• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari empat bab, masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab pembahasan. Yaitu sebagai berikut:

Bab pertama merupakan bab pendahuluan, bab ini berisi: Latar belakang masalah, batasan masalah dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat, metode penelitian, dan kajian pustaka.

Bab kedua adalah landasan teori. Terdiri dari empat subbab bahasan yaitu: definisi perdamaian, sejarah perdamaian, pentingnya perdamaian, pesan perdamaian.

Bab ketiga tinjauan tentang Tafsīr al-Ibrīz dan al-Iklȋl sejarah penulisan, sistematika penulisan, tarīqoh dan manhaj serta pandangan ulama terhadap dua tafsir tersebut.

Bab keempat penafsiran Bisri Musthofa dan Misbah Musthofa tentang ayat-ayat perdamaian dalam al-Qur’an, di antaranya perdamaian dalam rumah tangga, perdamaian di antara umat manusia, perdamaian dalam lingkup kaum muslimin serta tujuan, hikmah dan anjuran perdamaian.

Bab kelima merupakan bab penutup. Pada bab ini memuat kesimpulan dari penelitian karya ilmiah ini dan saran-saran.

19 BAB II

KONSEPSI PERDAMAIAN DALAM AL-QUR’AN

A. Definisi Perdamaian

Secara umum perdamaian dipahami sebagai keadaan tanpa perang, kekerasan atau konflik seperti yang tercantum dalam pikiran manusia, mendefinisikan perdamaian secara lebih lengkap yang dijabarkan dalam dua pengertian, yaitu yang pertama perdamaian negatif dan perdamaian positif. Perdamaian negatif dijabarkan sebagai situasi absennya berbagai bentuk kekerasan lainnya. Definisi ini sederhana dan mudah dipahami, namun dalam realitas yang ada, masyarakat masih mengalami penderitaan akibat kekerasan yang tidak nampak dan ketidakadilan. Melihat kenyataan ini, maka terjadilah perluasan definisi perdamaian dan muncullah definisi perdamaian positif. Definisi perdamaian positif adalah tidak adanya kekerasan struktural atau terciptanya keadilan sosial sehingga terbentuklah suasana yang harmoni.1

Perdamaian secara makna kata yang sebenarnya tidaklah hanya mencakup semata-mata keamanan fisik yang terlihat dengan kasatmata atau tidak adanya perang dan pertikaian di antara manusia satu sama lain di bumi ini.2 Kendatipun demikian pengertian di atas mengandung arti yang sangat luas dan penting, juga merupakan inti dari perdamaian sesungguhnya, tetapi keadaan perdamaian yang dilukiskan demikian itu hanyalah suatu segi pasif dan terbatas dari arti sesungguhnya, apalagi kalau hendak membandingkannya dengan pengertian perdamaian yang lebih luas lagi. Perdamaian adalah penyesuaian dan pengarahan yang baik di mana pihak bersangkutan dapat menyelesaikan masalah atau

1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:

Balai Pustaka, 2008), 467.

2 Eric Hendra, Kajian Konflik dan Perdamaian (Jakarta: Gramedia, 2015), 23.

pertentangannya dengan cara damai dikarenakan ditemukannya jalan keluar yang sama-sama tidak merugikan sehingga dapat menciptakan suasana yang kondusif atau kekacauan dan kekerasan.3

Namun, dalam arti yang lebih luas Perdamaian adalah,

“penyesuaian dan pengarahan yang baik dari orang seorang terhadap Penciptanya pada satu pihak dan kepada sesamanya pada pihak yang lain.”

Hal ini berlaku bagi keseluruhan hubungan konsentris (bertitik pusat yang sama) antara seorang dengan orang lainnya, seseorang dengan masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, bangsa dengan bangsa dan pendek kata antara keseluruhan umat manusia satu sama lainnya, dan antara manusia dan alam semesta. Perdamaian yang juga mencakup segala bidang kehidupan fisik, intelektual, akhlak dan kerohanian. Perdamaian beginilah yang merupakan ruang perhatian yang utama dari agama.4

Galtung (dalam Windhu, 1992) mendefinisikan perdamaian secara lebih lengkap yang dijabarkan dalam dua pengertian, yaitu perdamaian negatif dan perdamaian positif. Perdamaian negatif (negative peace) dijabarkan sebagai situasi absennya berbagai bentuk kekerasan lainnya atau dalam kata lain definisi ini sama dengan definisi yang tercantum dalam KBBI (2008). Definisi ini sederhana dan mudah dipahami, namun dalam realitas yang ada, masyarakat masih mengalami penderitaan akibat kekerasan yang tidak nampak dan ketidakadilan. Melihat kenyataan ini, maka terjadilah perluasan definisi perdamaian dan muncullah definisi perdamaian positif (positive peace). Definisi perdamaian positif adalah

3 Johan Galtung, Globalizing God, Religion, Sprituality (Tt. Kolofon Pres, 2008), 16.

4 Irwan Suhanda, Damai Untuk Perdamaian (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. 2006), 45.

21

tidak adanya kekerasan struktural atau terciptanya keadilan sosial sehingga terbentuklah suasana yang harmoni (Galtung dalam Windhu, 1992).5

Gus Dur juga berpendapat tentang definisi konsep perdamaian kata Gus Dur, perdamaian bukanlah sesuatu yang pasif, tetapi aktif dan dinamis. Untuk itu, syarat utama perdamaian adalah keadilan. ia pernah berpesan soal perdamaian yang masih relevan dengan kondisi tersebut.

Salah satu pesannya berbunyi, “Yang sama jangan dibeda-bedakan, yang beda jangan disama-samakan.” Untuk dapat menghargai perbedaan, setiap individu harus melihat manusia lain sebagai sesama ciptaan Tuhan yang dalam terminologi agama disebut sebagai persaudaraan antar sesama manusia.6

Mahatma Gandhi salah satu tokoh perdamaian dunia pada saat itu di India memang sangat begitu berpengaruh pada dunia perdamaian.

Nilai-nilai ajarannya yang berpegang pada ajaran tradisional Hindu, yakni Satya (kebenaran) dan Ahimsa (nir kekerasan) menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh dunia setelahnya seperti Martin Luther King dan Nelson Mandela. Kehebatan Gandhi telah dicatat sejarah dengan berhasil, mengutip istilah M. Hart, memaksa Inggris angkat kaki dari negeri Hindustan itu. Gandhi tak menggunakan kekerasan dalam aktivismenya melawan penjajahan. Tapi karena itu juga, penjajah melunak dan pergi.

Kini pemikiran-pemikiran Gandhi telah menjadi mutiara dunia yang perlu dijaga. Salah satu penerusnya kini telah menjelajah dunia untuk mengabarkan nilai-nilai Gandhi. Adalah Rajmoan Gandhi, cucu Mahatma, yang kini semangat melakukan hal tersebut.7

5 Johan Galtung, Studi Perdamaian (Surabaya: Pustaka Eureke, 2003), 21.

6 Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur Analisis Wacana Kritis (Yogyakarta:

LKiS, 2010), 55.

7 Asnawi dan Safruddin, Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik Pembangunan dan Peradapan (Surabaya: Pustaka Eureka, 2003), 21.

Sejak lebih dari satu abad yang lalu agama telah mendapat tekanan-tekanan dari berbagai jurusan, dalam berbagai aspek kehidupan di berbagai tempat di seluruh dunia ini. Adapun mereka yang menaruh perhatian pada agama, kendatipun mereka dalam keadaan mayoritas dari umat manusia, namun mereka masih dapat merasakan dan menyadari akan hal ini. Bahwasanya tekanan-tekanan itu telah mengakibatkan agama akan mengarah menuju keterasingan dari penghayatan parapemeluknya.

Untuk mengembalikan fungsi agama sebagaimana mestinya, dan agar institusi agama dapat berperan maksimal dalam menyelesaikan persoalan kemanusiaan termasuk pembentuk nilai-nilai moral perilaku umatnya, tawaran Fazlur Rahman memiliki signifikan cukup besar untuk diangkat. Untuk mencapai tujuan itu, ia mengusulkan agar pesan agama dipahami sebagai satu kesatuan yang utuh bukan sebagai perintah atau ajaran yang terpisah-pisah. Keutuhan akan dicapai apabila aspek teologi (akidah, keimanan) diletakkan sejajar dalam pola hubungan interdependensi dengan aspek fikih (hukum atau aturan interaksi sosial) yang dirangkaikan secara sistematis oleh etika atau sistem moral. Dalam pola pemahaman itu, teologi diformulasikan sebagai suatu pandangan dunia yang dapat menjelaskan hubungan manusia dengan Tuhan atau dengan sesamanya sebagai makhluk Tuhan.8 Kecenderungan ini nampak jelas sekali pada sebagian besar generasi muda dalam berbagai ragam masyarakat, selanjutnya merebak luas dengan cepatnya pada berbagai kalangan lainnya di berbagai belahan dunia. Perdamaian yang menjadi arahan dan tujuan yang hendak diwujudkan Islam itu adalah merupakan dorongan hati nurani yang bertitik tolak dari dalam batin manusia. 9

8 Elga Sarapung, dkk, Sejarah, Teologi, dan Etika Agama-Agama, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2005), 278.

9 Irwan Suhanda, Damai Untuk Perdamaian, 51.

23

Tidak seorang pun akan dapat mempunyai hubungan damai dengan saudaranya, kalau ia sendiri tidak berada dalam keadaan damai dengan dirinya sendiri dan tak seorang pun berada dalam keadaan damai dengan dirinya sendiri, jika ia tidak mempunyai hubungan damai dengan Penciptanya. Masyarakat adalah perkalian dari orang-orang dan umat manusia adalah perkalian dari masyarakat dan kebudayaan-kebudayaan.

Jadi inti dan sari pati dari masalah perdamaian adalah bahwa orang seorang harus berada dalam keadaan damai dengan dirinya sendiri dan dengan umat manusia dan dengan sebagai akibat dari penempatan dirinya dalam hubungan damai dengan penciptanya.10

B. Sejarah dan Asal Mula Perdamaian

Damai memiliki banyak pengertian dari sejarahnya. Arti dari kedamaian berubah sesuai dengan hubungannya dengan suatu kalimat.

Damai dapat berarti sebagai sebuah keadaan yang tenang, seperti yang umum di beberapa tempat yang terpencil, mengizinkan untuk tidur ataupun meditasi. Damai dapat juga menggambarkan suatu keadaan emosi dalam diri. Pengertian dari damai setiap orang berbeda sesuai dengan budaya dan juga lingkungan. Berikut beberapa penjelasan arti perdamaian dari sejarahnya sehingga timbulnya sebuah perdamaian, antara lain:

1. Tidak Ada Perang

Suatu definisi yang sederhana dan sempit dari damai adalah tidak adanya perang. Damai dapat juga terjadi secara sukarela, di mana peserta perang memilih untuk tidak masuk dalam suatu keributan, atau dapat dipaksa dengan cara menekan siapa yang menyebabkan gangguan.

Misalnya seperti kenetralan kuat yang telah membuat Swedia menjadi

10 Eric Hendra. Kajian Konflik dan Perdamaian, 98

terkenal sebagai sebuah negara yang mempertahankan perdamaian sejak lama. Sejak invasi pada tahun 1814 M. Norwegia, Kerajaan Swedia tidak melakukan suatu kekerasan gaya militer.

2. Tidak Ada Kekerasan

Membatasi konsep suatu perdamaian hanya kepada tidak adanya perang secara internasional hanya menutupi terorisme dan juga kekerasan lainnya yang terjadi dalam negara. Oleh karena itu, beberapa orang juga mendefinisikan damai sebagai tidak adanya kekerasan.

Banyak juga yang percaya bahwa perdamaian tidak hanya memiliki pengertian ketiadaan dari kejadian sosial yang sangat tragis, tetapi juga kehadiran suatu keadilan di tengah masyarakat.

3. Tidak Semena-Mena

Damai sering kali diartikan sebagai sikap persahabatan dan sportivitas. Tetapi tidak jarang bahwa damai berpijak di tempat yang salah demi untuk menggapai beberapa kepentingan tertentu. Berbicara soal damai dan juga perdamaian sepertinya tidak akan ada habisnya, tetapi yang jelas manusia tidak boleh melupakan aspek masyarakat, kepentingan umum dalam tataran norma-norma yang telah disepakati, sebagai titik acuan dari perdamaian. Itulah beberapa arti sebuah perdamaian yang sebenarnya. Setiap manusia pasti menginginkan hidup secara damai tanpa suatu tindakan yang dapat menyakiti satu sama lain.

Oleh karena itu, beberapa pengertian perdamaian yang telah disebutkan di atas dapat dilakukan.11

11 Hadi Suryono, Merawat Perdamaian: Metode Sistem Peringatan Dini Konflik (Yogyakarta: Semesta Ilmu, 2012), 28.

25

Dari sini penulis melihat sejarah sebuah perdamaian itu muncul di mana saja ketika ada permasalahan dari aspek apapun ketika dua belah pihak punya kesepakatan untuk berdamai melalui negosiasi antara dua belah pihak untuk kemaslahatan bersama dari masalah yang dimiliki.

Perdamaian itu juga bisa muncul bisa diakibatkan dengan adanya kekerasan, kekerasan itu sendiri tang dimaksud adalah sebuah aksi atau tindakan yang bertujuan untuk merusak, mencederai, melukai, memusnahkan properti bahkan manusia, dan kekerasan sendiri terbagi menjadi dua yaitu kekerasan secara langsung dan kekerasan struktural.12

Yang dimaksud dengan kekerasan secara langsung tidak sekedar melakukan kekerasan secara nyata, tapi lebih dari itu. Yakni merupakan aksi yang bertujuan untuk menciptakan hierarki dan hegemoni. Kedua adalah kekerasan struktural (structural violence), yakni kekerasan yang diawali dari adanya perbedaan kelas dan posisi yang menghegemoni dan hegemoni sehingga memungkinkan terjadinya tindakan alienasi-diskriminasi-eksploitasi-represi yang bertujuan untuk menjaga hierarki yang sudah ada oleh kelompok yang berkuasa, maupun bertujuan untuk menghancurkannya oleh kelompok yang tertindas. Kekerasan struktural biasanya dilakukan oleh kelompok mayoritas atau yang memegang kekuasaan sehingga di dalam penerapan kehidupan berbangsa dan bernegara selalu memihak pada kelompok berkuasa/mayoritas dan mendiskriminasi kelompok yang tertindas/minoritas.13

Contohnya seperti ketidakbebasan untuk berkeyakinan, tidak ada kesempatan untuk menerima pendidikan yang adil, hak sosial dan politik yang tidak setara maupun pengekangan untuk mendapat kehidupan yang layak. Bentuk perdamaian akibat dari kekerasan struktural bisa berbentuk

12 C. B. Mulyanto, Filsafat Perdamaian: Menjadi Bijak Bersama Eric Weil (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 109.

13 Eric Hendra, Kajian Konflik dan Perdamaian, 73.

rasisme, sek-isme maupun bentuk chauvinism yang lain, yang kemudian kekerasan secara struktural ini bisa memicu tindakan perlawanan dari kelompok yang ditindas dan memicu konflik. Berbagai macam bentuk konflik dan kekerasan kemudian menjadi stimulan untuk menerapkan metode-metode baru konsep perdamaian agar bisa menjawab tantangan yang ada. Salah satu konsep dasar dan konvensional yang ditawarkan adalah konsep negative peace, negative peace lebih menekankan pada aspek meniadakan perang saja.

Juga bentuk konflik kekerasan yang luas terhadap kehidupan manusia, terutama kekerasan yang sudah lintas batas negara seperti perang antar negara maupun perang sipil yang besar di dalam satu negara, maupun mengeliminasi segala bentuk kekerasan langsung.14 Pada prakteknya pendekatan negatif menghendaki tidak terjadinya konflik dengan kekuatan militer dan efek penggetarnya atau istilahnya damai karena kuat dan adagium terkenal lainnya adalah jika ingin damai siapkan perang, pada umumnya pendekatan negatif (memaksa) dan reaktif.

Kemudian, bentuk lain dari metode perdamaian selain pendekatan negatif dan pendekatan positif, karakter epistemologi dari pendekatan positif adalah pendekatan multidisiplin dan memiliki nilai-nilai moral.

Serta visi dari pendekatan positif lebih luas dari sekedar tidak adanya peperangan/konflik kekerasan. Pendekatan positif ini ingin menunjukkan kehadiran secara simulasi keinginan membangun sudut pandang di masyarakat seperti keselarasan, keadilan dan kesetaraan, dan pada prinsipnya pendekatan positif bertujuan untuk mengeliminasi berbagai hambatan terhadap potensi yang dimiliki manusia, terutama permasalahan ekonomi dan struktur sosial politik.15

14 Johan Galtung, Globalizing God, Religion, Sprituality, 23.

15 Johan Galtung, Globalizing God, Religion, Sprituality, 25.

27

Pendekatan positif berbeda dari pendekatan negatif yang melakukan pendekatan kekuatan dan memaksa, pendekatan positif lebih meletakkan pendekatan nilai dan moral, serta menekankan aspek pencegahan sehingga dalam proses penerapannya pendekatan positif lebih menawarkan bantuan dan penyelesaian konflik struktural yang terjadi baik pada masa lampau dan sekarang dengan harapan agar ke depannya tidak terjadi konflik kekerasan. Bisa disimpulkan bahwa pendekatan positif tidak hanya berfokus pada ketidakhadiran peperangan tapi juga fokus pada kehadiran perdamaian, cinta dan nilai-nilai moral sosial di masyarakat, serta menekankan pada aspek pemenuhan kebutuhan manusia. Pendekatan holistik yang ditawarkan oleh pendekatan positif secara langsung mengharuskan pembangunan perdamaian melalui jalur ekonomi, sosial dan lingkungan. Tujuan akhir dari pendekatan positif adalah meminimalisir kekerasan baik secara langsung maupun yang struktural.16

Selain dua pendekatan perdamaian di atas, muncul alternatif pendekatan ketiga, yaitu pendekatan yang berusaha mengelaborasi dan mengunifikasi pendekatan negatif dan positif yang diistilahkan oleh ilmuwan barat yang bernama Charles Webel dengan sebutan Strong Peace (Charles Webel, 2007). Strong peace lebih menekankan pentingnya pendekatan perdamaian, yang tidak saja pada level lokal tapi juga internasional. Adanya kecenderungan para aktor perdamaian positive peace mendapatkan tekanan yang luar biasa sehingga menciptakan ketakutan, keraguan dan tidak aman pada diri mereka sendiri, sehingga suatu waktu bisa menghentikan program perdamaian. Maka diperlukan sebuah elaborasi antara pendekatan perdamaian yang struktural/mikro dengan nilai-nilai kemanusiaan untuk mendapatkan jaminan keamanan

16 Johan Galtung, Globalizing God, Religion, Sprituality, 30

dan perlindungan hukum pada skala nasional dan internasional (makro), serta adanya keinginan para pengambil kebijakan pada level negara untuk berkomitmen pada perdamaian sehingga bisa tercipta proses perdamaian yang lebih komprehensif dan kuat.17

C. Pentingnya Perdamaian

Indonesia merupakan negara yang majemuk dengan beragam suku, agama, etnis, dan keyakinan. Perbedaan tersebut terkadang dapat menimbulkan suatu masalah yang tidak jarang menyebabkan konflik sosial. Terkadang, masalah tersebut dapat menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman akar rumput yang harus tertanam dalam diri masyarakat agar terciptanya perdamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.18

Sebagai negara yang memiliki cita-cita luhur untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi, tentunya Indonesia telah berkomitmen untuk menjadi prakarsa dalam hal mewujudkan perdamaian dunia. Hal ini terlihat dari banyaknya peran serta kontribusi Indonesia untuk mengatasi masalah konflik di berbagai negara. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam negeri sendiri masih sering terjadi pertikaian antar suku di berbagai daerah, contohnya di Papua, Indonesia tetap menunjukkan eksistensinya sebagai salah satu pelopor perdamaian dunia.19

17 Mirza Masroor Ahmad, Krisis Dunia dan Jalan Menuju Perdamaian Dunia (Jakarta: Mizan, 2010), 48.

18 M. Ridwan Lubis, Agama dan Perdamaian: Landasan, dan Realitas Kehidupan Beragama di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017), 112.

19 Surahman Hidayat, Islam, Pluralisme, dan Perdamaian (Jakarta: Robbani Press, 2008), 135.

29

Saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa perdamaian memiliki peran penting dalam kehidupan bermasyarakat. Di Indonesia sendiri, perdamaian dimaknai oleh sebagian orang dengan menganggap setiap warga negara berhak menyuarakan aspirasi yang bebas dari unsur paksaan dan tekanan.

Selain itu, perdamaian juga dimaknai dengan adanya harmonisasi antara masyarakat dan pemerintah. “Arti perdamaian adalah semua manusia damai hatinya, damai pemerintahnya, tenteram, dan tidak ada peperangan”.20

Pada hakikatnya, perdamaian harus mampu diciptakan oleh seluruh masyarakat Indonesia karena perdamaian merupakan sesuatu yang didambakan masyarakat. Meskipun manusia berbeda-beda kepercayaan, semua pada hakikatnya mendambakan perdamaian. Meskipun perbedaan merupakan hal yang sangat mencolok. Akan tetapi, hal tersebut menjadi sebuah komitmen bersama untuk menyadari betapa besar andil masyarakat dalam menciptakan suatu kerukunan. Manusia memang memiliki perbedaan di hampir semua sektor kehidupan, tapi sebesar apapun perbedaan itu, kita sesungguhnya disatukan, dirangkai, dan dirajut dengan tujuan kita bersama. Bagaimana bisa mewujudkan perdamaian di tengah-tengah keberagaman itu sendiri. Selain itu, perlu disadari bahwa perdamaian bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja. Hal yang sangat mustahil untuk dicapai apabila seluruh masyarakat Indonesia ini pasif dalam menyerukan perdamaian. Tidak cukup bagi semua kalangan untuk bersikap pasif. Apabila seluruh elemen masyarakat Indonesia dapat bersinergi dalam menjaga stabilitas sosial, bukan tidak mungkin Indonesia menjadi tolak ukur negara yang mempunyai keragaman.21

20 Ridwan Lubis, Agama dan Perdamaian, 115.

21 Surahman Hidayat, Islam, Pluralisme, dan Perdamaian, 139.

D. Pesan Perdamaian

Islam adalah agama perdamaian. Pesan-pesan persaudaraan atas nama cinta dan kemanusiaan begitu jelas terekam dalam kitab suci al-Qur’an. Persaudaraan meniscayakan adanya kepedulian, tolong-menolong (al-Ta’āwun), dan perdamaian. Karena itu, Islam sangat menganjurkan agar umatnya mempererat tali al-ukhuwwah (saudara) sekaligus juga menebarkan kebaikan kepada umat lain dengan penuh kasih sayang. Membangun persaudaraan merupakan suatu kewajiban.

Persaudaraan dengan siapa pun saja. Karena dengan begitu, kita bisa saling menasihati, tentunya dalam hal kebajikan. Hadis nabi yang menyatakan bahwa tidak sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai orang lain sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, adalah ajaran yang mensyaratkan adanya persaudaraan. Sebab, tidak mungkin mencintai orang lain jika dalam hati tak ada spirit persaudaraan. Dan persaudaraan dibangun salah satunya melalui cinta dan kasih sayang. Nilai-nilai inilah yang harus diteguhkan di tengah realitas perpecahan umat yang sampai saat ini masih terjadi.22

Kebanyakan di antara manusia lebih suka hidup bercerai-berai daripada rukun dan damai. Antar satu sama lain saling menaruh curiga, iri dengki, mencela, menghasut, dan sebagainya. Bagaimana mungkin mereka saling menyayangi dan mencintai jika spirit persaudaraan yang ada telah luntur. Bagaimana antar satu sama lain dapat membangun perdamaian jika iri dengki sudah tertanam kuat pada diri masing-masing manusia. Bagaimana mungkin mereka dapat hidup dengan penuh

22 Amak Baldjun, Islam dan Perdamaian Dunia (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), 127.

31

kebahagiaan jika yang dilakukan ialah saling memfitnah dan menebar kebencian.23

Dalam konteks inilah ajaran-ajaran hidup Rasulullah, khususnya yang berkaitan dengan upaya membangun tali persaudaraan, penting diteladani bahwa Rasulullah memberikan pelajaran kepada manusia bagaimana persaudaraan itu dibangun tanpa melihat perbedaan suku, ras, golongan bahkan perbedaan agama sekalipun. Bagi Rasulullah, semua manusia itu bersaudara. Karena bersaudara, maka wajib mencintai dan menolongnya. Penghargaan Rasulullah kepada orang-orang Nasrani, misalnya, membuktikan bahwa beliau adalah sosok yang betul-betul menginginkan persaudaraan dan perdamaian. Rasulullah sangat mencintai mereka sebagaimana beliau juga mencintai dirinya dan pengikutnya sendiri. Walaupun berbeda keyakinan, Rasulullah tidak membeda-bedakan dan bahkan tidak memprioritaskan di antara mereka untuk disantuni. Hati beliau betul-betul lapang menerima segala perbedaan.24

Manusia seharusnya banyak mengambil pelajaran dari apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Sebab, jika kita hidup di dunia ini masih selalu mempersoalkan perbedaan-perbedaan, maka rahmat Tuhan tidak akan tercurahkan. Bukankah perbedaan itu adalah rahmat, dan Tuhan sendiri menginginkan para hamba-Nya hidup dalam kerukunan dan perdamaian. Hati manusia memang harus selalu dilatih untuk arif dalam menerima segala bentuk perbedaan. Sebab konflik sosial atau bahkan perang yang terjadi di mana-mana sering kali dilatarbelakangi oleh kecenderungan masing-masing manusia yang tidak memahami hakikat perbedaan. Sehingga siapa pun yang berbeda dengan diri atau

23 Abdurrahman Azzam, Konsepsi Perdamaian Islam (Jakarta: Karya Unipres, 1985), 9.

24 Amak Baldjun, Islam dan Perdamaian Dunia, 129.

kelompoknya maka harus disingkirkan dan tidak dianggap sebagai saudara.25

Rasulullah saw. adalah seorang pemimpin besar yang menjadi rujukan umat manusia. Bahan, dalam buku 100 Tokoh Paling Berpengaruh

Rasulullah saw. adalah seorang pemimpin besar yang menjadi rujukan umat manusia. Bahan, dalam buku 100 Tokoh Paling Berpengaruh

Dokumen terkait