• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

G. Sistematika Penelitian

Dalam peneltian skripsi ini, pembahasan secara sistematis sangat diperlukan untuk memudahkan dalam membaca dan memahami serta memperoleh manfaat dari penulisan skripsi tersebut. Untuk memudahkan hal tersebut, maka penulisan skripsi ini dibuat secara menyeluruh mengikat secara dasar yang terbagi dalam bab per bab yang saling berhubungan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang , permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan dan sistematika penulisan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PERJANJIAN PENGANGKUTAN

Bab ini berisikan empat sub bab yaitu sub bab pertama berisikan pengertian dan dasar hukum perjanjian, sub bab kedua berisikan syarat – syarat perjanjian, sub bab ketiga berisikan asas-asas dalam perjanjian, sub bab empat berisikan tentang akibat hukum dan berakirnya perjanjian dan sub bab lima berikan tentang tinjauan umum tentang perjanjian pengangkutan.

BAB III HAK DAN KEWAJIBAN DALAM PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI KERETA API.

Bab ini berisikan mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian pengangkutan melalui kereta api, penyelenggaraan perjanjian pengangkutan melalui kereta api, masalah dan resiko dalam perjanjian pengangkutan barang melalui kereta api.

BAB IV PERJANJIAN PENGANGKUTAN ANTARA PT. BAKRIE SUMATERA DENGAN PT. KERETA API INDONESIA

Bab ini berisikan tentang Bentuk dan Isi Perjanjian Pengangkutan PT.

BAKRIE SUMATERA PLANTATIONS dengan PT. KERETA API INDONESIA, Prosedur Pelaksanaan Perjanjian Pengangkutan antara PT.

BAKRIE SUMATERA PLANTATIONS DENGAN PT. KERETA API INDONESIA , Tanggung Jawab Para Pihak dalam Pelaksanaan Perjanjian Pengangkutan PT. BAKRIE SUMATERA PLANTATIONS dengan PT.

KERETA API INDONESIA, Penyelesaian Masalah yang timbul dalam Pelaksanaan Perjanjian Pengangkutan PT. BAKRIE SUMATERA PLANTATIONS dengan PT. KERETA API INDONESIA .

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan skrips ini. Dimana bab ini berisikan kesimpulan dan saran terhadap analisa dari bab-bab sebelumnya.

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PERJANJIAN PENGANGKUTAN

A. Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya

Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa Perjanjian adalah : ”menyatakan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang - undang dibuat atas dasar kehendak yang berhubungan dengan perbuatan manusia yang terdiri dari dua pihak.6

1. Hanya menyangkut sepihak saja. Dapat dilihat dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikatkan”

sifatnya hanya sepihak, sehingga perlu dirumuskan “kedua pihak saling mengikatkan diri” dengan demikian terlihat adanya konsensus antara pihak-pihak, agar meliputi perjanjian timbal balik.

Para sarjana perdata beranggapan bahwa pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata memiliki kelemahan – kelemahan.

Adapun kelemahan – kelemahan tersebut yaitu :

2. Kata perbuatan “mencakup” juga tanpa consensus. Pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa atau tindakan melawan hukum yang tidak mengandung konsensus. Seharusnya digunakan kata “persetujuan”.

6 Suharnoko, Hukum Perjanjian, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm.117

3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Hal ini disebabkan mencakup janji kawin (yang diatur dalam hukum keluarga), padahal yang diatur adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki Buku III KUHPerdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan perjanjian yang bersifat personal.

4. Tanpa menyebutkan tujuan. Rumusan Pasal 1313 BW tidak disebut tujuan diadakannya perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri tidak jelas untuk maksud apa.7

Atas dasar alasan - alasan yang dikemukakan di atas maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan

harta kekayaan”.8

Menurut M. Yahya Harahap yaitu “Perjanjian atau verbintenis mengandung suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”

Para sarjana yang merasa bahwa pengertian perjanjian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1313 KUHPerdata ini mengandung banyak kelemahan, memberikan rumusan mengenai arti perjanjian.

9

7 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, hlm. 78.

8 Komariah, Hukum Perdata,UMM Press, Malang, 2008, hlm.169.

9 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung, 1986, hlm. 6

Menurut Abdul Kadir Muhammad Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu dalam lapangan harta kekayaan.10

Menurut Surbekti Perjanjian adalah : Suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.11

10 Abdulkadir Muhammad, op.cit, hlm. 78

11 R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Bandung, 1987, hlm.9

Dari beberapa pengertian perjanjian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa unsur-unsur yang membentuk pengertian perjanjian adalah :

1. Terdapat para pihak yang berjanji

2. Perjanjian itu didasarkan kepada kata sepakat / kesesuaian hendak;

3. Perjanjian merupakan perbuatan hukum atau hubungan hukum;

4. Terletak dalam bidang harta kekayaan;

5. Adanya hak dan kewajiban para pihak;

6. Menimbulkan akibat hukum yang mengikat;

B. Syarat – Syarat Perjanjian

Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian adalah sah atau tidak sah , maka perjanjian itu harus diuji dengan beberapa syarat. Pasal 1320 KUHPerdata menentukan 4 syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:

1. Sepakat mengikatkan dirinya.

2. Kecakapan membuat suatu perjanjian.

3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

ad.1. Kesepakatan bagi mereka yang mengikatkan dirinya.

Dengan sepakat dimaksudkan bahwa pihak- pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal - hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Kesepakatan kedua belah pihak dalam suatu perjanjian itu harus diberikan secara bebas.

Mereka menghendaki sesuatu hal yang sama secara timbal balik.12

3.Perempuan yang telah kawin ( dengan adanya UU No. 1 Tahun 1974, ketentuan ini tidak berlaku lagi) dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang -undang telah melarang membuat persetujuan tertentu

Dalam hal persetujuan ini, kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan.

ad.2. Kecakapan membuat suatu perjanjian.

Menurut Pasal 330 KUHPerdata, seseorang dikatakan cakap dalam hukum apabila telah berumur 21 tahun, atau yang telah melangsungkan pernikahan. Dalam Pasal 1330 KUHPerdata disebutkan bahwa orang - orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :

1.Orang - orang yang belum dewasa ,

2.Mereka yang di bawah pengampuan (curatelen),

12 Komariah, op. cit, hlm. 175.

Menurut pasal 433 KUHPerdata, orang - orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap dan boros. Apabila seseorang yang belum dewasa dan mereka yang diletakkan di bawah pengampuan itu mengadakan perjanjian, maka yang mewakilinya masing - masing adalah orang tua dan pengampunya.13

Dengan syarat ini dimaksudkan adalah tujuan dari perjanjian itu sendiri. Menurut pasal 1337 KUHPerdata sebab yang tidak halal adalah berlawanan dengan Undang-Undang,

Ketiga hal ini, bila melakukan perjanjian tanpa izin dari yang mengawasinya maka dikatakan perjanjian itu bercacat. Oleh karena itu perjanjian itu dapat dibatalkan oleh hakim, baik secara langsung ataupun melalui orang yang mengawasinya.

ad.3. Suatu hal tertentu.

Ketentuan untuk hal tertentu ini menyangkut objek hukum atau mengenai bendanya.

Menurut Pasal 1333 KUHPerdata, suatu hal tertentu artinya barang yang menjadi objek perjanjian paling sedikit harus dapat ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak menjadi soal asalkan dapat ditentukan kemudian. Misalnya jual beli beras sebanyak 100 kilogram adalah dimungkinkan asal disebutkan macam atau jenis dan rupanya, sedangkan jual beli beras 100 kilogram tanpa disebutkan macam atau jenis, warna dan rupanya dapat dibatalkan.

Dengan demikian, perjanjian yang objeknya tidak tertentu atau jenisnya tidak tertentu maka dengan sendirinya perjanjian itu tidak sah. Objek atau jenis objek merupakan syarat yang mengikat dalam perjanjian.

Ad.4. Suatu sebab yang halal.

13 Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perdata Tentang Perikatan, Penerbit Fakultas Hukum USU, Medan, 1974, hlm. 165.

kesusilaan dan ketertiban umum. Akibat hukum dari perjanjian yang berisi causa yang tidak halal, mengakibatkan perjanjian itu batal demi hukum. Dengan demikian tidak ada dasar untuk membuat pemenuhan perjanjian di muka hakim.

Dari syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut di atas, kedua syarat pertama yaitu sepakat mereka yang mengikatkan diri dan kecakapan untuk membuat perjanjian dinamakan syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian.

Syarat subjektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada subjek-subjek perjanjian itu atau dengan perkataan lain, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian, hal ini meliputi kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan pihak yang membuat perjanjian. Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi, maka perjanjiannya bukan batal demi hukum tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan.14

Syarat ketiga dan syarat keempat yaitu suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal jika tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.15

Asas hukum adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang - undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat - sifat atau ciri- ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut. Dengan demikian, asas hukum merupakan pikiran dasar yang bersifat umum dan C. Asas – Asas Perjanjian

14 Agus Yudha Hernoko, op.cit, hlm.160 – 161.

15 Ibid.

terdapat dalam hukum positif atau keseluruhan peraturan perundang - undangan atau putusan - putusan hakim yang merupakan ciri -ciri umum dari peraturan konkrit tersebut.16

Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang - undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi, dalam pasal ini terkandung 3 macam asas utama dalam perjanjian, yaitu: asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas pacta sunt-servanda. Di samping asas - asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian.

Pada mulanya suatu kesepakatan atau perjanjian harus ditegaskan dengan sumpah.

Namun pada abad ke- 13 pandangan tersebut telah dihapus oleh gereja.

Asas Konsensualimse

17

Asas ini dapat ditemukan dalam pasal 1320 KUHPerdata yang mensyaratkan adanya kesepakatan sebagai syarat sahnya suatu perjanjian. Meskipun semikian, perlu diperhatikan bahwa terhadap asas konsensualisme terdapat pengecualian. Yaitu dalam perjanjian riil dan perjanjian formil yang mensyaratkan adanya penyerahan atau memenuhi bentuk tertentu yang disyaratkan oleh undang – undang.

Kemudian terbentuklah paham bahwa dengan adanya kata sepakat di antara para pihak, suatu perjanjian sudah memiliki kekuatan mengikat.

18

a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

Ketentuan yang mengatur mengenai konsesualitas ini dapat kita temui dalam rumusan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,yang berbunyi : “Untuk sahnya perjanjian-perjanjian,diperlukan empat syarat :

16 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2010, hlm. 42-43.

17 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Bandung, 2010, hlm. 29

18 Komariah, Hukum Perdata, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002, Hlm. 173

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. Suatu pokok persoalan tertentu;

d. Suatu sebab yang tidak terlarang”.

Asas ini juga dikenal dengan adagium pacta sunt servanda. Masing – masing pihak yang terkait dalam suatu perjanjian harus menghormati dan melaksanakan apa yang telah mereka perjanjikan dan tidak boleh melakukan perbuatan yang menyimpang atau bertentangan dari perjanjian tersebut.

Asas Kekuatan Mengikat

19

Asas kekuatan mengikat dapat kita temukan dalam pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya.”

Asas kebebasan berkontrak berarti setiap orang menurut kehendak bebasnya dapat membuat perjanjian dan mengikatkan diri dengan siapapun yang ia kehendaki. Namun kebebasan tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang bersifat memaksa, ketertiban umum, dan kesusilaan.

Asas Kebebasan Berkontrak

20

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata,yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: (1) membuat atau tidak membuat perjanjian; (2)

19 Ibid., hlm. 174

20 Agus Yudha Hernoko, op.cit, hlm. 109-110.

mengadakan perjanjian dengan siapa pun; (3) menentukan isi perjanjan, pelaksanaan dan persyaratannya; (4) menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.21

Asas pacta sunt servanda berhubungan dengan akibat perjanjian. Hal ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.

Asas Pacta sunt servanda

22

Dari ketentuan tersebut terkandung beberapa istilah. Pertama,istilah ‘semua perjanjian’ berarti bahwa pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa perjanjian dimaksud bukanlah semata-mata perjanjian bernama, tetapi juga perjanjian yang tidak bernama. Selain itu, juga mengandung suatu asas partij autonomie. Kedua, istilah ‘secara sah’, artinya bahwa pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus memenuhipersyaratan yang telah ditentukan dan bersifat mengikat sebagai undang-undang terhadap para pihak sehingga terealisasi asas kepastian hukum. Ketiga, istilah “itikad baik” hal ini berarti memberi perlindungan hukum pada debitor dan kedudukan antara kreditor dan debitor menjadi seimbang.23

Menurut Jerlien Budiono, asas keseimbangan adalah: Suatu asas yang dimaksudkan untuk menyelaraskan pranata – pranata hukum dan asas – asas pokok hukum perjanjian yang dikenal di dalam KUHPerdata yang berdasarkan pemikiran dan latar belakang individualisme pada satu pihak dan cara pikir bangsa indonesia pada lain pihak.

Asas Keseimbangan

24

21Salim HS., Pengantar Hukum Perdata Tertulis [BW], Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm.158.

22Ibid., hlm.160.

23 Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, 2008, hlm.

228.

24 Herlien budiono, op. cit, hlm. 33

Asas iktikad baik (geode trouw)

Ketentuan tentang asas iktikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 BW yang menegaskan “perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.”25

Asas iktikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak Kreditur dan Debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.26

Asas iktikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak. Iktikad baik nisbi adalah orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Sedangkan iktikad mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.27

Akibat hukum suatu perjanjian lahir dari adanya hubungan hukum perikatan yaitu adanya hak dan kewajiban. Pemenuhan akan hak dan kewajiban inilah yang merupakan salah satu bentuk akibat hukum perjanjian.

D. Akibat hukum perjanjian dan berakhirnya perjanjian

28

1. Perjanjian mengikat para pihak, yang dimaksud para pihak disini adalah para pihak yang membuat perjanjian,ahli waris berdasarkan alas hak umum karena mereka memperoleh segala hak dari seseorang secara tidak terperinci, dan pihak ketiga yang diuntungkan dari perjanjian yang dibuat berdasarkan alas hak khusus karena mereka itu memperoleh segala hak dari seseorang secara terperinci/khusus;

Akibat hukum perjanjian berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata, antara lain:

25 Agus Yudha Hernoko, op.cit, hlm. 134

26 Ibid., hlm.135

27 http://www.negarahukum.com/hukum/asas-asas-perjanjian.html diakses pada tanggal 17 November 2017 pukul 20.10

28 H.R Daeng Naja, Pengantar Hukum Bisnis Indonesia, Bandung, PT Cipta Aditya Bakti, 2009, hlm.100

2. Perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak karena merupakan kesepakatan di antara kedua belah pihak dan alasan - alasan yang oleh undang - undang dinyatakan cukup untuk itu;

3. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Melaksanakan apa yang menjadi hak disatu pihak dan kewajiban dipihak yang lain dari pihak yang membuat perjanjian. Hakim berkuasa menyimpangi isi perjanjian bila bertentangan dengan rasa keadilan.Sehingga agar suatu perjanjian dapat dilaksanakan harus dilandasi dengan prinsip itikad baik, prinsip kepatutan, kebiasaan, dan sesuai undang - undang.

Dimasukkannya itikad baik ke dalam perjanjian berarti perjanjian harus ditafsirkan berdasarkan keadilan dan kepatutan.29

Menurut Pasal 1381 KUHPerdata mengatur cara hapusnya suatu perikatan sebagai berikut :

a. Pembayaran;

b. Penawaran pembayaran tunai dengan penyimpanan atau penitipan;

c. Pembaharuan hutang;

d. Perjumpaan hutang dan kompensasi;

e. Pencampuran hutang;

f. Pembebasan hutang;

g. Musnahnya barang yang terutang;

h. Batal demi hukum atau dapat dibatalkan;

i. Berlakunya suatu syarat batal;

j. Lewat waktu;

29 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Jakarta, PT Buku Kita, 2009, Hlm.58

Yaitu pelunasan utang (uang, jasa, barang) atau tindakan pemenuhan prestasi oleh debitur kepada kreditur. Misalnya perjanjian jual beli sepeda. A membeli sepeda milik B, maka saat A membayar harga sepeda dan sepeda tersebut diserahkan B kepada A yang berarti lunas semua kewajiban masing-masing pihak (A dan B) maka perjanjian jual beli antara A dan B dianggap berakhir/hapus.

I. Pembayaran (Pasal 1382-1403 KUHPerdata)

Yaitu suatu cara hapusnya perikatan dimana debitur hendak membayar utangnya namun pembayaran ini ditolak oleh kreditur, maka kreditur bisa menitipkan pembayaran melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat. Misalnya, A punya utang kepada B.

Akhirnya A membayar utang tersebut kepada B tapi B menolak menerimanya. Dalam kondisi demikian, A bisa menitipkan pembayaran utangnya tersebut melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat nanti pengadilan yang akan meneruskannya kepada B. Jika menitipkan melalui pengadilan ini sudah dilakukan, maka utang-piutang antara A dan B dianggap sudah berakhir.

II. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan/konsinyasi (Pasal 1404-14012 KUHPerdata)

Adalah perjanjian antara kreditur dengan debitur dimana perikatan yang sudah ada dihapuskan dan kemudian suatu perikatan yang baru. Misalnya, A punya utang Rp.

1.000.000,- kepada B, tapi A tidak sanggup bayar utangnya tersebut. Lalu B mengatakan bahwa B tidak perlu lagi membayar utangnya sebesar Rp. 1.000.000,- tersebut, melainkan cukup bayar Rp. 500.000,- saja, dan utang dianggap lunas. Dalam hal ini perjanjian utang III. Novasi/pembaharuan utang (Pasal 1425-1435 KUHPerdata)

piutang antara A dan B yang sebesar Rp. 1.000.000,- dihapuskan dan diganti perjanjian utang piutang yang sebesar Rp. 500.000, – saja.

Yaitu penghapusan utang masing-masing dengan jalan saling memperhitungkan utang yang sudah dapat ditagih secara timbal balik antara debitur dan kreditur. Misalnya A punya utang kepada B sebesar Rp. 500.000,- tapi pada saat yang sama B juga ternyata punya utang kepada A sebesar Rp. 500.000,-. Dalam hal demikian maka utang masing-masing sudah dianggap lunas karena “impas”, dan perjanjian utang-piutang dianggap berakhir.

IV. Perjumpaan utang/kompensasi (Pasal 1425-1435 KUHPerdata).

Adalah percampuran kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi satu. Misalnya, A punya utang kepada B. Ternyata karena berjodoh A akhirnya menikah dengan B. Dalam kondisi demikian maka terjadilah percampuran utang karena antara A dan B telah terjadi suatu persatuan harta kawin akibat perkawinan. Padahal dulunya A mempunyai utang kepada B.

V. Konfisio/percampuran utang (Pasal 1436-1437 KUHPerdata).

Yaitu pernyataan sepihak dari kreditur kepada debitur bahwa debitur dibebaskan dari utang-tangnya. Misal, A punya utang kepada B. Tapi B membebaskan A dari utangnya tersebut.

VI. Pembebasan utang (Pasal 1438-1443 KUHPerdata).

Yaitu perikatan hapus dengan musnahnya atau hilangnya barang tertentu yang menjadi prestasi yang diwajibkan kepada debitur untuk menyerahkannya kepada kreditur.

Musnahnya barang yang terutang ini digantungkan pada dua syarat.

VII. Musnahnya barang terutang (Pasal 1444-1445 KUHPerdata)

30

1. Musnahnya barang tersebut bukan karena kelalaian debitur;

2. Debitur belum lalai menyerahkan kepada kreditor.

Yang dimaksud “batal demi hukum” di dalam Pasal 1446 KUHPerdata adalah “dapat dibatalkan”.

VIII. Kebatalan dan pembatalan perjanjian (Pasal 1446-1456 KUHPerdata)

31 Misalnya, suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang yang belum dewasa (belum cakap hukum) perjanjian tersebut bisa dimintakan kebatalannya melalui pengadilan.

Dan saat dibatalkan oleh pengadilan maka perjanjian tersebut pun berakhir.

Artinya syarat-syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perjanjian dan membawa segala sesuatu pada keadaan semula yaitu seolah-olah tidak ada suatu perjanjian.

Misalnya perjanjian yang dibuat bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum (Pasal 1337 KUHPerdata) adalah batal demi hukum.

IX. Berlakunya syarat batal (Pasal 1265 KUHPerdata)

Menurut Pasal 1946 KUHPerdata, daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.

X. Lewatnya waktu/daluwarsa (Pasal 1946-1993 Bab VII Buku IV KUHPerdata)

30 Miru, Ahmadi, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011, hlm 150

31 Komandoko, Gamal, 75 Contoh Surat Perjanjian (Surat Kontrak). Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009, hlm. 11.

E. Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian Pengangkutan

1. Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Pengangkutan

Hukum Pengangkutan tidak lain adalah sebuah perjanjian timbal balik, pada mana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/ atau orang ke tempat tujuan tertentu, sedangkan pihak lainnya (pengirim-penerima; pengirim atau

Hukum Pengangkutan tidak lain adalah sebuah perjanjian timbal balik, pada mana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/ atau orang ke tempat tujuan tertentu, sedangkan pihak lainnya (pengirim-penerima; pengirim atau

Dokumen terkait