• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2 Sistem Imun

2.2.2 Sistem Imun Spesifik

a. Humoral

Pemeran utama dalam sistem sel imun spesifik humoral adalah sel B atau limfosit B. Sel B berasal dari sel asal multipoten di sumsum tulang. Sel B yang dirangsang oleh benda asingkan berpoliferasi, berdiferensiasi dan berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Antibodi yang dilepaskan dapat ditemukan di dalam serum (Baratawidjaja, 2009). b. Selular

Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik selular. Sel T berasal dari sumsum tulang tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi dalam timus atas pengaruh berbagai faktor asal timus. Sel T terdiri dari beberapa subset sel dengan fungsi yang berlainan yaitu CD4+ (Th1,

Th2), CD8+ ( CTL/Tc ) dan Ts ( sel Tr / Th. )

12

Gambar 2.4 Gambaran umum sistem imun (Baratawidjaja, 2009) Fungsi sistem imun spesifik selular adalah pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraselular, virus, jamur, parasit dan keganasan. Sel CD4+ mengaktifkan sel Th yang selanjutnya mengaktifkan makrofag

untuk menghancurkan mikroba. Sel CD8+ memusnahkan sel terinfeksi.

(Baratawidjaja, 2009)

2.2.3 Imunomodulator

Imunomodulator adalah obat yang diharapkan dapat mengembalikan, memperbaiki dan mengembalikan ketidakseimbangan sistem imun yang fungsinya terganggu atau menekan fungsinya yang berlebihan. Imunorestorasi dan imunostimulasi disebut imunopotensiasi atau up regulation, sedangkan imunosupresi disebut down regulation.

Imunorestorasi ialah suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun yang terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem imun, seperti immunoglobulin dalam bentuk ISG, HSG, plasma, plasmapheresis, leukopheresis, transparansi sumsum tulang, hati dan timus (Baratawidjaja, 2009).

Imunostimulan atau imunopotensiasi adalah cara memperbaiki fungsi sistem imun dengan menggunakan imunostimulan yaitu bahan yang merangsang sistem imun. Bahan yang disebut imunostimulator yaitu

hormon timus, limfokin, interferon, antibodi monoklonal, ekstrak leukosit, bahan asal bakteri dan jamur juga bahan sintetik seperti levamisol, isoprinosin, muramil dipeptida dan lain-lain. Imunosupresi merupakan suatu tindakan untuk menekan respons imun. Kegunaannya di klinik terutama pada transplantasi untuk mencegah reaksi penolakan dan pada berbagai penyakit inflamasi yang menimbulkan kerusakan atau gejala sistemik, seperti autoimun atau autoinflamasi. Bahan yang berfungsi sebagai imunosupresi seperti steroid (glukokortikoid dan kortikosteroid), cytosan, metotreksat dan lain-lain. (Baratawidjaja, 2009).

2.3 Sitokin

Sitokin merupakan protein pemberi sinyal intraselular yang bekerja secara lokal dengan parakrin atau autokrin dengan terikat pada reseptor yang memiliki afinitas dan memacu reaktivitas sistem imun, baik pada imunitas spesifik atau nonspesifik. Sitokin diproduksi oleh makrofag atau monosit (monokin), limfokin (limfosit), sel – sel endotel, hepatosit, sel – sel epitel keratinosit, dan firoblas. Sitokin jika dijumpai dalam sirkulasi, biasanya terdapat dalam konsentrasi pikogram permililiter (pg/mL) (Baratawidjaja, 2009; Isselbacher et al., 1999).

Sitokin berperan dalam imunitas nonspesifik dan spesifik dan mengawali, mempengaruhi dan meningkatkan respon nonspesifik. Makrofag diransang oleh IFN-γ, TNF-α, dan IL – 1 disamping juga memproduksi sitokin – sitokin tersebut. IL – 1, IL – 6, TNF-α, merupakan

sitokin proinflamasi dan inflamasi spesifik (Baratawidjaja, 2009).

2.4 Interleukin – 1 (IL – 1 )

Pada tahun 1970 diketahui bahwa makrofag penyaji antigen juga melepaskan sebuah faktor telarut, interleukin-1, yang mengaktifkan limfosit – T dan menginduksi produksi sebuah faktor sekunder, interleukin-2, yang meransang proliferasi dan produksi immunoglobulin oleh limfosit – B. Pembebasan faktor – faktor ini berfungsi untuk melipatgandakan dan menunjang respon imun (Bloom, 1994).

Interleukin-1 dahulu dikenal sebagai leukocyte activating factor

(LAF), B cell activator factor (BAF), mononuclear cell factor (MCF),

14

leucocyte endogenous mediator (LEM), hemeopoetin-1 dan sejumlah nama lain, tetapi dengan ditemukan antibodi terhadap IL-1 dan rekombinan IL-1, saat ini nama IL-1 diberikan pada subtansi ini. Monosit atau makrofag yang disebut sel kupffer, sel Langerhans, sel dendritik maupun makrofag yang terdapat dalam paru – paru, limpa atau tempat lain, merupakan sumber utama IL-1. IL-1 juga dapat disintesis oleh hampir semua sel berinti yang lain, tetapi tidak oleh eritrosit. Saat ini sudah diketahui bahwa fungsi utama IL-1 adalah mediator respons inflamasi pejamu pada imunitas bawaan (Kresno, 1996)

Interleukin adalah bagian dari sitokin yang disintesis oleh limfosit, monosit dan sel – sel lain yang merangsang pertumbuhan sel T, sel B dan sel hematopoiesis. Interleukin 1 sampai interleukin 18 mempunyai fungsi biologis yang variasi (Cruse dan Lewis, 2003). IL-1 adalah sitokin yang diproduksi terutama dengan aktivasi mononuklear fagosit yang berfungsi sebagai mediator inflamasi pada respon imun nonspesifik, meningkatkan proliferasi sel Th dan pertumbuhan serta diferensiasi sel B (Abbas dan Licthtman, 2004)

Interleukin – 1 terdiri dari dua bentuk yaitu α dan β. Keduanya

berikatan pada reseptor yang sama dan memiliki aktivitas biologi yang sama termasuk berinteraksi dengan sel endotel untuk meningkatkan pengaturan ekspresi molekul adhesi pada sel endotel, menstimulasi produksi kemokin oleh sel endotel dan makrofag juga menginduksi sintesis protein fase akut oleh hepar. IL α dan β mempunyai kesamaan

berat molekul umum kurang lebih 17,5 kDa dan mempunyai 26 % asam amino yang homolog (Abbas dan Licthtman, 2004; Isselbacher et al.,

1999)

Fungsi utama IL – 1 adalah sama dengan TNF, yaitu mediator terhadap infeksi dan ransangan lain. IL – 1 bersama TNF berperan pada imunitas nonspesifik. Sumber utama IL – 1 yaitu fagosit mononuklear yang diaktifkan, makrofag, sel – sel endotel, sel dendritik, sel – sel Langerhans. Efek biologis IL – 1 sama seperti TNF yang tergantung dari jumlah yang diproduksi (Baratawidjaja, 2009; Johnson et al., 2011).

Dampak biologis IL-1 bergantung pada jumlah sitokin yang dilepaskan pada kadar rendah fungsi utamanya adalah sebagai mediator inflamasi lokal, misalnya berinteraksi dengan sel endotel untuk meningkatkan koagulasi dan meningkatkan ekspresi molekul permukaan yang membantu adhesi leukosit. Dalam kadar tinggi IL-1 masuk ke dalam sirkulasi dan melancarkan efek endokrin, misalnya menyebabkan demam, menginduksi sintesis protein fase akut oleh hepar dan mengawali kakeksia. IL-1 berfungsi meningkatkan pertumbuhan dan diferensiasi limfosit, disamping itu IL-1 merangsang secara nonspesifik ekspresi berbagai reseptor antigen pada permukaan sel sehingga secara tidak langsung meningkatkan respons imun spesifik. (Kresno, 1996)

Daya kerja imunologik utama interleukin – 1 yaitu meransang reseptor IL-2 muncul dalam sel – sel T, meningkatkan pengaktifan sel B, menginduksi timbulnya demam, reaktan fase akut dan IL – 6. Meningkatkan resistensi nonspesifik, (Johnson et al., 2011).

Interleukin-1β sangat poten sebagai sitokin pro inflamasi dan

terlibat pada berbagai respons melawan antigen. Pada proses inflamasi sistem imun akan melepaskan sitokin pro inflamasi yaitu : IL-1β, Il-6 dan TNF-α. (Omar, 2001). IL-1β dikeluarkan oleh peripheral blood mononuklear jika terkena agen inflamasi. Ketika dikeluarkan ke dalam darah IL-1β memiliki aktivitas yang luas dan berperan dalam penyakit inflamasi (Haq et al., 1999). IL-1β, tetapi tidak IL-1α berpotensi ssebagai

aktivator respons imun humoral dan dan IL-Ra mempunyai peran penting dalam mengatur fungsi sistem imun (Nakae et al., 2001).

2.5 Leukosit

Leukosit merupakan sel darah yang memiliki nukleus dan tidak bewarna dalam keadaan segar. Bentuknya bulat dalam peredaran darah, tetapi berupa sel ameboid pleimorfik dalam jaringan, atau pada substrat padat invivo. Leukosit terdiri dari leukosit leukosit granular atau leukosit nongranular. Leukosit granular terdiri dari eosinofil, basofil, dan neutrofil. Leukosit bergranular terdiri dari dari limfosit dan monosit. Jumlah leukosit dalam sirkulasi berkisar antara 5000 sampai 9000 permilimeter kubik

16

darah, tetapi jumlah ini bervariasi sesuai umur, bahkan pada waktu yang berbeda sepanjang hari. Jumlah leukosit dalam jaringan dan organ sangat besar tetapi tidak dapat dihitung. Variasi kecil jumlah leukosit tidak mempunyai arti klinik, tetapi adanya infeksi dalam tubuh, meningkatkan leukosit sampai 20.000 bahkan 40.000 permilimeter kubik darah. Jumlah relatif berbagai jenis leukosit, disebut hitung jenis leukosit, biasanya cukup konstan: neutrofil 55-60%; eosinofil 1-3%; basofil 0.07%; limfosit 22-33% dan monosit 3-7% . (Bloom, 1994).

Leukosit berfungsi untuk melindungi tubuh terhadap invasi benda asing, termasuk bakteri dan virus. Sebagian besar aktivitas leukosit berlangsung dalam jaringan dan bukan dalam aliran darah. Pelepasan zat kimia oleh jaringan yang rusak menyebabkan leukosit bergerak mendekati (kemotaksis positif) atau menjauhi (kemotaksis negatif) sumber zat. Semua lekosit adalah fagositik, tetapi kemampuan ini lebih berkembang pada neutrofil dan monosit. Setelah diproduksi di sumsum tulang, leukosit bertahan kurang lebih satu hari dalam sirkulasi sebelum masuk ke jaringan. Sel ini tetap dalam jaringan selama beberapa hari, beberapa minggu, atau beberapa bulan, bergantung jenis leukositnya. Infeksi atau kerusakan jaringan mengakibatkan peningkatan jumlah leukosit. (Sloane, 1995)

2.6 Limfosit

Sebanyak 20% dari semua leukosit dalam sirkulasi darah orang dewasa merupakan limfosit yang terdiri dari sel B dan sel T yang merupakan kunci pengontrol sitem imun. Biasanya sel limfosit hanya memberikan reaksi terhadap zat asing tetapi tidak terhadap selnya sendiri (Baratawidjaja, 2009).

Struktur limfosit mengandung nukleus bulat bewarna biru gelap yang berkeliling lapisan tipis sitoplasma. Ukurannya bervariasi; ukuran

terkecil 5 μm sampai 8 μm; ukuran terbesar 15 μm. Limfosit berasal dari sel – sel batang sumsum tulang merah, tetapi melanjutkan differensiasi dan proliferasinya dalam organ lain. (Sloane, 1995)

Tabel 2.4 Limfosit yang berperan dalam respon imun spesifik (Baratawidjaja, 2009)

Jenis Sel Fungsi Sel Produk Fungsi Produk

B Produksi antibodi Presentasi antigen Antibodi Neutralisasi Opsonisasi Lisis sel Th2 Meningkatkan

prosuksi antibodi oleh sel B

Meningkatkan Tc Aktif

Sitokin 3, IL-4, IL-5, IL-10, IL-13 Membantu sel B dan Tc Th1 Mengawali dan meningkatkan inflamasi IL-2, IFN γ , TNF Mediator inflamasi Tr Menurukan produksi antibodi sel B Menurunkan sel T aktif Faktor suppressor Suppress Th akibatnya mensupress B dan Tc juga

Tc Lisis sel target

antigenic IFN γ Perforin Meningkatkan ekspresi MHC Aktivasi sel NK Merusak Membran sel target NKT Pemusnahan sel sasaran IL-4,IFN γ 2.7 Monosit

Monosit mencapai 3 % sampai 8 % dari jumlah total leukosit dan merupakan sel darah terbesar, diameternya rata – rata berukuran 12 μm – 18 μm. Nukleus besar berbentuk telur atau seperti ginjal, yang dikelilingi sitoplasma bewarna biru keabuan pucat. Monosit sangat aktif. Sel ini siap

18

bermigrasi melalui pembuluh darah. Jika monosit telah meninggalkan aliran darah, maka sel ini menjadi histiosit jaringan (makrofag tetap) (Sloane, 1995). Monosit berperan sebagai APC, mengenal, menyerang mikroba, dan sel kanker dan juga memproduksi sitokin, mengerahkan pertahanan sebagai respon terhadap infeksi (Baratawidjaja, 2009).

2.8 Enzyme Linked Immunosorbent Assay ( Elisa )

Elisa adalah pemeriksaan yang praktis dan sensitif untuk menemukan antibodi. Antigen mula – mula diikat benda padat kemudian ditambah antibodi yang dicari. Setelah itu ditambahkan lagi antigen yang bertanda enzim, seperti peroksidase dan fosfatase. Akhirnya ditambahkan subtrat kromogen yang bila bereaksi dengan enzim dapat menimbulkan warna. Perubahan warna yang terjadi sesuai dengan jumlah enzim yang diikat dan sesuai pula dengan kadar antibodi yang dicari (Baratawidjaja, 2009; Johnson et al., 2011).

Prinsip dasar teknik ELISA adalah interaksi total antara antigen dan antibodi yang teradsorpsi secara pasif pada permukaan fase padat (permukaan microwellplate) yang terbuat dari plastik (polipropilen atau polietilen). Hasil interaksi yang berupa lapisan monomolekuler tersebut kemudian direaksikan dengan enzim peroksidase yang telah dikonyugasikan dengan avidin. Enzim peroksidase yang terikat kemudian akan bereaksi dengan larutan 2,2’-azino-bis-3ethylbenzothiozoline-6-sulfonic acid (ABTS) yang ditambahkan dan membentuk warna hijau. Warna hijau ini intensitasnya dapat diukur secara visual atau dengan alat spektrofotometer. Makin banyak antigen yang berinteraksi dengan antibodi makin tinggi intensitas warnanya. (Sumartini et al., 2002)

Interaksi antara antigen dan antibodi dapat terjadi karena ikatan hidrogen antara gugus – gugus bermuatan yang terdapat pada keduanya, selanjutnya terjadi ikatan elektrostatik yang timbul karena muatan listrik yang muncul kemudian karena interaksi keduanya. Ikatan Van Der Waals

juga timbul karena muatan listrik yang muncul kemudian karena interaksi keduanya. Ikatan Van Der Waals juga timbul karena muatan positif dan negatif antara kelompok gugus pada antigen dan antibodi. Hasil interaksi

antigen dan antibodi ini akhirnya akan menghasilkan molekul air. Jadi agar interaksi terjadi maksimum maka molekul air dalam microwellplate

sedapat mungkin dihindarkan keberadaannya. Setiap tahapan reaksi tersebut diatas selesai maka selalu diikuti dengan pencucian larutan garam jadi kelebihan pereaksi antibodi atau antigen akan terbuang bersama larutan garam. Oleh karena itu bila tidak ada antigen dan antibodi yang berinteraksi secara spesifik, reaksi selanjutnya takkan terjadi dan warna yang diharapkan timbul tak ada (Sumartini et al., 2002)

1. Direct ELISA

Antigen ditambahkan sehingga teradsorbsi pada fase padat selama proses inkubasi. Setelah diikunbasi, antigen yang tidak terikat pada fase padat dicuci. Antibodi yang spesifik terhadap antigen yang telah dilabel dengan enzim (konjugasi) ditambahkan dan diinkubasi. Konjugat akan berikatan dengan antigen pada fase padat. Selanjutnya konjugat yang tidak terikat dicuci. Kemudian ditambahkan substrat atau kromogen. Sehingga menghasilkan warna melalui proses katalisis enzim. Perubahan warna yang terjadi diukur menggunakan spektrofotometer (Crowther, 2001).

2. Indirect ELISA

Antigen ditambahkan sehingga teradsorbsi pada fase padat selama proses inkubasi. Antibodi ditambahkan dan diinkubasi kemudian antibodi akan mengikat antigen spesifik pada fase padat. Antibodi yang tidak terikat dengan antigen fase padat dicuci. Kemudian Antibodi yang telah dilabel enzim (konjugat) berupa antibodi antispesies ditambahkan, sehingga semua antibodi yang terikat dengan antigen akan diikat selanjutnya diinkubasi dan konjugat yang berlebih dicuci. Substrat ditambahkan untuk mengikat konjugat dan setelah terjadi perubahan warna, reaksi dihentikan. Kemudian warna yang terjadi dibaca pada spektrofometer (Crowther, 2001)

20

3. Direct Sandwich ELISA

Antibodi ditambahkan sehingga teradsorbsi pada fase padat selama proses inkubasi Antibodi yang bebas dicuci. Kemudian antigen ditambahkan lalu diinkubasi sehingga antigen berikatan dengan antibodi selama proses inkubasi dan antigen yang tidak terikat dicuci. Kemudian ditambahkan konjugat antibodi yang sama atau berbeda dengan antibodi pada fase padat. Setelah ditambahkan konjugat diinkubasi, konjugat bebas dicuci. Penambahan substrat sampai terjadi perubahan warna kemudian reaksi dihentikan dan diukur kuantitas warnanya menggunakan spektrofotometer (Crowther, 2001).

4. Indirect Sandwich

Antibodi ditambahkan sehingga teradsorbsi pada fase padat selama proses inkubasi. Antibodi yang bebas dicuci selanjutnya ditambahkan antigen. Antigen akan berikatan dengan antibodi pada fase padat selama proses inkubasi lalu antigen yang tidak terikat dicuci. Selanjutnya ditambahkan antibodi (Ab2) yang berbeda dengan antibodi pada fase padat. Kemudian diinkubasi, Ab2 bebas dicuci. Konjugat antispesies ditambahkan yang dapat mengikat serum yang berasal dari spesies yang sama dengan Ab2 tetapi tidak dapat bereaksi dengan antibodi fase padat. Lalu ditambahkan substrat sampai terjadi perubahan warna kemudian reaksi dihentikan dan diukur dengan spektrofotometer (Crowther, 2001).

2.9 Lipopolisakarida

Lipolisakarida merupakan salah satu lapisan dinding sel bakteri Gram negatif yang tersusun atas dua lapisan lipid, polisakarida, dan protein. Lipid dan polisakarida terikat pada lapisan luar dari membrane terluar membentuk struktur lipopolisakarida. Polisakarida dalam LPS tersusun atas dua bagian, yaitu polisakarida inti dan O-polisakarida. Bagian lipid dalam lipopolisakarida disebut dengan lipid A. Bagian lipid A tersebut merupakan bagian yang toksik dalam lipopolisakarida (Madigan, 2003).

Lipopolisakarida merupakan komponen dinding sel bakeri yang menstimulasi respons inflamasi dengan mengaktivasi sitokin pro inflamasi (Manu dan Kuttan, 2008)

BAB 3

Dokumen terkait