• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN

B. Pertanggungjawaban Presiden Setelah Perubahan

1. Sistem Pertanggungjawaban Presiden

Sistem pertanggungjawaban Presiden merupakan salah satu sub sistem

dari sistem ketatanegaraan yang ditujukan untuk mengontrol dan mengendalikan

kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepada Presiden agar tetap konsisten

menegakkan nilai-nilai konstitusional sesuai dengan fungsi-fungsi kekuasaan

yang diberikan kepadanya. Lord Acton menegaskan bahwa, “power tends to

corrupt, and absolute power tends to corrupt absolutely. Oleh karena itu,

berbicara tentang pertanggungjawaban terhadap kekuasaan, secara khusus

169 Ibid.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

pertanggungjawaban Presiden merupakan mata rantai yang tidak terpisahkan dari

sistem pengawasan kekuasaan dalam paham demokrasi dan konstitusi.

170

Perubahan-perubahan yang melingkupi UUD 1945 pasca reformasi

merupakan jawaban atas pemikiran tentang sistem ketatanegaraan di bawah UUD

1945 yang dianggap belum dapat membangun demokrasi dan pemerintahan yang

bertangung jawab. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu agenda besar di balik

amandemen UUD 1945 adalah upaya membangun sistem ketatanegaraan dalam

kerangka demokrasi dan supremasi hukum. Dengan demikian, untuk menelaah

sistem, bentuk, dan prosedur pertanggungjawaban Presiden setelah amandemen

UUD 1945, tidak terpisahkan dengan konstruksi demokrasi dan konstitusi setelah

amandemen UUD 1945, yang mana menurut Firdaus elemen-elemennya adalah

sebagai berikut:

171

a. Konstruksi Demokrasi dan Implikasinya terhadap

Pertanggungjawaban Presiden

Meski diberlakukan secara berbeda sesuai dengan latar belakang, ideologi,

sejarah, budaya, sosial, politik suatu negara, demokrasi merupakan suatu gagasan

universal tentang penyelenggaraan pemerintahan yang telah diadopsi oleh hampir

seluruh negara di dunia. Hal ini senafas dengan pandangan Samuel P. Huttington,

yang berpendapat bahwa pada akhir abad 20, demokrasi mengklaim dirinya

sebagai satu-satunya sistem kekuasaan politik yang sah dan semua warga negara

bangsa-bangsa di dunia ini diharapkan untuk tidak ketinggalan dalam gelombang

170

Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 141-163. 171

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

demokratisasi ini. Bahkan menurut Amien Rais dan Moh. Mahfud MD, “seperti

halnya negara di dunia pada umumnya, negara-negara di dunia ketiga yang lahir

dari pengalaman kolonialisasi memilih demokrasi sebagai dasar

pemerintahannya.

172

Perubahan format demokrasi dalam sistem ketatanegaraan pasca

amandemen UUD 1945 telah mengubah sistem pertanggungjawaban Presiden,

Dalam filsafat demokrasi dan paham konstitusi, tidak ada

ruang bagi kekuasaan tanpa pertanggungjawaban, atau dengan kata lain setiap

kekuasaan inheren atasnya pertanggungjawaban, sebab efek dari kekuasaan

adalah wewenang dan pertanggungjawaban.

Seiring dengan perubahan situasi politik dan pergantian rezim

kepemimpinan, demokrasi di Indonesia telah mengalami beberapa kali penafsiran

kontekstual, seperti demokrasi perlementer dan demokrasi terpimpin pada masa

pemerintahan Soekarno, dan demokrasi Pancasila pada masa pemerintahan

Soeharto. Demikian pula setelah reformasi, dengan perubahan politik nasional

pasca pengunduran diri Soeharto dari Jabatan Presiden Republik Indonesia.

Redefinisi kontekstual tersebut sehubungan dengan amandemen terhadap UUD

1945, yang menimbulkan formulasi formal demokrasi yang baru seperti

perubahan kedudukan MPR dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi

negara, kedaultan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD,

pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan langsung anggota

DPR, terbentuknya MK sebagai lembaga pengawas dan penegak konstitusi,

penegasan sitem presidensil dan pemisahan kekuasaan.

172

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

baik secara substansi maupun secara prosedural. Sebagaimana telah diuraikan

sebelumnya bahwa aspirasi amandemen UUD 1945 tertuju kepada penguatan

kedaulatan rakyat dan demokrasi melalui sistem pengawasan kekuasaan melalui

lembaga perwakilan rakyat dan lembaga yudisial (MA dan MK) sebagai pengawal

dan penegak hukum yang berkeadilan. Secara substansial perubahan atas sistem

pertanggungjawaban Presiden didasarkan atas pelanggaran hukum yang dilakukan

dalam masa jabatan sebagaimana diatur secara tegas dalam Pasal 7A UUD 1945,

berbunyi:

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa

jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan

Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran

hokum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak

pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak

lagi memnuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Ketentuan tersebut berusaha untuk tidak melibatkan dimensi-dimensi

politik sebagai dasar pemberhentian Presiden, sebagaimana pendapat dari Bagir

Manan dan Jimly Asshiddqie. Ketentuan tersebut sejalan dengan pemikiran

Dennis F. Thomson, yang mana pertanggungjawaban individu seorang pejabat

public hanya mungkin dilakukan jika menyalahgunakan wewenang karena tabiat

pribadinya yang buruk (faute personelle) dengan melakukan tindakan yang

melanggar hukum (criminal).

Namun, apabila kita berbicara pemerintahan secara umum,

pertanggungjawaban itu hanya dibebankan di pundak Presiden saja, karena

penyelenggaraan pemerintahan bukanlah suatu hal yang mutlak di tangan

Presiden sebab semua tindakan Presiden merupakan pelaksanaan dari kesepakatan

antar DPR dan Presiden, seperti undang-undang yang pelaksanaannya senantiasa

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

dalam pengawasan DPR. Pengawasan tersebut dapat melingkupi mulai dari

perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi.

b. Kekuasaan Presiden sebagai Lingkup Pertanggungjawaban

Telah diuraikan sebelumnya bahwa pertanggungjawaban kekuasaan

merupakan hal mutlak bagi demokrasi dan konstitusionalisme, karena setiap

kekuasaan dalam Negara demokrasi konstitusional melekat wewenang dan

tanggung jawab yang harus dipertanggungjawabkan menurut hokum konstitusi

yang berlaku. Secara teoritis, besarnya kekuasaan Presiden tergantung kepada

sistem demokrasi yang dianut oleh suatu Negara dalam konstitusinya.

Dalam konstitusi Indonesis sendiri kekuasaan Presiden dapat kita lihat

dalam Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi: Presiden Republik Indonesia memegang

kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.”

Ketentuan tersebut dimaknai sebagai fungsi dalam arti luas, baik sebagai

Kepala Negara maupun sebagai Kepala Pemerintahan, yang menurut Jellinek

mengandung dua segi, baik formal maupun materil. Pandangan tersebut

menegaskan bahwa pemerintah tidak hanya memerintah dan menjalankan, tetapi

termasuk mengatur (verordnungsgewalt) dan memutus (entschidungsgewalt).

Atas dasar pemikiran tersebut kedudukan Presiden sebagai lembaga Negara dalam

menjalakan fungsi pemerintahan dapat memerankan tidak saja fungsi eksekutif,

tetapi termasuk fungsi legislatif dan fungsi yudikatif.

Fungsi pemerintah (Presiden) dalam bidang eksekutif dapat kita lihat

dalam Pasal 17 tentang kedudukan menteri-menteri sebagai pembantu Presiden

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan yang diangkat dan

diberhentikan oleh Presiden. Dalam bidang legislasi, sebagaimana tercantum

dalam Pasal 22 ayat (1), dimana Presiden berhak menetapkan peraturan

pemerintah sebagai pengganti undang-undang dalam hal ihwal kegentingan yang

memaksa. Selanjutnya dalam bidang yudikatif terdapat dalam Pasal 14 ayat (1)

dan (2) tentang kewenangan Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan

pertimbangan MA dan memberikan abolisi dan amnesty dengan pertimbangan

DPR.

Namun, apabila kita menarik kekuasaan Presiden ke dalam perspektif yang

lebih tinggi yakni tinjauan filsafat bangsa yang terdapat dalam Pembukaan UUD

1945, maka sesungguhnya tanggung jawab dan pertanggungjawaban Presiden

secara substansi tidak sebatas pada lingkup kekuasaan yang terdapat dalam

pasal-pasal UUD dan pertauran perundangan lainnya, melainkan bertanggung jawab

atas filosofi peruntukan kekuasaan Pemerintah dimana Presiden termasuk di

dalamnya. Dasar falsafah yang dimaksud adalah Pancasila yang terdapat dalam

pembukaan UUD 1945 dengan tujuan utama “…melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan

sosial..”

Hal tersebut mengandung makna, Presiden bertanggungjawab untuk

membebaskan setia warga Negara, tanpa membedakan suku, bangsa, ras, dan

agama, serta membebaskan setiap daerah dari jerat kemiskinan yang diderita

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

akibat penjajahan, menyelenggarakan pendidikan guna meningkatkan kualitas

hidup bangsa untuk mengangkat martabat agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain

di dunia.

c. Tindakan Presiden sebagai Kausa Pertanggungjawaban

Tindakan adalah melakukan atau mengadakan aturan-aturan untuk

mengatasi sesuatu keadaan.

173

Terhadap bentuk-bentuk tindakan hokum Presiden yang bersifat

pengaturan, pada level mana Presiden harus mempertanggungjawabkan

tindakannya, dan bagaimana pertanggungjawabannya dilakukan, seperti banyak

dikatakan oleh pakar bahwa Presiden bertanggungjawab langsung kepada rakyat.

Namun seperti yang kita ketahui bersama, bahwa pertanggungjawabn kepada

rakyat ini belum dilembagakan oleh suatu aturan. Namun hal tersebut terjawab

dengan keberadaan MA dan MK, lembaga dimana rakyat dapat secara langsung

, sedangkan Presiden adalah lembaga Negara yang

memiliki keuasaan sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan. Jadi,

tindakan Presiden adalah perbuatan Presiden untuk mengatasi suatu keadaan

dalam menyelenggarakan fungsinya sebagai kepala Negara dan kepala

pemerintahan. Tindakan mana tentunya harus tetap pada koridor kekuasaannya.

Sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan terdahulu, maka kekuasaan

Presiden melingkupi ranah eksekutif, legislative, dan yudikatif, yang dapat

menimbulkan tindakan hukum ataupun tindakan yang bersifat politis dalam hal

mengeluarkan kebijakan dalam pelaksanaan undang-undang.

173

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

menggugat dan meminta pertanggungjawaban hokum atas produk hukum

Presiden dalam menjalankan pemerintahan yang dianggap melanggar hokum dan

rasa keadilan masyarakat.

Sementara untuk tindakan politis Presiden atau untuk kebijakannya,

pertanggungjawabannya memang tidak diatur secara eksplisit. Namun, fungsi

pengawasan yang dimiliki oleh DPR dengan beberapa hak, yaitu hak angket, hak

interpelasi, dan hak menyatakan pendapat, dapat mengawasi pelaksanaan

undang-undang dan menilai kebijakan Presiden. Sehingga suatu waktu DPR dapat

memanggil Presiden untuk memberikan laporannya, yang dapat diartikan sebagai

pertanggungjawaban. Seperti yang terjadi belakangan ini, dimana DPR

menggunakan hak angketnya untuk mempertanyakan kebijakan pemerintah yang

menaikkan harga bahan bakar minyak.

d. Cara Pengisisan Jabatan Presiden dan Implikasinya terhadap

Pertanggungjawaban Presiden

Salah satu aspek yang banyak mendapat sorotan dan dasar

pertanggungjawaban Presiden adalah cara pengisian jabatan Presiden. Sebelum

UUD 1945 diamandemen, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan

suara terbanyak. Kekuasaan MPR memilih Presiden tidak terlepas dari kedudukan

MPR sebagai lembaga tertinggi Negara, pelaksana kedaultan rakyat. Atas dasar

ketentua tersebut, penjelasan UUD 1945 menegaskan ketertundukan Presiden

kepada Majelis oleh karena kedudukannya sebagai mandataris majelis.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

Setelah amandemen, konsep MPR sebagai lembaga tertinggi dan

pelaksana kedaultan rakyat, bergeser dengan konsep kedaulatan rakyat

dilaksanakan dengan UUD. Perubahan tersebut berimplikasi kepada format

demokrasi perihal pengisian jabatan Presiden yang dilakukan melalui pemilihan

secara langsung oleh rakyat (direct popular vote). Dari realitas tersebut, timbul

pendapat yang menyatakan bahwa Presiden bertanggungjawab langsung kepada

rakyat.

Namun hal tersebut masih memerlukan kajian lebih lanjut, sebab pada

kondisi seperti yang diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UUD NRI 1945, Presiden

dipilih oleh MPR, lantas apakah Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun mempengaruhi

pertanggungjawaban, namun cara pengisisan jabatan Presiden tidak serta-merta

menentukan kepada siapa nantinya Presiden akan bertanggung jawab.

e. Pertanggungjawaban Presiden sebagai Pribadi Jabatan

Lembaga Kperesidenan merupakan badan hukum publik, pemangku hak

dan kewajiban dimana kepadanya dapat menuntut dan dituntut di depan peradilan.

Menurut Kelsen, suatu sanksi dapat dikenakan terhadap individu yang tidak

melakukan sendiri suatu delik tetapi berposisi dalam suatu hubungan hokum

tertentu dengan pelaku delik. Seperti pertanggungjawaban korporasi yang

dilakukan oleh organnya.

174

174

Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at., Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Jakarta, Konstitusi Press, 2006, hal. 63.

Atas dasar itu, menurut Kelsen, tanggung jawab

hokum dan kewajiban hokum ditujukan kepada badan hokum tetapi kewajiban itu

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

berada di atas pundak individu-individu sebagai organ-organ yang berkompeten

harus memenuhi kewajiban badan hukum. Sebab perbuatan merekalah yang

membentuk isi dari kewajiban itu.

Dihubungkan dengan pendapat Logemann, sebagaimana disarikan oleh

Harun Alrasid yang mengatakan bahwa jabatan sebagai pribadi dalam hokum tata

Negara positif, maka kepada jabatan itulah melekat tugas dan wewenang yang

digerakkan melalui perantara pejabat, sehingga sikap pejabatlah yang membentuk

isi dari kewajiban dan kepadanya dapat dituntut pertanggungjawaban atas

tindakan jabatan dalam lembaga Negara walaupun pertanggungjawaban tersebut

mewakili jabatannya.

Jika teori tersebut dikontekstualisasikan terhadap Pasal 7A UUD NRI

1945, “..Presiden dapat diberhentikan…”, maka sangat terang bahwa kedudukan

Presiden dalam kalimat tersebut merupakan pribadi jabatan, karena tidak

menyebutkan siapa subjek dari Presiden yang dimaksud, sebab dalam logika

organisasi kedudukan Presiden sebagai organ dan lingkup jabatan tidak mungkin

diberhentikan, melainkan yang dapat diberhentikan adalah pemangku jabatan

Presiden. Sehingga terminologi tersebut ditujukan kepada pribadi Presiden

sebagai pemangku jabatan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan selama

dalam masa jabatan.

2. Bentuk Pertanggungjawaban

175

175

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

Bentuk dapat dibagi ke dalam bentuk formal dan bentuk materil. Bentuk

formal merujuk kepada proses yang bersifat procedural, sedangkan bentuk materil

merujuk kepada substansi atau materi yang hendak ditegakkan melalui proses

yang bersifat procedural institusional. Bentuk pertanggungjawaban yang

dimaksud dalam pembahasan ini adalah bentuk materil.

Bentuk pertanggungjawaban Presiden berdasarkan pada konstitusi dapat

dilihat melalui ketentuan dalam Pasal 7A. sekalipun tidak ada terminology

pertanggungjawaban dalam pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketentuan

Pasal 7A merupakan pasal khusus untuk meminta pertanggungjawaban Presiden

dalam bentuk pemberhentian dari jabatan dengan beberapa kualifikasi

pertanggungjawaban anatara lain: pertama, pelanggaran hukum berupa

pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,

atau perbuatan tercela (misdemeanors); kedua, tidak lagi memenuhi syarat sebagai

Presiden; ketiga, pertanggungjawaban jabatan.

Kategori pertama menunjukkan bahwa dasar pertanggungjawaban

Presiden berupa pemberhentian Presiden dari jabatan oleh MPR karena

melakukan suatu pelanggaran hokum berupa pengkhianatan terhadap Negara,

korupsi, penyuapan, tindakan pidana berat lainnya, dan perbuatan tercela.

Rumusan kategori pertama ini hamper sama dengan rumusan dalam Konstitusi

Amerika Article Two, Section Four, yang menyebutkan:

President, Vice-Presiden, and all civil officers of the United State, shall be

removed from office on impeachment for, and conviction of treason, bribery, or

other high crimes, and misdemeanors.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

(Presiden, Wakil Presiden, dan semua pejabat sipil Amerika Serikat, harus

diberhentikan dari jabatannya dengan impeachment apabila terlibat dalam

pengkhianatan, penyuapan, atau tindak pidana berat lainnya, dan perbuatan

tercela)

Rumusan Pasal 7A tersebut merupakan konstruksi yang dimaksudan untuk

dapat menuntut pertanggungjawaban kriminal atas pelanggaran hukum yang

dilakukan Presiden dengan spesifikasi sebagaimana disebutkan di atas. Penjabaran

Pasal 7A ini diatur lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 10 ayat (3), sebagai berikut:

a. Pengkhianatan terhadap Negara adalah tindak pidana terhadap

kemanan Negara sebagimana diatur dalam undang-undang;

b. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupasi atau penyuapan

sebagaimana diatur dalam undang-undang;

c. Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam

dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

d. Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat

Presiden dan/atau Wakil Presiden;

e. Tidak lagi memnuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden

adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UUD NRI 1945.

kategori kedua, tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden, terkesan

overlapping dengan pelanggaran hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7A

tersebut. Sebab, apabila terjadi pelanggaran hukum dengan sendirinya tidak lagi

memenuhi syarat sebagai Presiden.

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

Dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 disebutkan bahwa tidak lagi

memenuhi syarat itu sehubungan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6

ayat (1) UUD NRI 1945. Hal ini dirasa kurang tepat karena, karena syarat

sebagaimana diatur dalam ketentuan tersebut adalah syarat untuk calon Presiden.

Sementara itu, syarat Presiden yang dimaksud dalam Pasal 7A tersebut adalah

syarat setelah seorang telah terpilih menjadi Presiden. Dengan demikian syarat

Presiden dimaksud merujuk kepada sumpah dan janji jabatan sebagaimana

termaktub dalam Pasal 9 ayat (1)

176

Makna yang dapat ditangkap dari sumpah adalah pengakuan dan garansi

personal atas individu seorang pejabat dengan Tuhannya atas amanah

kepemimpinan yang diembannya. Sedangkan janji merupakan pengakuan dan

garansi personal atas individu seorang pejabat dengan rakyat Indonesia. Ada tiga

hal pokok yang menjadi tolok ukur sumpah dan janji Presiden antara lain:

pertama, akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia sebaik-baiknya;

kedua, memgang teguh undang dasar dan menjalankan segala

undang-undang dan peraturannya selurus-lurusnya; ketiga, berbakti kepada nusa dan

bangsa. Ketiga hal pokok tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat

dipisahkan satu dengan yang lain.

UUD NRI 1945.

176

Pasal 9 ayat (1) UUD NRI 1945, berbunyi: Sumpah Presiden:

“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memgang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”

Janji Presiden:

“saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus=lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

Dengan demikian, apabila tiga hal pokok tadi ditafsir secara akontrario,

maka alasan untuk meminta pertanggungjawaban Presiden terkait tidak lagi

memenuhi syarat sebagai Presiden terdiri dari, pertama, tidak memenuhi

kewajiban sebagai Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan

seadil-adilnya; kedua, melanggar undang-undang dasar dan tidak menjalankan

segala undang-undang dan peraturan selurus-lurusnya; ketiga, tidak berbakti

kepada nusa bangsa.

Kategori ketiga, adalah pertanggungjawaban jabatan Presiden.

Penempatan pertanggungjawaban jabatan tidak terlepas dari konsep jabatan

sebagai pribadi, sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa individulah yang

memberi bentuk dan isi dari kekuasaan organisasi, maka atas nama organisasi

individu mempertanggungjawabkan tindakan organisasi yang dilakukan oleh actor

organisasi, termasuk mempertanggungjawabakan perbuatan pribadi selama dalam

masa jabatan, sehingga pertanggungjawaban jabatan Presiden dalam pengertian

Psala 7A terkait dengan bentuk hukuman berupa pemberhentian dari jabatan

Presiden.

Hal demikian pula dianut pula Konstitusi Amerika Serikat Article One, Section

Three, Clause 7:

Judgemant in cases of impeachment shall not extend further than to

removal from office, and disqualification to hold and enjoy any office of

honor, trust, or profit under United State: but the party convicted shall

nevertheless be liable and subject to indictment, trial, judgement, and

punishment according to law.

(keputusan dalam kasus impeachment tidak lebih darai pemecatan jabatan,

pembatalan terhadap jabatan, dan setiap kehormatan jabatan, kepercayaan,

atau keuntungan dari Amerika Serikat.: tetapi pihak yang terlibat dalam

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

tindak pidana tidak dapat lepas tanggung jawab dari penuntutan,

pemeriksaan, pengadilan, penjatuhan putusan, dan hukuman, berdasarkan

pada hukum)

Menurut Herbert J. Spiro, pertanggungjawaban jabatan dapat diminta kepada pejabat public karena empat syarat, yaitu: resource, knowledge, choice, and pupose, sehingga Presiden bertindak dalam menjalankan pemerintahan, maka individu Presiden melalui tindakannya memberikan isi kepada kekuasaan dan wewenang pertanggungjawaban yang melekat karena keempat syarat tadi, yakni memiliki kemampuan karena suatu kekuasaan, memiliki pengetahuan atas keputusan yang diambil, mempunyai pilihan-pilihan di antara keputusan-keputusan yang hendak diambil, dan mengetahui maksud dari suatu keputusan.

3. Prosedur Pertanggungjawaban Presiden177

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa Pasal 7A merupakan pasal khusus meminta pertanggungjawaban Presiden yang berakibat pada pemberhentian Presiden dari jabatannya. Daapun prosedurnya terdapat dalam Pasal 7B UUD NRI 1945, dimana dalam proses tersebut melibatkan tiga lembaga Negara, yaitu DPR, MK, dan MPR. Namun, apabila kita perhatikan ketentuan yang dimuat dalam pasal tersebut timbul beberapa pertanyaan, yaitu: pertama, mengapa hanya DPR yang diberi wewenang untuk mengajukan pendapat mengenai pelanggaran hukum Presiden ke MK dan mengapa hak itu juga tidak terdapat di DPD; kedua, mengapa wewenang memeriksa, mengadili, dan memutus ada pada MK bukan pada MA; ketiga, mengapa MPR yang menjadi pemutus

Dokumen terkait