• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tugas akhir ini terdiri dari lima bab, yang masing-masing bab terdiri dari sub-sub bab yang terkait erat dan merupakan kesatuan yang utuh. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan, bab ini menguraikan latar belakang masalah, focus penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

BAB II Kajian Teori, bab ini akan memuat landasan teoritik dan telaah pustaka. Kerangka awal teori yang digunakan sebagai landasan melakukan penelitian yang meliputi pengertian pola asuh, metode penerapan dan kitab Al-akhla>k lil Bana>t.

BAB IIIData Penelitian, merupakan temuan penelitian. Bab ini mendeskripsikan tentang gambaran umum asrama Kanzul Huda SMK Ki Hajar Dewantara Gundik Slahung Ponorogo, dan juga mendeskripsikan kegiatan kajian kitab Al-akhla>k lil Bana>t di asrama Kanzul Huda.

BAB IV Analisis Temuan Penelitian, bab ini berisi tentang deskripsi data dan hasil analisis data.

BAB V Penutup, bab ini memuat kesimpulan penelitian dan saran-saran.

BAB II

PEMBAHASAN

A. KAJIAN TEORI

1. Pola Pengasuhan

a. Pengertian Pola Asuh

Pola asuh merupakan bagian dari proses pemeliharan anak dengan menggunakan teknik dan metode yang menitikberatkan pada kasih sayang dan ketulusan cinta yang mendalam dari orang tua.

Pola pengasuhan adalah bentuk perlakuan/tindakan pengasuh untuk memelihara, melindungi, mendampingi, mengajar dan membimbing anak selama masa perkembangan. Pengasuhan berasal dari kata asuh yang mempunyai makna menjaga, merawat, dan mendidik anak yang masih kecil.

Pengasuhan anak (Child Rearing) adalah salah satu bagian penting dalam proses sosialisasi. Pengasuhan anak dalam suatu masyarakat berarti suatu cara dalam mempersiapkan seseorang menjadi anggota masyarakat. Artinya mempersiapkan orang itu untuk dapat bertingkah laku sesuai dengan dan berpedoman pada kebudayaan yang didukungnya. Dengan demikian, pengasuhan anak yang merupakan bagian dari sosialisasi pada dasarnya berfungsi untukmempertahankan kebudayaan dalam suatu masyarakat tertentu.

Mohammad Takdir Ilahi, Quantum Parenting: Kiat Sukses Mengasuh Anak Secara Efektif dan Cerdas (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), 133.

Lebih lanjut, proses sosialisasi tersebut tersirat ke dalam tiga tahap kegiatan. Khaerudin membagi ke dalam tiga tahap, yaitu:

1. Tahap belajar (Learning). Dalam tahap ini sosialisasi berlangsung dan individu mengalami proses belajar.

2. Tahap penyesuaian diri terhadap lingkungan. Individu tidak begitu saja melakukan tindakan yang dianggap sesuai dengan dirinya karena individu memiliki lingkungan di luar baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.

3. Tahap pengalaman mental. Pengalaman seseorang akan membentuk suatu sikap pada diri seseorang yang mana di dahului oleh suatu kebiasaan yang menimbulkan reaksi yang sama terhadap masalah yang sama.

Yang patut dicatat dalan proses pengasuhan anak dan perlu diperhatikan adalah: 1) orang yang mengasuh, serta 2) cara penetapan larangan/keharusan yang dipergunakan. Penetapan larangan maupun keharusan terhadap pola pengasuhan anak beraneka ragam. Tetapi pada prinsipnya cara pengasuhan anak ini setidaknya mengandung sifat:

1. Pengajaran (Intructing). Pengajaran di sini diartikan sebagai bagaimana mensosialisasikan nilai-nilai, norma, larangan, keharusan yang harus ditaati dan diketahui anak, dan juga pendidikan (moral maupun intelektual), penerapan disiplin, dan lain-lain.

2. Pengganjaran (Rewarding). Menurut Hurlock pengganjaran dalam pola pengasuhan dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu:

a) Hukuman. Berarti menjatuhkan hukuman pada seseorang karena suatu kesalahan, perlawanan/pelanggaran sebagai ganjaran atau pembalasan.

b) Penghargaan. Istilah penghargaan berarti tiap bentuk penghargaan untuk setiap hasil yang baik. Penghargaan tidak harus dalam bentuk materi, tetapi dapat berupa kata-kata pujian, senyuman/tepukan di punggung.

c) Pembujukan (Inciting). Membujuk berarti menggunakan kata-kata manis untuk memikat hati. Sedangkan pembujukan adalah hal/perbuatan membujuk.

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Pengasuhan

Faktor yang mempengaruhi pola pengasuhan adalah faktor pendidikan, kasih sayang dan pemahaman terhadap norma dan mobilitas orang tua. Faktor kasih sayang merupakan faktor yang penting dalam keluarga. Jika tidak terpenuhinya kebutuhan kasih saying dan orang tua yang tidak berada di rumah maka anak menyebabkan hubungan terhadap anak kurang ajrab/intim. Orang tua sebagai pemimpin adalah suatu faktor penentu dalam menciptakan keakraban hubungan dalam keluarga.

Pusat Penelitian Kependudukan, LPPM UNS dengan UNICEF. Pola Pengasuhan Anak di Panti Asuhan dan Pondok Pesantren. (Online), (http://www.surakarta.ac.id, diakses 8 Juni 2017.

Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), 4.

Menurut Moh. Shochib dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi adalah lingkungan social dan budaya, pendidikan, dan nilai-nilai agama. Orang tua dapat merealisasikan dengan cara menciptakan kondisi dan situasi yang bisa dihayati oleh anak, agar anak memiliki dasar-dasar disiplin diri.Sedangkan menurut Imam Hambali faktor yang mempengaruhiadalah keluarga yang negative, ketegangan keluarga dan miskinnya teladan keagamaan.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh adalah pendidikan, lingkungan, budaya, dan nilai-nilai agama.

c. Tantangan Mengasuh

Mengasuh merupakan salah satu kegiatan yang penuh dengan tantangan-tantangan. Jika pengasuh menghadapi individu yang kooperatif, mungkin pengasuhan tidak terlalu membebani. Akan tetapi, dalam beberapa kondisi, pekerjaan mengasuh bahkan menempatkan seseorang dalam situasi yang kurang menguntungkan, bahkan membahayakan.

Kegiatan mengasuh anak pada umumnya memiliki landasan tujuan yang sama, yaitu:

1) Memberikan landasan kehidupan keluarga pada anak-anak

2) Agar kelak anak menjadi adaptif dalam menyiasati kehidupan mereka

Moh. Shochib, Pola Asuh Orang Tua (dalam membentuk anak mengembangkan disiplin anak), (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2010), 16.

3) Menanamkan sikap disiplin pada anak 4) Membangun rasa percaya diri anak.

Sejumlah orang tua dapat bersyukur bahwa mereka tak terlalu sulit menanamkan landasan kehidupan keluarga pada anak, mendidik anak-anak menjadi lebih adaptif, mendisiplinkan anak dan membangun rasa percaya diri mereka. Akan tetapi, tantangan perubahan zaman dan pengaruh lingkungan kehidupan adakalanya menghambat proses pengasuhan orang tua atas diri anak-anak mereka.

Di samping itu, anak-anak juga tidak sekedar diasuh oleh orang tuanya, namun oleh lingkungan sosialnya yang lebih luas, termasuk para guru di sekolah dan orang-orang lain di sekeliling hidup mereka. Ada kalanya pengasuhan orang tua dan pengasuhan orang lain atas diri anak yang sama tidak berlangsung selaras dan menimbulkan berbagai konflik di dalam diri anak, sehingga anak merasa sulit menerima nilai-nilai yang ditanamkan di dalam diri mereka. Akibatnya, anak tersebut akan menunjukkan masalah dalam perkembangan perilakunya, dan hal ini menimbulkan tekanan baru bagi orang tua atau bagi mereka yang ditugaskan untuk mengasuh mereka.

Idealnya, pengasuh diharapkan dapat menjadi tokoh teladan bagi anak-anak. Namun, akibat tekanan-tekanan yang mereka rasakan akibat kegiatan mengasuh, para pengasuh cenderung memperlakukan anak dengan kata-kata kasar (termasuk mencemooh) dan adakalanya

mereka menanamkan disiplin diri pada anak dengan melakukan tindak kekerasan pada anak.

d. Tantangan Komunikasi dalam Pengasuhan

Pada umumnya, orang tua berharap bahwa anak-anak mereka dapat tumbuh berkembang sebagai generasi tangguh. Anak-anak tersebut tidak rentan terhadap berbagai tekanan. Sebaliknya, mereka mampu menghadapi tekanan dan lebih mampu mandiri sehingga tdak terlalu membebani orang tua mereka dengan berbagai keluhan.

Hall, Burns, dan Pawluski (2003) menjelaskan bahwa pengasuh perlu mewaspadai pentingnya peran bahasa dalam memberikan pengasuhan kepada anak, karena label-label atau istilah-istilah yang dikemukakan oleh pengasuh pada anak akan mempengaruhi kelayakan anak dalam berkomunikasi dan mencerna informasi yang mereka terima. Oleh karena itu, seorang pengasuh juga harus terus mengasah kemampuan bahasa mereka dalam menenerapkan dan menanamkan pola pngasuhan atas diri anak.

Hall et al. (2003) juga menjelaskan bahwa orang tua atau pengasuh perlu memperkaya khazanah kosakata mereka sendiri karena kekayaan khazanah berbahasa pada orang tua adalah sumber informasi penting bagi anak dalam mengekspresikan diri mereka kelak. Keterbatasan kemampuan orang tua dalam bertutur kata pada anak akan menimbulkan keterbatasan tutur kata anak-anak mereka

Singgih D. Gunarsa, Dari Anak Sampai Usia Lanjut (Jakarta: BPK Gnung Mulia, 2006), 296-298.

kelak, sementara keterbatasan kemampuan bertutur kata pada anak-anak mungkin menimbulkan kesenjangan komunikasi antara anak-anak dan pengasuh.

2. Akhlak

a. Pengertian Akhlak

Dalam pengertian sehari-hari akhlak umumnya disamakan artinya dengan budi pekerti, kesusilaan, atau sopan santun. Menurut Ibnu Maskawaih akhlak adalah “Keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran lebih dulu”.

Akhlak Islam adalah sebagai alat untuk mengontrol semua perbuatan manusia, dan setiap perbuatan manusia diukur dengan sumber yaitu al-Qr’an dan Hadits. Dengan demikian, kita harus mendasarkan pada al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber akhlak.

Akhlak terpuji pada seseorang dapat berfungsi mengantarkan manusia untuk mencapai kesenangan, keselamatan, dan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Adapun akhlak terpuji adalah akhlak yang disukai atau dicintai oleh Allah yakni tidak mengandung kemaksiatan. Dapat dikatakan, akhlak terpuji yakni melaksanakan amal yang baik dan meninggalkan maksiat yang diharamkan oleh Allah.

Singgih D. Gunarsa, Dari Anak Sampai Usia Lanjut (Jakarta: BPK Gnung Mulia, 2006), 299-300.

Akhlak manusia terdiri dari akhlak yang baik (al-akhla>k mah}mu>dah) dan akhlak yang tercela (al-akhla>k mazmu>mah). Akhlak terpuji atau al-akhla>k mah}mu>dahmaksudnya adalah perbuatan-perbuatan baik yang dating dari sifat-sifat batin yang ada dalam hati menurut syara’. Sedangkan sifat-sifat tercela atau keji atau al-akhla>k mazmu>mah menurut syara’ dibenci Allah dan Rasul-Nya yaitu sifat-sifat ahli maksiat pada Allah.

Jika akhlak dikaitkan dengan kata Islami, maka akan berbentuk akhlak Islami. Secara sederhana, akhlak Islami diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran Islam atau akhlak yang bersifat Islami. Kata Islam yang ada di belakang kata akhlak dalam menempati posisi sifat. Dengan demikian, akhlak Islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah daging, dan sumbernya berdasarkan pada ajaran Islam.

Jadi akhlak Islam bersifat mengarahkan, membimbing, mendorong, membangun peradaban manusia, dan mengobati penyakit social dari jiwa dan mental, serta tujuan berakhlak yang baik untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Artinya adalah bahwa akhlak Islam mengarahkan manusia pada jalan menuju fase kemanusiaan yang tinggi untuk mencapai kematangan peradaban yang bersumber pada ketentuan Ilahi.

Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 221-240. Khozin, Khazanah Pendidikan Agama Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 130.

Akhlak Islami seperti yang dikemukakan di atas adalah keadaan yang melekat pada jiwa manusia. Karena itu suatu perbuatan baru dapat disebut pencerminan akhlak, jika memenuhi beberapa syarat. Syarat itu antara lain adalah:

1) Dilakukan berulang-ulang. Jika dilakukan sekali saja, atau jarang-jarang, idak dapat dikatakan akhlak. Jika seseorang tiba-tiba, misalnya, memberi uang (derma) kepada orang lain Karenna alasan tertentu, orang itu tidak dapat dikatakan berakhlak dermawan.

2) Timbul dengan sendirinya, tanpa dipikir-pikir atau ditimbang berulang-ulang karena perbuatan itu telah menjadi kebiasaan baginya. Jika suatu perbuatan dilakukan setelah berpikir berulang-ulang dan ditimbang-timbang, apalagi karena terpaksa, perbuatan itu bukanlah pencerminan akhlak.

b. Prinsip Dasar dan Ruang Lingkup Akhlak dalam Islam

Pada dasarnya akhlak merupakan pantulan dari jiwa Al-Qur’an dan akhlak yang diajarkan Al-Qur’an bertumpu pada aspek fitrah yang terdapat dalam diri manusia dan aspek wahyu (agama), kemudian kemauan dan tekad manusiawi. Menurut Zakiyah Darajat, pendidikan akhlak dapat dilakukan dengan cara:

1) Menumbuhkembangkan dorongan dari dalam, yang bersumber pada iman dan taqwa;

2) Meningkatkan pengetahuan tentang akhlak Al-Qur’an lewat ilmu pengetahuan, pengamalan, dan latihan, agar dapat membedakan mana yang baik dan mana yang jahat;

3) Latihan untuk melakukan yang baik, serta mengajak orang lain untuk bersama-sama melakukan perbuatan baik tanpa paksaan; 4) Pembiasaan dan pengulangan melaksanakan yang baik, sehingga

perbuatan baik itu mnejadi keharusan moral dan perbuatan akhlak terpuji, kebiasaan yang mendalam, tumbuh dan berkembang secara wajar dalam diri manusia.

Adapun tujuan dari pendidikan akhlak ini adalah untuk membentuk manusia yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam bicara dan perbuatan, mulia dalam bertingkah laku, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur, dan suci. Dengan kata lain pendidikan akhlak bertujuan untuk melahirkan manusia yang memiliki keutamaan (al-fad}i>lah). Dari aspek ini ruang lingkup akhlak Islam meliputi:

1) Akhlak terhadap diri sendiri yang meliputi kewajiban terhadap dirinya disertai dengan larangan merusak, membinasakan dan menganiaya diri, baik secara jasmani (memotong dan merusak badan) maupun secara rohani (membiarkan larut dalam kesedihan);

2) Akhlak dalam keluarga, yang meliputi segala sikap dan perilaku dalam keluarga. Contohnya berbakti pada orang tua, menghormati orang tua, dan tidak berkata-kata yang menyakitkan mereka; 3) Akhlak dalam masyarakat yang meliputi sikap kita dalam

menjalani kehidupan social, menolong sesama, menciptakan masyarakat yang adil yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits; 4) Akhlak dalam bernegara yang meliputi kepatuhan terhadap U>lil

Amri selama tidak bermaksiat kepada agama, ikut serta dalam membangun Negara dalam bentuk lisan maupun;

5) Akhlak terhadap agama yang meliputi beriman kepada Allah, tidak menyekutukan-Nya, beribadah kepada Allah, taat kepada Rasulullah, serta meniru segala tingkah lakunya.

c. Pola Pengasuhan dalam Pembentukan Akhlak

Pengasuhan yang diterapkan oleh pengasuh asrama atau pondok pesantren kepasa siswanya berbeda antara pondok pesantren satu dengan pondok pesantren yang lain. Ada tiga jenis pola pengasuhan anak sebagai berikut;

1) Pola Asuh Otoriter

Menurut Chabib Thoha, pola asuh otoriter yaitu orang tua mengasuh anak dengan aturan-aturan yang ketat, seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orang tua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi. Anak

jarang diajak berkomunikasi dan bertukar pikiran dengan orang tua, sehingga orang tua merrasa sikapnya sudah benar. Pola ini biasanya menggunakan kekerasan dalam mengasuh anak, seperti kekerasan dengan menggunakan hukuman dan pengekangan atau menggunakan peraturan yang ketat dan kaku. Akibat dari pola ini, akan membuat perasaan anak terpukul disertai dengan perasaan marah terhadap orang yang membuatnya kecewa.

Menurut Andi Yudha Asfandiyar, pola pengasuh adalah orang tua memiliki posisi lebih tinggi. Anak yang dipandang bodoh, belum sampai akal, dan pendapatnya tidak perlu diperhatikan. Pola ini anak merasa tertekan dan tidak dihargai. Menurut Syaiful Bahri Djamarah, pola ini cenderung banyak memberikan perintah, berkuasa, untuk menyetujui dan pada umumnya agak kritis.

Dari teori di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoriter adalah cara mengasuh anak dengan tekanan dan paksaan, sehingga anak merasa kurang diperhatikan, anak akan merasa kecewa, menjadi tidak mandiri dan memiliki sikap pemberontakan.

Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1996), 111. Andi Yudha Asfandiyar, Creative Parenting Today: Cara Praktis Memicu dan Memacu Kreativitas Anak Melalui Pola Asuh Kreatif (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2012), 108.

Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), 69.

2) Pola Asuh Demokratis

Menurut Chabib Thoha, pola asuh demokratis merupakan pola yang ditandai dengan adanya pengakuan orang tua terhadap anak, dan anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung kepada orang tua. Orang tua memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang terbaik untuk anaknya, mendengarkan pendapat anaknya dan melibatkan anaknya dalam pembicaraan kehidupan anak itu sendiri.

Menurut Andi udha Asfandiyar, pola asuh ini cenderung hangat, menghargai anak, serta memberikan perhatian dan kasih sayang. Ketika anak memiliki masalah orang tua mau untuk menerima keluh kesah anak, sehingga anak merasa nyaman berada di dekat orang tua. Menurut Syaiful Bahri Djamarah, pola ini cenderung tidak seberapa banyak memberi saran, mempunyai disiplin diri, tidak kritis, bersifat objektif dengan anggota-anggota kelompoknya.

Pola asuh ini berbeda dengan pola asuh otoriter, orang ua bersikap hangat kepada anaknya, sehingga aturan dan semua disiplin yang dibuat oleh rang tua akan dengan sendirinya dilakukan oleh anak. Pola asuh yang demokratis ini akan

Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1996), 111. Andi Yudha Asfandiyar, Creative Parenting Today: Cara Praktis Memicu dan Memacu Kreativitas Anak Melalui Pola Asuh Kreatif (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2012), 108.

Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), 69.

mendorong perkembangan anak untuk berkepribadian yang positif.

3) Pola Asuh Permisif

Menurut Chabib Thoha, pola asuh permisif adalah pola asuh orang tua yang mendidik anak secara bebas, anak dianggap sebagai orang yang dewasa atau muda, ia diberi kelonggaran seluas-luasnya untuk melakukan apa saja yang dikehendakinya. Orang tua kurang mengontrol kegiatan anak, dan tidak memberikan bimbingan yang cukup bagi anaknya, orang tua menganggap semua yang dilakukan anaknya semua benar dan tidak perlu mendapat teguran dan bimbingan.

Menurut Andi Yudha Asfandiyar, pola asuh ini orang tua banyak mengeluarkan aturan dan serba diperbolehkan. Anak tidak dibiasakan mandiri dan hamper semua keinginannya dipenuhi, sehingga anak menjadi bebas, kurang memiliki control diri, kurang bertanggung jawab, kurang disiplin dan tidak memikirkan orang lain.

Menurut Syaiful Bahri Djamarah, istilah pola ini adalah

Laissez faire yaitu hanya memiliki kelebihan dalam menyampaikan informasi, memberikan kebebasan penuh bagi

Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1996), 112. Andi Yudha Asfandiyar, Creative Parenting Today: Cara Praktis Memicu dan Memacu Kreativitas Anak Melalui Pola Asuh Kreatif (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2012), 108.

anggota keluarga untuk mengambil keputusan individu dengan partisipasi orang tua maksimal.

Pola asuh seperti ini cenderung menjadikan anak-anak yang nakal, lemah, manja, dan tergantung serta bersifat kekanak-kanakan secara emosionalnya. Pola asuh ini sering menimbulkan kebencian karena orang tua terlalu memberikan kebebasan kepada anak sehingga anak akan merasa tidak diperhatikan dan kurang bertanggung jawab.

Dalam pola pengasuhan ini ada lagi yang penting diperhatikan yaitu:

a) Mendengarkan dan bicara secara efektif. Anak-anak mempunyai kebutuhan besar untuk didengarkan dan dipahami. b) Membangun komunikasi. Komunikasi perlu dibangun dan

tidak hanya membangun saja namun anak membutuhkan

reward (ganjaran) pumusiment (hukuman) bila perlu.

c) Ganjaran dan hukuman. Jika seseorang akan konsisten diberi penghargaan/ganjaran baik berupa material maupun inmaterial dalam mengajarkan sesuatu, maka dia akan menilai positif terhadap apa yang dilakukan.

d) Motivasi. Selain ganjra dan hukuman, juga sangat penting untuk memberi motivasi pada anak asuhnya agar mau mengikuti kegiatan social atau kegiatan lain yang positif.

Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), 69.

Marcolm Hardy dan Steve Heyes mengemukakan bahwa pola pengasuhan ditandai dengan 4 macam, yaitu:

a) Otoriter yaitu ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang tua dan kebebasan anak sangat dibatasi

b) Demokratis yaitu ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dan anak

c) Permisif yaitu ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak yang berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri

d) Laissez faire yaitu ditandai dengan sikap acuh tak acuh orang tua terhadap anak.

Selain itu metode tradisional lain yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan pendidikan dan pengajaran yaitu:

1) Metode Sorogan

Metode sorogan yaitu belajar-mengajar di mana kyai hanya menghadapi seorang santri atau sekelompok kecil santri yang masih dalam tingkat dasar. Tata caranya adalah seorang santri menyodorkan sebuah kitab di hadapan kyai, kemudian kyai membacakan beberapa bagian dari kitab tersebut, lalu murid mengulangi bacaannya di bawah tuntunan kyai sampai santri benar-benar dapat membacanya dengan baik. Bagi santri yang Chulaifah, Pola Asuh Orang Tua dan Pencegahan Penyalahgunaan Napza Pada Remaja, (Yogyakarta: B2P3KS Press, 2009), 15.

Rodliatun Hasanah, Pola Pengasuhan Santri di Pondok Pesantren Al-Furqon Sanden Bantul, (Yogyakarta: Skripsi. UIN.Fak. ilmu pendidikan, 2014), 22.

telah menguasai materi pelajarannya akan ditambahkan materi baru, sedangkan yang belum hharus mengulanginya lagi.

2) Metode Wetonan/Bandongan

Yaitu metode mengajar dengan system ceramah. Kyai membaca kitab dihadapan kelompok santri tingkat lanjutan dalam jumlah besar pada waktu-waktu tertentu seperti sesudah sholat berjama’ah subuh atau isya. Dalam metode ini kyai biasanya membacakan, menerjemahkan, lalu men-jelaskan kalimat-kalimat yang sulit dari suatu kitab dan para santri menyimak bacaan kyai sambil membuat catatan penjelasan di pinggiran kitabnya. Di daerah luar Jawa metode ini disebut haldqah (Ar.), yakni murid mengelilingi guru yang membahas kitab.

3) Metode Musyawarah/bahtsul masa’il

Metode musyawarah atau dalam istilah lain bahtsul masa’il

merupakan metode pembelajaran yang lebih mirip dengan metode diskusi atau seminar. Beberapa orang santri dengan jumlah tertentu membentuk h}alaqah yang dipimpin langsung oleh kyai atau ustadz, atau mungkin juga oleh santri senior, untuk membahas atau mengkaji suatu persoalan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam pelaksanannya para santri dengan bebas mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau pendapatnya.

4) Metode pengajian pasaran

Dokumen terkait