen hasil pengolahan akan dipresentasikan bersama-sama dengan molekul protein MHC (major histicompatibility complex) tertentu membentuk struktur yang unik pada permukaan sel makrofag atau APC dan dapat dikenali oleh reseptor sel T (TcR). Pengenalan struktur ini oleh sel limfosit T, mengakibatkan sel-sel imun berproliferasi dan berdiferensiasi, menjadi sel yang memiliki kompetensi imunologik dan mampu bereaksi dengan antigen tersebut (Kresno 2001).

Berdasarkan bentuk responnya, sistem imun spesifik pada dasarnya terdiri dari respon imun selular yang merupakan fungsi dari sel T dan respons humoral yang merupakan fungsi dari sel limfosit B (Kresno 2001). Respon imun selular ini sangat diperlukan untuk melawan organisme intraselular. Sel teinfeksi dapat dibunuh melalui sistem efektor ekstraseluler, misalnya oleh sel T sitotoksik, atau sel terinfeksi diaktivasi agar mampu membunuh organisme yang menginfeksinya.

Sub populasi sel T yang disebut sel T-helper (Th) akan mengenali mikroorgnisme bersangkutan melalui MHC kelas II. Sinyal ini menginduksi limfosit untuk memproduksi berbagai jenis limfokin, termasuk diantaranya adalah interferon yang dapat membantu makrofag menghancurkan mikroorganisme

13

tersebut. Sedangkan sub populasi sel T yang lain disebut T-cytotoxic (Tc) berperan dalam menghancurkan mikroorganisme intraselular yang disajikan melalui MHC kelas I secara langsung (cell to cell contact). Selain itu juga menghasilkan gamma-interferon yang mencegah penyebaran mikroorganisme ke sel-sel lain (Kresno 2001).

Respon imun humoral dilaksanakan oleh sel B dan produknya yaitu antibodi, dan berfungsi dalam pertahanan terhadap mikroba ekstraseluler. Respon ini diawali dengan diferensiasi limfosit B menjadi satu populasi sel plasma yang memproduksi dan melepaskan antibodi spesifik ke dalam darah. Antibodi memiliki kemampuan berikatan khusus dengan antigen serta mempercepat penghancurannya (Tizard 1988). Antibodi ini berikatan dengan antigen membentuk kompleks antigen-antibodi yang dapat mengaktivasi komplemen dan mengakibatkan hancurnya antigen tesebut (Kresno 2001).

Supaya limfosit B berdiferensiasi dan membentuk antibodi diperlukan bantuan limfosit Th atas sinyal yang diberikan oleh makrofag. Makrofag sebagai APC (antigen presenting cells) akan menelan antigen yang berbentuk partikel maupun yang larut, kemudian memprosesnya dengan degradasi, denaturasi atau modifikasi dan selanjutnya menyajikan fragmen-fragmen antigen tersebut pada permukaan sel bersama-sama dengan MHC kelas II kepada sel T (Kresno 2001).

Pada respon imun juga berlaku respon primer yang membentuk klon sel memori. Klon limfosit memori ini dapat mengenali antigen bersangkutan, dan mampu menghasilkan respon imun yang lebih cepat dan lebih intensif pada kejadian infeksi oleh patogen yang sama di kemudian hari (Kresno 2001).

Menurut Tizard (1988) sel ini hidup berbulan-bulan atau tahunan setelah pertama kali bersentuhan dengan antigen, akibatnya bila dosis antigen kedua diberikan kepada hewan, akan bertemu dan merangsang lebih banyak lagi sel peka-antigen dari pada dosis yang pertama, karena itu respon imun spesifik sekunder secara kuantitatif lebih besar dari pada respon imun spesifik primer.

Menurut Kresno (2001) pengelompokan respon imun ke dalam dua kelompok yaitu respon imun nonspesifik dan respon imun spesifik terlalu disederhanakan karena telah dibuktikan bahwa kedua jenis respon tersebut saling meningkatkan efektivitas dan bahwa respon imun yang terjadi sebenarnya

merupakan interaksi antara satu komponen dengan komponen yang lain yang terdapat di dalam sistem imun. Diantara aktivitas terpadu antara kedua sistem yang paling penting adalah : 1) respon imun bawaan (innate) terhadap mikroba merangsang dan mempengaruhi sifat respon sistem imun didapat (acquired); 2) sistem imun didapat menggunakan berbagai mekanisme efektor sistem imun bawaan untuk menyingkirkan mikroba dan seringkali meningkatkan fungsi sistem imun bawaan.

Dokumen terkait