• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN UUD NEGARA RI TAHUN 1945 IRMA LATIFAH SIHITE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POLA PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN UUD NEGARA RI TAHUN 1945 IRMA LATIFAH SIHITE"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

POLA PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN REPUBLIK

INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN UUD

NEGARA RI TAHUN 1945

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

IRMA LATIFAH SIHITE

NIM: 050200321

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

POLA PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN REPUBLIK

INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN UUD

NEGARA RI TAHUN 1945

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

IRMA LATIFAH SIHITE

NIM: 050200321

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen

Armansyah, SH., MH

NIP. 131 569 409

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Nazaruddin, SH., MA Yusrin Nazief, SH., M.Hum

NIP.130 810 757 NIP. 13229934

(3)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr., wb.

Salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum adalah dengan

membuat sebuah karya ilmiah. Adapun skripsi dengan judul : “Pola

Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum dan Sesudah

Amandemen Undang-undang Dasar Negara RI 1945” ini, adalah merupakan karya

ilmiah yang diajukan oleh penulis untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi

syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum tersebut.

Di samping tujuan itu, penulis juga berharap kiranya materi yang dibahas

dalam skripsi ini dapat menjadi tambahan referensi bagi penulisan karya-karya

ilmiah lainnya yang berhubungan dan memberikan inspirasi akan pemikiran

yuridis demi bertambahnya khazanah keilmuan yang diharapkan memberi

sumbangsih yang cukup berarti mengingat permasalahan ini cukup dinamis dan

masih debatable di kalangan ahli.

Segala puji dan syukur tak lupa Penulis haturkan ke hadirat Allah SWT.,

Tuhan sekalian alam yang telah memberi kesempatan bagi Penulis untuk memulai

penulisan ini, dan telah pula menghadiahkan daya untuk dapat menyelesaikannya

dengan baik, dan semoga dapat memenuhi tujuan-tujuan yang ingin dicapai

tersebut.

Penulis menyadari bahwa awal perkuliahan sampai kepada akhirnya tidak

terlepas dari peran orang-orang di sekitar Penulis, untuk itu dengan segenap hati

Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua. Ayahanda H. Arifin Sihite dan Ibunda Hj. Melur

Simanullang, yang telah memberikan kepercayaan penuh kepada Penulis

sebagai wujud kasih sayang yang menjadi motivasi dalam menapaki

jenjang perkuliahan, yang Penulis yakini hanya dengan do’a merekalah

Allah SWT memberikan jalan kepada Penulis.

2. Seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum USU.

Jajaran Dekanat : Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., Prof. Dr.

Suhaidi, SH., MH., Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., DMF., dan Bapak

(4)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

Muhammad Husni., SH., MH. Terima kasih atas kepercayaan yang

diberikan kepada Penulis semasa kuliah dalam mewakili Fakultas baik

dalam tingkat lokal maupun nasional yang secara otomatis menjadi ajang

pengaktualisasian diri bagi Penulis.

Bapak Armansyah, SH., MH., ketua Departemen Hukum Tata Negara

Fakultas Hukum USU sekaligus dosen Penulis yang banyak memberikan

bantuan dalam proses penulisan ini.

Ibu T. Darwini., SH.,M.Hum., selaku pembimbing akademik Penulis yang

selalu menasehati untuk tetap menjaga prestasi.

Dr. Mirza Nasution, SH., M.Hum., terima kasih atas sumbangan ilmunya

dan kesediaannya dalam mendampingi sekaligus menjadi Koordinator Tim

Debat Konstitusi Fakultas Hukum USU, yang merupakan langkah besar

bagi Penulis dalam pengaplikasian ilmu yang telah didapat.

Dan bagi seluruh dosen yang pernah berbagi ilmu dengan Penulis semasa

kuliah dan juga Staf administrasi, Bang Anto dkk yang telah mengurusi

semua kepentingan administrasi perkuliahan.

3. Bapak Drs. Nazaruddin, SH., MA., selaku Sekretaris Departemen Hukum

Tata Negara sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I Penulis, yang banyak

memberikan masukan dan inspirasi bagi Penulis perihal kedisiplinan dan

cara berfikir seorang akademisi.

4. Bapak Yusrin Nazief, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II Penulis.

Terima kasih atas segala pengertian dan bantuan ilmunya, yang sangat

bermanfaat dalam penyempurnaan tulisan ini.

5. Keluarga besar Sihite Panderaja.

Untuk enam orang hebat yang mengapitku, memberikan sanjungan dan

dorongan untuk terus berkarya bersama-sama demi senyuman bangga

orang tua kita. Untuk setiap kisah yang diperdengarkan dan kita saksikan

dalam pertalian darah ini, semoga cukup waktu bagi kita untuk saling

membesarkan. Untuk kalian: dr. Ifo Faujiah Sihite/ Yoyong Yuwardhan

ST, Khalil Basyah Sihite, Qomariah Sihite, ST., Idris Sihite, Isnaini Sihite,

S.Ked., terima kasih telah banyak memberikan pengaruh dan contoh.

Adikku, Ridwan Sihite, terus berjuang demi mimpi kita yang masih tinggi

(5)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

di bintang. Tak lupa, Ragazzo Risqullah Ivoy, generasi penerus yang

membawa banyak harap: “cepat besar..” Tulang Charles (alm), yang

sampai akhir hayatnya terus memberikan dukungan, doa untukmu selalu..

6. Deep Blue Sea Family yang telah menjadi sahabat satu SMP, satu SMA,

terpisah kuliah tapi masih tetap satu hati. Mereka: Rika Suryati Tanjung

(The Jelly F. Queen) , Anzana Safitri Ritonga (The Cuttle F. Queen),

Fahrurrozy (King of Octopus ), dan Fikri Hardilla Winata (King of Squid).

Selalu menanti saat untuk kembali exist di jalanan menuju mal-mal

Medan,kota kita tercinta. The Plankton Queen waiting…

7. Teman-teman FH-USU stb. 2005, seluruh anggota D Club, Seven Flowers,

Kepanitiaan PMB 2008, Personil Night Daddy, dan teman-teman lain yang

tak dapat disebutkan namanya satu per satu, yang telah menjadi bagian tak

terpisahkan dalam perjalanan ini. Pejuang-pejuang KOPISUSU dan

anak-anak IMATARA.

8. HMI komisariat Fakultas Hukum USU, untuk seluruh ilmu yang ditransfer

sebagai pendukung pembelajaran formal. Para senioren yang telah sudi

membantu berputarnya roda organisasi dan seluruh pengurus dan

teman-teman Presidium untuk semangat dan kerja samanya dalam berproses,

khususnya Bidang KPP untuk kakanda Karina Utary Nasution, SH dan

Adinda Atika Ayu Pulungan, thanks for everything..bahagia HMI.

9. BTM Aladdinsyah, SH FH-USU, untuk semangatnya wujudkan eksistensi.

Seluruh jajaran kepengurusan dan Dewan Syuro yang tak henti

memberikan dedikasinya di sini. Jayalah…

10. Adik-adik di Fakultas Hukum USU

stb. 2008 : Najla, Susfani, Sari, Lia, Nana, Mei-Mei, Fiqa, Berliana, Nindi,

Ivo, Umi, Adharry, Zaky, Rozy, Fiki, Arya, dan teman-temannya yang

lain. Tetap kompak ya..terima kasih untuk kenangan yang terulang melalui

kalian.

Stb. 2007 : Amin, Bin, Omar, Khairina, Karina, Ermel, Ami, Verdinan,

Farid, Theo, dll.

(6)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

Stb 2006 : Annisa, Nina, Sheila, Dewi, Octris, Dian, Dina, Maya, Lesly,

Uun, Anggi, Bebi, Riska, Dirman, Nanda, Anov, Heru, Defri, Indra,

Rizkur, Ahmad Parlindungan, Sandry, Alwan, Yusuf, Zeini, Roni, dll.

11. Lelaki-lelaki, teman seperjuangan: Ahmad Almaududy Amri, SH, saingan

nyata di depan mata. Semoga kita berdua bisa…semangat!!. Zulkifli

Siregar, SH, Terima kasih untuk keceriaan yang selalu kau hadirkan.

Helios At Thaariq, makasih Ios..selalu ada disaat laptop membutuhkanmu.

Diki Elnanda Caniago, Kawan satu jurusan, satu Tim..terimakasih untuk

informasi buku yang menjadi refensi utama skripsi ini..

12. Tujuh Bintang yang tak pernah redup di langit hati (insyaAllah), yang tak

pernah berhenti kusyukuri kemilaunya, mereka : Angreni Fajrin

Dalimunthe, berharap bisa menemukan manusia sebaik dirimu lagi.

Terima kasih untuk semuanya, selalu nyaman ada di dekatmu. Febrina

Anindha, sahabat yang tak banyak bicara. Mayasari, mbak yang begitu

calm..selalu memberi perhatian dan mengingatkan untuk kebaikan. Nova

Yusmira, SH., dengan kemandirian dan ambisinya yang mengagumkan.

Rini Sri Wahyuni, selalu tahu apa yang dia butuhkan, selalu dapat

memenuhi kebutuhannya..kamu hebat! Sarah Ayu Diningtyas Zai, untuk

suaranya yang tak terlupakan. Bendum cerewet dan baik hati. Syarifa

Yana, dengan segala misterinya memberikan warna tersendiri dalam

perjalanan ini. Untukmu, yang telah membuka hati untuk menjalani hari

dalam rangkulan mimpi-mimpi sewangi kasturi dan sesejuk telaga

Al-Kautsar yang tak ‘kan pernah pudar. Love u all.

Tentunya, terima kasih juga tertuju untuk semua pihak yang telah turut

membantu Penulis, yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis

menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun demikian semoga

tulisan ini dapat memberikan manfaat.

Wassalam.

Medan, April 2009

Penulis

(7)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….i

DAFTAR ISI………v

ABSTRAKSI………..vi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………...1

B. Rumusan Masalah………..9

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………...10

D. Tinjauan Pustaka………..11

1. Teori Demokrasi……….13

2. Teori Bentuk dan Sistem Pemerintahan………...16

3. Teori Konstitusi dan Pembatasan Kekuasaan………18

4. Teori Pertanggungjawaban………20

E. Keaslian Penulisan………...22

F. Metode Penelitian……….22

G. Sistematika Penulisan………...23

BAB II

PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN DALAM BERBAGAI

PERSPEKTIF

A. Tinjauan Umum Terhadap Pertanggungjawaban……….26

1. Istilah dan Pengertian Pertanggungjawaban ……….26

2. Timbulnya Pertanggungjawaban………28

3. Bentuk-bentuk Pertanggungjawaban………..30

a. Pertanggungjawaban Hukum………30

b. Pertanggungjawaban Politis………...32

(8)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

4. Pertanggungjawaban sebagai Sistem dan Prosedur…………36

B. Pertanggungjawaban Presiden dalam Perspektif Demokrasi……37

C. Pertanggungjawaban presiden dalam Perspektif Konstitusi……39

BAB III

LEMBAGA KEPRESIDENAN DALAM PERSPEKTIF

PERUBAHAN UUD RI 1945

A. Lembaga Kepresidenan Sebelum Perubahan UUD RI 1945……41

1. Pada Masa Berlakunya UUD Sementara 1945………41

2. Pada Masa Berlakunya Konstitusi RIS 1949……...…………43

3. Pada Masa Berlakunya UUD Sementara 1950…….………...46

4. Pada Masa Berlakunya UUD 1945………..………48

a. Pada Masa Orde Lama………...48

b. Pada Masa Orde Baru………53

B. Lembaga Kepresidenan Setelah Perubahan UUD RI 1945………56

1. Tinjauan Umum terhadap Perubahan UUD RI 1945………...56

2. Format Lembaga Kepresidenan Setelah Perubahan

UUD RI 1945...58

BAB IV

PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN

A. Pertanggungjawaban Presiden Sebelum UUD RI 1945………...62

1. Pada Masa Berlakunya UUD Sementara 1945………62

2. Pada Masa Berlakunya Konstitusi RIS………65

3. Pada Masa Berlakunya UUD Sementara 1949………67

4. Pada Masa Berlakunya UUD 1945………..………71

a. Presiden Soekarno………73

b. Presiden Soeharto………..………75

c. Presiden Abdurrahman Wahid………...77

B. Pertanggungjawaban Presiden Setelah Perubahan

UUD RI 1945……….79

(9)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

2. Bentuk Pertanggungjawaban Presiden………89

3. Prosedur Pertanggungjawaban Presiden………93

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan………...……….…98

B. Saran………...………100

DAFTAR PUSTAKA……….vi

(10)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

ABSTRAKSI

Irma Latifah Sihite

*

Drs. Nazaruddin, SH., MA

**

Yusrin Nazief, SH., M.Hum

***

Atas dasar itulah perlu dikaji secara dalam tentang pengaturan

pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia, yaitu bentuk, sistem, dan

prosedurnya, berdasarkan pada beberapa Undang-Undang Dasar yang pernah

dan/atau sedang berlaku di Indonesia. Sehubungan dengan telah dilakukannya

amandemen, sebab ada kemungkinan mengadopsi dari Undang-Undang Dasar

terdahulu atau mungkin isu peguatan sistem presidensiil mengarahkan Indonesia

kepada praktek yang diterapkan di Amerika Serikat yang dianggap sebagai negara

penganut sistem presidensiil murni.

Arus reformasi membawa harapan besar bagi segenap bangsa Indonesia

akan perubahan. Masa kepemimpinan Presiden Seoharto yang bertahan hampir 32

tahun dirasakan oleh rakyat telah membatasi hak mereka sebagai pemilik

kedaulatan. Oleh karena itu, reformasi yang ditandai dengan pengunduran diri

Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia diharapkan dapat memberikan

pembaruan dalam pemerintahan. Namun, untuk melakukan pembaharauan

tersebut, tentunya harus disertai dengan pembaruan terhadap aturan dasarnya,

yaitu Undang-Undang Dasar sebagai staatsfundamentalnorm.

Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar tersebut, telah mengubah

sistem pemerintahan kita. Secara konseptual disebutkan bahwa perubahan itu

telah memurnikan sistem presidensiil yang dianut oleh Indonesia. Sebab, selama

ini ada beberapa ahli yang beranggapan bahwa sistem pemerintahan Indonesia

adalah sistem campuran atau quasi presidensiil. Pendapat tersebut didasarkan pada

prosedur pertanggungjawaban Presiden. Sebelum amandemen, Presiden

bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan

sebuah parlemen. Hal ini dirasa mencerminkan ciri parlementer.

Walaupun telah memberikan perubahan yang cukup besar terhadap tata

pemerintahan, namun amandemen yang telah dilakukan sebanyak empat kali itu

tidak juga mengatur secara eksplisit tentang pertanggungjawaban Presiden.

Padahal, pertanggungjawaban merupakan ciri dari paham demokrasi

konstitusional, tidak ada ruang bagi kekuasaan tanpa pertanggungjawaban, sekecil

apapun kekuasaan itu, terlebih lagi terhadap Presiden yang memiliki kekuasaan

yang cukup besar.

Apabila kita melihat kembali beberapa Undang-Undang Dasar yang pernah diberlakukan di Indonesia, pengaturan mengenai hal ini juga tidak dijelaskan secara eksplisit. Hal ini dipengaruhi oleh labilnya pemerintahan pada saat itu, yang menyebabkan Indonesia sempat berubah bentuk dan sistem pemerintahannya.

* Mahasiswa fakultas hukum Universitas Sumatera Utara, Jurusan Hukum Tata Negara **

Dosen Fakultas Hukuk Universitas Sumatera Utara ***

(11)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden Republik Indonesia. Berdasarkan pendapat Yusril Ihza Mahendra, selama pemerintahannya, Presiden Soeharto membangun pandangan bahwa Undang-Undang Dasar 19451 bernilai “keramat”2. Dengan pengunduran diri tersebut, maka turut runtuh pulalah pandangan yang beliau bangun. Oleh karenanya, tuntutan untuk melakukan amandemen UUD 1945 menjadi salah satu agenda reformasi yang diusung oleh gerakan mahasiswa dan masyarakat luas waktu itu.3

Penting untuk kita ketahui, bahwa gerakan reformasi itu sendiri dipicu oleh krisis multidimensi di akhir tahun 1997 dan mencapai puncaknya pada Bulan Mei tahun 1998. Hal ini dianggap sebagai momen bagi penguatan kedaulatan rakyat dan demokrasi setelah kurang lebih 32 tahun dibatasi oleh pemerintahan otoriter Soeharto.

4

Tuntutan untuk melakukan amandemen tersebut dirasa perlu mengingat kedudukannya sebagai norma dasar (staats fundamental norm) penyelenggaraan pemerintahan. Sehinggga, apabila ingin melakukan government reform demi terwujudnya kedaulatan rakyat dan demokrasi, perlulah kiranya dilakukan perubahan terhadap aturan dasarnya.5

1

Selanjutnya ditulis UUD 1945 saja, sebagai penulisan terhadap Undang-undang Dasar Republik Indonesia yang diberlakukan kembali setelah Dekrit Presiden Soekarno 1959 dan belum diamandemen.

2

Yusril Ihza Mahendra dalam Taufiqqurohman, Hukum Konstitusi, Bandung, Ghalia Indonesia, 2004, hal. 1.

3 Ibid 4

Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden Dalam Negara Hukum Demokrasi, Bandung, Yrama Widya, 2007, hal. 1.

5 Ibid.

Aturan dasar atau yang disebut dengan kontitusi ini, pada hakekatnya merupakan landasan eksistensi suatu negara sebagai organisasi kekuasaan, pembagian

(12)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

dan pembatasan kekuasaan, alat rakyat untuk mengonsolidasikan kedudukan hukum dan politiknya dalam rangka mencapai cita-cita bersama.6

Sebagai tindak lanjut atas desakan untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya ditulis MPR) dengan berlandaskan pada Pasal 37 UUD 1945 telah melakukan amandemen sebanyak empat kali. Amandemen pertama terjadi pada Sidang Umum MPR tanggal 19 Oktober 1999, kemudian amandemen kedua berlangsung dalam Sidang Tahunan MPR dari tanggal 7-18 Agustus 2000, amandemen ketiga berlangsung pada Sidang Tahunan MPR tanggal 9 November 2001, dan amandemen keempat berlangsung pada Sidang Tahunan MPR dari tanggal 1-11 Agustus 2002.

7

Perubahan yang dilakukan sebanyak empat kali tersebut secara substansial telah mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia secara mendasar.8

1. Penegasan dianutnya cita demokrasi dan nomokrasi secara saling melengkapi; Salah satu ciri yang menandai perubahan tersebut adalah adanya perubahan terhadap lembaga-lembaga negara. Ada lembaga yang dihapuskan, sebaliknya timbul pula beberapa lembaga baru. Secara konsepsional, ada empat pokok pikiran yang diangkat dalam kerangka amandemen UUD 1945, antara lain:

2. Pemisahan kekuasaan dan prinsip cheks and balances; 3. Pemurnian sistem Presidensiil; dan

4. Penguatan cita persatuan dan keragaman dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.9

6

Banks Lynda, dalam Firdaus, Ibid., hal 56. 7

Ibid., hal. 1-2. 8

Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Bandung, Fokusmedia, 2007, hal. ix.

9

(13)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

Beberapa ketentuan hasil amandemen UUD 1945 telah memberikan ruang yang besar terhadap partisipasi rakyat dalam ikut menentukan pengisian jabatan-jabatan publik secara langsung, seperti pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Atas dasar itu, setiap tindakan pejabat menjadi titik awal dari pertanggungjawabannya terhadap rakyat yang memilihnya.10 Hal ini sejalan dengan pandangan Melvin I. Urofsky, yang berpendapat bahwa, sebaik apapun sebuah pemerintahan dirancang, ia tak bisa dianggap demokratis kecuali para pejabat yang memimpin pemerintahan itu dipilih secara bebas oleh warga negara dalam cara yang terbuka dan jujur untuk semuanya.11

1. Undang-undang Dasar 1945, periode tanggal 18 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949;

Berbicara tentang “Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI 1945”, maka titik awal penelusurannya adalah pada berbagai perspektif tentang pertanggungjawaban itu sendiri. Melihat bahwa pertanggungjawaban itu dianalisis berdasarkan Undang-Undang Dasar, maka penelusuran selanjutnya adalah terhadap konstitusi-konstitusi tertulis yang pernah diberlakukan di Indonesia, yaitu:

2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat, periode tanggal 27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950;

3. Undang-undang Dasar Sementara 1950, periode tanggal 17 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959;

4. Undang-undang Dasar 1945, periode tanggal 5 Juli 1959 sampai dengan 10 Agustus 2002;

10

Harun Alrasid, Pengisian Jabatan Presiden, Jakarta, Grafiti, 1999, hal. 33-34. 11

Melvin I. Urofsky, Prinsip-Prinsip Dasar Demokrasi, Kumpulan Naskah Demokrasi, United States, Office Of International Information Programs, 2001, hal. 2.

(14)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

5. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia,12

Ketentuan mengenai lembaga kepresidenan dalam beberapa UUD yang pernah dan/atau sedang berlaku di Indonesia memiliki beberapa perbedaan satu dengan yang lainnya.Hal ini ditunjukkan oleh perjalanan sejarah, yang mana pada awal kemerdekaan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan UUD 1945 dianut sistem presidensiil, dimana Presiden memegang kekusaan sebagai Kepala Pemerintahan dan juga sebagai Kepala Negara, sebagaimana dapat dilihat dari ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan, dan menurut ketentuan Pasal 17 ayat (1), (2), dan (3) menentukan bahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden; menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan.

periode tanggal 10 Agustus 2002 sampai dengan sekarang.

Sistem presidensiil tersebut hanya berjalan beberapa bulan saja. Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat mengusulkan kepada Presiden agar memberlakukan sistem pertanggungjawaban menteri dalam penyelenggaraan pemerintahan, dan usul tersebut disetujui oleh Presiden, maka diumumkanlah susunan kabinet Parlemen I. Dengan demikian, Presiden pada masa ini tidak sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan, tapi hanya berfungsi sebagai Kepala Negara, sebagai pelaksana pemerintahan adalah Perdana Menteri bersama-sama dengan menteri-menterinya.13 Pemberlakukan sistem palementer14

12

Selanjutnya ditulis UUD NRI saja, sebagai tanda penulisan terhadap UUD 1945 yang telah mengalami empat kali perubahan.

13

Rahimullah, Hukum Tata Negara; Hubungan Antar Lembaga Negara, Jakarta, PT. Gramedia, 2007, hal. 28-29.

ini terus berlangsung sampai pada tahun 1959, di

14

Sistem parlementer yang dijalani pada masa itu menurut sebagian ahli bukanlah sistem parlementer murni. Misalnya saja di bawah Konstitusi RIS 1949, Tolchah Mansoer mengemukakan bahwa, dikatakan sistem presidensil karena menteri-menteri dipimpin oleh Presiden, sedangkan dikatakan parlementer karena menteri-menteri dipimpin oleh Perdana Menteri. Oleh karena itu menurutnya sistem pemerintahan di bawah Konstitusi RIS adalah

(15)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

bawah Kontitusi RIS dan UUD Sementara 1950. Hal inilah yang membuatnya menarik untuk dilakukan penelusuran terhadap sejarah ketatanegaraan kita dan membandingkannya dengan kondisi sekarang.

Seperti yang kita ketahui, sebelum perubahan UUD 1945, lembaga kepresidenan merupakan salah satu lembaga negara yang cukup dominan karena memiliki kekuasaan yang besar. Atas dasar itu, Ni’matul Huda menyebutkan bahwa UUD 1945 biasa disebut

executive heavy, menurut istilah Soepomo : “concentration of power and responsibility upon the president”.15 Struktur ketatanegaraan yang heavy executive demikian, menempatkan kekuasaan di lembaga kepresidenan menjadi klaim representasi kedaulatan negara secara keseluruhan, salah satu buktinya dapat kita lihat dari dikeluarkannya TAP MPR No. VI/MPR/1988 yang melimpahan kewenangan yang luas kepada Presiden untuk mengambil segala tindakan untuk mengamankan hasil-hasil pembangunan. Kemudian dalam konteks masa jabatan Presiden, dapat kita lihat pada Pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Isi ketentuan ini kemudian ditafsirkan tanpa batasan sampai kapan seseorang dapat menjabat sebagai Presiden. 16

Setelah reformasi, agenda amandemen merupakan kebutuhan yang dipercaya akan berdampak pada perbaikan sistem ketatanegaraan dengan mengurangi dominasi dari Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan negara melalui pembatasan konstitusional seperti: (i) masa jabatan Presiden selama lima tahun dibatasi hanya untuk dua kali masa jabatan berturut-turut; (ii) kewenangan mutlak Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan para pejabat negara yang selama ini disebut dengan hak prerogatif parlementer. Sementara itu, berdasarkan pandangan Wade dan Philips, sistemnya adalah Presidensil karena Perdana Menteri dan Menteri-menteri lainnya diangkat oleh Presiden.

15

Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 98.

16

Bambang Widjojanto dalam Harun Alrasid, Pemilihan Presiden dan Pergantian Presiden Dalam Hukum Positif Indonesia, Jakarta, Penerbit YLBHI, 1997, hal. 16-17.

(16)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

Presiden, dibatasi tidak lagi bersifat mutlak. Beberapa jabatan negara17 yang dianggap penting, meskipun berada dalam ranah kekuasaan eksekutif, pengangkatan dan pemberhentiaannya harus dilakukan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan atau sekurang-kurangnya dengan mempertimbangkan pendapat parlemen;18

Pembatasan-pembatasan konstitusional tersebut secara implisit mengandung muatan pertanggungjawaban, khususnya sebatas mana kekuasaan yang diberikan oleh pemberi kekuasaan untuk dilakukan. Sebab secara substansi, keberadaan konstitusi sebagai aturan dasar penyelenggaraan pemerintahan adalah sebagai penegasan bahwa tidak ada ruang bagi kekuasaan tanpa pertanggungjawaban.

(iii) pemilihan langsung oleh rakyat dalam pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden.

19

Sri Soemantri berpendapat bahwa ditinjau dari pertanggungjawaban para menteri kepada Presiden maka sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 adalah presidensiil. Akan tetapi melihat pertanggungjawaban Presiden kepada MPR, berarti ada

Sebelum dilakukannya amandemen UUD 1945, terjadi silang pendapat di antara pakar mengenai sistem pemerintahan Indonesia sehubungan pertanggungjawaban Presiden. Sebagian pakar seperti Sri Soemantri dan Jimly Asshiddiqie menilai bahwa Indonesia menganut sistem campuran antara segi-segi presidensiil dengan parlementer. Sementara Bagir Manan melihat secara berbeda hal tersebut.

17

Jabatan negara yang dimaksud diantaranya adalah Gubernur Bank Indonesia, Kepala Kepolisian Negara, Panglima Tentara Nasional, dan lain-lain.

18

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005, hal. 208.

19

Wolin, dalam Adnan Buyung Nasution, dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…,Op.Cit., hal. 3.

(17)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

segi parlementer. Berdasarkan atas uaraian tersebut dapat kita katakan bahwa sistem yang dianut oleh UUD 1945 adalah sistem campuran.20

Kemudian Jimly Asshiddiqie juga mengutarakan bahwa Indonesia memang menganut sistem presidensiil, tetapi masih banyak terdapat kesesuaian dengan ciri parlementer dan ada ketentuan yang bersifat overlapping antara sistem presidensiil yang diidealkan itu dengan elemen-elemen sistem parlementer tersebut. Hal ini terlihat pada peran dan kewenangan MPR sebagai lembaga tertinggi negara (supreme body) yang berwenang memilih Presiden dan Wakil Presiden, dan menjadi tempat dimana Presiden wajib bertanggungjawab. Karena itu, sistem pemerintahan di Indonesia bersifat

quasi-presidensiil, bukan presidensiil murni.21

Pandangan berbeda dari Bagir Manan adalah bahwa sistem pertanggungjawaban Presiden kepada MPR lebih mendekati pranata impeachment daripada pertanggungjawaban parlementer. Memang, tidak dapat disangkal, MPR adalah badan perwakilan rakyat.22 Tetapi, tidak dapat serta merta disimpulkan bahwa karena Presiden bertanggungjawab kepada MPR sebagai badan perwakilan rakyat, maka terdapat segi parlementer. Dalam sistem parlementer, pemerintah bertanggung jawab23

20 Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara menurut UUD 1945, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1989, hal. 116.

21

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi…, Op.Cit., hal. 207-208. 22

Menurut HAS Natabaya, MPR berdasarkan UUD 1945 merupakan Lembaga Tertinggi Negara penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dan pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat, namun sekarang hanya merupakan “forum”. Pendapat lain diungkapkan oleh Mohammad Fajrul Falaakh, bahwa MPR pasca amandemen adalah parlemen yang tidak memiliki kewenangan untuk menghasilkan produk hukum atau keputusan politik. Pelaksanaan fungsi parlemen MPR merupakan persidangan khusus (special session) untuk tujuan tertentu (ad hoc), bukan fungsi rutin legislatif (ad interim)

23

Pertanggungjawaban yang dimaksud di sini adalah pertanggungjawaban yang menurut Prof. Ismail Suny merupakan pertanggungjawaban dalam arti luas, yaitu pertanggungjawaban yang mengandung sanksi. Karena pada hakekatnya, baik itu dalam sistem parlementer ataupun presidensil segenap aparatur negara secara implicit bertanggungjawab atas setiap pengaruh yang tak terduga dari akibat-akibat keputusan yang dibuat. Sebagaimana disebutkan oleh Wahyudi Kumorotomo sebagai Akuntabilitas Implisit dalam bukunya Etika Administrasi Negara.

atas segala tindakan penyelenggaraan pemerintahan. Pertanggungjawaban ini tidak berkaitan dengan

(18)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

pelanggaran tetapi berkaitan dengan kebijakan (beleid). Berbeda dengan pertanggungjawaban Presiden kepada MPR, yang terbatas pada pelanggaran terhadap haluan negara dan/atau UUD, sedangkan kebijakan tidak dapat menjadi dasar meminta pertanggungjawaban.24

1. Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu institusi penyelenggara kekuasaan eksekutif;

Silang pendapat ini kemudian menimbulkan suatu pertanyaan baru, apakah pertanggungjawaban Presiden termasuk ke dalam pertanggungjawaban politik atau hukum. Ada dua pandangan yang berkembang, sesuai dengan perbedaan pandangan terhadap sistem pemerintahan di atas. Pertama, pandangan yang menganggap bahwa pertanggungjawaban Presiden kepada MPR sebagai suatu lembaga politik adalah pertanggungjawaban politik; kedua, pandangan yang menganggap bahwa pertanggungjawaban Presiden kepada MPR adalah pertanggungjawaban hukum karena didasarkan pada pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden, baik terhadap UUD maupun terhadap Keputusan MPR mengenai GBHN.

Menurut Jimly Asshiddiqie, apabila hasil-hasil amandemen UUD 1945 tersebeut ditelaah, maka secara konsepsional dapat dikatakan Indonesia telah secara murni menganut sistem Presidensiil dan diharapkan dapat menghapus polemik sebagaimana tersebut di atas. Adapun indikatornya antara lain:

2. Pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat (direct democracy);

3. Presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR. 25

24

Bagir Manan, Lembaga Kepresiden, Yogyakarta, FH UII Press, 2006, hal. 114. 25

(19)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

Perubahan-perubahan tersebut tidak terlepas dari upaya penguatan kedaulatan rakyat dan demokrasi sebagaimana keinginan reformasi, tetapi dalam bagian tertentu amandemen UUD 1945 masih menyisakan pertanyaan yang belum terjawab, khususnya mengenai pertanggungjawaban Presiden. Padahal, dalam paham negara demokrasi konstitusional, sekecil apapun kekuasaan kepadanya melekat kewajiban, terlebih kepada Presiden dengan kekuasaan yang cukup besar.

Hasil amandemen tidak secara eksplisit menyinggung tentang pertanggungjawaban Presiden kecuali mekanisme pemberhentian Presiden yang terurai dalam Pasal 7A dan Pasal 7B.26

B. Rumusan Masalah

Kondisi yang sama juga tergambar dalam konstitusi-konstitusi tertulis lainnya yang pernah berlaku di Indonesia, belum lagi pengaruh dari labilnya pemerinthaan di awal kemerdekaan yang membuat Indonesia sempat berganti sistem pemerintahannya, bahkan bentuk pemerintahannya pun tidak luput dari perubahan, yang juga berimplikasi pada pola pertanggungjawaban.

Dari uraian latar belakang di atas, maka penulis mengidentifikasi beberapa permasalahan untuk dibahas secara lebih terinci dalam tulisan ini. Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sistem, bentuk dan prosedur pertanggungjawaban Presiden menurut sistem ketatanegaraan Indonesia yang didasarkan pada konstitusi-konstitusi tertulis yang pernah berlaku di Indonesia dan yang sedang berlaku saat ini setelah dilakukan perubahan sebanyak empat kali?

2. Apakah ada keterkaitan secara substansial antara UUD NRI 1945 dengan konstitusi-konstitusi sebelumnya, atau barangkali ada adopsi dari pengaturan yang berlaku di negara lain?

26

(20)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menguraikan lebih rinci lagi pembahasan mengenai permasalahan di atas yaitu:

1. Untuk mengetahui bagaimana sistem, prosedur, dan bentuk pertangungjawaban Presiden berdasarkan konstitusi-konstitusi tertulis yang pernah berlaku di Indonesia.

2. Untuk mengetahui keterkaitan antara konstitusi-konstitusi yang pernah dan/atau sedang berlaku di Indonesia perihal pengaturan pertanggungjawaban Presiden dan seperti yang kita ketahui Indonesia telah empat kali melakukan amandemen terhadap konstitusinya yang terakhir yaitu UUD 1945, sehingga ada kemungkinan Indonesia mengadopsi aturan dan praktek dari Negara lain.

Kiranya pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat terjawab sehingga dapat diambil sebuah kesimpulan yang berdasar pada pemikiran yuridis.

Penulis berharap bahwa kiranya tulisan ini dapat memberi manfaat. Adapun manfaat yang ingin dicapai yaitu berupa manfaat teortis dan manfaat praktis.

Manfaat teoritis yang dimaksud antara lain:

1. Untuk memperoleh pengetahuan lebih mendalam mengenai pertanggungjawaban Presiden dari segi aturan dan prakteknya;

2. Sebagai sumbangan pengetahuan dan pemikiran dalam bidang Hukum Tata Negara khususnya perihal pertanggungjawaban Presiden;

3. Mengingat pembahasan dari permasalahan di atas juga melibatkan konstitusi-konstitusi terdahulu, maka melalui tulisan ini kita dapat mengetahui

(21)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

perkembangan hukum tentang pertanggungjawaban Presiden dari perspektif sejarah;

4. Sebagai pemenuhan syarat guna menyelesaikan studi dan meraih gelar Sarjana Hukum.

Adapun manfaat praktisnya, bahwa kiranya tulisan ini dapat dipergunakan sebagai tambahan referensi dalam penulisan-penulisan ilmiah lainnya yang berhubungan.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam hal penyelenggaraan negara, lembaga kepresidenan terkait dengan bentuk pemerintahan republik. Secara asasi paham republik mengandung makna pemerintahan yang diselenggarakan oleh dan untuk kepentingan umum (rakyat banyak). Karena itu, institusi kenegaraan dalam republik, harus senantiasa mencerminkan penyelenggaran oleh dan untuk kepentingan umum. Hal ini hanya dimungkinkan kalau kepala negara bukan raja. Sebab, apabila kepala negara adalah Raja, maka kadaulatan bersumber dari raja bukan dari rakyat (demokrasi). Untuk memenuhi kriteria tersebut dipergunakan nama jabatan “Presiden”.27

Lembaga Kepresidenan sebagai salah satu lembaga negara memiliki fungsi, tugas, dan wewenang meyelenggarakan negara di bidang eksekutif. Dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya tersebut Presiden senantiasa berhubungan dengan lembaga negara lainnya baik legisatif maupun yudikatif, yang secara teoritis membentuk sistem hubungan kelembagaan negara apakah itu pemisahan atau pembagian kekuasaan. Dalam perkembangannya, pemisahan atau pembagian kekuasaan ini dipandang sebagai satu ciri negara berdasarkan konstitusi. Pemisahan atau pembagian kekuasaan tersebut ditujukan untuk mewujudkan suatu perimbangan kekuasaan sehingga tidak terjadi

27

(22)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

penyelenggaraan pemerintahan yang sewenang-wenang. Hal ini dapat kita artikan sebagai upaya pembatasan kekuasaan. Hubungan antara legislatif dan eksekutif dalam penyelenggaraan pemerintahan secara teoritis dibagi atas dua yaitu sistem presidensiil dan parlementer. Sistem ketatanegaraan inilah yang nantinya dijadikan sebagai acuan dalam melihat keberadaan pertanggungjawaban Presiden.

Dari uraian di atas, maka untuk menganalisis dan membahas permasalahan sebagaimana terangkat dalam rumusan masalah, penulis menggunakan beberapa pendekatan teori antara lain: pertama, teori demokrasi; kedua, teori bentuk dan sistem pemerintahan; ketiga, teori konstitusi dan pembatasan kekuasaan; keempat, teori pertanggungjawaban.

1. Teori Demokrasi

Secara etimologi, asal kata demokrasi berasal dari bahasa latin, yakni demos yang artinya rakyat, dan kratos yang artinya pemerintahan. Sehingga dapat diartikan bahwa demokrasi adalah pemerintahan rakyat. Sementara itu, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya, atau disebut juga pemerintahan rakyat, dan pandangan atau gagasan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang yang sama bagi semua warga negara.28

Sedangkan secara epistemology, istilah demokrasi dapat dikemukakan oleh beberapa tokoh yang memiliki pemahaman dan pandangan yang berbeda tentang demokrasi. E.E. Schattschneider, memberikan pengertian tentang demokrasi sebagai sistem politik yang kompetitif yang mana terdapat persaingan antara para pemimpin dan organisasi-organisasi dalam menjabarkan alternatif-alternatif kebijakan publik sehingga publik dapat turut berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Sedangkan

28

(23)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

Soekarno mengatakan bahwa, demokrasi adalah pemerintahan rakyat, yaitu cara pemerintahan yang memberikan hak kepada semua rakyat untuk memerintah.29 Kemudian, Patrick Wilson mengamati, demokrasi adalah komunikasi: orang berbicara satu sama lain tentang masalah bersama mereka dan membentuk suatu nasib bersama.30

Melihat beragamnya defenisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa sulit memberikan defenisi yang pasti tentang demokrasi. Oleh karena itu, sebagian ahli mendefenisikan demokrasi melalui penentuan kriteria-kriteria tertentu. Raymont Gettel31

a) Bentuk pemerintahannya didukung oleh persetujuan umum (general

consent);

menunjukkan bahwa ada lima kandungan demokrasi, yaitu sebagai berikut:

b) Hukum yang berlaku dibuat oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui referendum atau pemilihan umum;

c) Kepala negara dipilih secara langsung atau tidak langsung melalui pemilihan umum dan bertanggungjawab kepada dewan legislative;

d) Hak pilih katif diberikan kepada sebagaian besar rakyat atas dasar kesederajatan;

e) Jabatan-jabatan pemerintahan harus dapat dipangku oleh segenap lapisan masyarakat.

Kemudian, Robert A. Dahl32

a) Kontrol rakyat atas keputusan pemerintah;

berpendapat bahwa ada tujuh aspek yang harus dipenuhi dalam sistem demokrasi, yaitu:

29

Ibid., hal. 34-35. 30

Patrick Wilson, dalam John P. Crisp Jr., et.al., Apakah Demokrasi Itu ? (Makalah), Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, 2001. Hal. 9.

31

Raymont Gettel, dalam Nukthoh Arfawie Kurde, Telaah Kritis: Teori Negara Hukum, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005, hal. 70.

32

(24)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

b) Para pejabat dipilih melalui pemilihan yang teliti dan jujur;

c) Semua orang dewasa mempunyai hak untuk memilih dalam pemilihan pejabat;

d) Semua orang dewasa mempunyai hak untuk mencalonkan diri untuk mencalonkan diri untuk jabatan-jabatan di pemerintahan;

e) Rakyat mempunyai hak untuk menyuarakan pendapat tanpa ancaman hukuman;

f) Rakyat mempunyai hak untuk mendapat sumber-sumber informasi alternative;

g) Menjamin hak-hak rakyat dan rakyat juga memiliki hak untuk membentuk lembaga-lembaga yang relative independen.

Di samping itu, ada pula yang disebut dengan soko guru demokrasi yang terdiri dari: kedaulatan rakyat, permerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah, kekuasaan mayoritas; hak-hak minoritas; jaminan hak asasi manusia; pemilihan yang bebas dan jujur; persamaan di depan hukum; proses hukum yang wajar; pembatasan pemerintah secara konstitusional; prularisme sosial, ekonomi, dan politik; dan nilai-nilai toleransi, pragmatism, kerja sama, dan mufakat.33

Di balik keberagaman definisi dan kriteria-kriteria tersebut di atas, dapat diambil suatu pengertian demokrasi sebagai suatu cara rakyat menyelenggarakan kedaulatan dalam bentuk pemerintahan rakyat, sehingga segala bentuk penyelenggaraan pemerintahan senantiasa berdasarkan kepada kepentingan rakyat. Rakyat terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan, yang diwujudkan dalam bentuk pengawasan, serta pertanggunggjawaban kepadanya atas segala bentuk penyelenggaraaan pemerintahan.

34

33

John P. Crisp Jr., et.al., Apakah …, Op.Cit., hal. 6. 34

Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 29.

(25)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

Pandangan yang sama diungkapkan oleh Melvin I. Urofsky35

2. Teori Bentuk dan Sistem Pemerintahan

, bahwa demokrasi adalah sesuatu yang berat, bahkan mungkin merupakan bentuk pemerintahan yang paling rumit dan sulit. Demokrasi tidak dirancang demi efisiensi, tetapi demi pertanggungjawaban; sebuah pemerintahan demokratis mungkin tidak bisa bertindak secepat pemerintahan diktator, namun sekali mengambil tindakan, bisa dipastikan adanya dukungan publik untuk langkah ini.

Berbicara masalah pertanggungjawaban Presiden tentunya tidak terlepas dari bentuk dan sistem pemerintahan suatu negara. Dalam literatur hukum dan politik, yang biasa disebut sebagai bentuk-bentuk pemerintahan atau staatsvormen itu menyangkut pilihan antara kerajaan (monarki) atau republik. Dalam monarki, pengangkatan kepala negara dilakukan melalui garis keturunan atau hubungan darah, sedangkan dalam republik tidak didasarkan atas pertalian atau hubungan darah. Di berbagai kerajaan, kepala negara disebut dengan berbagai macam istilah, baik itu Raja (King), Ratu (Queen), Kaisar, Sultan, Yang Dipertuan Agong, dll, sedangkan kepala pemerintahannya adalah Perdana Menteri. Berbeda dari kerajaan, kepala negara republik biasanya disebut dengan Presiden atau Ketua seperti di Republik Rayat Cina, ataupun istilah lain sesuai dengan bahasa setempat yang berlaku. Kepala negara republik tidak ditentukan berdasarkan keturunan tetapi berdasarkan pemilihan atau berdasarkan cara lain yang tidak berdasarkan keturunan.36

Bentuk pemerintahan ini kemudian mempengaruhi sistem pemerintahan. Dalam konsep dasarnya, sistem pemerintahan dibedakan menjadi sistem parlementer dan sistem

35

Melvin I. Urofsky et.al., Prinsip-prinsip…, Loc.Cit., hal. 2. 36

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia: Pasca Reformasi, Jakarta, PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007, hal. 277-278 .

(26)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

presidensiil. Sistem parlemen memiliki pemerintah/eksekutif kolektif atau kolegial sedangkan sistem presidensiil memiliki eksekutif nonkolegial (satu orang).37 Atau dapat juga dikatakan, bahwa dalam sistem parlementer ada dua kelembagaan eksekutif, yaitu eksekutif yang menjalankan dan bertanggungjawab atas penyelenggaraan pemerintahan

(real executive) yaitu kabinet atau dewan menteri dan eksekutif yang tidak dapat

dimintai pertanggungjawaban atas penyelenggaraan pemerintahan (nominal executive) yaitu kepala negara. Dalam sistem parlementer ini, kabinet atau dewan menteri bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, sedangkan kepala negara tidak dapat diganggu gugat (can do no wrong). Sementara itu, sistem presidensiil yang disebut dengan nonkolegial hanya mengenal satu macam eksekutif. Fungsi kepala pemerintahan

(chief executive) dan kepala negara (head of state) ada pada satu tangan dan tunggal (single executive). Pemegang kekuasaan eksekutif tunggal dalam sistem presidensiil tidak

bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, tetapi langsung kepada rakyat pemilih karena dipilih langsung atau dipilih oleh badan pemilih (electoral college). 38

Dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia, melalui sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau disebut juga dengan Dokuritsu

Zyumbi Tyoosakai, telah diputuskan untuk menetapkan bentuk republik sebagai bentuk

pemerintahan. Ketentuan mengenai bentuk republik kemudian tercermin dalam rumusan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945

39

37

Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Jakarta, PT. Grafindo Persada, 1995, hal. 5.

38 Bagir Manan, Lembaga…,Op.Cit., hal. 13-14. 39

Ketentuan dalam pasal ini tetap dipertahankan walaupun telah dilakukan empat kali perubahan terhadap UUD 1945.

, “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Adapun sistem pemerintahannya adalah sistem presidensiil. Hal ini terlihat dari kekuasaan eksekutif yang hanya berada pada satu tangan yaitu Presiden, yang tersirat

(27)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 bahwa “Presiden adalah penyelenggara pemerintahan”. Pemerintahan apabila diartikan secara sempit, berarti khusus kekuasaan eksekutif.40

3. Teori Konstitusi dan Pembatasan Kekuasaan

Adapun sistem presidensiil Indonesia, sebelum amandemen UUD dikatakan tidak murni. Hal ini terkait dengan pertanggungjawaban Presiden kepada MPR sebagai sebuah parlemen. Setelah amandemen sistem ini semakin dipertegas dengan melakukan perubahan yang cukup signifikan terhadap lembaga kepresidenan, seperti pemilihan secara langsung yang mempengaruhi pertanggungjawaban Presiden, yaitu tidak lagi kepada MPR tetapi kepada konstituennya, yaitu rakyat.

Konstitusi merupakan hukum dasar yang mengikat, didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut oleh suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi.41 Konsitusi mencakup pengertian undang-undang dasar yang tertulis

(schreven constitutie, written constitution) dan nilai-nilai konstitusi yang hidup dalam

praktek kenegaraan (onschreven constitutie, unwritten constitution).42 Semua konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian, karena kekuasaan itu sendiri pada intinya memang perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya.43

Oleh karena itu, mengangkat konstitusi dalam konteks pemerintahan negara, secara konseptual memerankan dua fungsi, yakni selain sebagai sumber kekuasaan lembaga-lembaga negara, juga berperan sebagai pembatas kekuasaan agar kekuasaan

40

Samidjo, Ilmu Negara, Yogyakarta, FH UII Press, 1999, hal. 182 41 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi…., Op.Cit., hal. 21-22

42

Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok…,Op.Cit., hal. 73 43

(28)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

lembaga-lembaga negara tidak melampaui wewenang yang telah diberikan kepadanya44

a. Kekuasaan yang bersifat mengatur atau menentukan peraturan, yang diserahkan kepada badan legislatif;

. Secara teoritis, pembatasan kekuasaan ini dikenal dengan sistem pembagian atau pemisahan kekuasaan, agar tidak ada penumpukan kekuasaan di satu tangan (absolut) atau pada sekelompok kecil orang (oligarki).

Konsep ini dikemukakan oleh Montesquiue, dimana dalam teorinya dia membedakan ada tiga jenis kekuasaan negara, yaitu:

b. Kekuasaan yang bersifat melaksanakan peraturan tersebut, yang diserahkan kepada badan eksekutif;

c. Kekuasaan yang bersifat mengawasi pelaksanaan peraturan tersebut, yang diserahkan pada badan yudikatif.45

Ajaran Montesquiue ini dikenal dengan Trias Politica. Pada dasarnya, konsep yang disampaikan oleh Montesquiue adalah konsep pemisahan kekuasaan (separation of

power). Namun, dalam praktek pemisahan kekuasaan ini tidak dilaksanakan secara

konsekuen. Karena, bagaimanapun juga tetap diperlukan suatu mekanisme yang mengatur hubungan antara cabang-cabang kekuasaan itu baik dalam rangka menjalankan bersama suatu fungsi penyelenggaraan negara maupun untuk saling mengawasi antara cabang-cabang kekuasaan yang satu dengan cabang kekuasaan yang lain. Pemikiran mengenai mekanisme untuk saling mengawasi ini telah melahirkan teori-teori modifikasi atas ajaran pemisahan kekuasaan yaitu teori pembagian kekuasaan (distribution of power) yang menekankan pada pembagian fungsi-fungsi pemerintah –bukan pada pemisahan

44

Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 13 45

Abu Daud Busroh, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia, Jakarta, Bina Aksara, 1989, hal. 9.

(29)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

kekuasaan- dan teori cheks and balances46

Dengan demikian, keberadaan lembaga-lembaga negara sebagai pelaksana kekuasaan serta seluruh elemen kekuasaan, legitimasinya bertumpu pada konstitusi. Kekuasaan yang ada dalam organisasi negara merupakan jabatan dijalankan oleh pejabat

(ambt) yang diberi wewenang untuk itu. Pertanggungjawaban terhadapnya merupakan

suatu keharusan konstitusional terhadap kekuasaan itu diperoleh serta lingkup kekuasaan itu digunakan.

, agar semua kekuasaan dapat diatur, dibatasi,

bahkan dikontrol dengan sebaik-sebaiknya sehingga aparat negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat mempertanggungjawabkan sesuai dengan apa yang diamanahkan dalam konstitusi.

47

4. Teori Pertanggungjawaban

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, secara filosofis keberadaan pertanggungjawaban merupakan derivasi dari adanya kekuasaaan yang lebih besar atas kekuasaan lainnya yang diserahi tanggung jawab untuk menyelenggarakan hak dan kewajiban dalam rangka mencapai tujuan dari pemberi kuasa. Untuk menilai apakah kekuasaan yang diberikan itu dipergunakan sesuai dengan peruntukan diberikannya kekuasaan itu sangat tergantung pada standar-standar norma yang telah ditetapkan, baik tertulis maupun tidak tertulis.48

46 Bagir Manan, Lembaga…, Op.Cit., hal. 7-8. 47

Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 14. 48

Ibid.

Atas dasar itu, secara filosofi eksistensi pertanggungjawaban bertumpu pada; pertama, tidak ada ruang dan waktu bagi pemegang kekuasaan untuk tidak mempertanggungjawabkan segala penggunaan kekuasaan; kedua,

(30)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

pertanggungjawaban berarti adanya pembatasan kekuasaan oleh norma yang berlaku dalam masyarakat.49

Terlepas dari itu, apabila kita kembali kepada hakikat pertanggungjawaban sebagai amanah -sesuatu yang dipercayakan (dititipkan) kepada orang lain-50, maka dengan sendirinya pertanggungjawaban merupakan syarat mutlak dari pemberi amanah. Atas nama amanah, kepemimpinan manusia akan dimintai pertanggungjawabannya secara sendiri-sendiri, yang besar kecilnya tergantung pada besarnya kekuasaan yang ditanggung oleh seorang pemimpin.51

Menurut Roesco Pound yang menjadi titik tolak dari pertanggungjawaban adalah tindakan-tindakan personal, apakah pertanggungjawaban karena tindakan yang merugikan orang lain atau kewajiban melaksanakan janji. Oleh sebab itu, bagi Pound pertanggungjawaban merupakan efek yang diberikan oleh ex delicto tetapi juga dilaksanakan karena ex contractu, yang berarti bahwa seseorang boleh menagih dan seorang lainnya tunduk kepada penagihan. Jika konsep tersebut diintrodusir ke dalam pengertian pertanggungjawaban Preseiden berarti; pertama, pertanggungjawaban merupakan pertanggungjawaban yang timbul karena adanya suatu tindakan Presiden yang merugikan rakyat (berupa detournament depouvoir) yang kepadanya dapat dimintakan pertanggungjawaban; kedua, terkait dengan janji Presiden yang diucapkan dalam sumpah jabatan.52

Sejalan dengan pemikiran Miriam Budiardjo bahwa pertanggungjawaban merupakan konsekuensi dari pihak yang diberi mandat, maka pertangggungjawaban

49

Ibid 50

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cetakan keduabelas, Jakarta, Balai Pustaka, 1991, hal. 34.

51

Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim, Jakarta, Hidakarya, 1978, hal. 207. Merupakan penafsiran terhadap Surat Al-An’am ayat 164.

52

(31)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

Presiden merupakan konsekuensi dari jabatan Presiden sebagai pihak yang diberi mandat oleh rakyat, yang mana pertanggungjawaban itu adalah suatu bentuk manifestasi dari perwujudan kedaulatan rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi dalam negara.53

E. Keaslian Penulisan

Sebelum tulisan ini dimulai, telah terlebih dahulu dilakukan penelusuran akan tulisan-tulisan terdahulu, dan sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum USU bahwa penulisan tentang “Pola Pertanggungjawaban Presiden RI Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD NRI 1945” belum pernah ada. Tambahan pula, bahwa permasalahan yang dimunculkan dalam penulisan ini merupakan hasil olah pikir dari penulis sendiri. Oleh sebab itu, keaslian dari tulisan ini dapat dijamin oleh penulis.

F. Metode Penelitian

Metode yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normative berupa studi pustaka (literature research) terhadap data-data sekunder54

53

Miriam Budiardjo dalam I Gde Pantja Astawa dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit, hal.16.

54 Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku harian, surat kabar, dan lain sebagainya, dalam keadaan siap tersaji yang telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu.

yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tertier. Adapun bahan hukum primer yang ditelusuri yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang terdiri dari Undang-undang Dasar, Ketetapan MPR, dan Undang-undang. Bahan hukum sekundernya berupa buku-buku hukum ataupun buku lain yang terkait dengan tulisan ini, dan bahan hukum tertiernya adalah kamus dan artikel.

(32)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

Di samping itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan yuridis historis dan yuridis komparatif, yang didasarkan pada data-data sebagaimana disebutkan di atas.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluan

Bab ini berisi tentang dasar-dasar pemikiran dan gambaran umum tentang permasalahan yang akan dibahas, serta berisi tentang teknis penulisan skripsi ini yang dimulai dengan mengemukakan latar belakang pemilihan judul, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II: Pertangungjawaban Presiden dalam Berbagai Perspektif

Bab ini merupakan awal dari pembahasan dari permasalahan yang telah dirumuskan di atas. Mengingat skripsi ini adalah tentang pertanggungjawaban Presiden, maka penelusuran diawali dari pandangan umum terhadap pertanggungjawaban, baik itu dari segi pengertian, timbulnya pertanggungjawaban, bentuk-bentuk pertanggungjawaban, dan menjelaskan bahwa pertanggungjawaban merupakan suatu sistem dan prosedur. Dikatakan dalam berbagai perspektif karena dalam Bab ini akan diurai perihal pertanggungjawaban yang tidak didasarkan hanya pada satu pandangan saja, tetapi didasarkan pada berbagai pandangan yaitu:

a. Pertanggungjawaban Presiden dalam Perspektif Demokrasi b. Pertanggungjawaban dalam Perspektif Konstitusi

(33)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

BAB III: Lembaga Kepresidenan dalam Perspektif Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945

Bab ini berisi pembahasan khusus tentang lembaga kepresidenan, yang terdiri dari pembahasan tentang lembaga kepresidenan secara umum baik itu perihal pengisian jabatan, kekuasaan, dan masa jabatan, yang mana pokok-pokok pembahasan tersebut menurut penulis berhubungan dengan pertanggungjawaban. Meskipun pembahasannya dalam perspektif perubahan, namun tidak serta merta pembahasannya hanya terpusat pada UUD NRI 1945 saja, tetapi terlebihi dahulu dilakukan penelusuran historis terhadap konstitusi-konstitusi terdahulu sebagai bahan pembanding.

BAB IV: Pertanggungjawaban Presiden

Bab ini merupakan Bab inti, karena pembahasannya langsung kepada pokok permasalahan yaitu pola pertanggungjawaban Presiden yang mana penelusurannya adalah terhadap semua konstitusi-konstitusi tertulis yang pernah berlaku dan sedang berlaku di Indonesia, yaitu: UUD Sementera 1945, Konstitusi RIS, UUD Sementara 1950, UUD 1945, dan UUD NRI 1945 setelah empat kali perubahan. Dari sini kiranya dapat ditarik kesimpulan untuk selanjutnya memecahkan permasalahan yang telah dirumuskan.

BAB V: Penutup

Bab ini merupakan Bab terakhir yang berisi kesimpulan dari tiga Bab pembahasan di atas, yang kiranya memberikan gambaran yang jelas mengenai pertanggungjawaban Presiden, sehingga dapat memberikan

(34)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

saran-saran konstruktif yang tentunya didasarkan pada pemikiran yuridis yang didapat dari proses penulisan ini.

BAB II

PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF

A. Tinjauan Umum Terhadap Pertanggungjawaban 1. Istilah dan Pengertian Pertanggungjawaban

Secara leksikal, kata “pertangungjawaban” berasal dari bentuk dasar kata majemuk “tanggung jawab” yang berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau ada sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya).55

a. Memberikan laporan yang dapat dipertanggungjawabkan;

Dalam istilah lain tanggung jawab sering disebut dengan responsibility, lialibility, dan

accountability. Adapun penggunaan istilah responsibility dimaknai sebagai

pertanggungjawaban politik. Lialibility cenderung dirujuk kepada akibat yang timbul dari sebab kegagalan untuk memenuhi standar tertentu yang telah ditetapkan. Bentuk tanggung jawab diwujudkan dalam bentuk ganti rugi dan pemulihan atas segala kerugian yang terjadi. Sementara accountability, dilingkupi oleh beberapa unsur, yaitu:

b. Mampu memberikan keterangan yang memuaskan secara eksplisit; c. Sesuatu yang mungkin dihitung atau untuk dihitung.56

55

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus.., Op.Cit., hal. 1014. 56

Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 69-73.

(35)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

Sebagai perbandingan atas definisi-definisi di atas, dapat pula kita lihat pengertian “tanggung jawab” oleh S.J. Fockema Andreae57

Pertanggungjawaban dalam arti luas, maksudnya tanggung jawab yang diikuti

dengan sanksi. Sebagai contoh, di saat berlakunya UUD Sementara 1950 sesuai dengan ketentuan Pasal 183 meskipun tidak secara tegas dicantumkan, tetapi konsekuensi dari sistem parlementer bahwa dengan mosi tidak percaya yang dimajukan oleh parlemen yang disebut dengan

verantwoordelijk, yang diartikan sebagai berikut:

“aansprakelijk, verplict tot het afleggen van verantwoording en tot het dragen van event, toerekenbar schade (desgevorderd), in rechte of in bestuurverband”

(tanggung jawab adalah kewajiban untuk memikul pertanggungjawaban, dan hingga memikul kerugian (bila dituntut), baik dalam kaitan dengan hukum, maupun dalam administrasi)

Sementara itu, Ismail Suny dalam memberikan pengertian tentang pertanggungjawaban membagi dalam dua bagian, yaitu pertanggungjawaban dalam arti sempit dan pertanggungjawaban dalam arti luas.

Pertanggungjawaban dalam arti sempit maksudnya tanggungjawab tanpa disertai

sanksi. Sebagai contoh berdasarkan Pasal 118 Konstitusi RIS bahwa sistem pemerintahan mengharuskan menteri-menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Tetapi apabila Pasal 118 kita hubungkan dengan Pasal 122 menetapkan bahwa parlemen tidak dapat memaksa menteri-menteri untuk meletakkan jabatan. Dari kedua pasal di atas dapat diartikan, walaupun menteri-menteri bertanggungjawab kepada parlemen bukanlah berarti bahwa penolakan pertanggungjawaban –yang melahirkan mosi tidak percaya dari Parlemen- menteri-menteri harus meletakkan jabatan atau mengundurkan diri. Jadi pertanggungjawaban menteri-menteri kepada parlemen tidak menimbulkan sanksi.

57

(36)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

berarti kabinet atau menteri-menteri secara kebiasaan (convention) harus mengundurkan diri atau meletakkan jabatan.58

2. Timbulnya Pertanggungjawaban

Melihat luasnya pengertian pertanggungjawaban tersebut, timbul kesulitan untuk merumuskan satu definisi mengenai pertanggungjawaban. Bagaimana pertanggungjawaban diartikan, tergantung kepada sudut pandang yang digunakan untuk menelaahnya. Terlepas dari uraian di atas, secara sederhana dapat dipahami bahwa eksistensi pertanggungjawaban sebagai suatu objek multidisiplin inheren di dalam hak dan kewajiban, ke konteks manapun pertanggungjawaban hendak dipahami dan diwujudkan.

Kesulitan untuk memberi suatu batasan yang disepakati mengenai pertanggungjawaban menyebabkan istilah tersebut menjadi menarik untuk dikaji, bahkan menjadi objek perdebatan yang tidak tuntas karena sudut pandang yang berbeda dalam memaknai pertanggungjawaban. Hukum, politik, sosial, budaya, dan teologis menjadi dimensi-dimensi berpikir melingkupi arti tanggung jawab dan pertanggungjwaban. Hal penting untuk menjadi bahan perenungan guna memahami makna terdalam tanggung jawab adalah bagaimana suatu tanggung jawab lahir dan membebani manusia.59

Secara filosofis tanggung jawab dan pertanggungjawaban merupakan suatu mata amanah bagi orang-orang yang yang sudah layak mengemban amanah atau dalam bahasa bijak “pertanggungjawaban menjadi kewajiban bagi orang-orang yang berpikir”. Dari sudut pandang sosial, pertanggungjawaban merupakan garansi tertib sosial. Sedangkan

58 Ismail Suny dalam Issanuddin, Pertanggungjawaban Presiden Menurut UUD 1945, Medan, Fakultas Hukum USU, 1981, hal. 30-31.

59

(37)

Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009.

USU Repository © 2009

kedudukan tanggung jawab dalam lapangan politik karena suatu kekuasaan untuk bertindak, menjalankan fungsi-fungsi pelayanan umum melalui suatu kebijakan dan menanggung beban pertanggungjawaban atas kegagalan fungsi-fungsi kekuasaan politik. Seperti terungkap dalam suatu adigium “geem macht zonder veraantwoordelijkheid” (tidak ada kekuasaan tanpa pertanggungjawaban).60

Dalam konteks kenegaraan, menurut Suwoto Mulyosudarmo, timbulnya pertanggungjawaban tergantung bagaimana kekuasaan dibentuk dan diperoleh. Pemikiran tersebut menunjukkan bahwa pertanggungjawaban merupakan suatu formasi yang disusun dari sistem pembentukan kekuasaan negara. Telaahnya berakar pada konstitusi sebagai landasan pembentukan kekuasaan lembaga-lembaga negara.

61

3. Bentuk-bentuk Pertanggungjawaban Pemerintah

Dengan kata lain kekuasaan lembaga negara merupakan suatu kausa yang melahirkan pertanggungjawaban sebagai suatu kewajiban bagi pejabat yang menjabat dalam suatu jabatan lembaga negara.

Bentuk pertanggungjawaban tergantung kepada kualifikasi tanggung jawab. Terdapat dua kualifikasi tanggung jawab menurut Dennis F. Thompson antara lain;

pertama, tanggung jawab moral; kedua, tanggung jawab politis. Kedua kerangka dasar

tanggung jawab tersebut menjadi alas berpikir untuk secara rasional menempatkan pertanggungjawaban atas tindakan pemerintah sebagai organisasi dan pribadi jabatan. Asumsi yang melandasi tanggung jawab moral berhubungan dengan upaya mencari justifikasi untuk menghukum individu-individu dalam organisasi atau organisasi itu sendiri karena kejahatan struktural yang tidak pernah memiliki rasa bersalah, sedang

60

Roesco Puond dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Ibid., hal. 74. 61

Suwoto Mulyosudarmo dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 76 .

Referensi

Dokumen terkait

Mengingat Hukum Kedua Termodinamika bahwa konduktivitas panas akan mengallir secara otomatis dari titik yang suhunya lebih tinggi menuju ke titik yang suhunya rendah, maka

Sedangkan Gerlach dan Ely dalam buku Azhar Arsyad mengatakan bahwa media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun

Melalui hasil penelitian dapat diketahui bahwa Peranan POLRI dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Senjata Api oleh Masyarakat Sipil di Kota Surakarta, dalam hal ini

Berdasarkan strata diperoleh bahwa nilai rata-rata sikap sebelum diberikan promosi kesehatan dengan media power point yaitu 40,3 termasuk dalam katagori sikap PHBS

Menempatkan sumber daya aparatur sebagai tema sentral dalam kejian ilmiah, karena perannya sebagai penyeleng-gara Negara tidak hanya sebagai obyek (seperti layaknya

H 5 : Kepercayaan nasabah (trust) kepada layanan internet banking berpengaruh positif terhadap sikap nasabah kepada penggunaan layanan internet banking (attitude

: Sertifikat Rekapitulasi Hasil dan Rincian Penghitungan Perolehan Suara dari Setiap Kecamatan di Tingkat Kabupaten/Kota dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil

Kualitas atau mutu air yang mengalir dalam suatu jaringan pipa distribusi air sangatlah penting. Karena tujuan utama dari perencanaan jaringan distribusi air bersih