• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun menjadi lima bab, masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab, diawali dengan pendahuluan dan diakhiri dengan kesimpulan serta saran-saran yang dianggap perlu. Adapun penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I. Pendahuluan. Bab ini berisi mengenai latar belakang masalah yang akan menjelaskan alasan pemilihan judul penulisan hukum. Bab ini juga memaparkan pembatasan dan rumusan masalah yang akan diteliti, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) studi terdahulu, metode penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II. Status Budaya Dan Status Politik. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai gambaran secara lebih mendalam terhadap kajian teoritis yang akan digunakan dalam menganalisa data pustaka yang diperoleh dari penelitian. Dengan menjelaskan mengenai sejarah Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, teori kekuasaan, sejarah Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam, serta undang-undang terkait pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur.

BAB III. Tinjauan Umum Tentang Hak Politik Warga Negara. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai gambaran secara lebih mendalam terhadap kajian teoritis yang akan digunakan dalam menganalisa data pustaka yang diperoleh dari penelitian. Dengan menjelaskan undang-undang, dan teori-teori tentang hak politik warga negara.

BAB IV. Ambivalensi Hukum Dalam Status Politik. Dalam bab ini berisi pembahasan dan analisa data yang berusaha dikumpulkan untuk mengkaji secara ilmiah terhadap data yang telah dikumpul selama penelitian dilakukan, di mana pada bab ini ditelaah dan dianalisa mengenai pengaturan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dan hak politik warga negara dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di Daerah Istimewa Yogyakarta.

BAB V. Penutup. Dalam bab ini berisi mengenai kesimpulan yang dapat ditarik yang mengacu pada hasil penelitian sesuai dengan perumusan masalah yang telah ditetapkan dan saran-saran yang akan lahir setelah pelaksanaan penelitian dan pengulasannya dalam skripsi.

17

A. Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Ketika dwi-tunggal Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, status dan posisi Kesultanan Yogyakarta adalah kerajaan merdeka. Kerajaan yang oleh kolonial Belanda diberi otoritas penuh untuk mengurus wilayahnya sendiri. Ini berbeda dengan kerajaan lain di Nusantara yang setelah ditaklukan Belanda langsung dihilangkan kewenangan dan kedaulatannya. Merujuk ketentuan hukum internasional, Yogyakarta sebenarnya memiliki hak untuk membentuk sebuah negara baru setelah tidak adanya Belanda. Sukarno sebagai Presiden Indonesia saat itu mengerti sekali situasi ini dan berpikir bahwa Yogyakarta bisa lepas dari kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Melalui salah seorang anggota PPKI GBPH Purboyo diperoleh informasi bahwa Sultan tetap setia kepada Republik Indonesia. Berdasarkan informasi tersebut dua hari setelah proklamasi tepatnya pada tanggal 19 Agustus 1945, Sukarno mengirimkan surat kepada Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII yang isinya sebagai berikut:

“Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan: Ingkeng Sinuwan Kangjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ing Ngalongo, Abdurrahman Sayidin Panatogomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX Ing

Ngayogyakarta Hadiningrat, pada kedudukannya, Dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kangjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa, dan raga, untuk keselamatan Daerah Yogyakarta sebagai bagian daripada Republik Indonesia.”

“Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan: Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII Ingkang Kapi VIII, pada kedudukannya, Dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kangjeng Gusti akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa, dan raga, untuk keselamatan Daerah Yogyakarta sebagai bagian daripada Republik Indonesia

Tetapi, surat yang kemudian dikenal sebagai Piagam Kedudukan ini ditahan selama 18 hari, menunggu sikap Sultan dan Paku Alam, apakah akan bergabung menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia atau membentuk negara baru seperti yang dipikirkan oleh Sukarno.

Tanggal 5 September 1945, setelah mendengarkan pendapat Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta (KNID) Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII (dengan isi yang sama, berbeda dalam hal subjek dan kedudukan) mengeluarkan amanat yang menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Isi dari amanat tersebut adalah:

“Sri Paduka Ingkeng Sinuwun Kangdjeng Sultan Kami Hemengku Buwono IX, Sultan Ngeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan: 1. Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia, 2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja Kami Pegang Seluruhnja, 3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Kami

memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta

Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.”1

Sukarno setuju dengan amanat tersebut, dan kemudian pada tanggal 6 September 1945 oleh Menteri Negara Sartono dan A.A Maramis piagam kedudukan tersebut di atas disampaikan, dan inilah awal mula pengakuan keistimewaan Yogyakarta sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.2 Sebagai pijakan hukum yang lebih kuat, Pemerintah tertanggal 4 Maret 1950, mengeluarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang kemudian mengalami dua kali perubahan, yakni dengan Undang No. 19 Tahun 1950 dan Undang-Undang No. 9 Tahun 1955.

Fakta sejarah ini membuktikan bahwa keistimewaan Yogyakarta, pertama, bukan hadiah dari negara Indonesia. Kedua, sebagaimana istilah yang digunakan pihak Keraton Yogyakarta selama ini, keistimewaan adalah ijab kabul antara para penguasa Yogyakarta dengan para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan ijab kabul ini pula kedudukan gubernur dan wakil gubernur otomatis melekat pada Sultan dan Paku Alam yang bertakhta.3

1

Aloysius Soni BL de Rosari, Sebuah Ijab Kabul “Monarki Yogya” Inkonstitusional?,

Cet. 1, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2011), h. 62-66. 2

Atmakusumah, Tahta Untuk Rakyat, (Jakarta: Gramedia, 1982), h. 64-65. 3

Aloysius Soni BL de Rosari, Sebuah Ijab Kabul “Monarki Yogya” Inkonstitusional?,

Dalam perjalanannya, perumusan regulasi mengenai keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta semakin mendesak dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

1. Pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur yang masih melahirkan kontroversi karena tidak memiliki kejelasan aturan, sehingga membutuhkan instrumen hukum baru yang jelas;

2. Pengaturan mengenai substansi keistimewaan masih belum dirumuskan secara jelas, karena di Undang-Undang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta lebih pada label dibandingkan substansi;

3. Perkembangan politik Indonesia pada aras-aras nasional menunjukan masih tersendat-sendatnya proses reformasi.4

Dengan alasan itu kemudian terdapat usaha-usaha untuk membuat draf RUU terkait keistimewaan Yogyakarta. Pertama berasal dari DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta yang mencoba menampung aspirasi rakyatnya, kemudian draf dari tim yang dipimpin Almarhum Afan Gaffar, draf dari Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama), dan terakhir draf tim Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada yang dipimpin oleh Cornelis Lay.

4

Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta, Monograph on Politics And Government Vol. 2, (Yogyakarta: Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada dan Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah, 2008), h. 8.

Draf tim Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada yang dipimpin oleh Cornelis Lay kemudian diajukan ke DPR tahun 2003. Setelah melalui proses panjang dengan menuai pro-kontra dan perdebatan publik salah satunya mengenai tata cara pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dari berbagai pihak termasuk dari Presiden Indonesia saat itu Susilo Bambang Yudhoyono yang menyatakan bahwa RUUK Daerah Istimewa Yogyakarta yang diajukan tidak sesuai dengan nilai demokrasi dan arus reformasi karena masih berdasarkan monarki absolut, akhirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UUK DIY) disahkan oleh DPR dalam sidang paripurna yang diselenggarakan pada hari Kamis, 30 Agustus 2012. Berbeda dengan peraturan-peraturan sebelumnya, undang-undang yang terdiri dari atas 16 bab dan 51 pasal ini mengatur keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta secara menyeluruh.

B. Teori Kekuasaan

Pada beberapa konsep politik, salah satu konsep yang banyak dibahas dan dipermasalahkan adalah konsep kekuasaan. Karena politik dianggap identik dengan kekuasaan. Hal tersebut tidak mengherankan oleh karena Machiavelli, seorang pemikir filsafat politik dari Florence, Italia, pernah mengatakan bahwa,

“politik adalah sejumlah sarana yang dibutuhkan untuk mendapat kekuasaan,

mempertahankan kekuasaan, dan memanfaatkan kekuasaan untuk mencapai kegunaan yang maksimal.” Bahkan kekuasaan dipandang sebagai gejala yang

selalu terdapat (serba hadir) dalam proses politik.5 Telah muncul begitu banyak definisi lain sehingga beberapa ahli, seperti W. Connoly dan S. Lukes menganggap kekuasaan sebagai suatu konsep yang dipertentangkan (a contested

concept)6 yang artinya merupakan hal yang tidak dapat dicapai suatu konsensus.

Perumusan yang umumnya dikenal ialah bahwa kekuasaan adalah kemampuan seorang pelaku untuk memengaruhi perilaku seorang lain, sehingga perilakunya menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.

Kebanyakan sarjana berpangkal tolak dari perumusan sosiolog Max Weber yang mengatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apa pun dasar kemampuan ini. Sarjana lain yang memiliki pemikiran sama dengan Max Weber yakni Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan mendefinisikan kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan dari pihak pertama.7 Definisi serupa dirumuskan oleh seorang ahli kontemporer Barbara Goodwin bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk mengakibatkan seseorang bertindak dengan cara yang oleh bersangkutan tidak akan dipilih, seandainya tidak dilibatkan. Dengan kata lain memaksa seseorang

5

Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik, Cet. 1, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 70-71. 6

Norman Barry, An Introduction to Modern Theory, Ed. 4, (London: Macmillan Press, 2000), h. 84.

7

Harold D. Laswell, Abraham Kaplan, Power and Society, (New Heaven: Yale University Press, 1950), h. 74.

untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya.8 Menurut Robert M. Mac Iver kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan kelakuan orang lain, baik secara langsung dengan jalan memberikan perintah, maupun secara tidak langsung dengan jalan mempergunakan segala alat dan cara yang ada.9

Dengan adanya beberapa penjelasan di atas, maka dikemukakan bahwa setiap hubungan kekuasaan harus memenuhi dua persyaratan, yakni: pertama, tindakan itu dilaksanakan baik oleh yang memengaruhi atau dipengaruhi, kedua, terdapat kontak atau komunikasi antara keduanya baik langsung maupun tidak langsung.

Terdapat beberapa konsep yang berkaitan erat dengan kekuasaan (power) yaitu wewenang (authority) dan legitimasi (legitimacy atau keabsahan). Seperti dengan konsep kekuasaan, di sini pun bermacam-macam perumusan ditemukan. Perumusan yang mungkin paling mengenai sasaran adalah definisi yang dikemukakan oleh Robert Bierstedt yang mengatakan bahwa wewenang

(authority) adalah institutionalized power (kekuasaan yang dilembagakan).10 Hal

yang sama dikatakan oleh Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan bahwa

8

Barbara Goodwin, Using Political Ideas, Ed. 4, (England: Barbara Goodwin, 2003), h. 307.

9

Robert M. Mac Iver, The Web Goverment, (New York: The Mac Millan Company, 1947), h. 87.

10

Robert Bierstedt, An Analysis of Social Power, (New York: Amerikan Sociological Review, 1950), h. 732.

wewenang (authority) adalah kekuasaan formal. Dianggap bahwa yang mempunyai wewenang (authority) berhak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturan serta berhak untuk mengharapkan kepatuhan terhadap peraturan-peraturannya.

Dalam rangka pembahasan mengenai wewenang perlu disebut pembagiannya menurut Max Weber dalam tiga wewenang, yaitu tradisional, kharismatik, dan rasional-legal. Wewenang tradisional berdasarkan kepercayaan di antara anggota masyarakat bahwa tradisi lama serta kedudukan kekuasaan yang dilandasi oleh tradisi itu adalah wajar dan patut dihormati. Wewenang kharismatik berdasarkan kepercayaan anggota masyarakat pada kesaktian dan kekuatan mistik atau religius seorang pemimpin. Wewenang rasional-legal berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang melandasi kedudukan seorang pemimpin.11

Selain itu menurut Charles Andrain terdapat lima sumber kewenangan untuk memerintah, yakni : a. Hak memerintah berasal dari sumber-sumber primordial atau tradisi. Artinya kepercayaan yang telah berakar dipelihara secara terus menerus dalam masyarakat. Orang yang berkuasa menunjukan sumber kewenangannya memerintah sebagai tradisi karena dia keturunan dari pemimpin terdahulu; b. Hak memerintah berasal dari sumber yang dianggap suci

11

S.N Eisenstadt, Max Weber on Charisma and Institution Building, (Chicago: University Chicago Press, 1968), h. 46.

(pewahyuan). Atas dasar perwahyuan inilah seseorang atau kelompok penguasa memerintah, dan hak memerintah yang dimilikinya dianggap bersifat sakral dan pantas untuk diikuti; c. Hak memerintah berasal dari sumber-sumber pribadi atau berasal dari kualitas pribadi, baik penampilannya yang agung dan pribadinya yang popular maupun karena memiliki kharisma; d. Hak memerintah berasal dari sumber-sumber instrumental seperti keahlian dan kekayaan. Keahlian yang dimaksud terletak pada keahlian dalam ilmu pegetahuan dan teknologi; e. Hak memerintah masyarakat berasal dari sumber-sumber legal atau peraturan perundang-undangan yang mengatur prosedur-prosedur dan syarat-syarat menjadi pemimpin pemerintahan. Undang-Undang Dasar 1945 misalnya tidak hanya mengatur tugas dan kewenangan Presiden dan Wakil Presiden, tetapi juga mengatur prosedur dan syarat-syarat menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

Kelima sumber kewenangan tersebut di atas (sumber primordial, sumber yang dianggap suci, sumber pribadi, sumber instrumental, dan sumber legal formal) dapat dikategorikan ke dalam dua tipe kewenangan utama, yaitu kewenangan yang bersifat prosedural dan kewenangan yang bersifat substansial. Kewenangan yang bersifat prosedural adalah hak memerintah berdasarkan sumber-sumber legal atau peraturan perundang-undangan yang bersifat tertulis maupun tidak tertulis. Sedangkan kewenangan yang bersifat substansial adalah hak memerintah berdasarkan pada faktor-faktor yang melekat pada diri pemimpin, seperti tradisi, sakral, kualitas pribadi, dan sumber instrumental. Semakin kompleks struktur masyarakat suatu negara maka tipe kewenangan yang

digunakan cenderung bersifat prosedural. Sebaliknya, di masyarakat yang strukturnya masih sederhana cenderung menggunakan tipe kewenangan substansial karena kehidupan lebih banyak berdasarkan pada tradisi, kepercayaan kepada kekuatan supranatural, dan kesetiaan pada tokoh pemimpin.12

Selanjutnya konsep legitimasi (legitimacy atau keabsahan) yang terutama penting dalam suatu sistem politik. Keabsahan adalah keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok adalah wajar dan patut dihormati. Kewajaran ini berdasarkan persepsi bahwa pelaksanaan wewenang itu sesuai dengan asas-asas dan prosedur yang sudah diterima secara luas dalam masyarakat dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prosedur yang sah. Sehingga, mereka yang diperintah menganggap bahwa sudah wajar peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh penguasa dipatuhi. Dalam hubungan ini dikatakan oleh David Easton bahwa keabsahan adalah: “Keyakinan dari pihak anggota (masyarakat) bahwa sudah wajarnya untuk menerima baik dan menaati penguasa dan memenuhi

tuntutan-tuntutan dari rezim itu.”13

Secara sederhana ada tiga azas legitimasi yang diterima masyarakat secara luas (legitimasi subyek kekuasaan menurut istilah dari Franz Magnis

12

Charles Andrain, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), h. 194-197.

13

David Easton, A System Analysis of Political Life, (New York: John Willey and Sons, 1965), h. 273.

Suseno). Pertama, legitimasi religios, yang mendasarkan bahwa hak untuk memerintah dilandasi pada faktor-faktor yang adi-kodrati. Dalam paham ini penguasa dipandang sebagai manusia yang memiliki kekuatan adikodrati (ilahi, ghaib, supranatural) sehingga ia mendapat hak ketuhanan (the devine right) untuk menjadi pemimpin.

Kedua, legitimasi elite, legitimasi ini mendasarkan kekuasaan penguasa

pada kemampuan khusus yang dimiliki oleh aktor (individu ataupun kelompok) untuk memerintah. Dalam konteks ini dipahami bahwa penguasa haruslah aktor-aktor yang memiliki kualifikasi khusus atau kualifikasi yang melebihi kualifikasi-kualifikasi aktor lainnya. Terdapat empat macam legitimasi elite yang berkembang: a. Legitimasi aristokratis, legitimasi relatif nihil pada abad modern sekarang. Namun secara sederhana legitimasi aristrokasi hendak mengatakan bahwa satu golongan dalam masyarakat dianggap memiliki hak untuk berkuasa dibandingkan dengan golongan lain karena mereka dianggap lebih unggul daripada yang lainnya; b. Legitimasi teknoratis, kekuasaan penguasa terbangun oleh karena terbentuknya argumen yang menyatakan bahwa dalam dunia yang serba modern serta kompleks seperti saat ini dibutuhkan penguasa-penguasa atau pemimpin-pemimpin yang betul-betul ahli, sehingga mampu beradaptasi dengan perubahan yang sangat cepat. Pemimpin-pemimpin atau penguasa-penguasa yang sangat ahli dan mampu menerima tanggungjawab tersebut termanifestasi dalam diri para kaum teknokrat; c. Legitimasi ideologis, legitimasi ini mendasarkan kepemilikan kekuasaan pada suatu ideologi negara yang mengikat setiap warga

negaranya. Maksudnya, setiap warga negara harus mengakui hak istimewa yang dimiliki oleh aktor-aktor yang mengembangkan ideologi negara untuk menjadi penguasa, oleh karena merekalah yang mengerti betul bagaimana strategi, atau harus dibawa ke mana negara ini mengikuti ideologi yang mereka kembangkan; d. legitimasi pragmatis, adalah bentuk legitimasi yang menempatkan aktor-aktor tertentu yang menganggap dirinya cocok untuk memegang kekuasaan negara dan sanggup mengelola kekuasaan tersebut.14

Namun kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut dengan sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan manusia, karena kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya. Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan legitimasi-legitimasi di atas akan menjadi kekuasaan yang absolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam menjalankan urusan kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legitimasi tersebut bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter. Maka dari itulah adanya konsepsi demokrasi memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia.15

14

S.N Eisenstadt, Max Weber on Charisma and Institution Building, (Chicago: University Chicago Press, 1968), h. 46.

15

Jimly Ashiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Ed. 2, Cet. 1

C. Sultan Hamengku Buwono

Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi pemerintahan yakni kesultanan termasuk di dalamnya Kadipaten Pakualaman. Daerah yang mempunyai asal usul dengan pemerintahannya sendiri, di zaman penjajahan Hindia Belanda disebut Zelffbestrurende Landschappen. Di zaman kemerdekaan disebut dengan nama Swapraja.16 Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pendiri Kesultanan Yogyakarta adalah Pangeran Mangkubumi, terlahir sebagai Raden Mas Sujono. Dari sejarah dapat kita membuktikan bahwa berdirinya Kesultanan Yogyakarta melewati perjuangan yang ulet dan memerlukan waktu sekitar 9 tahun. Perjuangan ini diawali dari protes Mangkubumi, baik kepada kakaknya sendiri, Paku Buwono II, maupun kepada VOC. Protes ini dilatar belakangi dari sesudah Gegeran Pacina (1740-1743) dapat diselesaikan, masih ada beberapa pemberontak yang meneruskan perjuangan. Diantaranya adalah Raden Mas Said yang masih menguasai daerah Sukawati (sekarang Sragen). Said terkenal sakti, karena itu tidak ada satria Mataram yang berani menghadapinya. Kemudian Susuhunan Paku Buwono II kemudian mengeluarkan maklumat, barang siapa yang dapat mengalahkan Said akan diberikan tanah Sukawati.17

16

Sujanto, Daerah Istimewa Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1998), h. 162.

17

G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 11-12.

Satu-satunya bangsawan yang memberanikan diri untuk mengahadapi Said adalah Mangkubumi. Setelah mendapat persetujuan raja dengan memperoleh pusaka Kyai Plered, Mangkubumi bergerak dengan pasukannya untuk menghadapi Said, namun pemberontak ini berhasil meloloskan diri. Dengan demikian Mangkubumi berhak menerima hadiah tanah Sukawati yang dijanjikan oleh raja. Bersama dengan itu datanglah ke Surakarta Gubernur Jenderal VOC, Van Imhoff yang terkenal licik. Sama halnya dengan Pepatih Dalem Surakarta, Pringgoloyo, ipar Susuhunan dan Mangkubumi. Pringgoloyo digambarkan sebagai patih yang licik, selain juga pengecut (ia meninggal dengan bunuh diri). Pringgoloyo pernah menghasut Susuhunan agar tidak menyerahkan tanah Sukawati kepada Mangkubumi karena akan membuat iri para bangsawan lain, juga dapat membahayakan kedudukan Susuhunan sendiri. Namun Susuhunan tidak mengikuti nasihat patihnya, dan tetap berpegang pada prinsip

sabda pandhita ratu tan kena wola-wali (raja dan pendeta tidak boleh ingkar

janji).18

Van Imhoff yang terkena bujukan Pringgoloyo mengecam Mangkubumi di Paseban. Van Imhoff yang memiliki kesempatan berpidato mengkritik Mangkubumi sebagai bangsawan yang tidak tahu berterima kasih kepada Susuhunan, karena telah menuntut hadiah. Kecaman di muka umum oleh Van Imhoff sangat menyinggung kehormatan Mangkubumi. Oleh karena itu, pada

18

G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 12.

malam harinya Mangkubumi beserta para pengikutnya meninggalkan Surakarta menuju Sukawati untuk memulai perlawanan. Sasaran Mangkubumi adalah Susuhunan yang ingkar janji dan Belanda yang dianggap Murang Tata (kurang ajar).19

Dengan perjuangan selama 9 tahun, baik Susuhunan Paku Buwono III maupun VOC dipaksa untuk memberikan separuh Mataram kepada Mangkubumi, lewat perjanjian Gianti pada tahun 1755. Dalam perjanjian itu Mangkubumi diakui menjadi Sultan Hamengku Buwono I dengan keratonnya di Yogyakarta. Gelarnya Senopati Ing Ngalogo Sayidin Panatogomo Khalifatullah memang masih berarti raja besar, namun dalam kenyataanya ia terikat oleh kontrak politik antara lain mengakui kalau Kesultanan Yogyakarta adalah kerajaan bawahan dari kerajaan Netherland, sebagai pemegang kedaulatan. Meskipun demikian terhadap rakyat di wilayah Kesultanan, raja tetap diakui sebagai raja Gung Binathara (raja besar).20

Adapun pembagian wilayah kerajaan tersebut menurut perjanjian Gianti adalah, untuk wilayah negara agung, yang masing-masing di sekitar Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Susuhunan menerima 53.100 karya bahu atau cacah, sedangkan Sultan menerima luas yang sama. Untuk daerah–daerah yang disebut

19

G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 12.

20

G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 13.

mancanegara (daerah kekuasaan di luar negara agung), Sultan menerima daerah

Dokumen terkait