• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari lima bab, yaitu:

BAB I Pada BAB I, peneliti menjelaskan latar belakang penelitian yang memuat alasan dilakukannya penelitian ini, rumusan masalah, pembatasan masalah, penjelasan istilah, manfaat penelitian dari sistematika penulisan.

BAB II Pada BAB II, peneliti mulai mendeskripsikan landasan teori dan kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini.

BAB III Pada BAB III, peneliti mendeskripsikan jenis penelitian, metode penelitian, instrumen pengumpulan data serta metode atau teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini.

BAB IV Pada BAB IV, peneliti memaparkan pelaksanaan penelitian, analisis data, pembahasan dan keterbatasan yang dialami selama melaksanakan penelitian.

BAB V Pada BAB V, peneliti memaparkan kesimpulan dari hasil penelitian serta saran untuk pengembangan penelitian ini lebih lanjut.

13 BAB II KAJIAN TEORI A. Andragogi

Andragogi berasal dari kata andros atau aner yang berarti orang dewasa. Kemudian agogos berarti memimpin. Andragogi berarti memimpin orang dewasa menurut Marzuki (2010: 166). Dari segi definisi, andragogi adalah seni dan ilmu mengajar orang dewasa menurut Knowles (Marzuki, 2010: 166). Hal tersebut juga disampaikan oleh Brundage (Marzuki, 2010:

166) bahwa andragogi merupakan ilmu tentang bagaimana membantu orang dewasa belajar. Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa andragogi adalah ilmu atau seni untuk membantu orang dewasa dalam belajar.

Pada pelaksanaannya pendidik harus berusaha membantu dalam memfasilitasi dan mempermudah orang dewasa dalam belajar. Wujud bantuan yang diberikan oleh pendidik juga berbeda, hal ini karena karakteristik dari setiap orang dewasa berbeda-beda. Dewasa dalam hal ini tidak identik dengan usia kronologis melainkan lebih mengarah pada kematangan psikologis. Hal ini diungkapkan oleh Danim (2010: 125) bahwa banyak orang yang secara usia kronologis masih masuk kelompok umur anak-anak, tetapi sudah cukup dewasa secara psikologis. Sebaliknya, banyak juga orang yang secara usia kronologis sudah termasuk kelompok dewasa, tetapi belum dewasa secara psikologis.

Knowless (Danim, 2010: 124) menggagas asumsi-asumsi mengenai karakteristik pelajar dewasa yang berbeda dari asumsi tentang pembelajar anak yang didasarkan pedagogi tradisional sebagai berikut:

1. Self-concept

Self-concept atau konsep sendiri, sebagai orang yang matang konsep dirinya bergerak dari kepribadian tergantung ke sosok manusia yang bisa mengarahkan dirinya sendiri.

2. Experience

Experience atau pengalaman, sebagai orang dewasa manusia tumbuh laksana reservoir akumulasi pengalaman yang menjadi sumber daya yang meningkat untuk belajar.

3. Readiness to learn

Readiness to learn atau kesiapan untuk belajar, sebagai orang dewasa kesediaan untuk belajar menjadi semakin berorientasi kepada tugas-tugas perkembangan dan peran sosialnya.

4. Orientation to learning

Orientation to learning atau orientasi untuk belajar. Sebagai orang dewasa, perspektif perubahan waktu dari salah satu aplikasi pengetahuan ditunda untuk kesiapan aplikasi, dan sesuai dengan pergeseran orientasi belajar dari salah satu subjek berpusat pada salah satu masalah.

5. Motivation to learn

Motivation to learn atau motivasi untuk belajar. Sebagai orang dewasa motivasi untuk belajar adalah internal.

Berdasarkan asumsi tersebut, jelas bahwa yang dimaksud andragogi pada orang dewasa adalah ketika seseorang dewasa tersebut memiliki self-concept atau konsep sendiri, experience atau pengalaman, readiness to learn atau kesiapan untuk belajar, orientation to learning atau orientasi untuk belajar, motivation to learn atau motivasi untuk belajar. Hal ini sesuai dengan asumsi mengenai karakteristik pembelajar dewasa yang telah di sebutkan di atas.

Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti mengkaitkan andragogi dalam penelitian ini. Hal ini bertujuan untuk meninjau pembelajaran selama kelas matrikulasi berlangsung dengan menerapkan andragogi yakni ilmu atau seni untuk membantu orang dewasa dalam pembelajarannya. Berdasarkan proses pembelajarannya, tutor sebagai pendidik membantu mahasiswa Mappi sebagai seseorang dewasa berupa pengetahuan. Namun, dalam kenyataannya bantuan yang diberikan berupa pengetahuan ini tidak dapat diterima dengan baik.

Adapun dalam pemberian layanan kepada pembelajar dewasa perlu memperhatikan hal-hal yang dianggap penting, sehingga bantuan yang diberikan berupa pengetahuan dapat diterima dengan baik dan dapat benar-benar membantu. Knowles (Danim, 2010: 127-128) merumuskan prinsip-prinsip layanan bagi pembelajar dewasa, seperti disajikan berikut ini:

1. Orang dewasa perlu dilibatkan dalam perencanaan dan evaluasi pengajaran mereka. Orang dewasa dapat mengarahkan diri untuk belajar.

2. Pengalaman, termasuk kesalahan, menjadi fondasi dasar untuk belajar.

Orang dewasa banyak belajar dari pengalaman.

3. Orang dewasa paling tertarik untuk mempelajari mata pelajaran yang memiliki relevansi langsung dengan pekerjaannya atau kehidupan pribadi.

Kegiatan belajar orang dewasa berorientasi pada tujuan yang relevan dengan kehidupannya.

4. Belajar orang dewasa lebih berorientasi pada tujuan praktis ketimbang konten.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Sudarwan Danim (2010: 128) bahwa dalam strategi pembelajaran orang dewasa mengingat karakteristik pelajar dewasa yang berbeda dengan anak-anak, maka pembelajaran harus berfokus untuk melibatkan unsur-unsur sebagai berikut:

1. Metakognisi.

Siswa dewasa lebih memilih untuk belajar melalui penilaian diri dan koreksi diri.

2. Refleksi.

Siswa dewasa melakukan refleksi atas apa yang dipelajari dan perolehan belajarnya.

3. Pengalaman sebelumnya.

Siswa dewasa banyak belajar dari dan menggunakan pengalaman sebelumnya sebagai bekal belajar.

4. Percakapan atau dialogis.

Siswa dewasa lebih menyukai pendekatan dialogis dalam pembelajaran, ketimbang monologis.

5. Pengalaman otentik.

Siswa dewasa lebih tertarik dengan pengalaman otentik ketimbang yang abstrak.

6. Motivasi.

Siswa dewasa lebih mengandalkan motivasi diri atau motivasi internal ketimbang eksternal.

7. Strategi pembelajaran generatif.

Kegiatan yang membantu membangun pengetahuan siswa dewasa oleh mereka sendiri.

Berdasarkan hal-hal diatas, penting bagi pendidik untuk melibatkan mahasiswa sebagai pembelajar dewasa dalam proses pemaknaan pembelajaran.

Sejalan dengan hal tersebut, menurut Danim (2010: 129) menyatakan bahwa andragogi berarti pengajaran untuk orang dewasa yang lebih berfokus pada proses. Sehingga, strategi seperti studi kasus, permainan peran, simulasi, dan evaluasi diri biasanya dipandang lebih bermanfaat. Berkaitan dengan hal tersebut, maka guru atau pendidik lebih berperan sebagai fasilitator bukan sebagai pendidik yang mengajar seperti di kelas konvensional.

Selain itu dalam belajar, menurut Marzuki (2010: 189) orang dewasa mengikuti prinsip-prinsip tertentu yang sesuai dengan ciri-ciri psikologisnya.

Prinsip belajar orang dewasa tersebut dapat ditinjau dari berbagai segi sebagai berikut:

1. Pertama, ciri-ciri fisiologis.

Menurut prinsip ini, belajar akan efektif apabila:

a. Dalam keadaan sehat, cukup istirahat dan tidak tegang;

b. Penglihatan dan pendengarannya dalam keadaan baik;

c. Pada usia di bawah 40 tahun, pengaruh fisik tidak terlalu dominan;

d. Tidak produktif belajarnya apabila waktunya kurang tepat.

2. Kedua, konsep tentang diri dan harga diri (self concept dan self esteem) Dalam hal ini, belajar akan efektif apabila:

a. Cukup pengetahuan dan pengalaman untuk belajar lanjut;

b. Tujuan dirasakan sesuai dengan kebutuhannya;

c. Dia dilibatkan dalam penentuan tujuan;

d. Ada keyakinan diri untuk menerima perubahan;

e. Yang diajarkan dan tenik belajarnya fleksibel dan memperhatikan perbedaan-perbedaan individual;

f. Sesuai dengan tingkat kecakapannya;

g. Terorganisasikan secara sistematik;

h. Sesuai dengan daya tangkapnya;

i. Berhubungan erat dengan kehidupan dan bermanfaat baginya;

j. Dimungkinkan orang dewasa untuk mengamati dan berinteraksi;

k. Lingkungan/interaksi belajarnya menimbulkan kesan saling percaya dan saling menghargai.

3. Ketiga, emosi

Dalam hubungan ini, belajar akan efektif apabila:

a. Diberikan dorongan-dorongan dan rangsangan-rangsangan;

b. Tidak dipaksa (over stimulated), karena akan kurang berkomunikasi;

c. Tidak menimbulkan reaksi emosional;

d. Diberikan kebebasan mengemukakan pendapat;

e. Tidak merasa ada tekanan-tekanan dari instruktur, karena yang diperlukan adalah pertolongan dukungan memenuhi motivasinya;

f. Pelayanan terlalu sepele dan terlalu umum;

g. Instruktur tidak bersikap kekanak-kanakan atau memperlakukan mereka sebagai anak-anak yang tidak tahu apa-apa;

h. Pelayanan menggunakan multi-channel;

i. Pengalaman belajar diberikan dengan pengulangan secukupnya (tidak mengulang-ngulang);

j. Melalui komunikasi dua arah;

k. Belajar hendaknya tidak merupakan beban mental bagi warga belajar.

Berdasarkan hasil peninjauan prinsip belajar orang dewasa di atas, dapat disimpulkan dan dikaitkan bahwa dalam proses pembelajaran nonformal perlu memperhatikan prinsip-prinsip yang tidak lain prinsip tersebut dapat menunjang proses pembelajaran sehingga belajar bagi orang dewasa menjadi lebih efektif. Berkaitan dengan penelitian ini, maka proses pembelajaran harus memperhatikan prinsip-prinsip di atas, sehingga mahasiswa Mappi dapat memaknai proses pembelajaran, memiliki pemahaman yang baik dalam pembelajaran serta memiliki proses belajar yang efektif.

B. Analisis Kesalahan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2016) analisis merupakan penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab musabab, duduk perkaranya, dan sebagainya). Sedangkan kesalahan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2016) adalah perihal salah; kekeliruan;

kealpaan dan sesuatu yang tidak disengaja. Menurut Sukirman (Eko, 2016: 2) kesalahan merupakan penyimpangan terhadap hal yang benar yang sifatnya sistematis, konsisten, maupun insidental pada daerah tertentu. Cheng Fei La (2012) dalam penelitiannya ia mengatakan bahwa analisis kesalahan adalah metode yang digunakan untuk mengidentifikasi penyebab kesalahan siswa ketika kesalahannya konsisten. Menurut Ellis (Tarigan, 2011: 60) analisis kesalahan adalah suatu prosedur kerja yang biasa digunakan oleh para peneliti dan guru matematika, yang meliputi pengumpulan sampel, pengidentifikasian kesalahan itu berdasarkan penyebabnya, serta pengevaluasian atau penilaian taraf keseriusan kesalahan itu. Sehubungan dengan pendapat tersebut peneliti menyimpulkan bahwa analisis kesalahan merupakan gabungan dari analisis dan kesalahan. Dimana analisis kesalahan sendiri berarti sebuah penyelidikan yang memiliki tahapan atau prosedur kerja terhadap suatu peristiwa, yang bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab sesuatu yang secara tidak sengaja terjadi yang dilakukan oleh siswa.

Ketika seorang anak menyelesaikan masalah matematika yang tertulis, mereka harus bekerja melalui 5 langkah dasar berikut menurut Newman (Karnasih, 2015) seperti pernyataannya berikut ini:

Tabel 2.1 Jenis Kesalahan Menurut Newman

Jenis Kesalahan Penjelasan

1. Membaca (Reading) Baca Masalahnya (Read the problem)

2. Pemahaman (Comprehension) Pahami apa yang dibaca (Comprehend what is Read) 3. Transformasi (Transformation) Melakukan transformasi dari

kata-kata dalam masalah kepada pilihan strategi matematis yang cocok (Carrying out a transformation from the words of the problem to the selection of an appropiate mathematical strategy)

4. Ketrampilan Proses (Process Skills) Mengaplikasikan ketrampilan proses yang dituntut oleh strategi yang dipilih (Applying the process skills demanded by the selected strategy) 5. Pengkodean (Encoding) Memberikan kode jawaban dalam

bentuk tulisan yang bisa diterima (encoding the answer in an acceptable written form)

Sesuai dengan hal yang disampaikan oleh Newman terkait 5 langkah dasar dalam menyelesaikan permasalahan matematika, terdapat permasalahan terkait permasalahan kontekstual. Dimana permasalahan ini cenderung mengangkat dan berhubungan dengan soal-soal kontekstual serta terkait fenomena-fenomena alam.

Berbeda dengan pendapat yang disampaikan oleh Newman, (Eko, 2016: 2) menyampaikan bahwa jenis-jenis masalah diantaranya:

1. Masalah translasi yakni masalah kehidupan sehari-hari yang untuk menyelesaikannya perlu translasi dari bentuk verbal ke bentuk matematika.

2. Masalah aplikasi yakni memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan masalah dengan menggunakan berbagai macam-macam keterampilan dan prosedur matematika.

3. Masalah proses yakni biasanya untuk menyusun langkah-angkah merumuskan pola dan strategi khusus dalam menyelesaikan masalah.

4. Masalah teka-teki seringkali digunakan untuk rekreasi dan kesenangan sebagai alat yang bermanfaat untuk tujuan afektif dalam pembelajaran matematika.

Berlandaskan permasalahan di atas, dapat diketahui bahwa adanya persoalan dimana siswa cenderung melakukan kesalahan-kesalahan dalam menyelesaikan permasalahan matematika. Dimana dalam proses pembelajaran perlu adanya perbaikan dari kesalahan yang dilakukan oleh siswa. Kesalahan penyelesaian yang dilakukan siswa dalam mengerjakan soal matematika perlu dianalisis guna menemukan kesalahan yang dilakukan oleh siswa. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Pateda (1989: 37) berdasarkan hasil analisis dapat digunakan oleh guru untuk membantu siswa tersebut agar tidak mengulangi kesalahan konsep yang sama dan untuk memberikan bantuan yang tepat. Hal serupa juga dipaparkan oleh Abdurrahman (2009: 271) dalam penelitiannya ia mengatakan bahwa, guru hendaknya mampu mendeteksi berbagai tipe kekeliruan siswa sehingga pembelajaran dapat diarahkan pada perbaikan kekeliruan-kekeliruan tersebut. Cara yang ditempuh menurut Abraham adalah dengan memeriksa pekerjaan siswa dan meminta siswa menjelaskan bagaimana ia sampai pada penggunaan pemecahan masalah, guru

juga dirasa perlu melakukan observasi terhadap cara yang digunakan oleh siswa setelah itu melakukan perbaikan. Proses tersebut dapat dinamakan sebagai analisis kesalahan.

Dalam menganalisis kesalahan yang dilakukan oleh siswa terdapat sejumlah proses atau tahapan yang harus dilakukan. Menurut Howell, Fox &

Morehead (Cheng Fei La: 2012) bahwa terdapat langkah-langkah untuk menjelaskan proses analisis kesalahan diantaranya:

1. Kumpulkan sampel hasil kerja siswa berdasarkan jenis masalah sehingga peneliti memiliki sampel untuk masing-masing item permasalahan.

2. Mintalah siswa untuk mengucapkan secara verbal atau hasil pemikiran ketika dia menyelesaikan permasalahan dengan syarat siswa tidak boleh membisikkan dan harus diucapkan dengan lantang serta penuh percaya diri.

3. Catatlah semua respons siswa dalam format tertulis dan verbal.

4. Menganalisa respons dan mencari pola di antara jenis permasalahan secara umum.

5. Carilah contoh “pengecualian” ke pola yang jelas (akurat “pengecualian”

dapat menandakan bahwa siswa tidak sepenuhnya memahami prosedur atau konsep).

6. Jelaskan pola-pola yang diamati dalam bahasa yang sederhana dan kemungkinan alasan adanya permasalahan yang dialami siswa.

7. Wawancarai siswa dengan memintanya untuk menjelaskan bagaimana dia memecahkan masalah, hal ini berguna untuk mengkonfirmasi dugaan pola kesalahan.

C. Jenis-Jenis Kesalahan

Pada umumnya anak berkesulitan belajar matematika sering membuat kekeliruan atau kesalahan dalam belajar matematika. Terdapat beberapa kekeliruan atau kesalahan dalam matematika menurut Runtukahu (2014: 252-259) sebagai berikut :

1. Kekeliruan dalam Belajar Berhitung

Engelhart (Runtukahu, 2014: 252-255), pada penelitiannya melaporkan bahwa anak-anak kelas 3 dan kelas 4 SD di Amerika Serikat membuat 2279 macam kekeliruan berhitung. Pada umumnya anak mempunyai alasan membuat kesalahan. Ashlock (Runtukahu, 2014: 252) menuliskan banyak contoh kekeliruan berhitung yang didasarkan atas penelitiannya. Beberapa contoh kekeliruan umum dalam berhitung dan penjelasannya:

a. Kekeliruan Dasar

Anak belum memiliki keterampilan dasar berhitung; antara lain belum memiliki konsep bilangan, membilang (misalnya membilang maju dan membilang mundur, satu-satu atau dua-dua, membuat korespondensi satu-satu, dan membandingkan objek-objek himpunan).

b. Kekeliruan dalam algoritma

Berdasarkan contoh diatas, kekeliruan yang dilakukan adalah anak mengalikan 7 dengan 2, kemudian 6 dikalikan dengan 692.

c. Kesalahan dalam mengelompokkan Contoh 3:

24 ½ : 2 ¼ = (24:2) : (½:¼)

= 12:2 = 16:2 = 3 d. Operasi yang keliru

Contoh 4:

Terdapat kekeliruan dimana operasi pengurangan disamakan dengan operasi penjumlahan dan juga terdapat beberapa kekeliruan bahwa dalam melakukan operasi yang dilihat anak adalah 3 + 7 = 10 sehingga 1 nya akan disimpan untuk penjumlahan berikutnya.

e. Kekeliruan menghitung 1) Penjumlahan

Contoh 5:

Anak menjumlahkan 5 dan 4 dan hasilnya menjadi 8, hal ini memperlihatkan kekeliruan dalam menjumlah.

2) Pengurangan Contoh 6:

Keliru mengurang, 13 6 = 8. Pengurangan lain dilakukan dengan benar.

3) Perkalian Contoh 7:

Anak keliru pada 8 7 = 64. Namun pada perkalian selanjutnya dilakukan dengan benar.

4) Kekeliruan berhitung berhubungan dengan 0

Kekeliruan sering terjadi pada penjumlahan bilangan bulat.

Dalam contoh, siswa tidak “menyimpan” puluhan, ratusan, dan ribuan.

Contoh 8:

Contoh 9:

5) Keliru membaca simbol bilangan

Kekeliruan ini banyak terdapat pada anak berkesulitan belajar.

Dalam contoh, 5 dibaca 3 sehingga hasil penjumlahannya 6.

Kemudian 6 dibaca 9 sehingga ditambahkan dengan 2 hasilnya 11.

Contoh 10:

6) Bekerja dari kiri ke kanan

Contoh 11:

Anak mengadakan penjumlahan dari kiri 5 + 2 = 7, 6 + 4 = 10 (simpan 1), 1 + 3 + 4 = 8. Hasilnya menjadi 708

7) Tidak mengerti konsep

Bilangan besar dikurangi dengan bilangan kecil, tidak menggunakan teknik meminjam.

Contoh 12:

Contoh 13:

2. Kekeliruan dalam Belajar Geometri

Anak-anak berkesulitan belajar sering mengalami kesulitan dalam keterampilan motorik dan persepsi visual. Padahal kedua keterampilan ini dibutuhkan dalam belajar geometri. Mereka sukar menangkap konsep-konsep geometri dan sukar menggambar bangun datar serta bangun ruang.

Pandangan dimensi dua dan dimensi tiga sering membingungkan mereka.

Berikut ini beberapa contoh kekeliruan dalam belajar geometri:

a. Kekeliruan melihat bentuk-bentuk geometri.

b. Tidak dapat menentukan tanggal dan hari. Hari jumat, tanggal berapa dan hari apa dua minggu kemudian.

c. Tidak dapat membedakan kiri-kanan dan muka-belakang.

d. Tidak dapat menentukan arah dalam peta.

e. Tidak dapat menentukan kedudukan benda setelah diputar.

3. Kekeliruan Umum dalam Menyelesaikan Soal Cerita a. Ketidakmampuan Membaca

Munro (Runtukahu, 2014: 257-258) mengatakan bahwa terdapat dua model dalam membaca. Model membaca “bawah-atas”

menekankan strategi analisis kata dan mengenal kata. Model

membaca “atas-bawah” menekankan pada hubungan antara bahasa dan membaca yang mana pembaca menggunakan strategi analisis kata dan pengetahuan bahasa. Pada model kedua ini, siswa tidak membaca kata demi kata pada soal, tetapi memilih sejumlah pengertian yang terdapat dalam pesanan pada soal yang akan dikonstruksikannya.

Dewasa ini, kedua model di atas telah dipadukan menjadi stau model yang dikenal dengan model membaca skematik. Dalam model membaca skematik, membaca dipandang sebagai suatu proses ketika anak memasukkan skematik atau pengetahuan yang berasal dari berbagai sumber yang dimilikinya yang akan membimbingnya dalam mengonstruksikan pengertian. Pembentukan pengertian terutama tergantung pada dua hal berikut:

1) Pengetahuan bahasa

Antara lain menyangkut pengertian kata, kelompok kata, dan sintaksis.

2) Pengetahuan yang menyangkut topik-topik khusus dalam soal Pengetahuan siswa tentang konteks dalam soal cerita sangat penting untuk menghubung-hubungkan pengetahuanyag telah ada padanya dengan konteks soal, memutuskan hal-hal yang dapat dibutuhkan dalam menyelesaikan soal, dan memonitor apa yang dibaca apakah sesuai dan jika tidak maka ia perlu membaca kembali atau mengoreksi kembali pengertiannya.

Ada anak berkesulitan belajar yang mengalami kesulitan dalam bahasa termasuk membaca, mereka juga kurang dalam membentuk pengertian Lerner (Runtukahu, 2014: 258). Oleh sebab itu, mereka perlu diberikan kesempatan untuk mengembangkan imajinasi dan proses verbal. Sebagai contoh, guru membuat visualisasi dalam gambar yang terdapat dalam soal cerita dengan mengadakan tanya jawab, wawancara klinis, atau diskusi.

b. Ketidakmampuan dalam Imajinasi

Menurut Ellerton & Clements (Runtukahu, 2014: 256-257) keterampilan menyelesaikan soal cerita sangat tergantung pada kemampuan atau keterampilan:

1) Pengetahuan bahasa, khususnya kemampuan membaca.

2) Matematika, antara lain berhitung.

3) Imajinasi.

4) Menghubung-hubungkan dengan pengetahuan dan pengalaman lalu dengan yang ada sekarang.

5) Sikap.

Kelima kemampuan tersebut saling terkait satu dengan yang lainnya.

Berkesulitan belajar matematika sering kali terkait ketidakmampuan dalam bahasa. Padahal menyelesaikan soal-soal kontekstual, baik rutin maupun non-rutin sangat membutuhkan keterampilan bahasa dalam memahami pesan soal. Berikut adalah pembahasan kekeliruan

menyelesaikan soal cerita yang dihubungkan dengan kemampuan menyelesaikan soal yang dikemukakan di atas.

c. Ketidakmampuan Mengintegrasikan Pengetahuan dan Pengalaman Salah satu tujuan pendidikan dasar adalah untuk membantu anak mengerti dan membangun pengetahuannya. Dalam mengembangkan pengetahuannya, anak ditantang untuk bisa mengembangkan cara-cara berpikir dan mengemukakan alasan-alasan logis dalam belajar matematika. Proses berpikir dapat dikembangkan dengan memberikan kesempatan kepada anak mengadakan pengamatan, berpikir induktif dan deduktif, serta berpikir kreatif.

Belajar matematika harus mengintegrasikan topik-topik matematika sehingga pengetahuan matematika baru akan terbentuk. Beberapa contoh : (1) menghubungkan keliling dan luas bangun datar, (2) menghubungkan bilangan dan pengukuran, (3) hubungkan pecahan dengan geometri. Selain itu topik matematika juga dapat diintegrasikan dengan mata pelajaran atau ilmu lainnya.

Salah satu karakteristik anak yang berkesulitan belajar adalah kesulitan dalam bahasa. Padahal bahasa sangat menentukan keberhasilan dalam mempelajari mata pelajaran lain, termasuk matematika. Daya ingat anak-anak berkesulitan belajar juga kurang Lerner (Runtukahu, 2014: 257) sehingga sulit bagi mereka menghubung-hubungkan satu topik dengan topik matematika lainnya.

Terkait analisis kesalahan, banyak teori yang dikemukakan dan salah satunya adalah teori dari Newman, menurut Newman (Clement, 1980) kesalahan dalam mengerjakan soal matematika dibedakan menjadi lima tipe kesalahan, yaitu:

1. Kesalahan membaca (Reading Error)

Kesalahan membaca terjadi karena siswa salah dalam membaca soal informasi utama sehingga siswa tidak menggunakan informasi tersebut dalam mengerjakan soal dan membuat jawaban siswa tidak sesuai dengan maksud soal.

2. Kesalahan memahami (Comprehension Error)

Kesalahan memahami terjadi karena siswa kurang memahami terutama di dalam konsep, siswa tidak mengetahui apa yang sebenarnya ditanyakan pada soal dan salah dalam menangkap informasi yang ada pada soal sehingga siswa tidak dapat menyelesaikan permasalahan.

3. Kesalahan dalam Transformasi (Transformation Error)

Kesalahan dalam transformasi merupakan kesalahan yang terjadi karena siswa belum dapat mengubah soal ke dalam bentuk matematika dengan benar serta salah dalam menggunakan tanda operasi hitung.

4. Kesalahan dalam keterampilan proses (Process Skills Error)

Kesalahan dalam keterampilan proses terjadi karena siswa belum terampil dalam melakukan perhitungan.

5. Kesalahan pada notasi ( Encoding Error)

Kesalahan pada notasi merupakan kesalahan dalam proses penyelesaian.

Movshovitz-Hadar dkk (1987), mengemukakan bahwa ada empat kategori kesalahan, yaitu kesalahan interpretasi bahasa, kesalahan konsep, kesalahan prosedur, kesalahan teknis dan menarik kesimpulan.

1. Kesalahan Data

Kategori ini mencakup kesalahan yang berhubungan antara data yang diberikan dengan data yang dikutip oleh siswa. kategori dari kesalahan tersebut antara lain:

a. Menambah data yang tidak relevan atau tidak ada hubungannya dengan soal.

b. Mengabaikan data penting yang diberikan untuk mencari solusinya.

c. Menyatakan syarat yang sebenarnya tidak diperlukan dalam masalah.

d. Mengartikan informasi yang tidak sesuai dengan teks yang sebenarnya.

e. Memaksakan persyaratan yang tidak sesuai dengan informasi yang diberikan.

f. Menggunakan nilai suatu variabel untuk variabel yang lain.

g. Salah menyalin data.

2. Kesalahan menginterpretasikan bahasa

Kategori ini mencakup kesalahan matematika yang berhubungan dengan mengubah bahasa yang satu kedalam bahasa yang lain.

Karakteristik dari kesalahan tersebut sebagai berikut:

a. Mengartikan bahasa sehari-hari ke bentuk persamaan matematika dengan makna yang tidak sesuai.

Dokumen terkait