• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Sistematika Penulisan

Pembahasan skripsi ini dibagi menjadi lima Subab dan susunan pembahasannya sebagai berikut :

Bab Pertama, Pendahuluan, Meliputi uraian masalah teknis penulisan yakni : Latar belakang, Rumusan masalah tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua, Kerangka Teoritis Tentang Poligami, tentang pengertian poligami, poligami menurut hukum Islam, poligami menurut hukum Positif.

Bab Ke-Tiga, Poligami pada masyarakat Sawangan, meliputi: kondisi geografis, kondisi demografis, kondisi penduduk, kondisi perekonomian, kondisi sosial keagamaan dan pandangan tokoh masyarakat sawangan terhadap poligami, faktor-faktor pendukung poligami di sawangan.

Bab Ke-Empat, analisis pandangan tokoh masyarakat sawangan tentang poligami, analisis menurut Hukum Islam dan analisis Hukum positif.

12

A. Pengertian Poligami

Kata poligami termasuk kata yang umum yang sudah dipakai, dalam artian kata ini sudah dikenal dan sering kali orang menggunakannya. Walaupun mereka sering kali mengungkapkan kata ini, bukan berarti mereka mengetahui secara detail tentang pengertian poligami yang sebenarnya, bahkan di antara mereka masih banyak yang verbalisme.

Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu poly atau polus yang berarti banyak dan gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Kalau kedua kata tersebut digabungkan menjadi poligami, maka artinya adalah perkawinan yang banyak atau dengan ungkapan lain adalah suatu perkawinan yang lebih dari satu orang.1 Dalam bahasa Arab poligami disebut Ta’adduduz Zaujaat, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut madu.2 Menurut Arij Abdurrahman As Sanan dalam bukunya Al ‘Adlu Baina az Zaujaat, yang dimaksud dengan Ta’adduduz Zaujaat adalah perbuatan seorang laki–laki mengumpulkan dalam tanggungannya dua sampai empat orang isteri, tidak lebih darinya.3

1

Humaidi Tatapangarsa, Hakekat Poligami dalam Islam, ( t.t., Usaha Nasional, t.th ) h.12.

2

Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, (Yogyakarta : Pustaka Marwa, 2007 ) cet 1, h. 29.

3

Arij Abdurrahman As- Sanan, Memahami Keadilan dalam Poligami, (Jakarta : PT. Global Media Cipra Publishing, 2003 ), h. 25.

Menurut Islah Gusman, arti poligami adalah banyak nikah. Istilah ini digunakan untuk menunjuk pada praktek perkawinan lebih dari satu suami atau istri sesuai dengan jenis kelamin orang yang bersangkutan. Ia berpendapat bahwa poligami dan poligini adalah berbeda. Poligini menurutnya adalah banyak perempuan. Istilah ini digunakan untuk menunjuk pada seorang pria yang melakukan praktek banyak nikah dengan banyak perempuan (pada masa yang sama, dan bukan karena kawin cerai).4

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa poligami adalah Ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan, dan berpoligini berarti menjalankan poligami.5 Dan pengertian ini pun senada dengan yang di kemukakan oleh Save M’ bahwa poligini sama dengan poligami.6 Begitu pula Sayuti Thalib, ia mengemukakan bahwa arti dari kata poligami adalah sama dengan poligini, yaitu seorang suami beristri lebih dari seorang wanita dalam waktu yang sama.7 Dan pengertian inilah yang secara umum berlaku di masyarakat. Oleh karena itu penulis dalam skripsi ini mengartikan poligami sebagaimana yang di kemukakan oleh Sayuti Thalib.

4

Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, h. 26.

5

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1996 ), Cet. ke- 7, h. 18.

6

Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : LPKN, 1997 ), h. 866.

7

Menurut Qasim Amin dalam bukunya Tahrir al-Mar’ah sebagaimana yang dikutip oleh Musdah Mulia, bahwa dalam sejarah manusia, perkembangan poligami mengikuti pola pandang masyarakat terhadap kaum perempuan. Ketika masyarakat memandang kedudukan dan derajat perempuan hina, poligami menjadi subur, sebaliknya pada masyarakat yang memandang kedudukan perempuan terhormat, poligami pun berkurang.8

Islam bukanlah yang pertama menerapkan aturan poligami, karena jauh sebelum Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Nabi dan membawa Islam, poligami telah lama dipraktekkan oleh umat–umat terdahulu. Bahkan hampir semua bangsa melakukannya. Dan cukup banyak fakta yang dapat membuktikan kebenaran ini, seperti yang dikatakan oleh Musthafa al Siba’i, bahwa poligami itu sudah ada pada masyarakat bangsa–bangsa yang hidup di zaman purba, pada bangsa Yunani, Cina, India, Babylonia, Syria, Mesir, dan lain–lain. Pada saat itu, praktek poligami tidak terbatas jumlah istrinya, sehingga mencapai ratusan orang istri dalam satu waktu (tanpa cerai dan tanpa faktor ke matian) bagi satu laki–laki (suami).9

Agama Yahudi memperbolehkan poligami tanpa batas. Nabi–nabi yang namanya disebut dalam Taurat, semuanya berpoligami tanpa pengecualian. Dan

8

Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, (Jakarta : Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999), cet. 1. h. 3.

9

ada keterangan dalam Taurat, bahwa Nabi Sulaiman AS mempunyai tujuh ratus orang istri yang merdeka dan tiga ratus istri yang berasal dari budak.10

Dan meskipun dalam Taurat tidak melarang poligami dan tidak menghalangi seorang laki–laki untuk menikah dengan berapa saja banyaknya istri, namun pendeta–pendeta Yahudi membenci poligami itu, lalu berusaha mempersempit poligami dengan mengadakan pembatasan banyaknya istri hanya empat saja, dan menetapkan harus ada faktor–faktor pendorong yang sah menurut agama, untuk bolehnya laki–laki menikah dengan istri baru.11

Agama Kristen pun pada asalnya tidak melarang poligami. Karena larangan itu tidak ditentukan dalam Injil maupun dalam surat-surat para Rasul (sahabat–sahabat Yesus) yang dikenal dengan Kitab Perjanjian Baru. Dalam kitab itu tidak ada keterangan yang jelas mengenai larangan poligami. Sehingga Dr. Khafi sebagaimana yang dikutip oleh Abbuttawab Haikal mengatakan bahwa kebiasaan poligami itu sudah ada pada bangsa Israil sebelum Nabi Isa diutus, ia kemudian menetapkan kebiasaan poligami itu. Bahkan Nabi Musa mewajibkan seorang untuk mengawini janda saudara laki-lakinya sendiri yang meninggal dan tidak mempunyai anak, walaupun ia sendiri sudah berkeluarga. Apa yang diperbolehkan dalam Taurat, sejauh tidak ada nash yang pasti dalam Injil yang melarangnya, maka diperbolehkan pula dalam agama Kristen, termasuk di

10

Musthafa as Siba’i, Wanita diantara Hukum Islam dan Perundang – undangan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1977 ), cet. 1. h. 100.

11

Abdul Nasir Taufiq al ‘Atthar, Poligami ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang – undangan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976 ), cet. 1. h. 80

dalamnya poligami. Karena tidak ada nash (keterangan) yang melarang poligami dalam Injil. Dan sejarah membuktikan bahwa umat–umat Kristen terdahulu dan para pemuka agama banyak melakukan poligami.12 Tetapi bapak–bapak gereja (pendeta) dan para pembuat undang–undang gereja, ada yang berpendapat bahwa ada naskah dalam Perjanjian Baru yang menyinggung tentang pengertian haramnya poligami, yaitu bahwa barang siapa yang menceraikan istrinya dan lalu menikah dengan wanita lain, maka hukumnya adalah ia berzina dengan wanita itu, dan begitu pula sebaliknya. Tetapi penafsiran haramnya poligami ini hanya sesuai dengan pendapat golongan Kristen Katolik saja, karena golongan ini tidak membolehkan pembubaran akad nikah kecuali dengan kematian saja. Sedangkan golongan Orthodok dan Protestan (Gereja Masehi Injili), semuanya memperbolehkan bagi seorang Kristen untuk menceraikan isterinya dalam suasana dan dengan syarat–syarat tertentu.13

George Zaidan, sebagaimana yang dikutip al Siba’i berkata bahwa tidak ada keterangan yang jelas dalam agama Kristen yang melarang para pengikutnya berpoligami dengan dua orang istri ataupun lebih. Kalau sekiranya orang–orang Kristen itu mau, tentu saja mereka boleh berbuat demikian. Tetapi bapak–bapak gereja itu mencukupkan seorang istri saja, demi untuk menjaga kerukunan rumah tangga mereka, seperti yang terdahulu terjadi di kalangan bangsa Romawi.

12

Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasullallah SAW, Poligami dalam Islam Vs Monogami Barat, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1993 ), cet. 1. h. 49

13

Abdul Nasir Taufiq al ‘Atthar, Poligami ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang– undangan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976 ), cet. 1. h. 81

Kemudian mereka membawa idenya itu dalam menafsirkan ayat–ayat tentang perkawinan dalam kitab suci mereka, seperti yang sudah kita ketahui secara populer.14

Sekarang ini kita lihat gereja–gereja di Afrika Hitam mengakui bolehnya poligami, karena para petugas penyiar agama Kristen itu menemukan diri mereka berhadapan dengan susunan masyarakat yang biasa berpoligami, yaitu di kalangan bangsa–bangsa Afrika yang beragama Animisme. Bapak–bapak Gereja berpendapat bahwa kalau mereka terus–menerus melarang poligami, maka akhirnya masalah poligami itu akan menjadi penghalang bagi bangsa–bangsa Afrika untuk memasuki agama Kristen. Mereka lalu mempropagandakan bolehnya poligami tanpa batas. Dan dalam masyarakat tradisional Afrika, banyaknya jumlah istri merupakan kebanggaan tersendiri, lambang kesuksesan dan status sosial tinggi serta menandakan kesejahteraan. Poligami merupakan adat warisan leluhur orang–orang Afrika, bukan saja dianggap sebagai kewajaran bahkan hampir sebagai kelembagaan.15

Di Jazirah Arab sendiri jauh sebelum Islam, masyarakatnya telah mempraktekkan poligami bahkan tak terbatas. Sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata–rata pemimpin suku memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku yang mempunyai sampai ratusan istri.16 Nabi Muhammad SAW membolehkan poligami di antara masyarakatnya karena hal itu telah dipraktekkan

14

Musthafa as Siba’i, Wanita diantara Hukum Islam, h. 104

15

Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2000), cet. 1. h.120.

16

juga oleh orang-orang Yunani dan bangsa–bangsa lain yang di antaranya bahkan seorang istri bukan hanya dapat dipertukarkan tetapi juga bisa diperjualbelikan secara lazim antara mereka.17 Dalam konteks pernikahan, kedatangan Islam jelas memberikan suatu arah baru untuk memperoleh kebahagiaan dan rahmat bagi kedua belah pihak. Inheren di dalamnya adalah usaha–usaha pembelaan dan sekaligus pemberdayaan atas perempuan. Ini dilakukan Islam, karena perempuan sebelumnya pada masyarakat Arab pra Islam sama sekali tidak dihargai dan bahkan dilecehkan, lalu ia diangkat martabatnya oleh Islam menjadi subyek yang bermartabat.18

B. Poligami Menurut Hukum Islam.

Poligami merupakan salah satu tema penting yang mendapat perhatian khusus dari Allah SWT sehingga tidak mengherankan kalau kemudian kita dapati masalah ini di awal surat An-Nisa,yaitu pada ayat ke 3 :

÷

βÎ)uρ

÷

ΛäøÅz

ā

ωr&

(

#θäÜÅ¡ø)è?

’Îû

4

‘uΚ≈tGuø9$#

(

#θßsÅ3Ρ$$sù

$tΒ

z

>$sÛ

Νä3s9

z

ÏiΒ

Ï

!$|¡ÏiΨ9$#

4

o_÷WtΒ

y

]≈n=èOuρ

y

ì≈t/â‘uρ

(

÷

βÎ*sù

ó

ΟçFøÅz

ā

ωr&

(

#θä9ω÷ès?

¸

οy‰Ïn≡uθ

÷

ρr&

$tΒ

ô

Ms3n=tΒ

ö

Νä3ãΨ≈yϑ÷ƒr&

4

y

7Ï9≡sŒ

#

’oΤ÷Šr&

ā

ωr&

(

#θä9θãès?

)

ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ

/

٤

:

٣

(

Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka

17

Titik Triwulan Tutik, Poligami Perspektif Perikatan Nikah, ( Jakarta : Prestasi Pustaka, 2007 ), cet. 1. h. 57

18

kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa’/4: 3)

Ayat ini merupakan ayat yang membicarakan masalah poligami. Yang ini diturunkan kepada Nabi Saw pada tahun kedelapan hijriyah, dengan tujuan untuk membatasi jumlah istri pada batas maksimal empat orang saja. Akan tetapi,sebagian mufasir dan ahli fiqih telah mengabaikan redaksi umum ayat dan mengabaikan keterkaitan erat yang ada di antara poligami dengan para janda yang memiliki anak-anak yatim.

Ayat tentang poligami turun setelah perang uhud, dimana banyak sahabat wafat di medan perang. Sejumlah besar para wanita dan anak–anak ditinggalkan tanpa tempat perlindungan. Untuk mengatasi masalah tersebut, Allah SWT mewahyukan ayat yang mengizinkan lelaki berpoligami. Namun, meskipun poligami di izinkan, Allah membataskan jumlah istri hanya empat orang saja.

Ayat ini memungkinkan lelaki muslim mengawini janda atau anak yatim jika dia yakin itu merupakan cara melindungi kepentingan anak-anak yatim tersebut dan juga untuk melindungi hartanya dengan penuh keadilan.

Sayyid Qutb menggambarkan bahwa pada masa jahiliyah banyak kebiasaan-kebiasaan buruk yang telah berlangsung saat datangnya islam ke tanah arab. Di antaranya adalah hak-hak anak yatim dirampas khususnya anak-anak

yatim perempuan di dalam kekangan keluarga, para wali dan penanggung jawab. Hartanya yang baik, ditukar dengan yang buruk, dihambur-hamburkan dengan rakus, karena khawatir bila anak-anak yatim itu telah besar akan mengambilnya. Anak-anak yatim yang kaya ditahan untuk dijadikan istri oleh para walinya, karena tamak kepada harta bukan karena menginginkan mereka. Atau diberikan kepada anak lelaki para wali, untuk tujuan yang sama agar harta tidak keluar dan jatuh ke tangan orang lain.

Kebiasaan ini juga berlangsung di awal islam. Hingga Al- Qur’an datang melarang dan menghapuskannya dengan berbagai pengarahan luhur dan mengembalikan masalah ini kepada hati nurani. Dalam ayat lain (QS. 4:129)

s9uρ

(

#þθãè‹ÏÜtFó¡n@

βr&

(

#θä9ω÷ès?

t

÷t/

Ï

!$|¡ÏiΨ9$#

ö

θs9uρ

ö

ΝçFô¹tym

(

Ÿ

ξsù

(

#θè=ŠÏϑs?

¨

≅à2

È

≅øŠyϑø9$#

$yδρâ‘x‹tGsù

Ï

πs)¯=yèßϑø9$$x.

4

βÎ)uρ

(

#θßsÎ=óÁè?

(

#θà)−Gs?uρ

 

χÎ*sù

©

!$#

t

β%x.

#Y‘θàxî

$VϑŠÏm§‘

)

ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ

/

٤

:

١٢٩

(

Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’/4: 129)

Adil dalam pengertian ayat ini berada dalam suatu wilayah cakupan yang amat luas. Bukan saja adil dalam hal memberikan materi yang cukup, namun lebih substansial lagi dari itu ialah adil dalam memberikan nafkah batin, serta adil dalam hal persamaan kaum perempuan yang dinikahi itu. Seorang pemikir

modern, Ameer Ali, menyatakan bahwa kebolehan poligami sangat bergantung pada kondisi, situasi, dan tuntutan zaman. Bahkan Muhammad Abduh menyatakan haram pelaksanaan poligami itu sehubungan dengan tidak mungkin berlaku adil. Apalagi, bila poligami itu hanya dimotivasi oleh pemenuhan kebutuhan biologis kaum laki-laki, keharaman untuk melaksanakan poligami semakin nyata.

Secara kategoris menyatakan tidak mungkin seorang lelaki dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, betapapun dia menginginkannya. Dan Ayat ini dapat disimpulkan juga, islam pada dasarnya agama monogami. Oleh karena itu, Sayyid Qutb menegaskan bahwa, islam tidak menumbuhkan poligami, tetapi hanya membatasinya. Tidak memerintahkan berbuat poligami, tetapi hanya memberikan rukhshah dan menentukan syarat dalam pelaksanaannya. Islam memberikan rukhshah dalam hal ini untuk menghadapi berbagai realitas kehidupan umat manusia dan berbagai darurat fitrah kemanusiaan. Jika tidak demikian, maka rukhshah yang diberikan tidak boleh dilakukan.

Dalam hukum positif kita juga menjelaskan konsep adil dalam poligami. Sebagaimana terdapat dalam pasal 31 (3) UU Perkawinan menyebutkan suami adalah kepala keluarga. Kebutuhan yang harus dipenuhi seorang suami terhadap para istri dan anaknya sungguh tidak ringan. Kebutuhan pangan (nafaqah), sandang (kiswah) dan papan (suknah) adalah yang bersifat materi. Sedangkan yang materi jauh lebih berat karena sulit dilacak parameternya. Karena itulah,

suami yang ingin berpoligami cenderung mengambil jalan pintas tanpa mengindahkan peraturan-peraturan yang berlaku.

Pada pasal 5 ayat 1 menjelaskan suami yang hendak berpoligami harus memperoleh persetujuan dari istri pertamanya. Dia juga harus mampu menjamin keperluan hidup para istri dan anaknya. Dan yang terpenting, dia harus berlaku adil terhadap para istri dan anaknya.

Mengenai keadilan ini, PP No.9 Th.1975 tentang pelaksanaan UU No. 1/1974 berusaha menjabarkan keadilan macam apa yang diemban oleh suami yang hendak berpoligami. Pasal 41 huruf c PP tersebut menyatakan, jika seorang suami mengajukan permohonan poligami, maka pengadilan memeriksa penghasilan suami. Hal ini di buktikan dengan surat keterangan yang di tanda tangani oleh bendahara tempat sang suami bekerja atau surat keterangan pajak penghasilan, atau surat lain yang dapat diterima Pengadilan. Hanya pemeriksaan itu di ujung-ujungnya dimaksudkan semata-mata untuk men celah keadilan yang bersifat materi.

Dari uraian di atas menjelaskan kehalalan berpoligami dengan syarat berlaku adil. Jika syarat ini tidak dapat dipenuhi, di mana seorang suami yakin bahwa ia akan terjatuh kepada kezaliman dan menyakiti istri-istrinya, dan tidak dapat memenuhi hak-hak mereka dengan adil, maka poligami menjadi haram. Jika ia merasa menjadi kemungkinan besar menzalimi salah satu istrinya, maka poligami menjadi makruh. Namun jika ia yakin akan terjatuh kepada perbuatan zina jika tidak berpoligami, maka poligami menjadi wajib atasnya.

Konsep keadilan tersebut baik Hukum islam dan Hukum Positif agar menjadi perhatian bagi suami yang ingin berpoligami. Jika tidak dapat memenuhi kebutuhan keadilan maka hendaknya monogami mutlak. Sebagaimana allah menjelaskan dalam Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 3 dan 129.

Jika kita menoleh ke sejarah perkawinan Nabi SAW, akan kita jumpai bahwa nabi berpoligami pada masa hanya sepuluh tahun di akhir usianya sementara dua puluh lima tahun sebelum itu Nabi menjalani kehidupan monogami bersama khodijah binti Khuwailid sampai Khodijah wafat dan nabi saat itu berumur 50 tahun. Tiga tahun setelah itu barulah nabi menjalani poligami. wanita yang di nikahi Rasul adalah semua janda, kecuali ‘Aisyah r.a, dan semua untuk tujuan menyukseskan dakwah, atau membantu dan menyelamatkan wanita yang kehilangan suami. Mereka umumnya bukanlah wanita-wanita yang dikenal memiliki daya tarik yang memikat.

Para ulama sepakat dengan dibolehkannya berpoligami, namun tidak menjadikan poligami sebagai suatu kewajiban bagi kaum muslimin. Adapun perselisihan yang terjadi di antara mereka hanyalah jumlah bilangan poligami itu sendiri, Jumhur ulama berbeda pendapat, kebolehan berpoligami hanya kepada empat wanita saja.

Menurut Imam Hanafi dan Imam Syafi’i di dalam kitab Bidayatul Mujtahid bahwa tidak boleh menikahi wanita lebih dari empat wanita dalam

waktu yang bersamaan.19 Imam Malik berpendapat bahwa jika seseorang abdun

boleh menikahi empat wanita dalam satu waktu, dan beliau menukil dalam kitab al Muwatha, bahwa Ghailan bin Salman memeluk Islam sedang ia mempunyai sepuluh isteri. Maka Rasulullah, bersabda :

ﻦﻫﺮﺋﺎﺳ ﻕﹺﺭﺎﹶﻓ ﺎﻌﺑﺭﹶﺃ ﻦﻬﻨﻣ ﻚِﺴﻣﹶﺃ

)

ﻚﻟﺎﻣ ﻡﺎﻣﺇ ﻩﺍﻭﺭ

(

Artinya: “Peliharalah empat orang isteri diantara mereka dan bebaskanlah (ceraikan) yang lainnya”. (H.R. Imam Malik dalam kitab al Muwatha).20 Pendapat ini didukung oleh Ahlu Zhahir (pengikut Imam Daud ad Dhahiri).

Sedangkan dalil dari sunnah sebagaimana dalam riwayat hadis yang menjelaskan ketika Ghailan bin salamah Ats-Tsaqafi masuk islam dalam keadaan beristri sepuluh orang yang ia nikahi di masa jahiliyah (sebelum masuk islam), mereka semua masuk islam bersamanya, maka Rasulallah saw memerintahkannya untuk memilih empat di antara mereka.

ﺎﻨﺛﺪﺣ

ﻢﻴﻜﺣ ﻦﺑ ﻲﳛ

ﺪﻤﳏ ﺎﻨﺛﺪﺣ

ﺟ ﻦﺑ

ﺮﻔ

ﻦﻋ ﻯﺮﻫﺰﻟﺍ ﻦﻋ ﺮﻤﻌﻣ ﺎﻨﺛﺪﺣ

ﱯﻨﻟﺍ ﻪﻟ ﻝﺎﻘﻓ ﺓﻮﺴﻧ ﺮﺸﻋ ﻪﺘﲢﻭ ﺔﻤﻠﺳ ﻥﻼﻴﻏ ﻢﻠﺳﺍ ﻝﺎﻗ ﺮﻤﻋ ﻦﺑﺍ ﻦﻋ ﻢﻴﻟﺎﺳ

ﻊﺑﺭﺍ ﻦﻬﻨﻣ ﺬﺧ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ

)

ﻪﺟﺎﻣ ﻦﺑﺍ ﻩﺍﻭﺭ

(

Artinya: “ kami diberitahukan oleh yahya Ibn Hakim, kami diberitahukan oleh Muhammad ibn Ja’far, kami diberitahukan oleh Mu’amar dari al-Zuhri dari salim dari Ibn Umar berkata: Ghilan ibn Salamah masuk islam dan ia memiliki 10 istri, maka nabi bersabda : Ambilah diantara mereka empat orang”. ( H.R. Ibnu Majah )

19

Ibnu Rusyd, al Mujtahid, Bidayatul, (Beirut : Darul fikr, tt), cet. Ke-1, jilid, 11 h. 31

20

Sedangkan dalil dari ijma ialah kesepakatan kaum muslimin tentang kehalalan poligami baik melalui ucapan atau perbuatan mereka sejak masa Rasulallah saw sampai hari ini. Para sahabat utama Nabi melakukan poligami seperti umar bin Khattab, ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi sufyan, dan Muaz bin Jabal r.a.

Poligami dilakukan juga oleh ahli fiqih tabi’in, mereka mengakui orang yang menikah lebih dari satu istri, dinamakan poligami. Kesimpulannya bahwa generasi salaf (terdahulu) dan khalaf (kini) dari ummat islam telah bersepakat melalui ucapan dan perbuatan mereka bahwa poligami itu halal.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum poligami sama halnya dengan hukum menikah yang mungkin saja bisa wajib, sunnah, atau makruh sesuai dengan seseorang. Hal ini tergantung pada kondisi seorang laki-laki akan kebutuhannya terhadap poligami, dan kemampuannya memenuhi hak-hak istri-istrinya.

Pada dasarnya, poligami itu hukumnya mubah (boleh), berdasarkan Q.S.An-Nisa ayat 3. kebolehan poligami ini tidak menghibahkan batasan dan syarat-syarat yang di atur oleh hukum islam itu sendiri yang bertujuan untuk meratakan kesejahteraan keluarga dan untuk menjaga ketinggian nilai di kalangan generasi masyarakat islam seterusnya guna meningkatkan budi pekerti kaum muslimin yang berpedoman pada al-Qur’an dan hadis.

Pandangan normatif al-Qur’an yang selanjutnya di adopsi oleh ulama-ulama fiqih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki oleh

suami; pertama, seorang lelaki yang ingin berpoligami harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya istri yang dinikahi. Kedua, seorang lelaki harus memperlakukan semua istrinya dengan adil.

Dalam fatwa Abduh, keadilan di sini yang di syaratkan al-Qur’an adalah keadilan yang bersifat kualitatif seperti kasih sayang, cinta dan perhatian yang semuanya tidak bisa di ukur dengan angka atau nominal.

Sebagian besar ahli hukum islam menyadari bahwa keadilan kualitatif ini sesuatu yang sangat mustahil untuk diwujudkan.

Abdurahman al-Jaziri di dalam kitabnya menulis bahwa mempersamakan hak atas kebutuhan seksual dan kewajiban bagi orang-orang yang berpoligami karena sebagai manusia wajar tertarik pada salah seorang istrinya melebihi yang lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang berada di luar batas kontrol manusia.

C. Poligami menurut Hukum Positif.

1. Poligami dalam Undang–undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Telah kita ketahui, Undang–undang RI No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975. Salah satu permasalahan yang diatur di dalamnya adalah tentang poligami. Ada

kesamaan antara poligami Islam dengan aturan poligami yang terdapat dalam

Dokumen terkait