• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah proses penelitian ini, penulis mengurai beberapa hal tentang sistematika sebagai berikut:

Bab pertama, merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, kemudian juga diuraikan tujuan dan manfaat penelitian, lalu dipaparkan tentang review kajian terdahulu agar dapat membuktikan originalitas serta mengetahui secara persis signifikasi penelitian ini. Dalam bab ini juga dipaparkan tentang metode penelitian, serta sistematika penulisan yang berisi tentang uraian masing-masing bab.

Bab kedua, membahas tentang landasan teoritis mengenai konsep ushul fikih tentang ‘urf, maqashid al-syari’ah dan teori hukum progresif Satjipto Rahardjo.

Bab ketiga, pembahasan tentang hukum waris dalam fikih mazhab Syafi‟i, hukum hibah dalam mazhab Syafi‟i, dan hukum waris adat di Indonesia.

Bab keempat, membahas tentang profil desa Antajaya kec. Tanjungsari kab. Bogor dan deskripsi pembagian waris adat masyarakat desa Antajaya.

Bab kelima, menganalisis tentang pembagian waris adat masyarakat desa Antajaya sebelum pewaris meninggal menurut fikih dan pembagian waris adat masyarakat desa Antajaya sebelum pewaris meninggal menurut fikih perspektif hukum progresif.

Bab keenam, bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran.

21 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, hlm. 127.

18

Salah satu metode pengambilan hukum dalam syari‟at Islam adalah „urf. Metode ini mengambil hukum dari sesuatu yang tidak asing lagi di suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan baik berupa perbuatan atau perkataan. Tentunya tidak bertentangan dengan Al-Qur‟an dan Hadits. Kemudian salah satu konsep penting yang menjadi pokok dalam Islam adalah konsep Maqâsid al-syarî‟ah yang menegaskan bahwa Islam hadir untuk mewujudkan dan memelihara kemasalahatan manusia.

Kemudian menurut Satjipto Raharjo bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya, hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan manusia.

A. Konsep Ushul Fikih Tentang ‘Urf 1. Pengertian „Urf

Kata „urf secara etimologi (bahasa) berarti “sesuatu yang dipandang secara baik dan diterima oleh akal sehat”.1 „Urf (tradisi) adalah suatu bentuk mu‟amalah (berhubungan kepentingan) yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah berlangsung konsisten di masyarakat.2 „Urf juga disebut dengan istilah apa yang sudah terkenal di kalangan manusia dan selalu diikuti, baik „urf perkataan maupun „urf perbuatan.3 Ulama ushul memberikan definisi:

“Apa yang bisa dimengerti oleh manusia dan mereka jalankan baik berupa perkataan, perbuatan dan pentangan-pantangan.4 Dalam disiplin ilmu fikih ada dua kata yang serupa yaitu „urf dan adat. Kedua kata ini perbedaannya adalah adat didefinisikan sebagai suatu perbuatan yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa hubungan yang rasional.

Perbuatan tersebut menyangkut perbuatan pribadi, seperti kebiasaan

1Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri‟, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 167.

2Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Penerjemah Saefullah Ma‟shum, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), hlm. 416.

3Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 77.

4Masykur Anhari, Ushul Fikih, (Surabaya: Diantama, 2008), hlm. 110.

seseorang makan dan tidur. Kemudian „urf didefinisikan sebagai kebiasaan mayoritas umat baik dalam perkataan maupun perbuatan”.5

Adapun makna „urf secara terminologi menurut Wahbah al-Zuhaili: mereka mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang populer di antara mereka ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika orang lain mendengar kata itu mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain”.

Sedangkan „urf dalam pandangan mayoritas ahli syar‟iat adalah dua sinonim yang berarti sama. Alasannya adalah kedua kata ini berasal

Adapun contoh „urf perkataan ialah suatu kebiasaan menggunakan kata-kata anak (walad) untuk anak laki-laki bukan untuk anak perempuan. Kebiasaan orang menggunakan kata-kata “daging” pada selain daging ikan. Sedangkan contoh „urf perbuatan, ialah kebiasaan orang melakukan jual beli dengan saling memberikan barang-barang tanpa menyebutkan lafazh îjab qabûl.

Kemudian „Urf menjadi salah satu sumber hukum dalam ushul fikih, sebagaimana ucapan Ibnu Mas‟ûd:

5Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 138.

6Wahbah al-Zuhailî, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1999), hlm. 97.

7Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), Jilid 2, hlm. 387.

ُ آَر اَم َ

Para ulama ushul membagi „urf menjadi tiga macam:

a. Dari segi objeknya

Dari segi objeknya „urf dibagi kepada: kebiasaan yang menyangkut ungkapan dan kebiasaan yang berbentuk perbuatan.

1) Kebiasaan yang Menyangkut Ungkapan (al-„urf al-lafẕi)

Kebiasaan yang menyangkut ungkapan ialah kebiasaan masyarakat yang menggunakan kebiasaan ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu.10 Misalnya ungkapan ikan dalam masyarakat yang berarti lauk pauk. Padahal dalam maknanya ikan itu berarti ikan laut. Tetapi ini sudah umum pada suatu daerah tertentu.

2) Apabila dalam memahami ungkapan itu diperlukan indikator lain, maka tidak dinamakan „urf. Misalnya ada seseorang datang dalam keadaan marah dan ditangannya ada sebuah tongkat kecil, saya berucap” jika saya bertemu dia maka saya bunuh dia dengan tongkat ini” dari ucapannya ini dipahami bahwa yang dia maksud

8Sulaiman Ibn Daûd, Musnad Abî Daud al-Thayâlîsî, (Mesir: Dar al- Hijr, 1999), Nomor Hadits 243, Juz 1, hlm. 199.

9Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh, hlm. 273.

10Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2, hlm. 364.

membunuh tersebut adalah memukul dengan tongkat, ungkapan seperti ini merupakan majaz bukan „urf.11

3) Kebiasaan yang berbentuk perbuatan

Kebiasaan yang berbentuk perbuatan ini adalah kebiasaan biasa atau masyarakat yang berhubungan dengan mu‟âmalah keperdataan.

Seperti kebiasaan masyarakat yang melakukan jual beli, yaitu seorang pembeli mengambil barang kemudian membayar dikasir tanpa adanya suatu akad ucapan yang dilakukan keduanya.12

b. Dari segi cakupannya

Dari segi cakupannya„urf dibagi menjadi dua, yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan kebiasaan yang bersifat khusus.

1) Kebiasaan yang bersifat umum

Kebiasaan yang bersifat umum adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah dan seluruh Negara. Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak dan ban serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan.

2) Kebiasaan yang Bersifat Khusus (al-„urf al-khâsh)

Kebiasaan yang bersifat khusus adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan di masyarakat tertentu. Sedangkan menurut Abu Zahrah lebih terperinci lagi yaitu „urf yang berlaku di suatu negara, wilayah atau golongan masyarakat tertentu.13 Misalnya di kalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut. Kemudian juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap

11Nashrun Haroen, Ushul Fiqh 1, hlm. 139.

12Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, hlm. 77-78.

13Abu Zahrah, Usûl al-Fiqh, hlm. 365.

barang tertentu.14 „Urf semacam ini tidak boleh berlawanan dengan nash, hanya boleh berlawanan dengan qiyas yang „illat-nya ditemukan tidak melalui jalan qaṯ‟î, baik berupa nash maupun yang menyerupai nash dari segi jelas dan terangnya.15

c. Dari Segi Keabsahannya

Dari segi keabsahannya dalam pandangan syar‟i,„ urf terbagi menjadi dua, yaitu kebiasaan yang diakui (al-„urf al-sahîh) dan kebiasaan yang tidak diakui (al-‟urf al-fâsid).

1) Kebiasaan yang dianggap sah

Kebiasaan yang dianggap sah ialah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan syari‟at dan tidak bertabrakan dengan nash (Al-Qur‟an atau Hadits), seperti kebiasaan orang Arab dalam kafa‟ah perkawinan. Atau dengan kata lain tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengaharamkan yang halal. Sehingga para ulama mengatakan:

ٌجَ دَّ َحُم ٌجَلرٌِْ َ ُثَ اَلا

16

“Adat atau „urf merupakan syari‟at yang dijadikan landasan hukum”

Dalil atas kebolehannya „urf yang sah ialah bahwa ia sesuai dengan kebutuhan manusia dan menghilangkan kesulitan.17

2) Kebiasaan yang dianggap rusak

Kebiasaan yang dianggap rusak yaitu kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara‟ seperti mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Misalnya kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba.18

14Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2, hlm. 365.

15Abu Zahrah, Usûl al- Fiqh, hlm. 419.

16Wahbah al-Zuhailî, Al-Wajîz fi Usûl al-Fiqh, hlm. 98

17Wahbah al-Zuhailî, Al-Wajîz fi Usûl al-Fiqh, hlm. 98

18Wahbah al-Zuhailî, Al-Wajîz fi Usûl al-Fiqh, hlm. 98.

3. Syarat-syarat „Urf yang Dijadikan Landasan Hukum

Ada beberapa argumentasi yang menjadi alasan para ulama berhujjah dengan „urf dan menjadikannya sumber hukum fikih, yaitu:

a. firman Allah SWT :

َ ٍِ ِ اَ رْا ِ َا رْ ِ رْاَ َو ِ رْ ُلرْااِة رْ ُمرْ َو َىرْ َلرْا ِ ُ

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang yang mengerjakan yang ma‟ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”.(Q.S.

Al-A‟raf: 199)

Melalui ayat di atas Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang ma‟ruf, sedangkan yang dimaksud dengan yang ma‟ruf itu adalah yang dinilai kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang dan tidak bertentangan dengan watak manusia yang benar, dan dibimbing oleh prinsip-prinsip umum Islam.19 Sedangkan menurut al-Qarafî bahwa setiap yang diakui adat, ditetapkan hukum menurutnya, karena ẕâhir ayat ini.20

b. Ucapan sahabat Rasulullah SAW, yaitu Ibnu Mas‟ud :

ُما ُ آَر اَم َ

alasan para ulama mengenai penerimaan mereka terhadap „urf. Namun, banyak para ulama menyepakati pernyataan Ibnu Mas‟ud bukan

19Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 209.

20Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 79-80.

21Sulaiman Ibn Daûd, Musnad Abî Daud al-Thayâlîsî, Nomor Hadits 243, Jilid 1, hlm.

199.

termasuk hadits Nabi SAW. Al-Ala‟î mengatakan bahwa setelah melakukan penelitian mendalam terhadap beberapa kitab hadits ia berkesimpulan bahwa pernyataan Ibnu Mas‟ud adalah sebuah ungkapan bukan termasuk Hadits. Meskipun begitu ucapan Ibnu Mas‟ûd ini, bahwa substansi yang terkandung di dalamnya diakui dan diterima para ulama termasuk imam Ahmad yang secara langsug mengungkapkan dalam musnadnya.22

c. Pada dasarnya, syariat Islam pada masa awal banyak yang menampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat, tradisi ini tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan Sunnah Rasullah SAW.

Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dalam masyarakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Misalnya adat kebiasaan masyarakat kerjasama dagang dengan cara berbagi untung (muḏarabah). Praktik seperti ini sudah berkembang di kalangan masyarakat bangsa Arab sebelum kedatangan agama Islam, dan kemudian diakui oleh agama Islam sehingga menjadi hukum Islam.23

Jadi, pada dasarnya Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi selama tradisi itu tidak bertentangan Al-Qur‟an dan Hadits. Kedatangan Islam bukan menghapus sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat, tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan.

B. Maqasid al-Syarî’ah

1. Pengertian Maqasid al-Syarî‟ah

Maqâsid al-syarî‟ah ditinjau dari sudut lughawi (bahasa) merupakan kata majemuk yang terdiri dari dua kata, yakni al-maqâsid ( صاق ا ) dan al-Syarî‟ah ( جلٌ شا ). Akar kata Maqasid adalah qasada

22Firdaus, Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komperhensif, Cet. Ke-1, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004). Hlm. 102.

23Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh,Cet. Ke-1, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 156.

yaqsidu ( صقٌ - ص ) yang bermakna menyengaja atau bermaksud kepada, maqashid merupakan bentuk jama‟ (plural) dari maqâsid yang berarti maksud, kesengajaan atau tujuan.24 Sedangkan al-Syarî‟ah dalam bahasa Arab berarti jalan menuju sumber air.25Jalan menuju sumber air ini dapat juga dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan yaitu syariat Tuhan.26 Jadi maqâsid al-syarî‟ah mengandung makna tujuan dan rahasia yang diletakkan syar‟î (Allah) dari setiap hukum yang diturunkan oleh-Nya.27

Diungkapkan bahwa pertimbangan maqâsid al-syarî‟ah dalam metode penalaran perlu dilakukan menurut al-Syâtibî karena Allah menurunkan syariat tidaklah secara sia-sia. Allah menurunkan hukum untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Karena itu berupaya menemukan tujuan dan maslahat yang dikandung hukum agar tidak terjebak pada kepentingan formal semata, yang mungkin sekali akan kehilangan ruh, yaitu kemaslahatan dan tujuan.28

Abdul Wahâb Khalaf berpendapat bahwa tujuan utama dari pensyariatan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT adalah untuk merealisasikan kemaslahatan manusia, yakni dengan memenuhi semua kebutuhannya baik yang bersifat primer (ḏarûriyah), kebutuhan skunder (hâjiyah), maupun kebutuhan tersier (tahsîniyah).29 Tidak dipungkiri lagi, bahwa maslaẖah merupakan kata kunci dalam upaya merumuskan secara filosofis, kaitan teks wahyu dengan realitas konteks kehidupan umat beragama sehari-hari. Secara etimologis, maslaẖah mempunyai makna manfa‟at.

24Mahmud Yunus, Qamus Arabiy Indunisiy, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1990), hlm.

343-344.

25Ibnu Manzhûr al-Ansâri, Lisân al-„Arab, (Beirut: Dar al-Sâdir, 1993), Juz 8, hlm.175.

26Asafri Jaya Bakri, Maqashid Syari‟ah Menurut Syathibi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 61.

27Ahmad Raisuni, Nazhariyyah al-Maqâsid „Inda al-Imam al-Syatibî, (Riyadh: Ad-Dard al-„Alamiyyah li al-Kuttab al-Islamiyyah, 1995), hlm. 18.

28Al-Yasa‟ Abu Bakar, Metode Istislahiah, Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 11.

29Abdul Wahab Khalaf, „Ilm Usûl Fiqh, (Kuwait: Dar al-Millah, 1978), hlm. 197.

اَهرٍَْاِ ًجَ رٍِْسَو َناَ اَم رْوَ ُثدَّ دَّ ا ًَِ ُجَلَ رْلَ ا

30

“Manfaat merupakan keuntungan, kenikmatan, kegembiraan atau segala upaya yang dapat mendatangkan hal itu”.

2. Unsur-unsur Pokok Maqâsid al-Syarî‟ah

Tujuan utama maqâsid al-syarî‟ah dalam hukum Islam adalah menjaga aturan-aturan di dunia dan menjaga perilaku manusia agar tidak menimbulkan kerusakan, dan tentunya harus mengahadirkan kemaslahatan dan menghilangkan kerusakan. Sebagaimana dikatakan oleh Wahbah al-Zuhaili:

ُطرْتَضَو ِمَااَلا ِ اَظِن ُظرْ ِح َىُ ِعرٌِْ رْشدَّذا َ ِم ِجَلرٌِْ دَّشا َ ِصرْقَم دَّنَ اَلرٌَْ َا َ دٍََّتَد ِ ِساَ َ ا ًِ ِارْىُ ُىا َ ِم ُمِصرْلٌَ ٍ رْ َو ىَ َا ِاادَّلا ِ لُّ َصَد

31

“Tujuan utama maqasid al-syari‟ah dari pensyari‟atan adalah menjaga aturan-aturan di dunia dan menjaga prilaku manusia agar tidak menimbulkan kerusakan, dan tentunya harus mengahadirkan kemaslahatan dan menghilangkan kerusakan”

Adapun kemaslahatan berdasarkan tingkatannya terbagi menjadi tiga bagian:

a. Ḏarûriyah (Primer)

Maslaẖah ḏarûriyah ialah kemaslahatan yang bergantung kepadanya kehidupan manusia baik duniawi maupun ukhrawi, sekiranya jika kemaslahatan itu tidak terwujud maka akan terjadinya kerusakan berupa hilangnya kebahagiaan di dunia dan datangnya siksa di akhirat nanti. Wahbah al-Zuhailî berkata:

30Said Ramadhan al-Bûtî, Dawâbiṯ al-Maslaẖah fî al-Syarîʻah al-Islâmiyyah, (Beirut:

Muassasah al-Risalah, t.t), hlm. 23.

31Wahbah al-Zuhailî, Usûl al-Fiqh al-Islamî, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), hlm. 1020.

ُجدٌَِّررْوُ دَّلا ُ ِااَصَ ا ،ُجدٌَِّىٍَرْنلُّ ا َو َجدٍَِّلرٌْلِّ ا ِاادَّلا ُثاٍََح اَهرٍَْ َا ُفدَّ َىَذٌَ رًِْذدَّا ًَِ :

رْيِ َةَلأ ُمرٍِْلدَّلا َااَضَو ُ اَسَ ا َااَ َو اٍَرْنلُّ ا ًِ ُثاٍََحا ِخدَّ َذرْ ِ رْحَ َقَ َذِ ُثرٍَْحِة ِثَ ِ َ ًِ ُااَقِلا دَّ َحَو

32

"Maslaẖah dharuriyah ialah kemaslahatan yang bergantung kepadanya berlangsungnya kehidupan manusia baik duniawi maupun ukhrawi, sekiranya jika kemaslahatan itu tidak terwujud maka akan terjadinya kerusakan berupa hilangnya kebahagiaan di dunia dan datangnya siksa di akhirat nanti"

Adapun maslaẖah ḏarûriyah mencakup beberapa unsur pokok sebagai berikut:

1) Agama 2) Jiwa 3) Akal 4) Keturunan 5) Harta

Yang demikian merupakan tingkatan yang paling tinggi, di mana perkara agama dan urusan dunia bergantung kepadanya. Dan dengan menjaga kelima tersebut akan berlangsungnya kehidupan baik secara individual maupun universal.

1) Perlindungan Terhadap Agama

Untuk mewujudkan kemaslahatan dalam maqâsid al-syarî‟ah, tujuan pertama adalah perlindungan terhadap agama sesuai dengan hukum Islam. Perlindungan terhadap agama diutamakan karena agama merupakan hal yang paling penting dalam kehidupan untuk dunia dan akhirat. Di dalamnya mengandung komponen akidah sebagai pedoman pegangan hidup setiap muslim dan di dalamnya juga terdapat komponen-komponen akhlak yang harus dimiliki seorang muslim.

32Wahbah al-Zuhailî, Usul al-Fiqh al-Islamî, hlm. 1020.

ِجَسرْ َخا ِ َ رْسِلإ ِناَ رْرَ ِة َناٍَرْدِلإ ُالله َبَ رْوَ ِ ِقرٍِْقرْحَدَو ِ رٌْلِّ ا ِ اَ رٌْ ِلَِ

ِثَ رٍِْقَلا (

ِثَ اَتِلا َو ِ رٍَْ َا ِجَظَ اَحُ رْ ِاَو )

ُ َااَ رْةِ ُ رٌِْ ٌُ رْ َم َجَةرْىُقُاَو َ اَهِ ا ُالله َاَ َ :

33

“Sebagai perlindungan agama, Allah memerintahkan untuk melaksanakan rukun Islam (akidah dan ibadah), dan agar agama tetap terjaga, Allah mensyari‟atkan jihad terhadap siapa saja yang hendak merusaknya”.

Dengan demikian, perlindungan terhadap agama menduduki peringkat pertama di antara maslahat ḏarûriyah.

2) Perlindungan Terhadap Jiwa

Perlindungan terhadap jiwa merupakan tujuan kedua hukum Islam, oleh karena itu hukum Islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupan. Allah telah mensyari‟atkan pernikahan untuk menjaga keturunan, dan agar jiwa itu tetap terjaga Allah memerintahkan untuk makan dan minum agar bertahan hidup. Allah juga memberi sanksi bagi pembunuh agar menjadi efek jera bagi pelakunya. Sebagaimana diungkapkan oleh Wahbah al-Zuhailî:

ُقدَّقَحَذٍََ ٍثَرادَّ َ َو ٍجٌَِ َو ٍااَصِ رْ ِم ِسرْ دَّلا ِ ِداَ ىَ َا َجَةرْىُقُلا َ َ َ َو ِثاٍََحا لُّقَحَو ِا َورْرَلأ ُظرْ ِح َ ِاَ ِة

34

“Allah mensyariatkan sanksi bagi pelaku pembunuhan, yaitu qishash, diyat dan kafarat sehingga terjaganya jiwa dan hak-hak hidup”

3) Perlindungan Terhadap Akal

Hal yang membedakan antara manusia dan binatang adalah akal. Binatang tidak memiliki akal, namun manusia memiliki akal, di samping itu, akal juga sebagai sinar hidayah dan hikmah untuk hidup di dunia menuju akhirat. Dengan akal manusia menjadi

33Wahbah al-Zuhailî, Usûl al-Fiqh al-Islamî, hlm. 1021

34Wahbah al-Zuhailî, Usûl al-Fiqh al-Islamî, hlm. 1021

sempurna, karena dapat membedakan dan memahami mana yang baik dan mana yang buruk sesuai dengan perintah Allah SWT. Akal yang Allah anugerahkan kepada manusia, dapat mencerna apapun ilmu dan wawasan sesuai dengan apa yang disyari‟atkan, dan Allah melarang segala sesuatu yang dapat merusaknya.

ىَ َا َثَ ِ َزا َجَةرْىُقُلا َبَ رْوَ َو ِح َرلِّ َخُ ا ِ ُواَلَدَو ِح َ لِّ َسُ ا ِارْ ُشَ

اهرْلِم اًئرٍَْ ُ َواَلَذٌَ رْ َم

35

“Misalnya mengkonsumi minuman alkohol dan narkoba yang dapat merusak akal manusia, sehingga Allah memberika sanksi bagi siapa saja yang hendak merusak akalnya”.

4) Perlindungan Terhadap Harta

Harta merupakan salah satu kebutuhan inti dalam hidup di dunia, dengan harta manusia dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.

Agar dapat menghasilkan harta, Allah memerintahkan manusia untuk mencari nafkah dan mensyari‟atkan mu‟âmalah seperti jual beli, sewa, hibah, berserikat, pinjaman dan lain-lain. Allah mengaharamkan tindakan pencurian dan mensyariatkan sanksi potong tangan agar harta terjaga, Allah juga mengharamkan tindakan penipuan, riba, dan perusakan milik orang lain disertai sanksinya yaitu harus mengganti rugi agar mu‟âmalah tersebut dapat berlangsung dengan baik.

ِحاَ َ رْذُ ا ُناَ َض َبَ َوَو ِقرْ َخا ُااَلَم اَهِة رًِْذدَّا َ َىرْمَلأ َ ِاَ ِة رًِْ رْحَلَ

36

“Dan diwajibkan mengganti barang yang dirusak, sehingga harta yang di mana orang bergantung kepadanya dapat terjaga”

5) Perlindungan Terhadap Keturunan

35Wahbah al-Zuhailî, Usûl al-Fiqh al-Islamî, hlm. 1021

36Wahbah al-Zuhailî, Usûl al-Fiqh al-Islamî, hlm. 1022.

Dalam ajaran Islam perlindungan terhadap keturunan sangat diperhatikan. Allah mensyariatkan pernikahan dan mengharamkan zina agar keturunan tetap terjaga. Allah juga mensyariatkan hadd bagi pelaku zina dan qadzf untuk menjaga keturunan, sehingga tidak adanya percampuran nasab. Sebagaimana dikatakan oleh Wahbah al-Zuhailî:

ِبَسدَّلا ِ َ ِذرْ ِوَ ِ رٍِْ رْلَد َ َ َا ُ َ رْلٍََ

37

“Sehingga hadd dapat menjamin tidak terjadinya penangguhan atau percampuran nasab”

Hadd juga disyariatkan agar menjadi efek jera bagi siapa saja yang hendak merusak keturunannya.

b. Hâjiyah (Sekunder)

Maslaẖah ẖâjiyah ialah kemaslahatan yang dikehendaki oleh manusia agar mendapatkan kemudahan. Jika kemaslahatan itu tidak terwujud, maka akan menimbulkan kesulitan tanpa terjadinya kerusakan berupa hilangnya kebahagiaan di dunia.

رْمُهرْلَا ِاَ َحا ِعرْ َرَو رْمِهرٍَْ َا ِ رٍِْسرٍْدَّذ ِا ُاادَّلا اَهرٍَْاِ ُااَذرْحٌَ رًِْذدَّا ُ ِااَصَ ا ًَِ

38

“Kemaslahatan hajiyat ialah kemaslahatan yang dibutuhkan oleh manusia agar mendatangkan kemudahan dan menghilangkan kesultian”

Misalnya dalam kebiasaan (al-„âdat) dibolehkannya berburu, dalam ibadah dibolehkannya meng-qashar shalat dan menjama‟nya dan dalam mu‟âmalah dibolehkannya semua transaksi seperti jual beli, sewa dan lain-lain. Jadi maslahat ẖâjiyah berada di bawah satu tingkat dari maslahat ḏarûriyah atau bisa disebut juga kebutuhan sekunder, di mana seandainya kebutuhun itu tidak terpenuhi, tidak sampai merusak

37Wahbah al-Zuhailî, Usûl al-Fiqh al-Islamî, hlm. 1022.

38Wahbah al-Zuhailî, Usûl al-Fiqh al-Islamî, hlm.222.

kehidupan, akan tetapi keberadaannya sangat dibutuhkan untuk memberikan kemudahan dalam kehidupan manusia.

c. Tahsîniyah (Tersier)

Maslaẖah tahsîniyah ialah kemaslahatan yang dikehendaki sebagai penyempurna. Jika tidak tercapai, maka tidak akan menimbulkan kerusakan berupa hilangnya kebahagiaan di dunia dan tidak akan menimbulkan kesulitan. Jika diabaikan, maka membawa upaya pemeliharaan lima unsur pokok tidak sempurna.

ِح َ اَلا ِ ِساَحَ ِة َ رْ َلأ اَهِة ُ َصرْقٌَُو ُثَ رْوُ ُ ا ِ رٍِْلَذرْقَد رًِْذدَّا ُ ِااَصَ ا ًَِ

39

“Tahsiniyat ialah kemaslahatan yang dikehendaki untuk kehormatan seseorang dan dimaksudkan untuk menerapkan adat yang baik”.

Misalnya, menggunakan pakaian yang rapih dalam ibadah, tidak menjual benda najis dalam mu‟âmalah dan etika dalam makan dan minum dalam kebiasaan (al-adat).

Apabila dianalisis lebih jauh, dalam usaha mencapai pemeliharaan lima unsur pokok secara sempurna, maka ketiga tingkat maqâsid al-syarî‟ah tersebut di atas tidak dapat dipisahkan. Tampak bahwa tingkat ẖâjiyah adalah penyempurna tingkat ḏarûriyah.

Tingkatan tahsîniyah merupakan penyempurna bagi tingkat ẖâjiyah.

Sedangkan ḏarûriyah menjadi pokok ẖâjiyah dan tahsîniyah.

3. Pembagian Maslahah

Menurut teori usûl fiqh, bila ditinjau dari pengakuan agama, maslaẖah terbagi menjadi tiga macam:

a. Maslaẖah al-Muʻtabarah

39Wahbah al-Zuhailî, Usûl al-Fiqh al-Islamî, hlm. 1022.

Yakni maslaẖah yang diakui secara tegas oleh agama dan keberadaanya telah ditetapkan berdasarkan nas baik itu dari Al-Qur‟ân, ẖadîts, ijmâ‟, atau qiyâs. Maslaẖah jenis ini merupakan maslaẖah hakiki yang kembali kepada lima prinsip syariʻat yaitu, pertama: ẖifẕ al-dîn, kedua: ẖifẕ al-nafs, ketiga: ẖifẕ al-„aql, keempat: ẖifẕ al-nasl, dan kelima: ẖifẕ al-mâl. Kategori ini merupakan maslaẖah yang benar dan dapat menjadi dasar analogi (qiyâs). Seperti contoh sesuatu yang memabukkan baik makanan atau minuman itu dihukumi haram, dengan cara menganalogikan kepada khamr yang diharamkan oleh nas. Dalam pengharaman ini terdapat kemaslahatan yaitu untuk menjaga akal.40

b. Maslaẖah al-Mulghâh

Yakni maslaẖah yang tidak diakui oleh agama, bahkan ditolak dan dianggap batil oleh agama. Dalam hal ini dianggap maslaẖah oleh akal pikiran,

Yakni maslaẖah yang tidak diakui oleh agama, bahkan ditolak dan dianggap batil oleh agama. Dalam hal ini dianggap maslaẖah oleh akal pikiran,

Dokumen terkait