• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMILIHAN UMUM SEBAGAI SARANA PERWUJUDAN KEDAULATAN RAKYAT

B. Tujuan dan Fungsi Pemilihan Umum

3.2 Sistem Proporsional (Multi Member Constituencies)

Sistem pemilihan ini disebut juga seagai sistempemilihan Multi Member Constituencies atau sistem perwakilan berimbang. Sistem proporsional adalah sistem pemilihan umum dimana kursi yang tersedia di parlemen pusat untuk diperebutkan dalam suatu pemilihan umum, dibagi-bagi kepada partai-partai/golongan-golongan politik yang turut dalam pemilihan tersebut sesuai dengan imbangan suara yang diperolehnya dalam pemilihan yang bersangkutan.51

Sistem proporsional ini dapat dilaksanakan dalam ratusan variasi, tetapi ada dua metode yang dianggap utama yaitu yang dinamakan: Single Transferable Vote (Hare System) dan List System. Pertama, dalam Single Transferable Vote (Hare System), pemilih diberi kesempatan untuk memilih pilihan pertama, kedua dan seterusnya dari distrik pemilihan yang bersangkutan. Jumlah imbangan suara yang dibutuhkan untuk pemilih ditentukan, dan segera setelah jumlah keutamaan utama dipenuhi, dan jika ada sisa suara, maka kelebihan ini dapat dipindahkan kepada calon berikutnya, dan seterusnya. Misalnya, jumlah suara yang dibutuhkan

Misalnya, jumlah pemilih sah yang ada pada suatu pemilihan umum adalah 10 juta orang, dan jumlah kursi di Badan Perwakilan Rakyat ditentukan 100 kursi, berarti untuk satu orang wakil rakyat dibutuhkan suara 100.000. Pembagian kursi di lembaga perwakilan rakyat tersebut tergantung kepada berapa jumlah suara yang didapat setiap partai politik yang ikut pemilihan itu.

Rahmad Fauzi Salim : Hubungan Antara Sistem Pemilihan Umum Dengan Jumlah Kursi Partai Politik Di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan, 2008.

USU Repository © 2009

untuk dapat terpilih sebagai wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat adalah 10.000 suara. Calon-calon dari partai politik X mendapat suara sebagai berikut: A untuk daerah I mendapat 19.500 suara, B untuk darah II mendapat 9.500 suara, C untuk daerah III mendapat 7.000 suara dan D untuk daerah IV mendapat 4.000 suara. Jika didasarkan kepada imbangan suara 10.000, maka dari partai politik X yang terpilih hanya calon A dari Daerah I, sedangkan calon-calon lain tidak memenuhi jumlah imbangan suara.

Namun, jika yang dipraktikkan adalah Hare System, maka kelebihan suara dari A sebanya 9.500 dapat dipindahkan kepada calon B, sehingga calon B juda terpilih, karena B akan memperoleh 19.000 suara, kelenihan 9.000 yang diperoleh B ini dapat pula dipindahkan kepada C, sehingga C akan memperoleh 16.000 suara yang berarti masih ada 6.000 suara. Suara lebih ini juga dapat dipindahkan kepada calon berikutnya yaitu D, sehingga D juga terpilih, sebab jumlah suaranya menjadi 10.000, sesuai dengan jumlah imbangan suara yang dibutuhkan. Dari contoh ini jelaslah bahwa akibat Hare System, maka calon yang semula terpilih A, akhirnya semua calon dapat terpilih.

Adanya penggabungan-penggabungan suara semacam ini, secara alamiah, dapat mendorong terjadinya penyederhanaan partai politik. Karena, partai politik yang kecil sekalipun yang semula tidak berhasil mencapai jumlah imbangn suara yng disyaratkan, dimungkinkan untuk mendapatkankursi di lembaga perwakilan rakyat. Akibat logis dari penerapan sistem ini adalah bahwa perhitungan suaranya agak berbelit-belit dan membutuhkan waktu serta kecermatan yang lebih tingi daripada sisten distrik.

Rahmad Fauzi Salim : Hubungan Antara Sistem Pemilihan Umum Dengan Jumlah Kursi Partai Politik Di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan, 2008.

USU Repository © 2009

Kedua, pada pemilihan umum proporsional dengan sistem daftar atau List System, pemilih diminta memilih dari daftar yang tersedia yang berisi nama-nama calon wakil rakyat yang akan dipilih dalam pemilihan umum. Rakyat pemilih cukupmemilih satu calon dari daftar itu dan calon yang mendapatkan suara terbanyak, dialah yang dinyatakan terpilih. Terkadang sistem daftar ini digabung dengan sistem proporsional (sistempemilihan berimbang). Pemilih memilih tanda gambar partai politik dan/atau memilih calon yang terdapat dalam daftar calon. Dalam praktik, kedua prosedur ini dapat dialternatifkan, yaitu para pemilih dimungkinkan hanya memilih tanda gambar parati politik saja atau memilih calon saja. Terkadang prosedur denagn stelsel daftar (list system) ini, juga dapat digabung atau diintegrasikan,yaitu pemilih diharuskan secara mutlak memilih keduanya sekaligus. Tanda gambar harus dipilih dan nama atau foto calon juga harus dipilih. Ada juga negara yang tidak memutlakkan penggabungan itu, melainkan mengembangkan prosedur yang lebih terbuka, yaitu tanda gambar dipilih dan foto calon juga dipilih, tetapi jika pemilih hanya memilih salah satu saja, maka hal itu dianggap sudah cukup dan hasil pemilihan itu dianggap sah.

Dengan demikian, para pemilih dapat memilih hanya tanda gambar partai saja, sehingga apabila pemilih belum mengenal pribadi calon, maka baginya cukup memilih tanda gambar partai politik. Kalaupun pemilih hanya memilih calon,maka otomatis partai politik yang mengajukannya berarti juga turut dipilih oleh pemilih. Dengan kata lain, sistem yang bersifat alternatif dianggap lebih realistis, apalagi untuk diterapkan dinegara-negara yang jumlah pemilihnya besar.

Rahmad Fauzi Salim : Hubungan Antara Sistem Pemilihan Umum Dengan Jumlah Kursi Partai Politik Di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan, 2008.

USU Repository © 2009

Dalam sitem pemilihan umum di Indonesia dewasa ini, prosedur inilah yang diterapkan.52

Sebagaimana halnya sistem distrik, maka sistem proporsional ini juga tentu memilki kelebihan dan kekurangan. Miriam Budiardjo mengemukakan bahwa sistem proporsional ini memiliki kelebihan:53

1. Dianggap demokratis dan representatif, oleh karena semua aliran yang ada dalam masyarakat terwakili dalam parlemen, sedangkan jumlah wakil dalam badan itu sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya dari masyarakat dalam masing-masing daerah pemilihan.

2. Dianggap lebih adil karena golongan kecil sekalipun mempunyai kesempatan untum mendudukkan wakilnya dalam parlemen. Tampaknya kedua hal ini dianggap paling cocok bagi suatu masyarakat seperti Indonesia yang bersifat heterogen. Nyatanya, sistem distrik yang diusulakn pemerintah dala DPR pada tahun 1967, ditolak oleh fraksi-fraksi partai dalam parlemen sesudah perdebatan seru. Yang diterima adalah sistem perwakilan berimbang seperti yang dipakai pada tahun 1955 dengan beberapa modifikasi.

3. Wakil rakyat yang dipilih dengan cara ini diharapkan lebih cenderung untuk mengutamakan kepentingan nasional daripada kepentingan daerahnya.

52 Jimly Assiddiqie. Op. Cit. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. hal 767-769

Rahmad Fauzi Salim : Hubungan Antara Sistem Pemilihan Umum Dengan Jumlah Kursi Partai Politik Di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan, 2008.

USU Repository © 2009

4. Suara rakyat yang terbuang sangat sedikit yang berarti hanya sedikit aspirasi yang tidak tertampung di lembaga perwakilan rakyat.

Adapun kelemahan dari sistem perwakilan berimbang (proporsional) ini adalah :

1. Sistem ini mempermudah fragmentasi partai dan menimbulkan kecenderungan kuat dikalangan anggota partai untuk memisahkan diri dari partainya dan membentuk partai baru. Dalam setiap pertikaian antar anggota sesuatu partai, para pelaku kurang terdorong untuk mempertahankan keutuhan partai, karena, jika seorang pelaku serta pendukungnya keluar dari partai dan mendirikan partai baru, ada peluang bagi partai baru itu memperoleh beberapa kursi dalam pemilihan umum. Dengan demikian sistem ini kurang mendorong partai-partai untuk berintegrasi atau kerjasama,tetapi ssebaliknya cenderung mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada.

2. Wakil yang terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada partai daripada kepada daerah yang memilihnya. Hal ini disebabkan karena dalam pemilihan semacam ini partai lebih menonjol peranannya daripada kepribadian seseorang. Hal ini memperkuat kedudukan pimpinan partai. Di Indonesia kelemahan ini mungkin dirasakan yang paling mengganjal. Daftar calon ditetapkan oleh pimpinan partai,sekali pun mungkin sekedar mengkonsultasikan pimpinan partai dari daerah pemilihan yang bersangkutan. Kadang-kadang calon anggota tidak berasal dari atau tidak dikenal di daerah yang akan diwakilinya sehingga hanya menurut

Rahmad Fauzi Salim : Hubungan Antara Sistem Pemilihan Umum Dengan Jumlah Kursi Partai Politik Di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan, 2008.

USU Repository © 2009

penilaian ketua partai sediri. Maka dari itu, tidak mengherankan jika ikatan batin dengan daerah yang telah memilih kurang kuat dan mungkin malahan timbul hubungan ketergantungan dari pimpinan partai, yang telah memasukkan namanya dalam daftar calon.

3. Banyaknya partai yang bersaing menyulitkan suatu partai untuk meraih mayoritas ( 50 % + 1 ), yang perlu untuk membentuk suatu pemerintah. Terpaksa yang terbesar kemudian menguasahakan suatu koalisi dengan beberapa partai lain untuk memperoleh mayoritas dalam parlemen. Koalisi semacam ini sering tidak langgeng, sehingga tidak membina stabilitas politik.

Kedua sistem pemilu yang diuraikan di atas, yaitu sistem distrik dan sistem proporsional, pada pokoknya , sama–sama dianut dalam penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia dewasa ini. Pemilihan anggota DPD ( Dewan Perwakilan Daerah ) pada pokoknya menganut sistem distrik , yaitu pada setiap provinsi dipilih empat orang anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak pertama, kedua, ketiga dan keempat. Sedangkan suara selebihnya dinyatakan tidak terpilih. Namun, urutan kelima dan seterusnya tetap diperlakukan sebagai cadangan. Jika dalam masa jabatan anggota DPD terdapat kekosongan karena meninggal atau sebab-sebab lain, maka urutan berikutnya tampil menjadi anggota DPD. Dengan demikian, suara yang kalah tidak hilang sama sekali, melainkan diperhitungkan sebagai cadangan. Karena itu, meskipun pada pokoknya, sistem yang dianut untuk pemilihan anggota DPD ini bersifat distrik atau sistem distrik, tetapi sistem ini dianut dengan variasi stelsel daftar atau list system.

Rahmad Fauzi Salim : Hubungan Antara Sistem Pemilihan Umum Dengan Jumlah Kursi Partai Politik Di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan, 2008.

USU Repository © 2009

Untuk pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sistem yang dianut pada pokoknya adalah sistem proporsional dengan variasi list system yang terbuka secara terbatas. Dikatakan pada pokoknya adalah sistem proporsional karena: (i) peserta pemilihan umum adalah partai politik yang dilakukan dengan cara memilih tanda gambar partai politik; namun (ii) para pemilih juga dapat langsung memilih orang atau calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara langsung dengan cara memilih foto calon yang bersangkutan. Sedangkan dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, para pemilih langsung memilih orangnya dan bersifat nasional.54

Apapun bentuk sistem pemilihan umum yang kemudian akan dipakai oleh suatu negara, tetap harus menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. TA. Legowo mengatakan bahwa ada banyak pilihan tentang sistem pemilihan umum, namun dari berbagai pilihan itu mengaras pada tiga aliran besar sistem pemilihan umum: perwakilan berimbang, perwakilan tunggal, dan campuran. Tiap aliran mempunyai kelebihan dan kekurangan secara umum, maupun jika dihadapkan dengan perwakilan secara khusus. Kenyataan ini hanya menegaskan bahwa sampai saat ini tidak atau belum ada satu sistem pemilihan umum yang benar-benar sempurna hingga memenuhi semua ekspektasi publik tentang keluaran yang dihasilkan oleh pemilihan umum yaitu perwakilan. Tetapi pemilihan umum yang baik adalah pemilihan umum yang diselenggarakan secara, dan dalam suasana,

54Jimly Assiddiqie. Op. Cit. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. hal 773-774

Rahmad Fauzi Salim : Hubungan Antara Sistem Pemilihan Umum Dengan Jumlah Kursi Partai Politik Di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan, 2008.

USU Repository © 2009

demokratis. Karena pemilihan umum seperti ini merupakan pemilihan umum yang paling membuka kemungkinan bagi terbentuknya perwakilan pilihan rakyat. 55

55

Rahmad Fauzi Salim : Hubungan Antara Sistem Pemilihan Umum Dengan Jumlah Kursi Partai Politik Di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan, 2008.

USU Repository © 2009

BAB III