• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAGIAN WARIS ADAT MASYARAKAT DESA ANTAJAYA SEBELUM PEWARIS MENINGGAL MENURUT FIKIH PERSPEKTIF HUKUM PROGRESIF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBAGIAN WARIS ADAT MASYARAKAT DESA ANTAJAYA SEBELUM PEWARIS MENINGGAL MENURUT FIKIH PERSPEKTIF HUKUM PROGRESIF"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Hukum (M.H.)

Oleh:

AHMAD KHOLILUDIN NIM: 21160435100018

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020 M/1441 H

(2)

ii

(3)
(4)

iv

NIM : 21160435100018

Tempat, Tanggal Lahir : Bogor, 22 September 1993

Program Studi : Magister Hukum Keluarga

Fakultas : Syariah dan Hukum

Dengan ini saya menyatakan:

1. Tesis ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata dua di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa hasil karya asli saya merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta: 6 Juli 2020 M 22 Jumâdi al-Ulâ 1441 H

Ahmad Kholiludin

NIM: 21160435100018

(5)

v

Ahmad Kholiludin, NIM 21160435100018, PEMBAGIAN WARIS

ADAT MASYARAKAT DESA ANTAJAYA SEBELUM PEWARIS

MENINGGAL MENURUT FIKIH PERSPEKTIF HUKUM PROGRESIF, Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020 M/1441 H.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pembagian waris adat masyarakat desa Antajaya sebelum pewaris meninggal menurut fikih dan bagaimana tinjauan hukum progresif terhadap pembagian waris adat masyarakat desa Antajaya menurut fikih.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dilengkapi beberapa data empiris. Adapun sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer, yaitu hasil wawancara dengan Penyuluh Agama, tokoh agama dan beberapa dari masyarakat desa Antajaya yang dianggap dapat memberikan data yang diperlukan; dan data sekunder yang merupakan bahan hukum primer, yaitu: Al- Qur‟an [2]: 177, Al-Fiqh al-Manhajî karya Mushthafâ Bughâ, mushthafâ Khan dan Alî, Al-fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, karya Wahbah al-Zuhailî, Hâsyiyah al- Bâjûrî karya Ibrahim al-Bâjurî, Mughnî al-Muhtâj, karya al-Ramlî, Membedah Hukum Progresif, karya Satjipto Rahardjo serta literatur lainnya yang sesuai dengan tema penelitian.

Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan: pertama, apa yang sudah berjalan di masyarakat desa Antajaya tentang pembagian harta waris sebelum pewaris meninggal dunia tidak dapat disebut warisan dalam hukum Islam, karena tidak memenuhi ketentuan-ketentuan waris. Akan tetapi pembagian waris adat masyarakat desa Antajaya dalam hukum Islam dapat dianggap sebagai hibah, yaitu pemberian orang tua kepada anak-anaknya, karena pembagian tersebut merupakan pembagian sukarela yang dapat dimiliki dan dimanfaatkan setelah berlangsungnya pembagian; kedua, respon hukum fikih terhadap pembagian waris adat masyarakat desa Antajaya menunjukkan bahwa hukum Islam merupakan hukum yang progresif. Menurut fikih pembagian waris adat masyarakat desa Antajaya tidak dapat disebut sebagai warisan. Akan tetapi pembagian tersebut dapat dianggap sebagai hibah, karena orang tua memiliki hak penuh untuk menghibahkan hartanya kepada anak-anaknya. Artinya apa yang masyarakat desa Antajaya lakukan tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hal ini menunjukkan bahwa adanya progresifitas hukum dalam hukum Islam, yaitu bahwa hukum Islam mengalir, luwes dan merealisasikan kemaslahatan manusia.

Kata Kunci: Waris, Hibah, Hukum Islam, Hukum Adat, Hukum Progresif.

Dosen pembimbing: Dr. Afidah Wahyuni, M.Ag., Dr. Nahrowi, S.H., M.H.

(6)

vi

بلاطلا ةدايق مقر ،نيدلا ليلخ دحمأ 1000153406118

دنع ثرولدا ةافو لبق ةثرولا عيزوت ،

يمدقتلا مكلحا و وقفلا ةيرظن (

روغوب ةظفامح ،يراس جنوجتن ،اياج اتنأ ةيرق في ةلكشلدا ةسارد )

لاوحلأا مسق ،

،نوناقلاو ةعيرشلا ةيلك ،ةيصخشلا ،اتركاج ةيموكلحا ةيملاسلإا للها ةيادى فيرش ةعماج

2020 م

\ 1441 ه .

وى ةساردلا هذى نم ضرغلا ملعلا

دنع ثرولدا ةافو لبق ثرلإا ميسقت نم سانلا ةداع نوكت فيك

يعرشلا مكلحا ةيرظن

، و ةافو لبق ثرلإا ميسقت ىلع يعرشلا مكحلل يمدقتلا مكلحا ةيرظن تارابتعا فيك

ثرولدا . جهنم نأ ىلعو ةيعونلا يى ةمدختسلدا جهنلا ةقيرط نأ ىلع نياديلدا ليلحتلا عون ثحبلا اذى مدختسي

بييرتج و يسايق يئاضق ثحبلا .

ةيلوأ رداصم نم ةساردلا هذى في ةمدختسلدا تانايبلا رداصم فلأتت يىو

رداصلدا ،اياجاتنأ ةيرق في عمتلمجا ضعب و ءاملعلا دحأو ةينيدلا نوئشلا سيئر عم ةلباقلدا برع ةذوخألدا تامولعلدا ةيوناثلا ةيأ رقبلا ةروس يىو 177

،يليىزلا ةبىولل يملاسلإا وقفلاو ،نلخا و اغبلا ىفطصلد يجهنلدا وقفلاو ،

باتكو ،يلمرلل جاتلمحا نيغمو ،يروجابلا ميىاربلإ يروجابلا ةيشاحو

"

Membedah Hukum Progresif

"

ثحبلاب ةقلعتلدا رداصلدا نم هيرغو ،وجراىار وتفجاسل .

اهيلإ تصلخ تيلا ةساردلا جئاتن نم :

لاوأ : ىمست لا ثرولدا ةاقو لبق ثرلإا ميسقت نم سانلا ةداع نأ

ثرلإا ناكرأو طورش الذ رفوتت لا ذإ ،اثرإ .

ينع في زجنم كيلتم يى ذإ ،هدلاولأ دلاولا ةبى نيعي ،ةبى ىمست انمإو

دقعلا دعب وب عافتنلاا زويجو ضوع لاب ةايلحا لاح .

ايناث : ةافو لبق ثرلإا ميسقتل يعرشلا مكلحا تارابتعا تلد

يعرشلا مكلحا ةيمدقت ىلع ثرولدا .

وى انمإو اثرإ ىمسي لا ثرولدا ةافو لبق ثرلإا ميسقت نأ يعرشلا مكلحا دنع

يعرشلا مكحلل اقفاوم ثرولدا ةافو لبق ثرلإا ميسقت دعي ذإ ،ولام في فرصتلا قح دلاولل نلأ ،ةبى .

اذى لد ثم

ةحلصلدا قيقحتلو فيفختلل عرش ملاسلإا مكح نأ نيعي ،يعرشلا مكلحا في مكلحا ةيمدقت دوجو ىلع .

ةيحاتفلدا ةملكلا :

يمدقتلا مكلحا ،وقفلا ،ثرلإا ،ةبلذا .

فرشلدا

:

يورنح روتكدلا ،نيويحو ةديفأ روتكدلا

(7)

vii

Ahmad Kholiludin, Student ID 21160435100018, THE DISTRIBUTION OF CUSTOMARY INHERITANCE OF ANTAJAYA SOCIETY BEFORE THE TESTATOR DIES BASED ON FIQH IN PROGRESSIVE LAW PERSPECTIVE, Magister of Family Law, State of Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020 M/1441 H.

This research aims to determine how the distribution of the customary inheritance of Antajaya Society before the testator dies based on fiqh and perspective of progressive law.

This research is designed in a normative-empirical juridical approach with empirical data using the qualitative method. Supplemented with primary data, this research specifically uses the result from interviews with religious instructors, religious leaders and one of community member who is considered to be able to provide the necessary data, and the data sources in this study consisted of secondary sources, those are Al-Qur’an [2]: 177, Al-Fiqh al-Manhaji by Mushthafa Bugha and Khan, Al-fiqh al-Islami Wa Adillatuhu by Wahbah al- zuhaili, Hasyiyah al-Bajuri by Ibrahim al-Bajuri, Mughni al- Muhtaj by al-Ramli, Membedah Hukum Progresif by Satdjipto Rahardjo and other literature by the research theme.

From the findings of the data analysis, the result can be concluded: the first is the distribution of inheritance before the testator dies that occurs in the Antajaya Society cannot be called inheritance in Islamic law because it does not fulfill the provisions of inheritance. However, the distribution of the customary inheritance of the Antajaya Society in Islamic law can be considered as a grant, which is a gift from parents to their children. That is a voluntary distribution that can be owned and utilized after the distribution takes place. The second is the response of fiqh law to the distribution of the customary inheritance of the Antajaya Society shows the progressiveness of Islamic law. Based on the fiqh, the distribution of the customary inheritance of the Antajaya Society cannot be called inheritance. However, the distribution can be considered as a grant, because parents have the full right to donate their assets to their children. That means it is not against Islamic law. It shows that there is progressive law in Islamic law, that Islamic law flows, flexible, and realizes human benefit.

Keyword: Inheritance, Grant, Islamic Law, Customary Inheritance, Progressives Law

Supervisor: Dr. Afidah Wahyuni, M.Ag., Dr. Nahrowi, S.H., M.H.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT. berkat limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas penyusunan tesis ini sebagaimana mestinya. Shalawat serta salam tetap selalu tercurahkan kepada junjungan umat Islam Baginda Nabi Muhammad SAW. suri tauladan dan inspirator dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.

Tesis yang berjudul ʻʻPEMBAGIAN WARIS ADAT MASYARAKAT DESA ANTAJAYA SEBELUM PEWARIS MENINGGAL MENURUT FIKIH PERSPEKTIF HUKUM PROGRESIFʼʼ penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar Magister Hukum pada Prodi Magister Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis ingin mempersembahkan tesis ini untuk kedua orang tua tercinta Ayahanda Almarhum Imam Sumber dan Ibunda Niswatun yang Semoga Allah SWT. selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada Ayahanda dan memberikan panjang umur sehat wal afiat kepada Ibunda tercinta, serta guru-guru penulis. Begitu juga dengan kelima saudara penulis yang selalu memberikan support dan semangat kepada penulis agar tak mudah menyerah untuk menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa suksesnya penulisan tesis ini tidaklah begitu saja dapat diselesaikan dengan mudah dan bukan semata-mata atas usaha penulis pribadi, namun juga karena bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin mempersembahkan ucapan terima kasih yang mendalam kepada:

1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Lubis, Lc., M.A., Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A., Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

(9)

ix

Sekretaris Program Studi Magister Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. Nahrowi, S.H., M.H. dan Dr. Afidah Wahyuni, M.Ag., Dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan petunujuk kepada penulis dalam penyusunan tesis ini.

5. Segenap Bapak dan Ibu dosen serta staf pengajar pada lingkungan program studi magister hukum keluarga fakultas syariah dan hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak pembelajaran serta motivasi dalam menuntut ilmu di kampus ini.

6. Jajaran staf dan karyawan akademik perpustakaan fakultas syariah dan hukum perpustakaan utama serta perpustakaan sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam pengadaan referensi sebagai bahan rujukan tesis.

7. Kedua orang tua, istri dan adik yang selalu mendoakan dan terus mendukung.

8. Rekan-rekan seperjuangan magister hukum keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak berbagi ilmu pengetahuan pengalaman dan informasi seputar pendidikan. Sahabat-sahabat dunia akhirat baik yang berdomisili di STAI Imam Syafi‟i maupun yang berdomisili di kontrakan Ciputat yang selalu mensupport penulis lewat ketulusan doa-doanya dan penyediaan tempat tinggal untuk penulis dalam mengerjakan tesis.

Jakarta: 27 Agustus 2020 M 17 Muharram 1442 H

Penulis

(10)

x A. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا tidak dilambangkan

ب b be

ت t te

ث ts te dan es

ج j je

ح h ha dengan garis bawah

خ kh ka dan ha

د d de

ذ dz de dan zet

ر r er

ز z zet

س s es

ش sy es dan ye

ص s es dengan garis bawah

ض d de dengan garis bawah

ط t te dengan garis bawah

ظ z zet dengan garis bawah

ع „ koma terbalik di atas hadap kanan

غ gh ge dan ha

ف f ef

ق q ko

ك k ka

ل l el

م m em

ن n en

و w we

(11)

xi

ء ’ apostrop

ي y ya

B. Vokal

1. Vokal tunggal (monoftong)

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ----َ

--- a fathah

----ِ

--- i kasrah

----ُ

--- u dammah

2. Vokal rangkap (diftong)

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ----َ

---

ي ai a dan i

----َ

---

و au a dan u

C. Vokal Panjang

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

اَي â a dengan topi di atas

يِي î i dengan topi di atas

وُي û u dengan topi di atas

D. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan lam ( لا ), dialihak arakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf qamariyyah. Misalnya:

Missal : ةصخرلا = al-rukhsah E. Tasydid (Syaddah)

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu

dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Misalnya: = ةمّكحم

muhakkamah. Tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda

(12)

xii

Missal : ةعفشلا = al-syuf’ah

(13)

xiii

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... viii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... x

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan ... 10

1. Identifikasi Masalah ... 10

2. Pembatasan Masalah ... 10

3. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 11

D. Review Kajian Terdahulu... 11

E. Metode Penelitian... 14

F. Sistematika Penulisan... 17

BAB II : KAJIAN TENTANG TEORI ‘URF, MAQHASID AL- SYARI’AH DAN HUKUM PROGRESIF ... 18

A. Konsep Ushul Fikih Tentang ‘Urf... 18

1. Pengertian ‘Urf ... 18

2. Macam-Macam ‘Urf ... 20

3. Syarat-Syarat ‘Urf yang Dijadikan Landasan Hukum ... 23

B. Maqâsid al-Syarî’ah... 24

1. Pengertian Maqâsid al-Syarî’ah ... 24

2. Unsur-Unsur Pokok Maqâsid al-Syarî’ah ... 26

(14)

xiv

C. Teori Hukum Progresif Satjipto Raharjo ... 35

1. Biografi Satjipto Rahardjo ... 33

2. Pengertian dan Karakteristik Hukum Progresif ... 38

3. Landasan Filosofis Hukum Progresif ... 43

BAB III : KONSEP WARIS DAN HIBAH MENURUT FIKIH DAN HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA ... 45

A. Konsep Waris Dalam Fikih ... 45

1. Pengertian dan Asas-Asas Waris ... 45

2. Syarat dan Rukun Waris ... 50

3. Konsep Adil dalam Kewarisan Islam ... 51

B. Konsep Hibah dalam Fikih... 55

1. Pengertian, Rukun dan Syarat-Syarat Hibah ... 55

2. Macam-Macam Hibah ... 60

3. Penarikan Kembali Hibah ... 61

4. Nash Tentang Porsi Hibah yang Diterima Setiap Anak ... 62

C. Konsep Hukum Waris Adat ... 65

1. Pengertian Hukum Waris Adat ... 65

2. Sistem Pembagian Waris dalam Adat Jawa ... 68

BAB IV : PRAKTIK PEMBAGIAN WARIS ADAT MASYARAKAT DESA ANTAJAYA KEC. TANJUNGSARI KAB. BOGOR ... 73

A. Profil Desa Antajaya Kec. Tanjungsari Kab. Bogor ... 73

B. Praktik Pembagian Waris Adat Masyarakat Desa Antajaya Sebelum Pewaris Meninggal ... 81

1. Deskripsi Pembagian Waris Adat Masyarakat Desa AntajayaSebelum Pewaris Meninggal ... 81

2. Prinsip Kewarisan Masyarakat Desa Antajaya ... 85

3. Alasan Orang tua Membagikan Waris Sebelum Meninggal ... 85

(15)

xv

BAB V : PEMBAGIAN WARIS ADAT MASYARAKAT DESA

ANTAJAYA SEBELUM PEWARIS MENINGGAL

MENURUT HUKUM FIKIH DITINJAU DENGAN HUKUM

PROGRESIF ... 88

A. Pembagian Waris Adat Masyarakat Desa Antajaya Sebelum Pewaris Meninggal Menurut Fikih ... 88

B. Pembagian Waris Adat Masyarakat Desa Antajaya Sebelum Pewaris Meninggal Menurut Fikih Ditinjau dengan Hukum Progresif ... 109

1. Pembagian Waris Adat Masyarakat Desa Antajaya Sebelum Pewaris Meninggal Menurut Fikih Ditinjau dengan Hukum Progresif ... 109

2. Korelasi Pembagian Waris Adat Masyarakat Desa Antajaya Sebelum Pewaris Meninggal dengan Sengketa Waris Di Pengadilan Agama ... 116

BAB VI : PENUTUP ... 124

A. Kesimpulan...124

B. Saran... 124

DAFTAR PUSTAKA ... ... 126

LAMPIRAN ...

(16)

1

Harta peninggalan dalam bahasa hukum Islam disebut tirkah. Harta peninggalan tidak bisa dipisahkan dari sistem hukum kewarisan Islam. Maka dari itu, hukum kewarisan Islam dapat diartikan sebagai proses pemindahan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia, baik berupa harta benda maupun hak-hak kebendaan kepada keluarganya (ahli waris) yang dinyatakan berhak mendapatkan pembagian harta menurut hukum yang berlaku. 1

Agama Islam menghendaki prinsip keadilan sebagai salah satu pembinaan masyarakat, yang mana hal ini tidak akan terwujud tanpa ditunjang dengan pemahaman dan pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut dengan baik.

Oleh karena itu, dengan mempelajari dan melaksanakan hukum kewarisan adalah suatu hal yang dikatakan wajib bagi umat Islam. 2

Hukum Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam di dunia. Begitu juga halnya dengan hukum kewarisan Islam sebagai bagian dari hukum Islam itu sendiri juga harus dilaksanakan oleh setiap muslim, tidak memandang dari mana ia berasal dan bagaimana adat istiadatnya. Hukum Islam datang ke Indonesia bersamaan dengan datangnya agama Islam ke Nusantara yang dibawa oleh saudagar Arab. Pada saat itu masyarakat Indonesia telah mempunyai nilai-nilai dan kepercayaan yang telah mendarah daging dan mengakar ke masyarakat.

Sebagai konsekuensi logis dari negara kebangsaan (national state), di mana Islam tidak menjadi dasar negara, tetapi Islam setara dengan agama lain dan mendapat tempat terhormat dalam konstitusi bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan negara sekuler dan bukan negara agama. Hukum Islam tidaklah mungkin dapat secara formil/langsung menjadi sumber otoritatif satu-satunya bagi nasional.

1 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Kewarisan Menurut Hukum Adat dan Hukum Islam, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1981), hlm. 9.

2 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1993), hlm. 4.

(17)

Tetapi hukum Islam dalam konstetasinya dengan hukum Barat dan hukum adat dapat menjadi sumber materil dan persuasif bagi hukum nasional. 3

Di Indonesia belum ada satu kesatuan hukum waris yang dapat diterapkan untuk semua warga negaranya. Oleh karena itu, hukum waris yang diterapkan untuk seluruh warga negara Indonesia masih berbeda-beda.

Bagi warga negara Indonesia asli, pada prinsipnya berlaku hukum adat yang sesuai dengan hukum adat yang berlaku di masing-masing daerah. Sebagian konsekuensi dari adanya nilai-nilai dan kepercayaan yang telah ada, hukum Islam harus berasimilasi dan beradaptasi dengan budaya lokal, adat istiadat setempat sehingga hukum Islam dapat diterima dan hidup dalam masyarakat Indonesia.

Begitu pula hukum kewarisan Islam yang harus banyak menyesuaikan dengan hukum waris adat yang ternyata begitu kuat bahkan sulit bagi hukum kewarisan Islam masuk apalagi merubahnya sesuai dengan ketentuan dalam hukum kewarisan Islam.

Syari‟at Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki- laki maupun perempuan denga cara yang sah. Syari‟at Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang yang sudah meninggal dunia kepada ahli warisnya dari seluruh kerabat dari nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar kecilnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Ali al-Shabuni:

ِرَشَبنا َهِم ٍدَحَ ِلِ ْكُرْتَي ْمَن ُجْيَح ٍثِراَو ِّمُك َلاَوْحَأَو ِجْيِراَوَمنا َماَكْحَأ ُزْيِزَعنا ُنآْرُقنا َهَّيَب ْدقَو ِجْيِراَوَمنا َهِم ٍ ْ َ َدْيِدْ َ ْوَأ ةً َمْ ِق

4

"Al-Qur’an menjelaskan secara detail terkait hukum-hukum yang berkaitan dengan hukum kewarisan dan keadaan setiap ahli waris tanpa mengabaikan hak seorang pun."

3 Muchlit A. Karim, Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam Indonesia, (Jakarta: Malobo Jaya Abadi Press, 2010), hlm. 1.

4 Muhammad Ali al-Shabuni, Al-Mawarits Fi al-Syari’ah al-Islamiyah, (Mesir: Dar al-

Hadits, t.t.), hlm.34.

(18)

Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai dengan kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkann hanya sebatas saudara seayah atau seibu.

Hukum kewarisan Islam secara mendasar merupakan ekspresi langsung dari teks-teks sebagaimana pula yang telah disepakati keberadaannya, 5 manifestasi dari rangkaian teks dokumen suci dan telah memperoleh prioritas yang tinggi dalam keterlibatannya sebagai fenomena prinsip yang fundamental dalam ajaran Islam. Kelahirannya tidak sekedar merespon problem hukum di zaman pemunculannya tetapi lebih jauh adalah demi mengisi kebutuhan hukum Islam sebagai konstruksi ajaran. 6

Hal-hal mendetail tentang kewarisan Islam, apakah dalam pewahyuan ilahi maupun sunnah nabi, berjalan secara reguler selama 22 tahun dalam periode antara permulaan dakwah Nabi Muhammad pada tahun 610 M sampai wafatnya pada tahun 632 M. dengan mencermati hal-hal tersebut dalam tataran kronologinya, dapat melihat tiga tahap perkembangan hukum waris. 7 Pertama, selama periode Makah (610-622 M), setidaknya ada enam ayat yang mengatur berbagai aspek kewarisan diwahyukan kepada kepada Nabi Muhammad. Enam ayat tersebut adalah Q.S. al-Baqarah [2]: 180 memerintahkan orang yang akan mati untuk meninggalkan wasiat bagi ibu, bapak dan karib kerabatnya. Ayat 181 menyerahkan pertanggung jawaban (dosa) orang yang mengubah wasiat kepada Allah. Ayat 182 mendorong rekonsiliasi dengan pihak-pihak yang tidak setuju terhadap pembagian suatu warisan. Ayat 240 mengizinkan orang yang berwasiat untuk membuat ketetapan bahwa jandanya diberi nafkah maksimum setahun dan membiarkan tinggal di rumah almarhum suaminya, dan terakhir Q.S. al-Maidah [5]: 105-106 menetapkan agar wasiat dan testamen agar valid, harus dibuat atau dikatakan di hadapan dua saksi yang dipercaya. Enam ayat ini merefleksikan

5 Anwar Harjono, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an: Komentar Atas Hazairin dalam Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : UI Press, 1982), hlm. 63.

6 A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 1997) hlm. 1.

7 David S. Powers, Studies in Al-Qur’an and Hadith: The Formation of The Islamic Law

of Inheritance, (University of California, 1986), alih bahasa Arif Maftuhin, Peralihan Kekayaan

dan Politk Kekuasaan Kritik Historis Hukum Islam, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hlm. 12.

(19)

suatu sistem waris yang relatif membebaskan orang untuk menentukan siapa saja ahli warisnya dan berapa orang untuk menentukan siapa saja ahli warisnya dan berapa banyak mereka memperolehnya. Kedua, segera sesudah hijrah ke Madinah pada tahun 622 M, nabi Muhammad menerima serial kedua pewahyuan yang menetapkan aturan-aturan wajib untuk pembagian waris, yaitu tertuang dalam Q.S. an-Nisa [4]: 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, dan 176 yang merefleksikan suatu konsep tentang karakteristik kewarisan yang sangat berbeda dengan apa yang termuat dalam tahap pertama (yang kemudian disebut dengan ayat-ayat wasiat). Ketiga, setelah fath Makkah pada tahun 630 M, nabi Muhammad menjelaskan hubungan antara seri pewahyuan pertama dan kedua dengan mengeluarkan satu statement yang membatasi jumlah pembuatan wasiat. Tradisi Islam mengajarkan bahwa pada saat nabi Muhammad wafat, telah meletakkan pondasi ‘ilm faraidh (ilmu tentang bagian-bagian). Pondasi ini kemudian disempurnakan dalam proses tiga belas tahun berikutnya oleh para sahabat seperti „Umar, Ali, Zaid bin Tsabit, Ibn Mas‟ud dan Abu Musa. 8 dan dapat dipahami bahwa sebab turunnya masing- masing ayat waris mendobrak tradisi hukum Yahudi, hukum Romawi dan hukum adat bangsa Arab pra-Islam bahkan hukum adat manapun yang mengabaikan bagian waris kaum perempuan.

Di Indonesia hingga kini ada 3 macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hukum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum adat dan hukum perdata Eropa (Burgerlijk Wetboek). Hukum waris tersebut berlaku pada subjek hukum yang berbeda. Bagi mereka bahkan yang beragama Islam, berlaku hukum waris Islam dalam pembagian harta warisan dan dibolehkan apabila para ahli waris bersepakat untuk membagi harta warisan tersebut dengan hukum waris lain, misalnya hukum waris adat yang dianut oleh mereka. Namun, jika terjadi sengketa dalam pembagian harta warisan, para ahli waris tidak dapat memilih hukum waris mana yang akan digunakan dalam membagi warisan tersebut. 9

8 David S. Powers, Studies in Al-Qur’an and Hadith: The Formation of The Islamic Law of Inheritance, hlm. 17.

9 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung

Agung, 1995).

(20)

Masyarakat Indonesia yang menganut berbagai macam agama dan kepercayaan yang berbeda, mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda. Sistem keturunan yang berbeda ini nampak pengaruhnya dalam sistem kewarisan hukum adat. di dalam hukum adat tidak dikenal cara-cara pembagian dengan penghitungan tetapi didasarkan atas pertimbangan, mengingat wujud benda dan kebutuhan waris yang bersangkutan. 10

Harta peninggalan adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal baik berupa uang atau materi lainnya yang dibenarkan oleh hukum untuk diwariskan kepada ahli warisnya. Harta tersebut juga dibagikan oleh ahli waris sesuai denga adat setempat, seperti adat waris yang berlaku di Desa Antajaya, Kecamatan Tanjungsari, Kab. Bogor.

Masyarakat desa Antajaya adalah salah satu dari masyarakat Islam yang dalam penyelesaian hubungan hukum yang berkaitan dengan harta seseorang yang meninggal dunia dengan ahli waris, masih menggunakan hukum adat. Mereka menganggap bahwa waris merupakan peralihan harta yang terjadi baik sebelum atau setelah pewaris meninggal. 11 Jadi, waris menurut masyarakat desa Antajaya merupakan peralihan harta yang terjadi baik setelah maupun sesudah pewaris meninggal.

Pemilihan lokasi desa Antajaya, kecamatan Tanjungsari sendiri karena masyarakat setempat yang tergolong taat dalam melaksakan agamanya. Hal tersebut tercerminkan dari banyaknya tokoh agama yang peneliti temui yang bermukim di desa tersebut. Seharusnya eksistensi hukum waris Islam yang telah menjadi hukum umat muslim di Indonesia berjalan dengan baik. Permasalahan yang terjadi yaitu terkait proses pembagian harta peninggalan adalah terdapat perbedaan praktik pembagian harta waris di desa Antajaya dengan pendapat ulama dan terdapat pertentangan antara aspek sosial dan aspek yuridis bidang

10 Eman Supaman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat,dan BW, (Bandung:Refika Aditama, 2005), hlm. 42.

11 Hasil wawancara dengan bapak Abidin, penyuluh agama desa Antajaya, tanggal 20 Oktober 2019.

(21)

waris Islam terhadap pembagian harta waris di desa Antajaya kec. Tanjungsari Kab. Bogor.

Hal yang melatarbelakangi pembagian harta waris sebelum pewaris meninggal di desa Antajaya Kab. Bogor ialah untuk mewujudkan keadilan di antara ahli waris dan sebagai bentuk kasih sayang pewaris kepada seluruh ahli waris agar dapat meminimalisir terjadinya sengketa waris. 12 Kebiasaan (adat) masyarakat desa Antajaya sudah dimulai sejak tahun1970-an. 13 Berawal dari rasa khawatir terjadinya sengketa waris yang berlanjut, karena ada beberapa di antara ahli waris yang tidak terima saat itu dengan sistem pembagian 1:2. Mereka beranggapan bahwa semua anak adalah sama di hadapan orang tua. 14 Sehingga orang tua pada saat itu sudah mencari inovasi hukum agar kejadian tersebut tidak terulang lagi dengan membagikan harta waris kepada anak-anaknya sebelum meninggal. 15 Sebuah inovasi hukum yang dilakukan oleh masyarakat desa Antajaya untuk menghindari sengketa di antara ahli waris. Namun, di sisi lain tidak ingin menentang ketetapan-ketetapan Allah dalam hal waris. Padahal dalam hukum waris Islam pembagian harta waris dilaksanakan setelah pewaris meninggal, serta bagian anak laki-laki adalah sebanyak dua kali lebih besar dari anak perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa pembagian harta semacam ini tidak sesuai dengan teori kewarisan Islam, karena dalam kewarisan Islam pembagian waris dapat dilaksanakan jika orang tua telah meninggal dan jumlah bagian laki- laki lebih besar dua kali dari bagian perempuan.

Namun dalam perspektif lain, bahwa Islam sebagai agama wahyu yang mempunyai doktrin-doktrin ajaran tertentu yang harus diimani, juga tidak melepaskan perhatiannya terhadap kondisi masyarakat tertentu. Seiring pertumbuhan zaman yang begitu pesat tidak dapat dihindari bahwa tradisi-tradisi masyarakat Indonesia telah banyak berubah dipengaruhi oleh perkembangan

12 Hasil wawancara dengan bapak Abidin, penyuluh agama desa Antajaya, tanggal 20 Oktober 2019.

13 Hasil wawancara dengan bapak Abidin, penyuluh agama desa Antajaya, tanggal 20 Oktober 2019.

14 Hasil wawancara dengan bapak Abidin, penyuluh agama desa Antajaya, tanggal 20 Oktober 2019.

15 Hasil wawancara dengan bapak Abidin, penyuluh agama desa Antajaya, tanggal 20

Oktober 2019.

(22)

zaman. 16 Artinya ada seperangkat dalil hukum yang bersifat melengkapi walapun keberadaanya belum disepakati semua ulama yaitu ‘urf. ‘Urf adalah adat kebiasaan yang berlaku di sebuah daerah yang dijadikan satu pertimbangan hukum Islam.

Jadi, pada dasarnya Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi selama tradisi itu tidak bertentangan Al-Qur‟an dan Hadits. Kedatangan Islam bukan menghapus sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat, tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Dengan demikian, kebiasaan yang ada di tengah masyarakat desa Antajaya Kab. Bogor dapat dijadikan satu pertimbangan hukum dalam Islam. Pembagian tersebut pada prinsipnya tidak bertentangan dengan nash kewarisan Islam, karena pembagian tersebut sifatnya sukarela yang perlahan-lahan mereka kukuhkan sebagai warisan. Artinya anggapan masyarakat desa Antajaya bahwa pembagian waris dapat dilakukan sebelum pewaris meninggal tidak merubah hukum waris Islam yang ada.

Kemudian jika dilihat dari teori hukum progresif yang dicetuskan oleh seorang begawan sosiologi hukum Indonesia Satjipto Raharjo, beliau menawarkan perspektif, spirit dan cara baru mengatasi kelumpuhan hukum di Indonesia.

Hukum progresif menempatkan prilaku jauh lebih penting sebagai faktor signifikan dalam berhukum daripada peraturan-peraturan yang tidak lain adalah teks-teks. 17 Menurutnya, teks-teks hukum itu tidak dapat sepenuhnya dipercaya sebagai representasi kehidupan hukum yang otentik. Yang lebih otentik adalah prilaku, sebuah entitas di mana hukum itu berada. Dengan perilaku manusia hukum menjadi hidup. Beliau juga mengatakan bahwa kata-kata pancasila yang dirumuskan oleh Bung Karno Bhineka Tunggal Ika yang diangkat dari karya Mpu Prapanca dalam buku Sutasoma, serta sila persatuan, seluruhnya menunjukkan bahwa nilai-nilai yang hendak dijadikan dasar untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara adalah nilai-nilai yang terdapat di dalamnya, tumbuh dan berkembang pada masyarakat Indonesia, seperti musyawarah, gotong royong,

17 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia,(Yogyakarta:

Genta Publishing, 2009), hlm. 10

(23)

komunalis, dan magis religius, serta menghargai kebhinekaan (pluralisme). Oleh karena itu, sejak sebelum kemerdekaan terdapat kesepakatan para Founding Fathers untuk menjadikan hukum adat sebagai sumber utama pembentukan hukum nasional. 18

Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu melayani kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri. Menurutnya hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. Artinya, apa yang sudah berjalan di tengah masyarakat merupakan wujud keadilan yang diinginkan oleh masyarakat di desa Antajaya.

Berdasarkan keadaan yang demikian menimbulkan ketertarikan dalam diri peneliti untuk melakukan kajian yang lebih mendalam terhadap pembagian waris adat masyarakat desa Antajaya menurut fikih. Karena melalui hukum fikih diharapkan bisa memunculkan respon hukum fikih terhadap proses pembagian yang terjadi di antara pewaris dan ahli waris, apakah ia termasuk dalam konsep kewarisan Islam atau tidak?. Penelitian ini akan menggunakan beberapa pendapat ulama klasik mazhab Syafi‟i. Pada dasarnya tidak perbedaan di antara empat mazhab yang diakui mengenai hukum waris. Semuanya berpendapat bahwa waris hanya dapat berlangsung jika adanya pewaris yang dinyatakan meninggal, ahli waris yang masih hidup dan adanya harta waris (harta peninggalan). Akan tetapi, dalam masalah hibah khususnya mazhab Syafi‟i memiliki sedikit pandangan yang berbeda dibanding dengan mazhab yang lain. Misalnya dalam masalah penarikan hibah, mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa hibah yang sudah diterima tidak dapat ditarik kembali kecuali hibah orang tua kepada anaknya. Sedangkan dalam mazhab Hanafi dan Maliki hibah dapat ditarik kembali walaupun bukan hibah orang tua kepada anaknya. Selain itu fikih yang diterapkan oleh masyarakat desa Antajaya adalah fikih mazhab Syafi‟i dan juga masyarakat yang dikenal taat

18 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2006), hlm. 172.

(24)

dalam mengamalkan ajaran mazhab Syafi‟i. 19 Maka sebagai konsekuensinya mereka sudah sepantasnya mengamalkan ajaran Islam sesuai mazhab Syafi‟i.

Selain itu pembagian waris adat masyarakat desa Antajaya sebelum pewaris meninggal menurut fikih akan ditinjau menggunakan pendekatan teori hukum progresif. Berdasarkan teori tersebut peneliti berusaha untuk mendapatkan jawaban terkait respon hukum progresif terhadap pembagian waris adat masyarakat desa Antajaya sebelum pewaris meninggal menurut fikih.

Salah satu permasalahan yang cukup menarik dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai pembagian waris adat masyarakat desa Antajaya sebelum pewaris meninggal. Di dalam hukum fikih tidak dikenal pembagian waris sebelum pewaris meninggal, harta waris hanya dapat dialihkan secara ijbari jika pewaris sudah meninggal. Menurut hukum fikih pembagian waris adat masyarakat desa Antajaya tidak dapat disebut warisan, karena tidak memenuhi ketentuan-ketentuan waris. Akan tetapi menurut hukum fikih pembagian tersebut dapat dianggap sebagai hibah, yaitu hibah orang tua kepada anak-anaknya. Karena orang tua memiliki hak untuk menghibahkan hartanya kepada anak-anaknya. Adapun teori hukum progresif dijadikan sebagai bahan hukum dalam penelitian ini, karena hukum progresif yang gencar mengatakan bahwa hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman dan mampu melayani kepentingan masyarakat.

Menurutnya hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa hukum Islam sudah lebih dulu menawarkan pogresifitas hukum, khususnya terhadap dalil yang sifatnya praduga atau zhanni, karena sewaktu-waktu hukum dapat berubah dengan berubahnya zaman dan perilaku manusia.

Berdasarkan uraian singkat di atas, maka peneliti tertarik untuk membahas dan menganalisis permasalahan tersebut dengan judul “Pembagian Waris Adat Masyarakat Desa Antajaya Sebelum Pewaris Meninggal Menurut Fikih Perspektif Hukum Progresif”

19 Hasil wawancara dengan Bapak Abidin, penyuluh agama desa Antajaya, tanggal 20

Oktober 2019.

(25)

B. Permasalahan

1. Indentifikasi Masalah

Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka timbul berbagai permasalahan di antaranya adalah :

a. Terdapat perbedaan praktik pembagian harta waris di desa Antajaya dengan pendapat ulama.

b. Pertentangan antara aspek sosial dan aspek yuridis bidang waris Islam terhadap pembagian harta waris di desa Antajaya kec. Tanjungsari Kab.

Bogor.

c. Berlaku hukum progresif atau tidak terhadap permasalahan pembagian harta waris di desa Antajaya Kec. Tanjungsari Kab. Bogor menurut fikih.

d. Pembagian waris sebelum pewaris meninggal berkolerasi atau tidak berkolerasi dengan jumlah sengketa waris di desa Antajaya kec. Tanjungsari Kab. Bogor.

e. Waris dan hibah dalam pelaksanaan kebiasaan waris pada masyarakat di Indonesia.

2. Pembatasan Masalah

Agar tidak menimbulkan penafsiran yang terlalu luas mengenai permasalahan ini, maka perlu ada pembatasan masalah sehingga penelitian ini terpusat pada masalah yang menjadi objek penelitian ini. Maka peneliti membatasi ruang lingkup penelitian pada masyarakat muslim desa Antajaya Kab. Bogor Jawa Barat. Penelitian akan difokuskan pada pembagian waris adat masyarakat desa Antajaya menurut fikih mazhab Syafi‟i. Selanjutnya pembagian waris adat masyarakat desa Antajaya sebelum pewaris meninggal menurut fikih akan ditinjau menggunakan pendekatan teori hukum progresif Satjipto Raharjo.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi

permasalahan pokok dari penelitian ini adalah bagaimanakah pembagian waris

(26)

adat masyarakat desa Antajaya sebelum pewaris meninggal menurut fikih perspektif hukum progresif.

Permasalahan pokok di atas dapat dirumuskan menjadi beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut;

a. Bagaimanakah pembagian waris adat masyarakat desa Antajaya sebelum pewaris meninggal menurut fikih?

b. Bagaimanakah pembagian waris adat masyarakat desa Antajaya sebelum pewaris meninggal menurut fikih perspektif hukum progresif?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian.

a. Mengkaji pembagian waris adat masyarakat desa Antajaya sebelum pewaris meninggal menurut fikih.

b. Mengkaji pembagian waris adat masyarakat desa Antajaya sebelum pewaris meninggal menurut fikih perspektif hukum progresif.

2. Manfaat Penelitian

a. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas khazanah keilmuan khususnya dalam bidang ilmu hukum, sehingga memiliki sumbangan pemikiran dalam status harta waris yang dibagikan sebelum pewaris meninggal di desa Antajaya. Dan diharapkan dapat menambah referensi bahan kajian ilmu, khususnya berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi fakultas Syari‟ah jurusan hukum keluarga.

b. Secara praktis diharapkan menjadi salah satu sumbangan pemikiran bagi praktisi hukum terkait dengan corak pemikiran hukum, sebagai suatu karya ilmiah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi bagi mereka yang hendak melakukan penelitian mengenai status pembagian hak waris sebelum pewaris meninggal di desa Antajaya.

D. Review Kajian Terdahulu

Kajian terhadap penelitian terdahulu sangatlah penting, hal tersebut

bertujuan untuk mengetahui letak perbedaan dan persamaan antara penelitian

(27)

terdahulu dan penelitian yang akan diteliti. Adapun penelitian-penelitian terdahulu adalah :

1. Tesis yang ditulis oleh Nurjannah mahasiswi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar,pada tahun 2012 dengan judul “pembagian harta sebelum orang tua meninggal dunia pada masyarakat adat Bulukumba ditinjau dari hukum Islam”. Hasil temuan dari penelitian itu ialah pembagian waris sebelum pewaris meninggal dunia yang dilakukan oleh masyarakat adat Bulukumba bukan termasuk warisan melainkan sebagai hibah dari orang tua kepada anak- anaknya, karena menurut hukum Islam kewarisan terjadi apabila adanya kematian, sedangkan dalam pembagian waris masyarakat Bulukumba dilakukan saat orang tua masih hidup. Dari penelitian tersebut, terdapat beberapa persamaan dan perbedaan dengan apa yang akan diteliti. Di antaranya adalah penelitian sama-sama menganlisis alasan pembagian hak waris sebelum pewaris meninggal. Adapun perbedaannya terletak pada dua hal; pertama, karya ilmiah ini menyimpulkan bahwa status pembagian hak waris sebelum pewaris meninggal dunia adalah hibah dalam perspektif Islam, sedangkan penulis akan menganalisis pembagian harta waris sebelum meniggalnya pewaris dengan menitik beratkan pada akad yang diucapkan oleh pewaris, karena adanya kemungkinan perbedaan ibaroh (ungkapan) di antara pewaris sehingga muncul istilah baru atau hukum baru. Kedua, tinjauan yang digunakan Nurjannah adalah hukum Islam secara global, sedangkan penulis menggunakan tinjauan hukum fikih yang lebih spesifik dan menggunakan teori hukum progresif.

2. Tesis yang ditulis oleh Rahmat Arifin mahasiswa Universitas Islam Indonesia,

Yogyakarta pada tahun 2018 dengan judul “Kontribusi Ahli Waris Terhadap

Pewaris dalam Pembagian Harta Peninggalan”. Hasil penelitian tersebut yaitu

pembagian waris di desa Kadilajo berlangsung ketika pewaris masih hidup

dengan membagi harta sama rata di antara ahli waris laki-laki dan ahli waris

perempuan dan ahli waris yang berkontribusi pada pewaris pada masa

hidupnya mendapatkan harta warisan yang lebih banyak. Dalam karya ilmiah

(28)

yang ditulis oleh Rahmat, memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Adapun persamaannya adalah sama-sama menganalisis status pembagian hak waris sebelum pewaris meninggal. Perbedaannya, Rahmat hanya menjelaskan status pembagian harta waris sebelum pewaris meninggal ditinjau oleh hukum Islam secara umum dan penelitian lebih terfokus pada kontribusi ahli waris yang mendapatkan harta warisan lebih dari ahli waris lainya, sedangkan peneliti akan lebih memfokuskan penelitian pada status pembagian hak waris sebelum pewaris meninggal ditinjau dengan hukum fikih dengan melihat aspek lain yaitu akad yang diucapkan oleh pewaris juga ditinjau dengan teori hukum progresif

3. Artikel yang ditulis oleh Agus Wantaka, Abdul Rasyid, dan Eka Sakti

Habibullah mahasiswa dan dosen Prodi Ahwal Syakhsiyah STAI Al-Hidayah

Bogor dengan judul “Pembagian Warisan dalam Perspektif Hukum Islam dan

Hukum Adat Jawa” dalam jurnal Prosiding al-Hidayah Ahwal al-Syakhsiyah

Vol. 01 No. 1, Januari 2019. Hasil dari penelitian tersebut ialah bahwa hukum

kewarisan Islam dan hukum kewarisan hukum adat Jawa memiliki beberapa

persamaan dan perbedaannya. Adapun peresamaannya adalah pertama, sama-

sama meiliki tiga unsur kewarisan yaitu adanya ahli waris, pewaris dan harta

warisan. Kedua, sama-sama memiliki asas individual dan bilateral. Ketiga, dari

segi pewarisan ada satu cara yang sama dengan huku Islam yaitu pembagian

warisan kepada anak laki-laki dan perempuan dengan cara spikul segendong

atau 2:1. Adapun perbedaannya adalah pertama, dari segi definisi hukum adat

Jawa memandang kewarisan sebagai proses peralihan dan penerusan harta

benda milik pewaris sedang hukum kewarisan Islam memandang kewarisan

sebagai cara pembagian harta peninggalan, sehingga kewarisan baru terjadi

setelah pewaris meninggal dunia. Kedua, dari sumber hukumnya, hukum

kewarisan Islam bersumber dari al-Qur‟an dan Sunnah dan ijtihad, sedang

hukum kewarisan adat bersumber dari adat kebiasaan tradisi masyarakat,

ugeran-ugeran (norma dan kaidah) kebudayaan penduduk, dan pencatatan

hukum oleh raja-raja. Ketiga, dari segi asas hukum kewarisan, hukum Islam

ada asas ijbari dan asas akibat kematian, sedang dalam hukum kewarisan adat

(29)

Jawa tidak mengenalnya. Dalam karya ilmiyah yang ditulis oleh Agus Wantaka, Abdul Rasyid, dan Eka Sakti, ada persamaan dan perbedaan dengan karya ilmiah yang ditulis oleh peneliti. Persamaannya adalah pertama, sama- sama membahas bahwa kewarisan dalam berlaku setelah wafatnya pewaris.

Kedua, sama-sama membahas bahwa kewarisan dalam adat Jawa secara umum tidak mengenal syarat meninggalnya pewaris dalam proses peralihan harta.

Adapun perbedaannya pertama, karya ilmiah Agus Wantaka, Abdul Rasyid, dan Eka Sakti hanya membandingan secara umum kewarisan Islam dengan hukum adat Jawa, adapun peneliti akan lebih memfokuskan penelitian pada status pembagian hak waris sebelum pewaris meninggal ditinjau dengan hukum fikih dengan melihat aspek lain yaitu akad yang diucapkan oleh pewaris, kemudian ditinjau dengan teori hukum progresif serta korelasi antara hukum Islam dengan hukum progresif.

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi objek kajian adalah status pembagian harta waris sebelum pewaris meninggal di desa Antajaya. Berangkat dari objek kajian penelitian tersebut, maka penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, menggunakan pendekatan yuridis normatif dilengkapi beberapa data empiris.

Pendekatan yuridis normatif dengan cara mengkaji masalah dengan berdasarkan norma-norma yang ada dalam hukum Islam dan literatur-literatur lain yang berhubungan dengan permasalahan yang ada dalam pembagian harta waris sebelum pewaris meninggal di desa Antajaya Kec. Tanjungsari Kab.

Bogor. Pendekatan normatif dengan cara mengakaji hukum tertulis yang

bersifat mengikat yang berkaitan dengan pokok pembahasan yang diteliti, yaitu

beranjak dari hukum fikih mazhab Syafi‟i dan pendekatan empiris dengan cara

mengkaji masalah pembagian harta waris sebelum pewaris meninggal di desa

Antajaya Kec. Tanjungsari Kab. Bogor.

(30)

2. Sumber Data

Sumber data penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. 20 Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan langsung pada obyek penelitian yang dilakukan di desa Antajaya Kec. Tanjungsari Kab. Bogor yaitu dengan melakukan wawancara. Dalam penelitian kualitatif teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Yaitu melakukan wawancara dengan pihak yang dianggap dapat memberikan data yang diperlukan di antaranya adalah penyuluh agama, tokoh agama dan salah satu masyarakat desa Antajaya Kec. Tanjungsari Kab. Bogor.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang dipergunakan dalam menjawab permasalah yang ada dalam penelitian melalui studi kepustakaan. Data sekunder merupakan data utama yang digunakan dalam penulisan ini.

Peneliti akan menggunakan 3 (tiga) bahan hukum dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang berasal dari; Al-Qur‟an [2]: 177, Al-Fiqh al-Manhajî karya Mustafâ Bughâ, mushthafâ Khan dan Alî, Al-fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, karya Wahbah al-Zuhailî, Hâsyiyah al-Bâjûrî karya Ibrahim al-Bâjurî, Mughnî al- Muhtâj, karya al-Ramlî, Membedah Hukum Progresif, karya Satjipto Rahardjo serta literatur lainnya yang sesuai dengan tema penelitian.

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang terdiri dari literatur-literatur, buku- buku yang berkaitan dengan tema penelitian.

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan tambahan atau dukungan data yang tela ada pada bahan hukum primer

20 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, suatu pendekatan praktek, cet. XII (Jakarta:

PT. Adi Mahasatya, 2002), hlm. 107.

(31)

dan sekunder. Berupa data-data yang memberikan petunjuk serta penjelasan terhadap sumber primer dan sumber sekunder, antara lain kamus, ensiklopedia, dan selainnya.

3. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yaitu dengan melakukan pengkajian terhadap masalah pembagian harta waris sebelum pewaris meninggal di desa Antajaya Kec. Tanjungsari, Kab. Bogor, sehingga diperolah suatu gambaran yang jelas tentang permasalahan yang ada di dalamnya.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan 3 (tiga) macam, sebagai berikut:

a. Penelusuran pustaka (literature), yaitu mengumpulkan sejumlah buku-buku, liflet yang berkenaan dengan masalah pembagian waris sebelum pewaris meninggal di desa Antajaya Kec. Tanjungsari Kab. Bogor.

b. Penelusuran dokumentasi (documenter), yaitu pengumpulan data-data dengan cara mencatat dan merangkum semua hasil interview yang terfokus dalam penelitian ini.

c. Wawancara (interview), yaitu melakukan wawancara dengan penyuluh agama, tokoh agama, serta beberapa dari masyarakat di desa Antajaya. Para tokoh yang dimaksud dijadikan sebagai informan dalam penelitian ini.

Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling.

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dan

analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif

terhadap berbagai data yang peneliti dapatkan, baik sumber data primer

maupun sekunder. Analisis data yang digunakan dengan cara menguraikan data

secara bermutu dalam bentuk kalimat yang tersusun secara teratur, runtun,

logis, tidak tumpang tindih dan efektif. Sehingga memudahkan interpretasi data

(32)

dan pemahaman hasil analisis. 21 Data dalam penelitian ini diuraikan kedalam kalimat-kalimat yang tersusun secara sistematis, sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan secara induktif sebagai jawaban singkat dari permasalaha yang diteliti.

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan yang digunakan berpedoman pada prinsip-prinsip yang diatur dan di bukukan dalam buku pedoman penulisan karya ilmiah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta revisian terbaru tahun 2017.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah proses penelitian ini, penulis mengurai beberapa hal tentang sistematika sebagai berikut:

Bab pertama, merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, kemudian juga diuraikan tujuan dan manfaat penelitian, lalu dipaparkan tentang review kajian terdahulu agar dapat membuktikan originalitas serta mengetahui secara persis signifikasi penelitian ini. Dalam bab ini juga dipaparkan tentang metode penelitian, serta sistematika penulisan yang berisi tentang uraian masing- masing bab.

Bab kedua, membahas tentang landasan teoritis mengenai konsep ushul fikih tentang ‘urf, maqashid al-syari’ah dan teori hukum progresif Satjipto Rahardjo.

Bab ketiga, pembahasan tentang hukum waris dalam fikih mazhab Syafi‟i, hukum hibah dalam mazhab Syafi‟i, dan hukum waris adat di Indonesia.

Bab keempat, membahas tentang profil desa Antajaya kec. Tanjungsari kab. Bogor dan deskripsi pembagian waris adat masyarakat desa Antajaya.

Bab kelima, menganalisis tentang pembagian waris adat masyarakat desa Antajaya sebelum pewaris meninggal menurut fikih dan pembagian waris adat masyarakat desa Antajaya sebelum pewaris meninggal menurut fikih perspektif hukum progresif.

Bab keenam, bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran.

21 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, hlm. 127.

(33)

18

Salah satu metode pengambilan hukum dalam syari‟at Islam adalah „urf. Metode ini mengambil hukum dari sesuatu yang tidak asing lagi di suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan baik berupa perbuatan atau perkataan. Tentunya tidak bertentangan dengan Al-Qur‟an dan Hadits. Kemudian salah satu konsep penting yang menjadi pokok dalam Islam adalah konsep Maqâsid al-syarî‟ah yang menegaskan bahwa Islam hadir untuk mewujudkan dan memelihara kemasalahatan manusia.

Kemudian menurut Satjipto Raharjo bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya, hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan manusia.

A. Konsep Ushul Fikih Tentang ‘Urf 1. Pengertian „Urf

Kata „urf secara etimologi (bahasa) berarti “sesuatu yang dipandang secara baik dan diterima oleh akal sehat”. 1 „Urf (tradisi) adalah suatu bentuk mu‟amalah (berhubungan kepentingan) yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah berlangsung konsisten di masyarakat. 2 „Urf juga disebut dengan istilah apa yang sudah terkenal di kalangan manusia dan selalu diikuti, baik „urf perkataan maupun „urf perbuatan. 3 Ulama ushul memberikan definisi:

“Apa yang bisa dimengerti oleh manusia dan mereka jalankan baik berupa perkataan, perbuatan dan pentangan-pantangan. 4 Dalam disiplin ilmu fikih ada dua kata yang serupa yaitu „urf dan adat. Kedua kata ini perbedaannya adalah adat didefinisikan sebagai suatu perbuatan yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa hubungan yang rasional.

Perbuatan tersebut menyangkut perbuatan pribadi, seperti kebiasaan

1 Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri‟, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 167.

2 Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Penerjemah Saefullah Ma‟shum, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), hlm. 416.

3 Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 77.

4 Masykur Anhari, Ushul Fikih, (Surabaya: Diantama, 2008), hlm. 110.

(34)

seseorang makan dan tidur. Kemudian „urf didefinisikan sebagai kebiasaan mayoritas umat baik dalam perkataan maupun perbuatan”. 5

Adapun makna „urf secara terminologi menurut Wahbah al- Zuhaili:

ُ رْ ُلا َىُ : لُّ ُ اَم ُ دَّ َاذرْا ُاادَّلا رْوُراَسَو ِ رٍَْ َا

رْ ِم لِّ ُ ٍ رْلِ

َااَ

،رْمُهَلرٍَْة رْوَ

ٍ رْىَ

رْىُ َراَلَد

ُ َ َ رْ ِ ىَ َا ىًلرْلَم صٍّااَ

َ ُ ُ َارْ َد

،ُجَغلُّ ا َ َو ُرَ اَتَذٌَ

ُ ُ رٍَْ

َ رْلِا ِ ِااَ َس

6 .

“‟Urf adalah sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang populer di antara mereka ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika orang lain mendengar kata itu mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain”.

Sedangkan „urf dalam pandangan mayoritas ahli syar‟iat adalah dua sinonim yang berarti sama. Alasannya adalah kedua kata ini berasal dari bahasa Arab yang diadopsi oleh bahasa bahasa Indonesia yang baku.

Kata „urf berasal dari kata „arafa- ya‟rifu yang mempunyai derivasi kata al-ma‟ruf yang berarti sesuatu yang dikenal atau diketahui. Sedangkan kata adat berasal dari „ad derivasi kata al-„âdah berarti sesuatu yang diulang kebiasaannya. 7

Adapun contoh „urf perkataan ialah suatu kebiasaan menggunakan kata-kata anak (walad) untuk anak laki-laki bukan untuk anak perempuan. Kebiasaan orang menggunakan kata-kata “daging” pada selain daging ikan. Sedangkan contoh „urf perbuatan, ialah kebiasaan orang melakukan jual beli dengan saling memberikan barang-barang tanpa menyebutkan lafazh îjab qabûl.

Kemudian „Urf menjadi salah satu sumber hukum dalam ushul fikih, sebagaimana ucapan Ibnu Mas‟ûd:

5 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 138.

6 Wahbah al-Zuhailî, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1999), hlm. 97.

7 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), Jilid 2, hlm. 387.

(35)

ُ آَر اَم َ نىُلِم رْؤُ رْا ُ آَراَمَو ٌ َسَح ِالله َ رْلِا َىُهَ اًلَسَح

نىُلِم رْؤُ رْا اًحرٍِْتَ

ِالله َ رْلِا َىُهَ

ٌ رٍِْتَ

8

Sesuatu yang dinilai baik oleh umat mu‟min adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu yang dinilai buruk maka ia buruk di sisis Allah”(H.R.

Abu Daud)

Hadits ini baik dari segi ibarat maupun tujuannya, menunjukan bahwa setiap perkara yang sudah mentradisi di kalangan kaum muslimin dan dipandang sebagai perkara yang baik, maka perkara tersebut dipandang baik di hadapan Allah. 9

2. Macam-macam „Urf

Para ulama ushul membagi „urf menjadi tiga macam:

a. Dari segi objeknya

Dari segi objeknya „urf dibagi kepada: kebiasaan yang menyangkut ungkapan dan kebiasaan yang berbentuk perbuatan.

1) Kebiasaan yang Menyangkut Ungkapan (al-„urf al-lafẕi)

Kebiasaan yang menyangkut ungkapan ialah kebiasaan masyarakat yang menggunakan kebiasaan ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu. 10 Misalnya ungkapan ikan dalam masyarakat yang berarti lauk pauk. Padahal dalam maknanya ikan itu berarti ikan laut. Tetapi ini sudah umum pada suatu daerah tertentu.

2) Apabila dalam memahami ungkapan itu diperlukan indikator lain, maka tidak dinamakan „urf. Misalnya ada seseorang datang dalam keadaan marah dan ditangannya ada sebuah tongkat kecil, saya berucap” jika saya bertemu dia maka saya bunuh dia dengan tongkat ini” dari ucapannya ini dipahami bahwa yang dia maksud

8 Sulaiman Ibn Daûd, Musnad Abî Daud al-Thayâlîsî, (Mesir: Dar al- Hijr, 1999), Nomor Hadits 243, Juz 1, hlm. 199.

9 Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh, hlm. 273.

10 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2, hlm. 364.

(36)

membunuh tersebut adalah memukul dengan tongkat, ungkapan seperti ini merupakan majaz bukan „urf. 11

3) Kebiasaan yang berbentuk perbuatan

Kebiasaan yang berbentuk perbuatan ini adalah kebiasaan biasa atau masyarakat yang berhubungan dengan mu‟âmalah keperdataan.

Seperti kebiasaan masyarakat yang melakukan jual beli, yaitu seorang pembeli mengambil barang kemudian membayar dikasir tanpa adanya suatu akad ucapan yang dilakukan keduanya. 12

b. Dari segi cakupannya

Dari segi cakupannya„urf dibagi menjadi dua, yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan kebiasaan yang bersifat khusus.

1) Kebiasaan yang bersifat umum

Kebiasaan yang bersifat umum adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah dan seluruh Negara. Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak dan ban serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan.

2) Kebiasaan yang Bersifat Khusus (al-„urf al-khâsh)

Kebiasaan yang bersifat khusus adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan di masyarakat tertentu. Sedangkan menurut Abu Zahrah lebih terperinci lagi yaitu „urf yang berlaku di suatu negara, wilayah atau golongan masyarakat tertentu. 13 Misalnya di kalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut. Kemudian juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang-

11 Nashrun Haroen, Ushul Fiqh 1, hlm. 139.

12 Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, hlm. 77-78.

13 Abu Zahrah, Usûl al-Fiqh, hlm. 365.

(37)

barang tertentu. 14 „Urf semacam ini tidak boleh berlawanan dengan nash, hanya boleh berlawanan dengan qiyas yang „illat-nya ditemukan tidak melalui jalan qaṯ‟î, baik berupa nash maupun yang menyerupai nash dari segi jelas dan terangnya. 15

c. Dari Segi Keabsahannya

Dari segi keabsahannya dalam pandangan syar‟i,„ urf terbagi menjadi dua, yaitu kebiasaan yang diakui (al-„urf al-sahîh) dan kebiasaan yang tidak diakui (al-‟urf al-fâsid).

1) Kebiasaan yang dianggap sah

Kebiasaan yang dianggap sah ialah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan syari‟at dan tidak bertabrakan dengan nash (Al-Qur‟an atau Hadits), seperti kebiasaan orang Arab dalam kafa‟ah perkawinan. Atau dengan kata lain tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengaharamkan yang halal. Sehingga para ulama mengatakan:

ٌجَ دَّ َحُم ٌجَلرٌِْ َ ُثَ اَلا

16

“Adat atau „urf merupakan syari‟at yang dijadikan landasan hukum”

Dalil atas kebolehannya „urf yang sah ialah bahwa ia sesuai dengan kebutuhan manusia dan menghilangkan kesulitan. 17

2) Kebiasaan yang dianggap rusak

Kebiasaan yang dianggap rusak yaitu kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara‟ seperti mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Misalnya kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba. 18

14 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2, hlm. 365.

15 Abu Zahrah, Usûl al- Fiqh, hlm. 419.

16 Wahbah al-Zuhailî, Al-Wajîz fi Usûl al-Fiqh, hlm. 98

17 Wahbah al-Zuhailî, Al-Wajîz fi Usûl al-Fiqh, hlm. 98

18 Wahbah al-Zuhailî, Al-Wajîz fi Usûl al-Fiqh, hlm. 98.

Referensi

Dokumen terkait

Konsep perlindungan anak mengakui bahwa karena kemampuan anak-anak masih terus berkembang, mereka mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan dari kedua orang tuanya dan

Persiapan materi Siti Maisaroh adalah menentukan tema, atau judul pembicaraan lalu mengumpulkan bahan-bahan, kemudian menulis materi ceramah urut sesuai dengan kerangka,

Sehingga dapat disimpulkan dari hasil uji F, terdapat pengaruh antara variabel Y terhadap variabel X, dengan kata lain menerima Ha yaitu ada pengaruh yang

Tujuan dari penelitian ini dilakukan untuk menganalisis bagaimana pengaruh penyelarasan strategik terhadap kinerja organisasi pada sektor rumah sakit dan klinik

Halusinogen adalah sekumpulan zat yang bila digunahkan dapat menyebabkan halusinasi yaitu rangsangan pada panca indera yang sebenarnya tidak ada. Yang termasuk dalam

Harto (1993) mengemukakan suatu metode untuk mendapatkan Hidrograf Satuan Sintetik (HSS) dari suatu DAS yang tidak mempunyai alat ukur hidrometri dan kurangnya data-data DAS

adalah untuk membandingkan nilai debit banjir rancangan Sungai Bangga dengan mengolah data curah hujan dengan menggunakan metode Hidrograf Satuan Sintetik Gama I dan data debit

Pada Terminal BBM Semarang Group mesin pompa produk yang sering breakdown, yang dapat membuat kerugian waktu pengiriman bahan bakar ke SPBU di Jawa Tengah dan