• Tidak ada hasil yang ditemukan

H. Metode Penelitian

I. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah melihat dan mengetahui pembahasan yang ada pada skripsi ini secara menyeluruh, maka perlu dikemukakan sistematika yang merupakan kerangka dan pedoman penulisan skripsi.

Penyajian laporan skripsi ini menggunakan sistematika penulisan skripsi yang telah ditetapkan oleh pihak kampus yang terdiri dari tiga bagian utama meliputi bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir.

1. Bagian Awal Skripsi

Bagian awal skripsi meliputi sampul luar, sampul dalam, lembar judul, lembar pernyataan keaslian karya, lembar pengesahan

29

pembimbing, lembar pengesahan penguji, abstrak, kata pengantar, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar dan daftar lampiran.

2. Bagian Tengah Skripsi

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Pada bab kajian pustaka ini meliputi landasan teori dan kerangka berpikir.

BAB III GAMBARAN UMUM LATAR PENELITIAN Bagian ini berisi tentang gambaran geografis, historis, sosial, budaya dan sebagainya.

BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

Berisi uraian penyajian data dan temuan penelitian

BAB V PEMBAHASAN

Bagian ini berisi uraian yang mengaitkan latar belakang, teori, dan rumusan teori baru dari penelitian.

BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN Pada bab ini berisi simpulan, implikasi dan saran.

3. Bagian Akhir Skripsi

Bagian akhir terdiri dari daftar pustaka, lampiran-lampiran, dan kelengkapan lainnya.

30 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori

a. Implementasi Program

Implementasi berasal dari Bahasa Inggris yaitu to implement yang berarti mengimplementasikan atau melaksanakan sesuatu hal.

Implementasi merupakan sarana untuk melaksanakan sesuatu yang akan menimbulkan dampak atau akibat. Sesuatu tersebut dibuat oleh suatu lembaga pemerintahan maupun swasta yang dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat berupa undang-undang, peraturan pemerintah, kebijakan dan keputusan peradilan. (Mamonto, Sumampouw, & Undap, hal. 3)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) implementasi adalah pelaksanaan atau penerapan. Jadi implementasi adalah sebuah tindakan yang telah direncanakan sehingga perlu dilaksanakan dan diterapkan atas kesepakatan bersama. Implementasi merupakan suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana yang telah disusun dengan sedemikian rupa secara matang dan terperinci. (KBBI)

Implementasi biasanya dilakukan setelah perencanaaan sudah dianggap sempurna. Tanpa adanya suatu perencanaan yang matang.

Berikut ini adalah pengertian tentang implementasi menurut para ahli.

Menurut Nurdin Usman (Usman, 2002:70) dalam bukunya yang berjudul Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum mengemukakan pendapatnya mengenai implementasi atau pelaksanaan. Implementasi adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan atau adanya mekanisme suatu sistem, implementasi bukan sekedar aktivitas, tapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan.

31

Menurut Hanifah (Harsono, 2002:67) dalam bukunya yang berjudul Implementasi Kebijakan dan Politik mengemukakan pendapatnya. Implementasi adalah suatu proses untuk melaksanakan kegiatan menjadi tindakan kebijakan dari politik ke dalam administrasi. Pengembangan suatu kebijakan dalam rangka penyempurnaan suatu program.

Menurut Guntur Setiawan (Setiawan, 2004:39) dalam bukunya yang berjudul Implementasi dalam Birokrasi Pembangunan mengemukakan pendapatnya sebagai berikut; Implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara tujuan dan tindakan untuk mencapainya serta memerlukan jaringan pelaksana, birokrasi yang efektif. Sedangkan menurut Leo Agustino (2014), “implementasi merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri”. (Mamonto, Sumampouw, &

Undap, hal. 4)

Implementasi merupakan suatu proses yang sangat penting ketika berbicara penerapan program baik itu yang bersifat sosial atau dalam dunia pendidikan. Implementasi program merupakan lakang-langkah pelaksanaan kegiatan dalam upaya mencapai tujuan dari program itu sendiri, Jones (dalam Arif Rohman, 2009:101-102) menyebutkan implementasi program merupakan salah satu komponen dalam suatu kebijakan. Implementasi program merupakan upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan. (Nurhanifah, Erhamwilda, & Suhendar, 2014-2015, hal. 117)

Dari beberapa pengertian diatas memperlihatkan bahwa kata implementasi merujuk pada mekanisme sebuah sistem. Jadi

32

mekanisme mengandung arti bahwa kata implementasi tidak hanya sebuah aktivitas, tetapi kegiatan yang terencana dan dilakukan sungguh-sungguh berdasarkan norma aturan tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan. Oleh karena itu, implementasi tidak bisa berdiri sendiri tetapi harus dipengaruhi oleh sebuah objek yaitu sebuah program.

Dalam penelitian ini, implementasi program yaitu program PHBM yang mana program tersebut dibuat oleh pemerintah untuk mencapai tujuan bersama yaitu memanfaatkan lahan hutan menjadi tempat wisata dengan memadukan tiga aspek ekonomi, ekologi dan sosial.

Kegiatan pemanfaatan lahan hutan harus berjalan secara profesional dan proporsional dengan memperhatikan pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan. Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi antara perum perhutani, masyarakat hutan, LMDH dan stakeholder terkait.

b. Teori Implementasi Menurut Ahli 1. Teori Implementasi George Edward III

Perspektif implementasi dapat dilihat dari beberapa perspektif atau pendekatan. Salah satunya ialah implementation problems approach yang dikenalkan oleh Edward III. Edward III mengajukan pendekatan masalah implementasi dengan terlebih dahulu mengemukakan dua pertanyaan pokok, yakni :

1) Faktor apa yang mendukung keberhasilan implementasi kebijakan?

2) Faktor apa yang menghambat keberhasilan implementasi kebijakan atau program?

Setelah dua pertanyaan tersebut dirumuskan terdapat empat faktor yang merupakan syarat utama keberhasilan proses implementasi,

33

yakni sumber daya, sikap birokrasi atau pelaksana, dan struktur organisasi, termasuk tata aliran kerja birokrasi. Empat faktor tersebut menjadi kriteria penting dalam implementasi suatu kebijakan maupun program. (Akib & Tarigan, hal. 3)

Komunikasi suatu program hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila jelas bagi para pelaksana. Hal ini menyangkut proses penyampaian informasi, kejelasan informasi dan konsistensi informasi yang disampaikan. Sumber daya, meliputi empat komponen yaitu staf yang cukup (jumlah dan mutu), informasi yang dibutuhkan guna pengambilan keputusan, kewenangan yang cukup guna melaksanakan tugas atau tanggung jawab, dan fasilitas yang dibutuhkan dalam pelaksanaan. Disposisi atau sikap pelaksana merupakan komitmen pelaksana terhadap suatu program. Struktur birokrasi didasarkan pada Standard Operating Procedure (SOP) yang mengatur tata aliran pekerjaan dan pelaksanaan kebijakan atau program.

Untuk memperlancar implementasi kebijakan, perlu dilakukan diseminasi dengan baik. Syarat pengelolaan diseminasi kebijakan ada empat, yakni : (1) adanya respek anggota masyarakat terhadap otoritas pemerintah untuk menjelaskan perlunya secara moral mematuhi undang-undang yang dibuat oleh pihak berwenang. (2) adanya kesadaran untuk menerima kebijakan. Kesadaran dan kemauan menerima dan melaksanakan kebijakan terwujud manakala kebijakan dianggap logis. (3) keyakinan bahwa kebijakan dibuat secara sah. (4) awalnya suatu kebijakan dianggap kontroversial, namun dengan berjalannya waktu maka kebijakan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang wajar. (Akib & Tarigan, hal. 4)

34

2. Teori Implementasi Van Metter dan Van Horn

Van Metter dan Van Horn menyatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta baik secara individu maupun secara kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan. Proses implementasi akan dimulai jika terdapat tujuan dan sasaran telah ditetapkan, program kegiatan telah disusun dan dana telah siap dan sudah diatur sedemikian rupa untuk mencapai tujuan bersama. Implementasi kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan dan realisasinya dengan hasil kegiatan pemerintah. Hal ini sesuai dengan pandangan Van Metter dan Van Horn bahwa tugas implementasi adalah membangun jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui aktivitas instansi pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan (policy stakeholders). (Akib & Tarigan, hal. 4)

Van Metter dan Van Horn mengembangkan model proses Implementasi kebijakan, keduanya meneguhkan pendirian bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan dalam bertindak merupakan konsep penting dalam prosedur implementasi. Keduanya mengembangkan tipologi kebijakan menurut (1) Jumlah perubahan yang akan dihasilkan, dan (2) Jangkauan atau ruang lingkup kesepakatan mengenai tujuan oleh berbagai pihak yang terlibat dalam proses implementasi.

Tanpa mengurangi kredibilitas model proses implementasi kebijakan dari Van Metter dan Van Horn terlihat bahwa elemen yang menentukan keberhasilan penerapannya termasuk ke dalam elemen model proses politik dan administrasi. Kata kunci yakni perubahan, kontrol dan kepatuhan termasuk dalam dimensi isi kebijakan dan konteks implementasi kebijakan. Demikian pula dengan tipologi

35

kebijakan yang dibuat oleh keduanya termasuk dalam elemen isi kebijakan dan konteks implementasi. Tipologi jumlah perubahan yang dihasilkan termasuk dalam elemen isi kebijakan dan tipologi ruang lingkup kesepakatan termasuk dalam konteks implementasi.

3. Teori Implementasi David C. Korten

Korten membuat model kesesuaian implementasi kebijakan atau program dengan memakai pendekatan proses pembelajaran. Model atau teori ini berintikan kesesuaian antara tiga unsur yang ada dalam pelaksanaan program, yaitu program itu sendiri, pelaksanaan program dan kelompok sasaran program.Model ini memakai pendekatan proses pembelajaran dan lebih dikenal dengan model kesesuaian implementasi program. Model kesesuaian Korten digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.1 Model Kesesuaian

(Dikutip dari David C. Korten (1988) dalam Tarigan, hal. 19) Sumber : (Akib & Tarigan, hal. 12)

36

Korten menyatakan bahwa suatu program akan berhasil dilaksanakan jika terdapat kesesuaian dari tiga unsur implementasi program. Pertama, kesesuaian antara program dengan pemanfaat, yaitu kesesuaian antara apa yang ditawarkan oleh program dengan apa yang dibutuhkan oleh kelompok sasaran pemanfaat. Kedua, kesesuaian antara program dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara tugas yang disyaratkan oleh program dengan kemampuan organisasi pelaksana. Ketiga, kesesuaian antara kelompok pemanfaat dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara syarat yang diputuskan organisasi untuk dapat memperoleh output program dengan apa yang dapat dilakukan oleh kelompok sasaran program.

Berdasarkan pola yang di kembangkan oleh Korten, dapat dipahami bahwa jika tidak terdapat kesesuaian antara tiga unsur implementasi kebijakan, kinerja program tidak akan berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan. Jika output program tidak sesuai dengan kebutuhan kelompok sasaran jelas outputnya tidak dapat dimanfaatkan. Jika organisasi pelaksana program tidak memiliki kemampuan melaksanakan tugas yang disyaratkan oleh program maka organisasinya tidak dapat menyampaikan output program dengan tepat. Atau, jika syarat yang ditetapkan organisasi pelaksana program tidak dapat dipenuhi oleh kelompok sasaran maka kelompok sasaran tidak mendapatkan output program. Oleh karena itu, kesesuaian antara tiga unsur implementasi kebijakan mutlak diperlukan agar program berjalan sesuai dengan rencana yang telah dibuat.

Model kesesuaian implementasi kebijakan yang diperkenalkan oleh Korten memperkaya model implementasi kebijakan yang lain.

Hal ini dapat dipahami dari kata kunci kesesuaian yang digunakan.

Meskipun demikian, elemen yang disesuaikan satu sama lain program,

37

pemanfaat dan organisasi juga sudah termasuk baik dalam dimensi isi kebijakan (programe) dan dimensi konteks implementasi organisasi maupun dalam (outcomes) pemanfaat pada model proses politik dan administrasi.

Model kesesuaian implementasi kebijakan atau program dari korten juga relevan digunakan sebagai kriteria pengukuran implementasi kebijakan. Dengan kata lain, keefektifan kebijakan atau program menurut korten tergantung pada tingkat kesesuaian antara program dengan pemanfaat, kesesuaian program dengan organisasi pelaksana, dan kesesuaian program kelompok pemanfaat dengan organisasi pelaksana. (Akib & Tarigan, hal. 15)

c. Teori implementasi yang digunakan

Dari beberapa penjelasan para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa implementasi akan berjalan dengan baik dan dapat mencapai sebuah tujuan jika terdapat faktor-faktor antara lain; adanya program yang bermanfaat bagi sasaran program jika komunikasi antar aktor dilakukan secara baik, adanya sumber daya yang menjalankan program, dan adanya lembaga yang mendukung kebijakan tersebut serta sikap atau laporan implementasi baik.

Dalam penelitian ini, peneliti lebih memfokuskan pada penggunaan model atau teori implementasi dari David C. Korten karena tiga elemen yang disebutkan oleh David C. Korten sebagai model kesesuaian, secara garis besar telah meliputi dan tidak mengurangi isi dari faktor-faktor implementasi menurut para ahli yang lainnya sekaligus lebih mudah untuk peneliti pahami. Adapun tiga unsur implementasi program menurut David C. Korten : (Dikutip dari skripsi Arianne Sarah yang berjudul; Implementasi Pemberdayaan Ekonomi Perempuan Melalui Pendidikan Keuangan, hal. 29-31)

38 1. Program

Menurut korten, harus ada kesesuaian antara program dengan apa yang dibutuhkan oleh kelompok sasaran. Untuk itu indikator suatu program yang baik memuat beberapa aspek diantaranya :

a. Adanya tujuan yang ingin dicapai secara jelas.

b. Adanya kebijakan-kebijakan yang diambil dalam mencapai tujuan.

c. Adanya perkiraan anggaran yang dibutuhkan.

d. Adanya strategi dalam pelaksanaan.

2. Organisasi Pelaksana Program

Menurut korten, harus ada kesesuaian antara program dengan organisasi pelaksana yaitu kesesuaian antara tugas yang disyaratkan oleh program dengan kemampuan organisasi pelaksana. Oleh karena itu, kemampuan implementator merupakan sumber daya manusia yang juga mempengaruhi keberhasilan implementasi. Sementara menurut model Van Metter dan Van Horn ada tiga unsur yang mempengaruhi sikap pelaksana dalam mengimplementasikan kebijakan :

a. Kognisi (pemahaman dan pengetahuan).

b. Arah respon pelaksana terhadap implementasi menerima atau menolak.

c. Intensitas dari respon pelaksana.

3. Sasaran Program

Menurut korten, harus ada kesesuaian antara kelompok sasaran dengan organisasi pelaksana untuk dapat memperoleh hasil program yang sesuai dengan kelompok sasaran program sementara oleh Van Metter dan Van Horn bahwa hal tersebut disebutnya dengan kondisi ekonomi, sosial, dan politik (Ekosospol) merupakan faktor yang

39

memiliki efek yang menonjol terhadap keberhasilan aktivitas pelaksana.

Dijelaskan juga di dalam buku public policy karya Riant Nugroho bahwa pada dasarnya implementasi program senantiasa dilakukan oleh dua aktor secara bersama-sama yakni state dan society. Prinsip-prinsip pokok dalam implementasi yang efektif harus memenuhi lima implementasi yakni:

a. Tepat kebijakan atau program Pertama, sejauh mana program yang ada telah membuat hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. Kedua, program dirumuskan sesuai karakter masalah yang hendak dipecahkan. Ketiga, program dibuat oleh lembaga yang memiliki kewenangan yang sesuai dengan karakteristik program.

b. Tepat pelaksanaannya artinya aktor implementasi sesuai dengan program yang akan dijalankan. Program pemberdayaan masyarakat sebaiknya diselenggarakan oleh pemerintah atau LSM bersama masyarakat.

c. Tepat target berkenaan dengan tiga hal. Pertama, target yang diintervensi sesuai dengan yang direncanakan dan tidak saling tumpang tindih. Kedua, target dalam kondisi siap untuk diintervensi. Target mendukung implementasi program yang akan dilakukan. Ketiga, implementasi program bersifat baru atau memperbarui implementasi program sebelumnya demi tidak mengulang program yang lama.

d. Tepat lingkungan interaksi di dalam lingkungan dengan interaksi di luar lingkungan.

e. Tepat proses artinya antara lembaga pelaksana dengan masyarakat saling memahami sebuah aturan main bahwa lembaga pelaksana

40

menerima memahami dan melaksanakan program sebagai tugasnya sementara masyarakat menerima memahami dan melaksanakan program.

d. Hutan

1. Definisi Hutan

Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan merupakan lahan yang ditumbuhi pohon-pohonan maupun kayu-kayuan, baik sejenis maupun campuran yang mampu menciptakan manfaat bagi lingkungan sekitarnya. Secara tidak langsung hutan juga memiliki manfaat lain yaitu sebagai sarana rekreasi, keindahan, kesegaran dan kenyamanan lingkungan.

(Wanggai, hal. 24)

Hutan juga memiliki fungsi bagi kelangsungan hidup manusia.

Hutan merupakan hamparan luas yang didalamnya terdapat pepohonan dan tanaman. Fungsi hutan bagi makhluk hidup adalah menghasilkan oksigen dan menyerap karbondioksida. Hutan juga merupakan tempat tinggal berbagai macam spesies baik flora maupun fauna.

Menurut KBBI fungsi adalah jabatan (pekerjaan) khusus yang dilakukan dalam kegiatan. Istilah fungsi hutan mengandung arti kedudukan dan tugas hutan sebagai sebuah ekosistem dalam cakupan yang lebih luas di suatu wilayah alam ekologis hutan tersebut berada.

Kedudukan dan tugas yang dimaksud dilihat dari kegunaan hutan.

Hutan bisa dikatakan berfungsi jika didalamnya terdapat perlindungan, proses produksi dan melaksanakan tindakan konservasi alam.

(Suhendang, 2013)

41 2. Pengelolaan Hutan

Pengelolaan hutan merupakan kegiatan kehutanan yang mencakup perencanaan, menggunakan, memanfaatkan, melindungi, rehabilitasi, serta mengembalikan ekosistem hutan. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat umum secara berkelanjutan perlu diketahui bahwa pengelolaan hutan (forest management) ditujukan untuk mengatur hutan. Seorang manajer dalam pengelolaan hutan (forest manager) harus memiliki pandangan luas mengenai kehutanan misalnya menerapkan prinsip-prinsip manajemen secara umum. Seorang pengelola hutan harus memahami hutan secara utuh atau secara keseluruhan yang mengharuskan seorang manajer hutan (forest manager) mengelola berbagai macam kepentingan seperti kebutuhan masyarakat sekitar hutan, kepentingan satwa liar, kepemilikan hutan oleh masyarakat setempat, kebijakan pemerintah, peraturan-peraturan dan undang-undang yang berlaku dalam pengelolaan hutan. (Wanggai, hal. 2)

Pengelolaan hutan di Indonesia harus diarahkan pada keberlanjutan hutan baik fungsi maupun keberadaannya agar dapat dirasakan oleh generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

Pengelolaan hutan dilakukan secara berkelanjutan dapat mempertimbangkan tiga aspek yang sangat penting bagi pelaksanaannya. Ketiga aspek tersebut adalah:

1. Ekonomi/Finansial 2. Ekologi

3. Sosial

Ketiga aspek di atas dapat dilihat sebagai tiga lapisan yang saling berhubungan satu sama lain pada daerah kehutanan yang sama untuk menetapkan hal-hal apa saja yang mungkin, relevan dan berkelanjutan.

42

Hutan di Indonesia merupakan hutan yang berada di negara tropis.

Hutan di Indonesia memiliki aspek ekonomi, sosial, ekologi dan budaya yang dimanfaatkan untuk negara dan khususnya masyarakat setempat. Aspek tersebut harus seimbang keberadaannya. Jika aspek tersebut tidak seimbang maka keberadaan hutan semakin lama akan semakin terancam fungsi dan keberlanjutannya. (Pongtuluran, 2015, hal. 88)

Pada dasarnya pengelolaan hutan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari pengelolaan sumber daya alam, kegiatan pengelolaan dilaksanakan oleh manusia yang berperan dalam beberapa kegiatan antara lain kegiatan produksi, distribusi, konsumsi dengan memperhatikan pemanfaatan dan pengembangan hutan yang berkelanjutan.

4. Perhutanan Sosial

Perhutanan sosial didefinisikan sebagai “inisiatif, ilmu, kebijakan, institusi, dan proses yang dimaksudkan untuk meningkatkan peran masyarakat lokal dalam mengatur dan mengelola sumber daya hutan (RECOFTC, 2013 dalam Gilmour, 2016). Dalam Perhutanan Sosial terdapat tiga prinsip utama yaitu hak (right), mata pencaharian (livelihood), dan konservasi (conservation).

Ketiga prinsip tersebut harus menjadi perhatian untuk memastikan implementasi perhutanan sosial dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus dapat tetap menjaga kelestarian hutan.

Program Perhutanan Sosial juga diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap penyelesaian persoalan bangsa dalam aspek keadilan, mengurangi kesenjangan antara Desa dan Kota, menyelesaikan konflik tenurial, meningkatkan ketahanan pangan dan

43

iklim, serta mewujudkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan (Supriyanto, 2019). Ada lima skema Perhutanan Sosial, yakni:

(Ekawati, Suharti, & Anwar, 2020, hal. 2)

1) Hutan Desa (HD), hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa.

2) Hutan Kemasyarakatan (HKm), hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat.

3) Hutan Tanaman Rakyat (HTR), hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.

4) Kemitraan Kehutanan (Kemitraan), kerja sama dalam mengelola hutan antara masyarakat setempat dengan pengelola hutan, pemegang izin usaha pemanfaatan hutan/jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan, atau pemegang izin usaha industri primer hasil hutan.

5) Hutan Adat (HA), hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat.

Definisi Perhutanan Sosial menurut PP 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan adalah sistem pengelolaan Hutan lestari yang dilaksanakan dalam Kawasan Hutan Negara atau Hutan Hak/Hutan Adat yang dilaksanakan oleh Masyarakat setempat atau Masyarakat Hukum Adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan.

44

Pada seminar Pertemuan Nasional Mitra Program Setapak 2 di Hotel Harris Vertu Jakarta Pusat, Selasa (29/10/2010) dibentangkan Working Paper berjudul Pembiayaan Perhutanan Sosial di Indonesia.

Di dalam paper itu diuraikan Perkembangan Kebijakan Perhutanan Sosial. (Rosadi, 2019)

Perhutanan Sosial sebagai konsep pemberian akses legal bagi masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya hutan sudah berproses sejak Tahun 1990. Sebelum Tahun 1990, masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan belum dipandang sebagai komunitas yang memiliki potensi dan kemampuan untuk memainkan peranan penting dalam pengelolaan hutan. Tetapi sebaliknya mereka hanya dilihat sebagai tenaga kerja murah dalam kegiatan perkebunan dan kehutanan.

Dalam kurun waktu Tahun 1990 sampai 1998, perhatian dan tingkat kesadaran bahwa masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan dapat berperan aktif sebagai pengelola hutan semakin meningkat.

Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sebenarnya sudah berkembang sejak tahun 1960 an khusus pada hutan di Pulau Jawa yang dikelola oleh Perhutani melalui pembuatan hutan sistem tumpang sari. Sejak tahun 1972, Perhutani terus mengembangkan beragam pendekatan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan seperti pendekatan kesejahteraan (prosperity approach), Pembangunan Masyarakat Desa Hutan/PMDH (1982), Perhutanan Sosial (1984), Pembinaan Masyarakat Desa Hutan Terpadu/PMDHT (1994), dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat/PHBM sejak 2001 hingga saat ini. PHBM kemudian diintegrasikan dalam program Perhutanan Sosial dalam skema IPHPS.

Pada tataran kebijakan, pengaturan perhutanan sosial telah berevolusi sejak tahun 1990-an melalui skema Hutan Kemasyarakatan

45

(HKm) yang dikenalkan pertama kali pada 1995 melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 622 Tahun 1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan. Pedoman ini memberikan peluang kepada masyarakat sekitar hutan untuk ikut memanfaatkan hutan sesuai dengan fungsinya. Dua tahun kemudian, pelibatan masyarakat ini diperkuat dengan peningkatan status pengelolaan hutan berupa Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKm) melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/1997 tentang Hutan Kemasyarakatan. Pengaturan ini kemudian disempurnakan lagi pada

(HKm) yang dikenalkan pertama kali pada 1995 melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 622 Tahun 1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan. Pedoman ini memberikan peluang kepada masyarakat sekitar hutan untuk ikut memanfaatkan hutan sesuai dengan fungsinya. Dua tahun kemudian, pelibatan masyarakat ini diperkuat dengan peningkatan status pengelolaan hutan berupa Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKm) melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/1997 tentang Hutan Kemasyarakatan. Pengaturan ini kemudian disempurnakan lagi pada

Dokumen terkait