• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini penulis bagi menjadi 5 bab, di masing-masing bab saling berkaitan penjelasan sebagai berikut :

Bab I, (Pendahuluan) meliputi : Latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah dan sistematika penulisan.

Bab II (Landasan Teori) meliputi : landasan teori (telaah teoretik terhadap pola penanaman pendidikan akhlak dan pengertian pernikahan beda agama), kajian pustaka dan hipotesis penelitian. Bab III (Metode Penelitian) meliputi : Pendekatan dan jenis penelitian, Kehadiran Peneliti, lokasi penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data, analisis data dan tahap-tahap penelitian.

Bab IV (Deskripsi dan Analisis data) meliputi : Deskripsi data dan Analisis sata.

Bab V Penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran-saran.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Pola Penanaman Pendidikan Akhlak

Pengertian pendidikan islam cenderung menggunakan al-tarbiyah. Menurut istilah tarbiyah diambil dari kata rabba dan yurabbi ( - ) yang kemudian diartikan oleh Asma’I dengan memberi makan, memelihara dan mengasuh; yakni akar kata ghaza atau ghazau yang berarti mengasuh, menanggung, member makan, mengembangkan dan memelihara, membuat, menjadikan bertambah dalam pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang dan menjinakkan. Penerapannya dalam bahasa arab tidak hanya terbatas pada manusia saja, namun medan-medan semantiknya meluas kepada species-species lain seperti; untuk mineral, tanaman, dan hewan (Ali Mufron, 2013: 3). Untuk mencari definisi tarbiyah (pendidikan)

dalam al-qur’an terlebih dahulu kita mengkaji apa yang dimaksud dengan tarbiyah, baik dari sei bahasa maupun istilah. Kata tarbiyah asal katanya adalah robba – yurabbi, dalam makna aslinya adalah memberi makan, dan menjadikannya berkembang, men didik.

Ali Mufron (2013:4) menyebutkan: al-rabb (merupakan) asal kata tarbiyah, maksudnya menyampaikan sesuatu sedikit demi sedikit sehingga sempurna.

Sedangkan lafal rabba – yurabbi – tarbiyah hanya ditemukan di dua tempat dalam al-Qur’an, yaitu dalam QS. Al-Isra’: 24

“….Dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil’”. (Q.S. Al-Isra’:24)

Dalam bentuk kata benda, kata robba ini digunakan juga untuk Tuhan yang mendidik, mengasuh, memelihara,dan mencipta. Dalam tafsir Al-Mishbah kata rabba yang digunakan untuk Tuhan seperti Rabbal‘alamin itu merupakan seakar dengan kata tarbiyah , yaitu mengarahkan sesuatu tahap demi tahap menuju kesempurnaan kejadian dan fungsinya (M Quraisy Shihab,2000: 30).

Sedangkan Ali Mufron (2013: 5) menyetarakan antara potensi anak didik dangan fitrah (kemampuan dasar). Menurut proses pengarahan manusia kepada kehidupan yang baik dan yang mengangkat derajat kemanusiaannya, sesuai kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarannya (pengaruh dari luar) itulah yang dimaksud dengan tarbiyah. Disini terlihat secara operasional tarbiyah mengandung dua

aspek; menjaga atau memperbaiki dan menumbuhkan atau membina.

Keterangan di atas menunjukkan bahwa pendidikan merupakan proses yang melalui tahapan-tahapan yang telah ditentukan menuju kesempurnaan kejadian dan fungsi yang telah ditetapkan pula. Tentunya kesempurnaan yang dimaksud yaitu mengembangkan segala potensi yang ada dalam diri peserta didik untuk menjadi manusia dewasa yang bisa mengemban tanggung jawab bagi dirinya sendiri, tanggung jawab kepada orang lain, lingkungannya dan yang terpenting yaitu tanggung jawab kepada Tuhannya. Sedangkan fungsinya yaitu seiring dengan diciptakannya manusia sebagai khalifah dan ‘abid.

Definisi tarbiyah (pendidikan) menurut istilah adalah membina atau menciptakan insane muslim yang memiliki akhlak baik dan sempurna dari segala aspek kesehatan, akal, akidah, ruh keyakinan dan manajemen (Herlina, 2014: 29). Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk emmiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (UU RI No.20, 2003).

Makna yang sebenarnya dari pendidikan atau tarbiyah menyerupai cara kerja seorang petani yang berusaha menghilangkan duri dan mengeluarkan tumbuhan-tumbuhan liar yang terdapat diantara tanaman-tanamannya, agar tanaman yang ditanam tersebut dapat tumbuh dengan sempurna dan memberikan hasil yang baik.

Dari beberapa definisi di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu proses dari manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiaannya dalam membimbing, mengajar, melatih dan menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda agar nantinya menjadi manusia yang bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya sebagai manusia sesuai dengan sifat hakiki dan ciri-ciri kemanusiaannya.

Menurut pendapat para pakar sebagai berikut: Ibn Maskawih secara singkat mendefinisikan akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (Rosihon Anwar, 2010: 13).

Menurut Imam Al-Ghazali, Akhlak ialah Sikap yang mengakar dalam jiwa manusia yang darinya lahir

berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran dan pertimbangan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal syara’, maka ia disebut akhlak yang baik. Dan jika yang lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk (Al-Ghazali, 2010: 13)

Menurut Ahmad Mustofa (2007:14) mengemukakan definisi akhlak ialah suatu kesatuan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak mana kombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar (dalam hal akhlak yang baik) atau pihak yang jahat (dalam hal akhlak yang jahat).

Akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga dia muncul secara spontan bilamana diperlukan, tanpa memerlikan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar (Yanuar,2007: 2).

Dari beberapa definisi di atas berbeda kata-katanya akan tetapi sebenarnya tidak berjauhan maksudnya, bahkan berdekatan artinya satu sama lain. Dari definisi di atas saling melengkapi yaitu sikap yang tertanam kuat dalam jiwa yang Nampak dalam perbuatan lahiriyah yang

dilakukan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran lagi dan sudah menjadi kebiasaan.

Jadi pola penanaman pendidikan akhlak dapat penulis simpulkan ialah usaha sadar yang dilakukan oleh orangtua untuk membentuk tabiat yang baik pada anak sehingga terbentuk manusia yang taat kepada Allah.

b) Tujuan Penanaman Akhlak

Menurut Ibn Maskawih dalam buku karangan Suwito yang berjudul filsafat pendidikan akhlak (2004: 16) tujuan penanaman akhlak adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong serta spontan untuk melahirkan semua perbuatan bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan yang sempurna.

Menurut Barmawie Umary (1995: 2) tujuan penanaman akhlak adalah menjadikan seseorang agar terbiasa melakukan perbuatan yang baik, indah, mulia, terpuji, serta menghindari perbuatan yang buruk, jelek, hina dan tercela.

c) Pendidikan Akhlak yang Harus ditanamkan Terhadap Anak Pandangan Imam Al-Ghazali dalam kitab ihya’

Ulumuddin Jilid 1 terjemah Muhamad zuhri (1990:149) tentang pendidikan akhlak anak meliputi:

a) Kesopanan dan kesederhanaan

Al-Ghazali sangat mengajarkan kesopanan dan kesederhanaan dalam hal makan, berpakaian dan tidur. Salah satu hal yang biasa terjadi terhadap diri anak-anak ialah mempunyai sifat rakus makan, maka ini perlu dididik pula. Misalnya pada waktu makan itu senantiasa menggunakan tangan kanan dan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim (Al-Ghazaly, 1990:149). b) Kesopanan dan Kedisiplinan

Al-Ghazali sangat mengutamakan kedisiplinan anak untuk menghindarkan perbuatan yang tidak pantas dipandang umum dan membiasakan anak untuk berbuat hal-hal yang patut sesuai dengan norma-norma masyarakat yang berlaku. Dalam hal ini al-Ghazali melatih kesopanan dan kedisiplinan anak dalam tata cara duduk, berbicara dan meludah (Al-Ghazaly, 1990:149).

c) Pembiasaan dan latihan bagi anak untuk menjauhkan perbuatan yang tercela

Al-Ghazali menganjurkan agar mendidik anak dengan pembiasaan dan latihan untuk menghindarkan dari perbuatan yang tercela serta tidak sesuai dengan norma masyarakat maupun ajaran agama (islam) (Al-Ghazali, 1990: 149).

2. Keluarga Beda Agama

1. Pengertian Pernikahan Beda Agama

Pernikahan (perkawinan) dalam bahasa arab berarti az-Zawaj yang menunjukkan pertemuan dua perkara. Dalilnya antara lain firman Allah SWT :

“Dan apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh),”(QS.At -Takwir: 7)

Maksudnya adalah roh itu dipertemukan dengan badan supaya ia bangkit dan hidup.

Karena kata az-Zawaj menunjukkan kepada pertemuan, maka dapat dikatakan akad nikah berarti pertemuan antara pria dan wanita. Dan pertemuan ini dinamakan dengan zawajan (perkawinan/pernikahan).

Adapun makna perkawinan menurut syara’ adalah suatu ikatan yang berfaedah bagi halalnya seorang pria bersenang-senang (bersenggama) atas seorang wanita, dan tidak ada halangan syar’I bagi si wanita untuk menerima ikatan tersebut (Ahmad Kan’an, 2006: 17-18). Nikah, menurut bahasa : al-jam’u dan al-dhamu yang artinya kumpul. Makna nikah (Zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah. Juga bisa diartikan (wath,u al-zaujah) bermakna menyetubuhi istri.

Definisi yang hampir sama dengan di atas juga dikemukakan oleh Rahmad Hakim, bahwa kata nikah berasal dari bahasa Arab “Nikahan” yang merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja (fi’il madhani)

“nakaha”, sinonimnya “tazawwaja” kemudian

diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Kata nikah sering juga dipergunakan sebab telah masuk dalam bahasa Indonesia.

Nikah adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab (pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan Kabul (pernyataan penerimaan dari pihak lelaki). Selain itu, nikah bisa juga diartikan sebagai bersetubuh. Adapun menurut syara’, nikah adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera. Para ahli Fikih berkata, zawwaj atau nikah adalah akad yang secara keseluruhan di dalamnya mengandung kata inkah atau tazwij. Hal ini sesuai dengan ungkapan yang ditulis oleh zakiyah Darajat dan kawan-kawan yang memberikan definisi perkawinan sebagai berikut:

“Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafaz nikah atau tazwij atau yang semakna keduanya”. (Tihami, 2009: 6-8)

Istilah perkawinan campuran yang sering dinyatakan anggota masyarakat sehari-hari ialah perkawinan campuran karena perbedaan tata suku bangsa atau karena perbedaan agama antara kedua insan yang akan melakukan perkawinan. Perkawinan campuran antara agama misalnya pria atau wanita beragama islam dengan pria atau wanita beragama budha/Kristen/hindu. (Hilman, 1990:13-14).

Pernikahan beda agama pada dasarnya berarti pernikahan yang dilangsungkan antara pasangan yang beda agama satu sama lain. Pernikahan bernuansa keragaman ini banyak terjadi dan masih dijumpai di dalam kehidupan bermasyarakat. Beberapa contoh dari pasangan suami isteri di desa saya yaitu Nurul alwi dengan Ida, Yanto dengan tanti, Joko dengan Yati. Pernikahan yang dilakukan oleh mereka tidak lagi di dasarkan pada suatu akidah agama, melainkan hanya pada cinta, seolah cinta semata yang menjadi dasar suatu pernikahan. Masalah agama dalam beberapa argument pasangan-pasangan

seperti itu kira-kira dapat dirumuskan seperti ini. Berdasarkan hukum munakahat yang diajarkan islam kepada penganutnya ialah pernikahan yang dibenarkan oleh Allah adalah suatu pernikahan yang didasarkan kepada satu akidah, di samping cinta dan ketulusan hati dari keduanya dengan landasan dan naungan keterpaduan itu, kehidupan suami dan isteri akan tentram, penuh rasa cinta dan kasih sayang. Keluarga mereka akan bahagia dan kelak akan memperoleh keturunan yang sejahtera lahir batin.

Jadi yang dimaksud pernikahan beda agama adalah pernikahan orang islam (pria atau wanita) dan orang bukan islam (pria ayau wanita) (Zuhdi,1996:4).

2. Pernikahan Orang Berlainan Agama Menurut Hukum Islam Mengenai masalah pernikahan beda agama ini, Islam membedakan hukumnya menjadi tiga macam, yaitu :

a. Perkawinan antara Perempuan Muslimah dengan Laki-laki Non Muslim.

Semua ulama telah sepakat bahwa perempuan muslimah tidak diperbolehkan (haram) kawin dengan laki-laki non muslim, baik Ahli Kitab maupun musyrik (Suhadi,2006:36)

Adapun dalil yang menjadi dasar hukum untuk larangan kawin antara wanita muslimah dengan laki-laki non muslim, yaitu Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221:

Artinya: Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita yang mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang beriman lebih baik dari pada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik dari pada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Menerangkan ayat-ayatnya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.

Hikmah dilarangnya perkawinan antara seorang wanita islam dengan laki-laki non islam karena dikhawatirkan wanita islam itu kehilangan kebebasan beragama dalam menjalankan ajaran-ajaran agamanya, kemudian terseret kepada agama suaminya. Demikian pula anak-anak yang lahir dari hasil perkawinannya dikhawatirkan pula mereka akan mengikuti agama bapaknya, karena bapak sebagai kepala keluarga terhadap anak-anak melebihi ibunya.

b. Laki-laki Muslim dengan Perempuan Musyrik

Para Ulama sepakat mengharamkan laki-laki muslim kawin dengan perempuan penyembah berhala (musyrik). Perempuan musyrik di sini mencakup perempuan penyembah berhala (al-watsaniyyah), zindiniyyah (ateis), perempuan yang murtad, penyembah api, dan penganut aliran libertine (al-ibahah), seperti faham wujudiyah (Suhadi, 2006: 37).

c. Laki-Laki Muslim dengan Perempuan Ahli Kitab Pada dasarnya laki-laki muslim diperbolehkan (halal)

mengawini perempuan ahli kitab berdasar pengkhususan QS.al-Maidah: 5. Pengertian Ahli kitab di sini mengacu pada dua agama besar rumpun sementik sebelum islam, Yakni Yahudi dan Nasrani.

Ibnu Rusyd menulis bahwa para ulama sepakat akan kehalalan mengawini perempuan Ahli Kitab dengan syarat ia merdeka (bukan budak), sedangkan mengenai perempuan Ahli Kitab budak dan perempuan Ahli Kitab yang dalam status tawanan (bi al-milk) para ulama berbeda pendapat.

Allah Berfirman QS.Al-Maidah ayat 5:

Artinya : “ Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang

baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan-perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar

maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barang siapa kafir setelah beriman maka sungguh, sia-sia amal mereka dan di akhirat dia masuk orang-orang yang rugi”.

3. Pernikahan Beda Agama Menurut Agama-agama di Indonesia a. Pandangan Agama Budha

Menurut Siaga Agung Indonesia, perkawinan beda agama yang melibatkan penganut agama Budha dan penganut non budha diperbolehkan, asal pengesahannya dilakukan menurut tata cara agama budha meski calon mempelai yang bukan budha tidak diharuskan untuk masuk agama budha tidak diharuskan untuk masuk agama budha dulu tapi dalam ritualnya kedua mempelai wajib mengucapkan atas nama Sang Budha, Dharma, dan Sangka (monib dan kholis,2008;117).

b. Pandangan Agama Hindu

Agama Hindu secara tegar memberikan ketentuan syarat-syarat perkawinan dan menentukan larangan perkawinan orang hindu dengan pemeluk agama lain. Menurut agama Hindu, perkawinan hanya sah jika dilaksanakan upacara suci pernikahan oleh pedande,

pedande hanya mau melaksanakan upacara pernikahan kalau kedua calon pengantin beragama Hindu. Perkawinan orang hindu yang tidak memenuhi syarat dapat dibatalkan. Pedande tidak mungkin memberkati atau menyelenggarakan upacara perkawinan antara mereka yang berbeda agama. Asas perkawinan harus disahkan menurut agama, yaitu dengan cara melakukan wiwahasan skara atau wiwahahoma, dikedepankan di dalam sistem perkawinan Hindu yang menyatakan bahwa suatu perkawinan yang tidak disahkan menurut agama dengan melakukan upacara suci menyebabkan is jatuh hina, anaknya tidak diakui sah sebagai pewaris yang sederajat dengan orang tua atau dengan kata lain akibat dari perkawinan itu tidak diakui sah menurut hukum agama (Ichtiyanto, 2003: 135).

Apabila di antara calon pengantin dapat perbedaan agama, pendade tidak dapat memberkati kecuali pihak yang bukan hindu tersebut telah disudhukan sebagai pemeluk agama hindu dan menandatangani sudi vadani (surat pernyataan masuk agama hindu) (Ichtiyanto, 2003: 135).

Dalam Al-Kitab dijelaskan bahwa pernikahan adalah suatu “peraturan Allah” yaitu bersifat sacramental (suci), yakni ia diciptakan dalam rangka seluruh maksud karya penciptaannya atas alam semesta (Monib dan kholis, 2008: 110).

Perkawinan adalah persekutuan hidup meliputi keseluruhan hidup, yang menghendaki laki-laki dan perempuan menjadi satu. Satu dalam kisah tuhan, satu dalam mengasihi, satu dalam kepatuhan, satu dalam menghayati manusia, dan satu dalam memikul beban pernikahan (Ichtiyanto, 2003: 132).

Demi kesejahteraan perkawinan, gereja Kristen menganjurkan kepada ummatnya mencari pasangan hidup yang seagama dengan mereka. Tetapi karena menyadari bahwa ummatnya hidup bersama-sama dengan pemeluk agama lain, gereja tidak melarang ummatnya menikah dengan orang-orang yang bukan beragama Kristen. Perkawinan campuran antara pemeluk agama yang berbeda dapat dilangsungkan di gereja menurut hukum gereja Kristen apabila yang bukan Kristen bersedia membuat pernyataan bahwa dia tidak berkeberatan perkawinannya dilaksanakan di gereja (Ichtiyanto,2003: 133).

Akibat dalam gereja Kristen ada tiga macam perkawinan campuran yaitu : perkawinan campuran antara sesame agama Kristen yang lain gereja, perkawinan campuran antara orang Kristen dengan orang katolik, perkawinan campuran antara orang Kristen dengan penganut agama lain.

d. Pandangan Agama Kristen Katolik

Secara umum Gereja Katolik memandang bahwa pernikahan antara seorang penganut katolik dengan seorang non katolik bukanlah bentuk pernikahan yang ideal, sebab pernikahan dianggap sebuah sakraman (sesuatu yang kudus/suci).

Untuk menyelamatkan iman kristiani dan perkawinan, agama katolik menempuh sikap sebagai berikut:

1) Pada dasarnya perkawinan campuran antar agama adalah tidak menurut hukum dan tidak sah.

2) Perkawinan campuran antar orang katolik dan penganut agama lain adalah sah kalau mendapat dispensasi dari gereja (monib dan kholis,2008: 111).

Dispensasi atau pengecualian ini baru diberikan apabila ada harapan dapat terbinanya suatu keluarga yang baik dan utuh setelah pernikahan. Juga untuk

kepentingan pemeriksaan guna memastikan tidak adanya halangan untuk menikah. Yang paling penting soal pernikahan dalam katolik adalah bahwa setiap pernikahan, baik sesama katolik ataupun dengan non katolik, hanya dianggap sah apabila dilakukan dihadapan uskup, pastor paroki atau imam. Jadi jika ada pernikahan antara penganut agama lain dengan penganut katolik dan tidak dilakukan menurut agama katolik, maka pernikahan tersebut dianggap belum sah (Monib dan Kholis,2008: 115-116).

3. Problematika Orangtua Beda Agama dalam menanamkan pendidikan akhlak pada anak.

a. Cara Menanamkan Pendidikan akhlak Kepada Anak 1) Memberikan contoh akhlak yang baik

Pembelajaran terbaik untuk anak adalah melihat dan mencontoh. Orang yang paling pertama akan dicontoh oleh anak tentu ayah, ibu dan kakak-kakaknya. Jadi salah satu cara terbaik menanamkan akhlak mulia dalam diri anak dengan memberikan contoh teladan baik kepada mereka.

Anak perlu kita kenalkan tentang perilaku sejak dini, berbagai akhlak mulia bisa diajarkan dengan mengenalkan kepadanya, seperti adab makan minum, adab tidur, adab ketika bertemu dengan yang lebih tua dan lain sebagainya. Selanjutnya kita juga perlu menyampaikan pada anak tentang dampak kebaikan yang akan di dapatnya dengan akhlak mulia, baik itu dampak di dunia maupun di akhirat.

3) Kenalkan Tentang Perilaku Buruk kepada Anak Selain perilaku baik, anak juga perlu kita beri tahu tentang perilaku buruk. Akhlak buruk yang seharusnya jangan dicontoh dan jangan dilakukan oleh anak. Lengkap juga dengan mudharat yang akan didapatkan jika tetap melakukan keburukan baik di dunia maupun di akhirat.

4) Berikan Apresiasi Jika Anak melakukan Kebaikan Memberikan apresiasi berupa pujian kata, hadiah atau senyuman indah ternyata sangat jarang dilakukan oleh orangtua pada anaknya, karena biasanya orangtua melihat kesalahan anak langsung menghukumnya ketimbang memberi apresiasi, padahal apresiasi sangat dibutuhkan

anak untuk perkembangan mentalnya. Dengan apresiasi anak tau kalau dianggap , dia tau kalau melakukan kebaikan akan berdampak baik juga sehingga hal ini menjadi motivasi tersendiri untuk anak.

5) Sabar dan Konsistenlah dalam Menanamkan Akhlak pada Anak

Menanamkan akhlak dalam diri anak tidak bisa dilakukan dalam waktu sehari atau dua hari saja. Butuh proses untuk mendapatkan hasil terbaik, bahkan mungkin prosesnya akan sangat panjang sekali sampai akhir hayat nanti untuk itulah butuh kesabaran dan konsisten dari para orangtua dalam mendidik anaknya.

6) Tegur dan ingatkan anak secara baik-baik jika melakukan keburukan

Saat anak melakukan kesalahan tegur dan ingatkan dia dengan cara yang baik-baik. Hindari membentak, memaki, memukul bahkan mengancam anak saat dia melakukan kesalahan anak butuh orang yang mengingatkannya dengan penuh cinta dan kasih sayang.

Ketika berbicara menanamkan pendidikan akhlak pada anak tentunya tidak akan bisa terlepas dari peran keluarga dalam mendidik anak khususnuya peran seorang ibu yang merupakan pendidik/madrasah bagi seorang anak. Dalam hal ini untuk menanamkan ajaran islam tentunya seorang ibu harus mempunyai sifat yang nantinya bisa dicontoh oleh anak-anaknya sehingga akan lebih mempermudah untuk dikenalkan kepada anak.

Menurut Fithrani Gade (2012: 34) sifat yang sangat perlu dicontohkan oleh seorang ibu pada anak adalah:

1. Ibu sebagai suri tauladan yang bergerak dalam rumah tangga

Dalam hal ini berarti bahwa seorang ibu berperan sebagai madrasah dalam keluarga harus memiliki teladan yang dijadikan contoh oleh

Dokumen terkait