• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.5 Diagnosis Apendisitis Akut

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

2.5.3.2 Sistem Skoring

Sejumlah sistem skoring telah dikembangkan dalam mendiagnosis

apendisitis akut dan mempengaruhi penatalaksanaan kasus tersebut. Sistem

tersebut merupakan penunjang diagnosis berharga dalam membedakan suatu

apendisitis akut dengan nyeri abdomen yang tidak spesifik. Ada beberapa sistem

skoring diagnosis yang dikenal, antara lain skor Alvarado, skor RIPASA, versi

modifikasi skor Alvarado, skor apendisitis pediatri, serta yang jarang dipakai

seperti skor Kharbanda dan Lintula (Wray, dkk., 2013; Chong, dkk., 2010;

Memon, dkk., 2013). Skor Alvarado sendiri merupakan sistem skoring yang

sederhana, mudah diterapkan dan paling banyak diadopsi oleh klinisi. Pada tahun

1986, Alfredo Alvarado mengembangkan sebuah sistem skoring untuk membantu

mendiagnosis apendisitis akut serta penatalaksanaannya. Sistem ini disebut juga

MANTRELS oleh karena terdiri dari kombinasi 8 gejala klinis dan tanda yang

ditemukan pada pemeriksaan klinis maupun penunjang. Jumlah skor yang

diperoleh akan menentukan apakah pasien yang dicurigai tersebut akan

dipulangkan, diobservasi atau dioperasi. Rentang skor dari 0-10, dimana skor < 5

merupakan indikasi bagi pasien untuk dipulangkan, skor 5-6 dilakukan observasi

indikasi tindakan pembedahan (Wray, dkk., 2013; Ohle, dkk., 2011). Berdasarkan

skor Alvarado, kemungkinan pasien menderita apendisitis akut dengan skor < 5

adalah 30%, skor 5-6 adalah 66% dan skor ≥ 7 adalah 93% (Tabel 2.3.) (Ohle,

dkk., 2011). Penilaian obyektif adalah nyeri pada fossa iliaka kanan. Ali, dkk

(2013) melaporkan validasi skor Alvarado dalam mendiagnosis apendisitis akut.

Pada penelitian tersebut didapatkan sensitivitas sebesar 88,13%, spesifisitas

sebesar 70,96%, angka prediksi positif 85,24%, angka prediksi negatif 75,86%

dan 16,9% untuk apendisektomi negatif. Nizamuddin dkk. (2009) melaporkan

sensitivitas sebesar 86% pada grup dengan skor ≥ 7 dan 90,6% pada grup dengan

skor 5-6. Nilai prediksi positif sebesar 85,4% (laki-laki 88,3% dan perempuan

81,4%) dan tingkat akurasi sebesar 85,4%. Penelitian ini serupa dengan studi yang

dilakukan Memon, dkk. (2013) dimana mereka mendapatkan sensitivitas sebesar

93,5%, nilai prediksi positif sebesar 92,3% dan akurasi sebesar 89,9%. Penelitian

lain yang dilakukan oleh Ohle, dkk. (2011) mendapatkan angka sensitivitas

sebesar 94-99% untuk skor < 5, 82% untuk skor ≥ 7 dan spesifisitas sebesar 81%.

Data yang terkumpul mengindikasikan bahwa skor Alvarado dapat digunakan

sebagai alat diagnostik yang efektif dan cepat dalam mendiagnosis apendisitis

akut.

2.5.3.3 Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radiologis hanya dilakukan apabila terdapat kesulitan

mendiagnosis berdasarkan data anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pengaruh tehnik

Tabel 2.3.

Probabilitas apendisitis berdasarkan skor Alvarado dan strategi penatalaksanaan (Ohle, dkk., 2011)

jelas. Beberapa penelitian melaporkan angka kejadian apendisektomi negatif yang

tidak berubah walaupun banyak muncul tehnik pencitraan. Di sisi lain,

penggunaan ultrasonografi dan CT-scan menurunkan jumlah rawat inap dan

apendisektomi yang tidak diperlukan (Birnbaum dan Wilson, 2000; Humes dan

Simpson, 2006).

Pada tahun 1986, Puylaert mengusulkan penggunaan ultrasonografi

dalam mendiagnosis apendisitis akut. Pada ultrasonografi, kompresi secara

gradual pada abdomen kanan bawah meningkatkan ketepatan dalam mendiagnosis

bantu yang cepat, non-invasif, murah dan tidak memerlukan persiapan ataupun

kontras. Kegunaan ultrasonografi sangatlah membantu klinisi dalam mendiagnosis

apendisitis akut terutama pada pasien yang hamil dan anak kecil. Anielski, dkk.

(2010) mencatat bahwa meskipun ultrasonografi merupakan alat yang membantu

dalam diagnosis preoperatif untuk kasus-kasus akut abdomen, kegunaannya untuk

apendisitis akut terbatas. Penggunaan ultrasonografi sangat bergantung dari

operator yang memerlukan keahlian khusus serta harus diperhatikan untuk

menghindari penafsiran yang berlebihan. Akan tetapi hal ini tertutup oleh

pentingnya ultrasonografi dalam memeriksa pasien dengan nyeri perut kanan

bawah. Kurva pembelajaran dibutuhkan operator dalam memeriksa dan

menganalisa pasien dengan keluhan nyeri perut kanan bawah. Kekurangan lain

dari ultrasonografi antara lain letak atau posisi apendiks yang menyulitkan, biaya

yang relatif mahal, interpretasi yang membutuhkan waktu, keberadaan gas di

dalam usus sehingga menyulitkan operator untuk melihat kondisi apendiks atau

berat badan pasien yang berlebihan (indeks massa tubuh > 25 merupakan faktor

yang dapat menurunkan sensitivitas sampai 37%) (Anielski, dkk., 2010; Lee, J.

H., 2003).

Di tangan yang ahli, sensitivitas ultrasonografi dilaporkan sebesar 75-90%,

spesifisitas 86-100%, akurasi 87-96%, nilai prediksi positif sebesar 91-94% dan

nilai prediksi negatif sebesar 89-97% dalam mendiagnosis apendisitis akut

(Birnbaum dan Wilson, 2000). Akurasi yang diberikan oleh ultrasonografi dapat

menekan angka apendisektomi negatif sebesar 10-20% (Morrow dan Newman,

dilakukan oleh Doria, dkk. (2006) mengenai penggunaan ultrasonografi atau

CT-Scan dalam mendiagnosis apendisitis akut pada pasien anak kecil, mereka

mendapatkan angka sensitivitas dan spesifisitas CT-scan yang lebih tinggi

dibanding ultrasonografi (94% dan 95% vs 88% dan 94%). Ultrasonografi harus

dilakukan dengan memeriksa abdomen dan organ pelvis. Hal ini penting terutama

untuk membedakan apakah apendiks terletak di rongga pelvis atau terdapat

kelainan di bidang ginekologi. Bendeck, dkk. (2002) melaporkan keuntungan

pemeriksaan radiologis berupa ultrasonografi atau CT-scan pada penderita

perempuan dewasa dengan kecurigaan apendisitis akut. Mereka mendapatkan

angka kejadian apendisektomi negatif yang lebih rendah dibandingkan yang tidak

dilakukan pemeriksaan radiologis pre-operatif. Akan tetapi pada kelompok lain,

tidak didapatkan perbedaan secara bermakna angka kejadian apendisektomi

negatif pada kelompok yang dilakukan pemeriksaan radiologis pre-operatif

maupun yang tidak.

Secara spesifik, ultrasonografi dilakukan dengan penekanan pada perut

kanan bawah. Menempatkan pasien dengan posisi dekubitus lateral kiri sangat

membantu memvisualisasi apendiks retrosekal. Pada pemeriksaan ultrasonografi,

apendiks yang mengalami inflamasi akan memiliki diameter 6 mm atau lebih.

Ditemukan juga adanya perubahan inflamasi pada jaringan sekitar khususnya

pada jaringan lemak yang mengelilinginya (Gambar 2.4.). Pada apendiks perforasi

gambaran ultrasonografi menunjukkan bentuk apendiks yang irregular dan adanya

2002; Morrow dan Newman, 2007; Rybkin dan Thoeni, 2007; Kurane, dkk.,

2008; Doria, 2009; Poortman, dkk., 2009).

A B

Gambar 2.4. Gambaran ultrasonografi apendisitis akut. (a) Axis memanjang dan (b) Potongan melintang (Birnbaum dan Wilson, 2000)

CT-scan merupakan alternatif diagnostik pada apendisitis akut. Alat ini

direkomendasikan apabila ultrasonografi belum dapat menyimpulkan apendisitis.

CT-scan merupakan alat diagnostik yang lebih superior dibanding ultrasonografi

dalam hal spesifisitas (96% vs 76%), akurasi (94% vs 83%) dan nilai prediksi

negatif (95% vs 76%). Dalam hal sensitivitas dan nilai prediksi positif, CT-scan

menyerupai ultrasonografi (91% vs 89% dan 95% vs 96%) (Shelton, dkk., 2003;

Hlibczuk, dkk., 2010; Birnbaum dan Wilson, 2000; Doria, 2009; Poortman, dkk.,

2009; Krajewski, dkk., 2011). CT-scan lebih superior dalam mendiagnosis

inflamasi periapendiks, kelainan abdomen akut selain apendisitis akut dan lebih

sensitif menganalisa apendiks normal dibanding ultrasonografi. Pada pemeriksaan

CT-scan, apendiks yang mengalami inflamasi memiliki diameter lebih besar dari

9 mm dan cenderung mengalami perubahan inflamasi pada jaringan sekitarnya.

Diameter apendiks normal yang ditemukan pada orang dewasa bervariasi mulai

dari 3 mm sampai 10 mm. Kadang kala dijumpai juga apendikolit yang terdapat

juga dapat membedakan penyebab apendisitis seperti obstruksi lumen akibat

keganasan. Kekurangan dari pemeriksaan CT-scan adalah waktu yang dibutuhkan

dalam memvisualisasi dan menginterpretasi hasil yang pencitraan serta biaya

untuk melakukan pemeriksaan ini (Shelton, dkk., 2003; Birnbaum dan Wilson,

2000).

Laparoskopi, CT-Scan dan MRI merupakan pemeriksaan yang relatif

mahal dan tidak mudah dilakukan di semua rumah sakit, terutama di Unit Gawat

Darurat. Pemeriksaan tersebut hanya akan menunda penegakkan diagnosis yang

pada akhirnya akan meningkatkan jumlah komplikasi, beban biaya dan masa

rawat inap serta waktu untuk beraktivitas kembali. Angka mortalitas akibat

penundaan diagnostik dan penatalaksanaan dilaporkan sebesar 0,2-0,8% dapat

meningkat sampai diatas 20% pada pasien dengan usia diatas 70 tahun (Ali, dkk.,

2013). Lee, dkk. (2001) bahkan melaporkan bahwa CT-scan dan ultrasonografi

tidak meningkatkan akurasi diagnostik apendisitis maupun menurunkan angka

kejadian apendisektomi negatif. Pemeriksaan tersebut hanya akan menghambat

diagnosis dan penanganan pasien dengan apendisitis.

Dokumen terkait