• Tidak ada hasil yang ditemukan

II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Sistem Sosial-Ekologi Danau

Menurut Anderies et al. (2004), sistem sosial-ekologi didefinisikan sebagai unit ekosistem yang dihubungkan dan dipengaruhi oleh satu atau lebih sistem sosial. Dalam hal ini, sistem sosial-ekologi berhubungan dengan unit ekosistem seperti wilayah pesisir, ekosistem mangrove, ekosistem danau, terumbu karang, dan pantai yang mencakup sistem perikanan sebagai unit yang berasosiasi

dengan proses sosial. Selanjutnya Berkes dan Folke (1998); Carpenter dan Folke (2006) mendefinisikan sistem sosial-ekologi sebagai sistem alam dan sistem manusia yang terintegrasi dengan hubungan yang bersifat timbal balik.

Dalam kajian sistem perairan danau, kondisi perubahan pada komponen ekologi seperti berkembangnya ganggang di danau dan beberapa perubahan komunitas tumbuhan lahan basah merupakan indikasi perubahan kondisi ekologi yang dianggap sebagai krisis ekologi. Hal ini terkait dengan bagaimana komponen sosial dari sistem sosial-ekologi dapat menjawab perubahan kondisi masa lalu atau akan merespon perubahan di masa depan (Gunderson et al. 2006). Konsep yang mengintegrasikan antara komunitas manusia dan danau dengan mempertimbangkan proses kontrol terhadap degradasi danau. Beberapa proses yang terkait dengan masyarakat dan danau adalah vegetasi air, tata guna lahan, kegiatan sosial, dan perekonomian daerah. Dalam hal ini terdapat pola interaksi yang dapat memberikan kontribusi untuk pemahaman tentang interaksi antara masyarakat dan danau (Carpenter dan Cottingham 1997).

Mengacu pendapat Adrianto dan Azis (2006), paradigma sistem sosial- ekologi danau membicarakan unit ekosistem danau yang berasosiasi dengan struktur dan proses sosial, dimana aspek sistem alam (ekosistem) dan sistem manusia tidak dapat dipisahkan. Hal ini didasarkan pada karakteristik dan dinamika danau yang merupakan suatu sistem dinamis dan saling terkait antara sistem komunitas manusia dengan sistem alam sehingga kedua sistem tersebut bergerak dinamik dalam kesamaan besaran. Diperlukan integrasi pengetahuan dalam implementasi pengelolaan danau yang dikenal dengan paradigma sistem sosial-ekologi.

Sistem sosial-ekologi merupakan konsep yang sangat penting dalam kerangka ko-manajemen perikanan, karena pelaku perikanan memiliki keterkaitan dengan dinamika ekosistem perairan dan sumberdaya perikanan. Dengan kata lain, kedua dinamika sistem tersebut memerlukan pengintegrasian melalui kerangka ko-manajemen perikanan. Dengan pendekatan sistem sosial-ekologi diharapkan mampu meningkatkan resilience atau ketahanan dan menanggulangi kerentanan melalui beberapa tindakan, baik dalam skala lokal maupun nasional (Adrianto dan Azis 2006). Menurut Hartoto et al. 2009, beberapa contoh tindakan

skala lokal maupun regional dalam konteks peningkatan resiliensi sistem sosial- ekologi seperti disajikan pada Tabel 1, yaitu (1) pemeliharaan ekosistem melalui pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan, (2) proses pembelajaran untuk merespon dampak lingkungan dan hubungan sosial, (3) keanekaragaman dalam konteks sistem ekologi, serta (4) modal sosial dan kelembagaan masyarakat yang memiliki legitimasi.

Tabel 1 Tindakan skala lokal dalam peningkatan resiliensi sistem sosial-ekologi terkait kerentanan sumberdaya perikanan

No Kerentanan Tindakan Skala Lokal 1 Sensitivitas terhadap

bencana dan kerusakan sumberdaya alam

1) Pemeliharaan ekosistem melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan

2) Pemeliharaan memori atas pola pemanfaatan sumberdaya, proses pembelajaran untuk merespon dampak lingkungan dan hubungan sosial

2 Kapasitas adaptif 1) Keanekaragaman dalam konteks sistem ekologi 2) Keanekaragaman dalam konteks teori sosial-

ekonomi

3) Modal sosial dan kelembagaan masyarakat yang memiliki legitimasi

Sumber: Modifikasi Adger et.al. (2005) diacu dalam Hartoto et al. (2009)

2.3 Kerentanan (Vulnerability)

Konsep kerentanan didefinisikan sebagai atribut yang potensial dari suatu sistem untuk dirusakkan oleh dampak-dampak yang bersifat exogenous. Dalam hal ini, tingkat gangguan eksternal diperkirakan dengan menggunakan variabel- variabel ekologi dan ekonomi dalam menyusun indeks kerentanan. Tujuan dari suatu indeks kerentanan adalah untuk menaksir tingkat gangguan eksternal pada suatu sistem. Berbagai potensi kerusakan yang dianggap berbahaya adalah resiko- resiko secara antropogenik dan alamiah. Resiko-resiko adalah suatu kejadian dan proses-proses yang dapat mempengaruhi integritas biologi atau kesehatan ekosistem. Manusia dan lingkungan alami sudah memiliki kapasitas untuk menyerap gangguan yang kapasitasnya kecil. Semakin besar tingkat kerentanan, pada gilirannya akan menjadi penghalang yang lebih besar pada pembangunan berkelanjutan (Adrianto dan Matsuda 2002, 2004).

Menurut Luers (2005), karakteristik kerentanan, yaitu sensitivitas,

tersebut telah muncul dari resiko dan bahaya terkait keamanan pangan dan telah terintegrasi ke dalam wacana penelitian masyarakat terkait perubahan lingkungan global. Beberapa kerangka konseptual telah diusulkan dengan menggabungkan konsep-konsep untuk menjelaskan proses secara umum yang mengacu pada kerentanan masyarakat dan tempat. Tujuan utama dari penilaian kerentanan adalah mengidentifikasi masyarakat atau tempat yang paling rentan terhadap bahaya dan mengidentifikasi tindakan untuk mengurangi kerentanan. Kompleksitas sistem sosial-ekologi sering menyulitkan dalam mengidentifikasi kerentanan. Hal ini menjadi tantangan terutama untuk penilaian di tingkat lokal dan nasional yang berfokus pada evaluasi kerentanan masyarakat atau tempat yang disebabkan oleh satu atau banyak tekanan, tanpa secara eksplisit menyatakan karakteristik masyarakat dan tempat yang dianggap rentan.

Isu kerentanan pada umumnya terkait dengan topik pembangunan berkelanjutan. Konsep kerentanan menjadi bagian dari batasan keberlanjutan, seperti konsep standar keamanan minimum, standar mutu, daya dukung lingkungan, kapasitas lingkungan, maximum sustainable yield, beban kritis, dan ruang pemanfaatan lingkungan hidup. Batasan keberlanjutan sedikitnya memiliki empat atribut, yaitu (1) dinyatakan dalam satu atau lebih parameter yang terukur, (2) parameter tersebut terhubung ke sasaran keberlanjutan, (3) parameter memiliki suatu skala geografis yang sesuai, dan (4) parameter memiliki dimensi waktu yang relevan. Parameter-parameter tersebut idealnya harus merencanakan faktor-faktor kuantitatif, tetapi dalam kenyataannya sering disajikan informasi kualitatif yang tidak jelas dan tidak lengkap (Adrianto dan Matsuda 2002).

2.4 Resiliensi (Resilience)

Konsep resiliensi dalam sistem ekologi diperkenalkan oleh Holling pada tahun 1973 dalam Annual Review of Ecology and Systematics mengenai hubungan antara resiliensi dan stabilitas. Tujuannya untuk menjelaskan model perubahan dalam struktur dan fungsi sistem ekologi. Gagasan resiliensi berkembang sebagai sebuah konsep untuk memahami dan mengelola sistem manusia dan alam. Beberapa ahli ekologi mempertimbangkan resiliensi sebagai ukuran seberapa cepat sistem dapat kembali pada kondisi keseimbangan setelah adanya gangguan.

Resiliensi sebagai ukuran seberapa jauh sistem dapat terganggu tanpa pergeseran ke rejim yang berbeda (Walker et al. 2006).

Menurut Adrianto dan Matsuda (2004), terdapat dua konsep yang agak berbeda terkait dengan resiliensi. Konsep yang pertama mengacu pada beberapa sifat sistem yang mendekati keseimbangan tetap. Konsep yang kedua dipromosikan oleh Holling (1973), yaitu menggambarkan sebagian gangguan yang dapat diserap sebelum sistem berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Mengacu konsep yang kedua, resiliensi memusatkan pada perkiraan tingkat gangguan atau external shocks yang merepresentasikan indeks kerentanan.

Resiliensi bertujuan menghindarkan sistem sosial-ekologi berpindah ke formasi yang tidak dikehendaki. Hal ini bergantung pada sistem yang dapat menanggulangi external shocks walaupun berhadapan dengan ketidakpastian. Pada gilirannya membutuhkan pemahaman dimana resiliensi berada di dalam sistem, dan kapan serta bagaimana dapat bertahan atau hilang. Proses peningkatan resiliensi untuk perubahan yang tidak terduga, berbeda dengan proses untuk memperbaiki kinerja sistem selama masa pertumbuhan dan keseimbangan. Keduanya diperlukan tetapi lebih ditekankan pada ekosistem yang sudah dimanfaatkan manusia. Pengambilan keputusan melalui proses analisis kebijakan yang memaksimalkan kegunaan atau memperkecil kerugian (Walker et al. 2002).

Konsep resiliensi berusaha untuk memahami sumber dan peran perubahan, khususnya jenis perubahan transformasi dalam sistem kapasitas beradaptasi (Redman dan Kinzig 2003). Kapasitas beradaptasi merupakan kemampuan sistem sosial-ekologi untuk menghadapi situasi baru tanpa kehilangan pilihan dimasa depan. Dalam hal ini, resiliensi merupakan kunci untuk meningkatkan kapasitas berdaptasi. Kapasitas beradaptasi dalam sistem ekologi terkait dengan keanekaragaman genetik, keanekaragaman biologi, kemajemukan lansekap. Dalam sistem sosial, keberadaan institusi dan jaringan pembelajaran yang memiliki pengetahuan, pengalaman dalam pemecahan masalah, serta keseimbangan kekuatan diantara kelompok kepentingan memiliki peran penting dalam kapasitas beradaptasi.

Resiliensi ekologi sistem perairan dan lahan basah sebagai jumlah gangguan dimana sistem dapat menyerap tanpa perubahan struktur dan komposisi.

Resiliensi ekologi terkait dengan perubahan variabel secara perlahan seperti tanah atau kandungan nutrien, struktur habitat, laut, dan faktor iklim. Resiliensi telah diuji dengan gangguan dalam bentuk kekeringan atau siklus banjir dan sedimentasi. Resiliensi erosi merupakan hasil dari intervensi manusia yang menstabilkan proses ekosistem, seperti mitigasi dari banjir dan kekeringan atau kebakaran (Gunderson et al. 2006).

Menurut Folke et al. (2002), terdapat empat faktor penting yang saling berhubungan untuk mengatasi dinamika sumberdaya alam selama perubahan dan

re-organisasi, yaitu (1) belajar dengan perubahan dan ketidakpastian, (2) memelihara keragaman, (3) mengkombinasikan berbagai macam pengetahuan,

dan (4) menciptakan peluang untuk pengorganisasian diri.