BAB I PENDAHULUAN
F. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mudah memahami dalam penelitian ini, maka secara ringkas peneliti menyusun sistematika penulisan yang terdiri dari :36
Bab I Pendahuluan, yang mana membahas tentang Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
Bab II Kajian Teoritis dan Konsep, yang mana membahas tentang teori Harmonisasi Hukum, dan teori Jenjang Norma Hukum (Stufen Theorie), serta Konsep Omnibus Law.
Bab III Membahas tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, pada BAB ini membahas mengenai Pengertian Peraturan Peundang-Undangan, Proses Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pembentukan Peraturan Daerah dan Materi Muatan Peraturan Daerah.
Bab IV Hasil penelitian dan pembahasan tentang Analisis Harmonisasi Hukum Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Pencabutan 7 (Tujuh) Peraturan Daerah Yang Mengatur Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Dalam Konsep Omnibus Law, pada BAB ini membahas mengenai Faktor-Faktor Pencabutan 7 (Tujuh) Peraturan Daerah Kota Bogor dan Harmonisasi Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pencabutan 7 (Tujuh) Peraturan Daerah Yang Mengatur Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Dalam Konsep Omnibus Law.
Bab V Penutup, pada BAB ini penulis menguraikan kesimpulan dan saran hasil dari penilitian, serta menyantumkan lampiran dan curriculum vitae (cv) penulis.
36 Asep Saepudin Jahar, dkk, Pedoman Penulsan Skripsi, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2017), h. 9 - 10
19
BAB II
LANDASAN TEORI DAN KONSEP
A. Harmonisasi Hukum
1. Pengertian Harmonisasi
Kata Harmonisasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata ”Harmonia”
yang artinya terikat secara serasi dan sesuai. Menurut arti filsafat, harmonisasi diartikan kerjasama antara berbagai faktor yang sedemikaian rupa, hingga faktor-faktor tersebut menghasilkan kesatuan yang luhur.1
Istilah harmonisasi juga berasal dari Ilmu Musik, yang kemudian digunakan Ilmu Seni. Dalam musik, dikenal harmonisasi nada-nada dan dalam seni berkembang harmonisasi warna-warna, kata-kata, frase dan sebagainya.2
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata harmonis diartikan sebagai sesuatu yang bersangkut paut dengan harmoni, atau seia sekata;
sedangkan kata “harmonisasi” diartikan sebagai pengharmonisan, atau upaya mencari keselarasan. Dalam penelitian ini kata harmonisasi juga digunakan sebagai upaya untuk mencari kesesuaian antara peraturan perundang-undangan.3
Istilah harmonisasi secara etimologis menunjuk pada proses yang bermula dari suatu upaya, untuk menuju atau merealisasi sistem harmoni.
Istilah harmoni juga diartikan keselarasan, kecocokan, keserasian,
1 Hassan Shaddly, dkk, Ensiklopedia Indonesia, (Jakarta: Ichtisar Baru-Van Hoeve), h.
1262
2 Moh. Hasan Wargakusumah, dkk, Perumusan Harmonisasi Hukum Tentang Metodologi Harmonisasi Hukum, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia, 1996/1997), h. 28
3 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012), h. 484
keseimbangan yang menyenangkan. Menurut arti psikologis, harmonisasi diartikan sebagai keseimbangan dan kesesuaian segi-segi dalam perasaan, alam pikiran dan perbuatan individu, sehingga tidak terjadi hal-hal ketegangan yang berlebihan.4
Soetoprawiro mengemukakan dalam buku karangan Kusnu Goesniadhie yang berjudul Harmonisasi dalam Persepektif Perundang-undangan bahwa harmonisasi merupakan segala sesuatu yang baik dapat di terjemahkan ke dalam istilah harmoni. Segala sesuatu hendaknya senantiasa serasi, selaras, seimbang. Yang adil dan yang makmur adalah harmonis.
Segala perilaku dan tindak-tanduk itu berangkat dari situasi yang harmonis menuju ke situasi yang harmonis baru.5
Harmonisasi juga berhubungan dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dengan perlu juga dipahami asas lex specialis derogat legi generali. Asas ini merujuk pada dua peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis mempunyai kedudukan yang sama, tetapi ruang lingkup materi muatan antara peraturan perundang-undangan itu tidak sama, yaitu yang satu merupakan pengaturan secara khusus dari yang lain.6
2. Pengertian Harmonisasi Hukum
Harmonisasi hukum adalah kegiatan ilmiah untuk menuju proses pengharmonisasian hukum tertulis yang mengacu baik pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis maupun yuridis. Dalam pelaksanaannya, kegiatan harmonisasi adalah pengkajian yang komprehensif terhadap suatu rancangan peraturan perundang-undangan, dengan tujuan untuk mengetahui apakah rancangan peraturan tersebut, dalam berbagai aspek, telah
4 Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi dalam Persepektif Perundang-undangan (Surabaya:
Lex Spesialis Masalah. 2006), h. 59
5 Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi dalam Persepektif Perundang-undangan (Surabaya:
Lex Spesialis Masalah. 2006), h. 61
6 Peter Mahmud Marzuki, Penilitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenda Media, 2011), h.
99
21
mencerminkan keselarasan atau kesesuaian dengan peraturan-peraturan perundang-undangan nasional lain, dengan hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat, atau dengan konvensi-konvensi dan perjanjian-perjanjian internasional, baik bilateral maupun multilateral, yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia.7
3. Ruang Lingkup Harmonisasi Hukum
Penerapan peraturan perundang-undangan dalam jumlah banyak secara bersamaan dalam waktu dan ruang sama, sudah tentu membawa konsekuensi terjadinya disharmoni hukum. Penerapan berbagai macam peraturan perundang-undangan secara bersama-sama tanpa upaya-upaya harmonisasi hukum penyelarasan dan penyerasian sudah tentu akan menimbulkan benturan kepentingan anatar lembaga. Masing-masing peraturan perundang-undangan memiliki tujuan, strategi untuk mencapai tujuan, dan pedoman untuk melaksanakan strategi, dimana ketiganya ini sering dirumuskan bentuk dalam kebijakan-kebijakan.
Kebijakan terdiri dari dua macam, yaitu kebijakan yang bersifat tetap atau regulatory policies yang diterapkan dalam berbagi bentuk peraturan pelaksanaan dari peraturan yang lebih tinggi tingkatnya dan kebijakan yang bersifat tidak tetap, yaitu yang mudah diubah dalam rangka mengikuti perkembangan. Dalam kaitannya ini, harmonisasi hukum dapat diawali dengan melakukan penyelarasan dan penyerasian tujuan, startegi, dan pedoman dari masing-masing peraturan perundang-undangan melalui upaya penafsiran hukum, konstruksi hukum, penalaran hukum, dan pemberian argumentasi yang rasional dengan tetap memperhatikan sistem hukum dan asas hukum yang berlaku.
Harmonisasi hukum dalam sisi pencegahan, yaitu upaya harmonisasi yang dilakukan dalam rangka menghindarkan terjadinya disharmoni hukum.
7 Moh. Hasan Wargakusumah, dkk, Perumusan Harmonisasi Hukum Tentang Metodologi Harmonisasi Hukum, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia, 1996/1997), h. 37
Disharmoni hukum yang telah terjadi memerlukan harmonisasi sistem hukum untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, dan disharmonisasi hukum yang belum terjadi harus dicegah melalui upaya-upaya penyelarasan, penyerasian, dan penyesuaian berbagai kegiatan harmonisasi hukum.
Demikian pula halnya, inkonsistensi dalam penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran hukum menimbulkan terjadinya disharmoni hukum yang harus diharmonisasikan melalui kegiatan penyerasian dan penyelarasan hukum.
Disamping itu, harmonisasi hukum dilakukan untuk menanggulangi keadaan disharmoni hukum yang telah terjadi. Keadaan disharmoni hukum yang terlihat dalam realita, misalnya, tumpang tindih kewenangan, persaingan tidak sehat, sengketa, pelanggaran, benturan kepentingan, dan tindak pidana.
Sehingga dalam rangka menanggulangi disharmoni antara kepentingan yang menyangkut masalah diatas, harus ada upaya harmonisasi. Misalnya dalam upaya kasus perdata bisa melalui Alternative Dispute Resolution (ADR).
Dan potensi terjadinya disharmonisasi hukum menurut Kusnu Goesniadhie tercermin oleh adanya faktor-faktor sebagai berikut:
a. Jumlah peraturan perundang-undangan terlalu banyak yang diberlakukan;
b. Perbedaan kepentingan dan penafsiran;
c. Kesenjangan antara pemahaman teknis dan pemahaman hukum tentang tata pemerintahan yang baik;
d. Kendala hukum yang dihadapi dalam penerapan peraturan perundang-undangan, yang terdiri dari mekanisme pengaturan, andmistrasi pengaturan, antisipasi terhadap perubahan, dan penegakan hukum;
23
e. Hambatan hukum yang dihadapi dalam penerapan peraturan perundang-undangan, yaitu yang berupa tumpang tindih kewenangan dan benturan kepentingan.8
4. Fungsi Harmonisasi Hukum
Harmonisasi hukum mempunyai fungsi pencegahan dan fungsi penangulangan terjadinya disharmoni hukum. Harmonisasi hukum untuk mencegah terjadinya disharmonisasi hukum, dan hal ini dilakukan melalui penemuan hukum (penafsiran dan konstruksi hukum), penalaran hukum dan pemberian argumentasi yang rasional. Upaya ini dilakukan dengan arahan untuk menegaskan kehendak hukum, kehendak masyarakat, dan kehendak moral. Harmonisasi hukum yang bersifat pencegahan dilakukan dalam rangka mengantisipasi kenyataan tentang adanya faktor-faktor potensial yang dapat menyebabkan terjadinya disharmonisasi hukum.
Harmonisasi hukum untuk menanggulangi terjadinya disharmonisasi hukum, dilakukan melalui:
a. Proses non-litigasi melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) untuk menyelesaikan persoalan sengketa perdata diluar pengadilan;
b. Proses litigasi melalui Court-Connected Dispute Resolution (CCDR) untuk mendamaikan para pihak yang bersangkutan dibidang perdata sebelum dimulai pemeriksaan di pengadilan;
c. Proses litegasi sebagai pemeriksaan perkara perdata dipengadilan;
d. Proses negosiasi atau musyawarah, baik dengan mediator atau tidak untuk menyelesaikan disharmoni hukum publik yang tidak bersifat pidana, seperti tumpang tindih kewenangan dan benturan kepentingan antara instansi pemerintah;
8 Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Sistem Hukum: Mewujudkan Tata Pemerintahan Yang Baik, (Malang: Nasa Media, 2010), h. 11
e. Proses pemeriksaan perkara pidana untuk mengadili pelanggaran atau tindakan kejahatan.9
Sementara itu Wacipto Setiadi berpendapat bahwa selain untuk memenuhi ketentuan pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, paling tidak ada tiga alasan atau fungsi harmonisasi hukum, yaitu:
a. Pengharmonisaasian dilakukan untuk menjaga keselarasan, kemantapan, dan kebulatan konsepsi peraturan perundang undangan sebagi sistem dengan tujuan peraturan tersebut dapat berfungsi secara efektif;
b. Harmonisasi hukum dilakukan dilakukan sebagai upaya prefentif, dalam rangka pencegahan diajukannya permohonan judicial review peraturan perundang-undangan kepada kekuasaan kehakiman yang berkompeten;
c. Menjamin proses pembentukan peraturan perundang-undangan dilakukan secara taat asas hukum, demi kepentingan dan kepastian hukum.10
5. Langkah-Langkah Harmonisasi Hukum
Sehubung dengan langkah-langkah harmonisasi hukum, Kusnu Goesniadhie membaginya menjadi lima langkah yaitu:
a. Identifikasi letak disharmoni hukum dalam penerapan peraturan perundang-undangan;
b. Identifikasi penyebab terjadinya disharmonisasi hukum;
9 Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Sistem Hukum: Mewujudkan Tata Pemerintahan Yang Baik, (Malang: Nasa Media, 2010), h. 11 - 12
10 Wacipto Setiadi, Proses Pengharmonisasian Sebagai Upaya Untuk Memperbaiki Kualitas Peraturan Perundang-Undangan, Jurnal Legislatif Indonesia Vol. 4 No. 2. Juni 2007, h.
48
25
c. Upaya penalaran hukum dengan menggunakan metodi penafsiran dan metode kontriksi hukum untuk mengubah keadaan hukum yang disharmoni menjadi harmoni;
d. Upaya penalaran hukum agar hasil penafsiran dan konstruksi hukum tersebut masuk akal atau memenuhi unsur logika;
e. Penyusunan argumentasi yang rasional dengan mempergunakan pemahaman tata pemerintahan yang baik untuk mendukung dan menjelaskan hasil penafsiran hukum, konstruksi hukum, dan penalaran hukum.11
Ditambahkan bahwa penafsiran hukum, konsturksi hukum, penalaran hukum, dan argumentasi yang rasional dilakukan untuk menemukan:12
a. Kehendak hukum atau cita-cita hukum, yaitu kepatian hukum itu sendiri;
b. Kehendak masyarakat, yaitu keadilan; dan c. Kehendak moral, yaitu kebenaran.
Yang semuanya itu, secara normatif diatur dalam Pasal 18 ayat (2) Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
6. Pendekatan Harmonisasi Hukum
Pendekatan harmonisasi hukum, Kusnu Goesniadhie dalam bukunya yang berjudul “Harmonisasi Sistem Hukum: Mewujudkan Tata Pemerintahan
11 Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Sistem Hukum: Mewujudkan Tata Pemerintahan Yang Baik, (Malang: Nasa Media, 2010), h. 12 - 13
12 Mahendra Putra Kurnia, Hukum Kewilayahan Indonesia: Harmonisasi Hukum Pengembangan Kawasan Perbatasan NKRI Berbasis Teknologi Geospasial, (Malang: Universitas Brawijaya Press, 2011), h. 40
yang Baik”, ia menyebutkan ada empat macam dalam pendekatan harmonisasi hukum, yaitu:13
a. Harmonisasi Hukum Mengacu pada Perundang-Undangan
Harmonisasi peraturan perundang-undangan dapat diartikan sebagai suatu proses penyelarasan atau penyerasian peraturan perundang-undangan yang dihasilkan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan peraturan perundang-undangan yang baik. Dalam hal ini, harmonisasi hukum memegang peranan yang sangat strategis dan harus dimulai sejak tahap perencanaan agar memudahkan proses selanjutnya.
Harmonisasi hukum tidak hanya menyangkut hal-hal yang bersifat yang dimaksudkan untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih atau saling bertentangan seperti yang diuraikan diatas.
Harmonisasi hukum juga mempunyai peranan penting dalam melahirkan suatu produk peraturan perundang-undangan yang dapat dijalankan dan diterima oleh masyarakat dengan baik.
Harmonisasi peraturan perundang-undangan, tidak hanya terbatas pada macam atau jenis peraturan perundang-undangan beserta tata urutannya. Secara ideal dilakukan terintegrasi yang meliputi segala aspek dari paham peraturan perundang-undangan, yaitu:
1) Pengertian umum peraturan perundang-undangan;
2) Makna urutan peraturan perundang-undangan;
3) Fungsi tata urutan peraturan perundang-undangan;
4) Penamaan masing-masing peraturan perundang-undangan;
5) Pengertian masing-masing peraturan perundang-undangan;
13 Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Sistem Hukum: Mewujudkan Tata Pemerintahan Yang Baik, (Malang: Nasa Media, 2010), h. 13 - 17
27
6) Hubungan norma peraturan perundang-undangan dengan norma hukum yang lain.
Harmonisasi peraturan perundang-undangan merupakan upaya penyelerasanan dan penyerasian tujuan, strategi, dan pedoman dilakukan dengan mengacu pada hukum dasar yaitu Undan-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan yang mendasari tata pemerintahan yang baik.
Disamping itu, harus selaras dan serasi dengan perubahan hukum dasar dan hukum yang mendasarinya menuju tata pemerintahan yang baik.
b. Harmonisasi Hukum Mengacu Ruang Lingkup
Harmonisasi Hukum Mengacu Ruang Lingkup adalah harmonisasi hukum dalam pengertian upaya harmonisasi tujuan, strategi untuk mencapai tujuan, dan pedoman untuk melaksanakan strategi agar tujuan dari masing-masing peraturan perundang-undangan tercapai.
c. Harmonisasi Hukum Mengacu pada Keterpaduan Kelembagaan Aspek hukum atau kelembagaan dalam tata pemerintahan yang baik diwujudkan dalam bentuk intraksi hukum dan kelembagaan. Oleh karena interaksi hukum dan kelembagaan terjadi di setiap komponen kegiatan, maka keterpaduan tersebut hendaknya diupayakan untuk terwujud di setiap tingkatan interaksi hukum dan kelembagaan.
Upaya untuk memadukan peraturan perundang-undangan, menyelaraskan, dan menyerasikan dapat dilakukan melalui penafsiran hukum, penalaran hukum, dan argumentasi rasional dengan memperhatikan kepentingan masing-masing lembaga dengan arahan utama untuk mengembangkan suatu produk hukum yang baik.
Apabila keterpaduan hukum dapat terwujud, maka keterpaduan dalam
aplikasinya juga harus selalu selaras dengan nilai-nilai muatan agama.
Sehingga keterpaduan kelembagaan senantiasa akan menjadi jaminan bagi diselenggarakannya harmonisasi hukum dalam mewujudkan produk hukum yang baik.
d. Harmonisasi Hukum Mengacu pada Kodifikasi dan Unifikasi Upaya kodifikasi dan unifikasi hukum merupakan upaya untuk membatasi dan mengunci hasil harmonisasi hukum agar tidak berubah lagi. Jika terjadi perubahan, maka perubahan tersebut harus mengacu pada unifikasi hukum yang telah dikodifikasikan. Upaya kodifikasi adalah upaya untuk menghimpun peraturan perundang-undangan ke dalam satu buku. Unifikasi hukum ditandai dengan karakteristik sebagai berikut:
1) Adanya satu kitab undang-undang;
2) Adanya satu persepsi atau satu pemahaman tentang hukum yang berlaku;
3) Adanya satu sikap dan perilaku terhadap hukum yang berlaku;
4) Adanya prinsip-prinsp non-diskriminatif;
5) Adanya konsistensi dalam penerapan dan penegakan hukum.
Terwujud kodifikasi dan unifikasi hukum akan menjamin terwujudnya kepastian hukum dan keadilan. Disamping itu, kodifikasi dan unifikasi hukum akan menjadi landasan bagi pengembangan dinamika harmonisasi hukum.14
7. Unsur-Unsur Harmonisasi Hukum
Unsur-unsur yang perlu ada dalam suatu harmonisasi hukum adalah keterkaitan suatu rancangan undang-undang dengan dasar falsafah negara,
14 Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Sistem Hukum: Mewujudkan Tata Pemerintahan Yang Baik, (Malang: Nasa Media, 2010), h. 13 - 17
29
dengan konstitusi, dengan peraturan perundang-undangan, dengan hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat, dan dengan perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi15 oleh Pemerintah Republik Indonesia.16 B. Jenjang Norma Hukum (Stufen Theorie)
Dalam kaitannya dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan teori mengenai jenjang norma hukum (stufentheorie). Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan belapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti, suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu norma dasar (Grundnorm).17
Hans Kelsen dalam General Theory of Law and States menulis bahwa :
“...The legal order, espesially the legal order the personificationof which is the State, is therefore not a system of norms coordiinated to each other, standing, so to speak, side by side on the same level, but hierarcis of differen levels of norms.
The unity of these norms is constituted by the fact and that the creation of one norm – the lower one - is determined by another – the higher – the creation – of which is determined by a still higher norm, and that this regessus is terminated by a highest, the basic norm which, being the supreme reason of validity of the whole legal order, constitutes its unity.18
15 Menururt kbbi.web.id Ratifikasi adalah pengesahan suatu dokumen negara oleh parlemen, khususnya pengesahan undang-undang, perjanjian antar negara, dan persetujuan hukum internasional.
16 Moh. Hasan Wargakusumah, dkk, Perumusan Harmonisasi Hukum Tentang Metodologi Harmonisasi Hukum, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia, 1996/1997), h. 37 - 38
17 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Yogyakarta, PT. Kanisius, 2007), h. 41
18 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (Translated by : Andres Wedberg, Russel & Russel, New York, 1973), h. 124
Teori Stufen adalah teori mengenai sistem hukum oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen norma hukum yang paling dasar (grundnorm) bentuknya tidak konkrit (abstrak).19
Teori Hans Kelsen mengenai hierarki norma hukum ini diilhami oleh Adolf Merkl dengan menggunakan teori das doppelte rech stanilitz, yaitu norma hukum memiliki dua wajah, yang dengan pengertiannya: Norma hukum itu keatas ia bersumber dan berdasar pada norma yang ada diatasnya; dan Norma hukum ke bawah, ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma yang dibawahnya.
Sehingga norma tersebut mempunyai masa berlaku (rechkracht) yang relatif karena masa berlakunya suatu norma itu tergantung pada norma hukum yang diatasnya, sehungga apabila norma hukum yang berada diatasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada dibawahnya tercabut atau terhapus pula.20
Kelsen sebagai teori hukum murni, merupakan teori tentang hukum positif umum bukan tentang tatanan hukum khusus, ia merupakan teori hukum umum, bukan penafsiran tentang norma hukum nasional atau internasional tertentu, namun menyajikan teori penafsiran.
Gagasan Kelsen dengan Stufenbautheorie pada hakikatnya merupakan usaha untuk membuat kerangka suatu bangunan hukum yang dapat dipakai di manapun,21 dalam perkembangan selanjutnya diuraikan Hans Nawiasky dengan
19 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, (Bandung:
Nusa Media, 2010), h. 1
20 Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 25
21 Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum : Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), h. 69
31
theorie von stufenfbau der rechtsordnung yang menggariskan bahwa selain susunan norma dalam negara adalah berlapis-lapis dan berjenjang dari yang tertinggi sampai terendah, juga terjadi pengelompokkan norma hukum dalam negara,22 yakni mencakup norma fundamental negara (staatsfundementalnorm), aturan dasar negara (staatsgrundgesetz), undang-undang formal (formalle gesetz), dan Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en outonome satzung).23
Suatu pernyataan tentang realitas dikatakan benar, karena pernyataan tersebut berhubungan dengan realitas atau karena pengalaman kita menunjukkan kesesuaian dengan relitas tersebut.
Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada dibawahnya, sehingga suatu norma dasar itu dikatakan pre supposed.24
Suatu norma adalah bukan pernyataan tentang realitas sehingga tidak dapat dikatakan benar atau salah dengan ukuran realitas. Validitas norma tidak karena keberlakuannya. Pertanyaan mengapa sesuatu seharusnya terjadi tidak pernah dapat dijawab dengan penekanan pada akibat bahwa sesuatu harus terjadi, tetapi hanya oleh penekanan bahwa sesuatu seharusnya terjadi.25
Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannnya dengan sesamanya atau dengan lingkungannya. Istilah norma
22 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan; Dasar-dasar dan Pembentukannya, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 27
23 Jimly Asshiddiqie, M Ali Safaa‟at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, (Jakarta Kerjasama Konstitusi Press dengan PT Syaamil Cipta Media, 2006), h. 170
24 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Yogyakarta, PT. Kanisius, 2007), h. 41
25 Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, (Bandung: Nusa Media, 2010), h. 30
berasal dari bahsa latin, atau kaidah dalam bahasa arab, dan sering juga disebut pedoman, patokan, atau aturan dalam bahasa Indonesia.
Suatu norma itu baru ada apabila terdapat lebih dari satu orang, karena norma itu pada dasarnya mengatur tata cara bertingkah laku seseorang terhadap orang lain, atau terhadap lingkungannya. Setiap norma itu mengandung suruhan-suruhan yang di dalam bahasa asingnya disebut dengan das Sollen (ought to be/ought to do).26
Norma hukum itu dapat dibentuk secara tertulis ataupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang yang membentuknya, sedangkan norma moral.
adat, agama, dan lainnya terjadi secara tidak tertulis, tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat.
Kelsen membahas validitas norma-norma hukum dengan menggambarkannya sebagai suatu rantai validitas yang berujung pada konstitusi negara. Jika bertanya mengapa konstitusi itu valid, mungkin dapat menunjuk pada konstitusi lama. Akhirnya mencapai beberapa konstitusi hingga konstitusi pertama yang ditetapkan oleh individu atau semacam majelis. Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir, postulat yang final, di mana validitas semua normadalam tata aturan hukum bergantung. Dokumen yang merupakan wujud
Kelsen membahas validitas norma-norma hukum dengan menggambarkannya sebagai suatu rantai validitas yang berujung pada konstitusi negara. Jika bertanya mengapa konstitusi itu valid, mungkin dapat menunjuk pada konstitusi lama. Akhirnya mencapai beberapa konstitusi hingga konstitusi pertama yang ditetapkan oleh individu atau semacam majelis. Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir, postulat yang final, di mana validitas semua normadalam tata aturan hukum bergantung. Dokumen yang merupakan wujud