• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penulisan ini dibuat dalam 5 (lima) bab gunanya mempermudah dalam penyusunan skripsi ini, maka perlu ditentukan sistematika penulisan yang baik.Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan Latar Belakang. Rumusan Masalah. Tujuan dan Manfaat Penelitian. Keaslian Kepustakaan. Tinjauan Kepustakaan.

Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.

BAB II KETENTUAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA

PENCUCIAN UANG, TINDAK PIDANA PERBANKAN DAN

TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT DALAM

PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA.

Bab ini berisikan pengaturan tindak pidana pencucian uang dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemeberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang terdiri atas latar belakang pembentukan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemeberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Tindak pidana pencucian uang dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemeberantasan

52Lexy J. Moleong, Metodologi Penulisan Kualitatf, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 248

Tindak Pidana Pencucian Uang, yang terdiri dari tindak pidana pencucian uang. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan pencucian uang. Penyidikan Tindak Pidana Perbankan dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan.

Pengaturan Tindak Pidana Pemalsuan Surat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia

BAB III KETERKAITAN HUKUM DAN SANKSI PIDANA ANTARA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN TINDAK

PIDANA PERBANKAN SERTA TINDAK PIDANA

PEMALSUAN SURAT

Bab ini menguraikan tentang Tindak Pidana Perbankan dan Pemalsuan Surat sebagai Predicate Crime dalam Tindak Pidana Pencucian Uang dan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana Perbankan dan Pemalsuan Surat.Tahap-tahap tindak pidana pencucian uang, penyidikan dan penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK

PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN PREDICATE CRIME TINDAK PIDANA PERBANKAN DAN PEMALSUAN SURAT (STUDI PUTUSAN NOMOR 43 /PID.SUS/2016/JKT-PST)

Bab ini membahas kasus yang terdiri dari kronologi, dakwaan, fakta hukum, tuntutan, pertimbangan hakim dan putusan. Analisis putusan No. 43/Pid.Sus/2016/PN-Mdn.

BAB V PENUTUP

Berisikan tentang kesimpulan dari serangkaian pembahasan skripsi berdasarkan analisis yag telah dilakukan serta saran-saran untuk disampaikan kepada objek penelitian atau bagi penelitian selanjutnya

BAB II

KETENTUAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA PENCUCIANUANG, TINDAK PIDANA PERBANKAN

DAN TINDAK PIDANAPEMALSUAN SURAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM

POSITIF DI INDONESIA

A. Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemeberantasan Tindak Pidana Pencucian

1. Latar Belakang Pembentukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemeberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Sampai tahun 2014 Indonesia sendiri sudah melakukan tiga kali perubahan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Terakhir adalah UU No. 8 tahun 2010.

Undang-Undang inilah yang berlaku sampai saat ini. Bila dilacak sejarahnya, semangat pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia dimulai pada 1988 ketika United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau lebih dikenal UN Drugs Convention ditandatangani 106 negara. Indonesia menjadi salah satu negara anggota yang meratifikasinya melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika. Kemudian pada 1998 dibentuk Basle Committee on Banking Regulations dan Supervisory Practices yang terdiri dari perwakilan-perwakilan Bank Sentral dan badan-badan pengawas negara-negara industri.53

Lewat peraturan ini bank harus mengambil langkah-langkah yang masuk akal untuk menetapkan identitas nasabahnya yang dikenal dengan Know Your-Customer Rule. Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia

53 Supriyadi, dkk, Mengurai Implementasi dan Tantangan Anti-Pencucian Uang di Indonesia, (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2015), hlm 10

Nomor: 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003.54

Istilah money laundering sebenarnya belum lama digunakan dimana untuk pertama kalinya dipakai oleh surat kabar dalam memberitakan skandal Watergate yang melibatkan Presiden Nixon di Amerika Serikat pada tahun 1973. Istilah hukum untuk pertama kalinya tahun 1982 dipakai dalam perkara US vs

$4,255,625.39. (1982) 551 F Supp 314. Sejak tahun itulah menurut Billy Steel istilah ini dipakai secara resmi di seluruh dunia. Sebagai istilah hukum, yang dipersoalkan dalam money loundering yaitu legalitas dari sumber uang, pendapatan atau kekayaan yang berasal dari aktivitas/kegiatan illegal. Money loundering dapat dinyatakan sebagai suatu cara atau proses untuk mengubah uang yang sebenarnya dihasilkan dari kegiatan illegal menjadi seolah-olah berasal dari hasil kegiatan yang halal.55

Setelah dilakukannya review yang dilakukan oleh negara-negara yang tergabung dalam Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), pada bulan Juni tahun 2001 untuk pertama kalinya Indonesia termasuk dalam Non-Coorperative Countries and Territories (NCCTs). Predikat sebagai NCCTs ini diberikan kepada negara atau teritori yang dianggap tidak mau bekerjasama dalam melakukan upaya global untuk memerangi kejahatan pencucian uang.

Predikat tersebut menempel pada Indonesia sampai dengan 2005.56

54 Ibid

55 Mas Ahmad Yani. E-Journal Widya Yustisia. Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering) (Tinjauan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang). Volume 1 Nomor 1 Mei-Agustus 2013, hlm 21

56 Widiyanto, Mengurai Implementasi dan Tantangan Anti-Pencucian Uang di Indonesia, (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2015), hlm 15

Beberapa tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 1997 Indonesia telah meratifikasi United Nation Convention Against Illucit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1998. Konsekuensi ratifikasi tersebut, Indonesia harus segera membuat aturan untuk pelaksanaanya. Kenyataannya meskipun sudah ada UU No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, namun penerapannya kurang, sehingga akhirnya masuk daftar hitam negara yang tidak kooperatif. Bahkan Indonesia dicurigai sebagai surga bagi pencucian uang. Antara lain karena menganut sistem devisa bebas, rahasia bank yang ketat, korupsi yang merajalela, maraknya kejahatan narkotik, dan tambahan lagi pada saat itu perekonomian Indonesia dalam keadaan yang tidak baik, sehingga ada kecenderungan akan menerima dana dari mana pun untuk keperluan pemulihan ekonomi.57

Keberadaan Indonesia berada pada daftar NCCT’s dari Financial Actions Task Force on Money Laundering. Bahwa setiap transaksi dengan perorangan maupun badan hukum yang berasal dari negara NCCT‟s harus dilakukan dengan penelitian seksama. Berbagai upaya selama beberapa tahun, antara Iain dengan mengesahkan UU No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan atas UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, mendirikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), mengeluarkan ketentuan pelaksanaan dan mengadakan kerja sama internasional, akhirnya membuahkan hasil. Februari 2006 Indonesia dikeluarkan dari daftar NCCT‟s setelah dilakukan formal monitoring selama satu tahun.58

57 Nurmalawaty. Jurnal Equality. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) dan Upaya Pencegahannya, Vol.11 No.1 Februari 2006, Medan, USU, 2006, hlm. 2

58Ibid

Langkah awal yang dilakukannya Indonesia dimulai sejak April 2002 dengan disahkannya UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dengan pokok-pokok pemikiran:

a. Secara tegas Tindak Pidana Pencucian Uang dinyatakan sebagai suatu tindak pidana/ kejahatan;

b. Mendirikan PPATK sebagai focal point d dengan tugas pokok mengkoordinasikan langkah-langkah pemberantasan kejahatan pencucian uang;

c. Kewajiban penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan dan transaksi keuangan tunai dengan batasan-batasan Rp. 500.000.000,- dari Penyedia Jasa Keuangan (PJK) kepasda PPATK dalam jangka waktu 14 hari;

d. Pengecualian pelaksanaan kerahasiaan bank dalam rangka penerapan UU TPPU.59

Pemerintah Indonesia mengamandemen UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang menjadi UU No. 25 Tahun 2003. Alasan perubahan Undang-Undang tersebut, karena untuk menyesuaikan perkembangan hukum pidana khususnya tindak pidana pencucian uang, yang sebagaimana dikutip oleh Harmadi mengatakan, bahwa dalam UU No. 25 Tahun 2003 ini disebutkan mengapa UU No. 15 tahun 2002 perlu disesuaikan dengan perkembangan hukum pidana pencucian uang dan standar internasional, yaitu agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia dapat berjalan secara efektif.60

59Widiyanto, Op..Cit., hlm 17

60 Harmadi, Kejahatan Pencucian Uang, Modus-modus pencucian uang di Indonesia (Money Laundring), (Malang: Setara Press, Malang, 2011), hlm.1

Berdasarkan adanya penanganan tindak pidana pencucian uang di Indonesia yang dimulai sejak disahkannya UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, telah menunjukkan arah yang positif. Namun demikian, upaya yang dilakukan tersebut dirasakan belum optimal, antara lain karena peraturan perundang-undangan yang ada ternyata masih memberikan ruang timbulnya penafsiran yang berbedabeda, adanya celah hukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana Undang-Undang ini.61

Berdasarkan hal tersebut, maka disusun UU No. 8 tahun 2010 sebagai pengganti UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Materi muatan yang terdapat dalam UU No. 8 Tahun 2010, antara lain: (1) redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang, (2) penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang, (3) pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administrative, (4) pengukuhan penerapan prinsip mengenali pengguna jasa (5) perluasan pihak pelapor, (6) penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa lainnya, (7) penataan mengenai pengawasan kepatuhan, (8) pemberian kewenangan kepada pihak pelapor untuk menunda transaksi, (9) perluasan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap pembawaan

61 Mas Ahmad Yani, Op.Cit, hlm 20

uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean, (10) pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak pidana Pencucian Uang, (11) perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan PPATK, (12) penataan kembali kelembagaan PPATK, (13) penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara Transaksi, (14) penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana pencucian uang; dan (15) pengaturan mengenai penyitaan Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana.62

Tindak pidana pencucian uang merupakan hasil tindak pidana yang berupa harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dan beberapa tindak pidana lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa tindak pidana pencucian uang memiliki hubungan yang sangat erat dengan tindak pidana yang lainnya termasuk di dalamnya korupsi sebagai tindak pidana asal (predicate crime). Semua harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil kejahatan yang disembunyikan atau disamarkan merupakan pidana pencucian uang. Tindak pidana pencucian uang tidak berdiri sendiri, karena harta kekayaan yang ditempatkan, ditransfer, atau dialihkan dengan cara integrasi itu diperoleh dari tindak pidana, berarti sudah ada tindak pidana lain yang mendahuluinya (predicate crime).63

2. Tindak pidana pencucian uang dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemeberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

a. Latar belakang pencucian uang di Indonesia

Asal muasal money laundry dilakukan oleh organisasi kriminal yang sering dikenal dengan sebutan mafia. Money laundry biasanya dilakukan atas

62Ibid, hlm 20-21

63 Adrian Sutedi, Op.Cit, hlm 182

beberapa alasan, seperti karena dana yang dimiliki adalah hasil curian/korupsi, hasil kejahatan (semisal pada sindikat kriminal), penjualan ganja, pelacuran, penggelapan pajak, dan sebagainya. Atas hal tersebut maka uang tersebut harus

“dicuci” atau ditransaksikan ke pihak ketiga, lewat badan hukum, atau melalui negara dunia ketiga. Sehingga uang tersebut dapat diterima kembali oleh pemilik asal uang tersebut seolah-olah berasal dari hasil usaha yang legal.64

Hasil kejahatan pada tahun 1980-an uang semakin berkembang seiring dengan berkembangnya bisnis haram, seperti perdagangan narkotik dan obat bius yang mencapai miliaran rupiah, karenanya kemudian muncul istilah “narco dollar” yang berasal dari uang haram hasil perdagangan narkotik.65 Indonesia lebih mengenal mengenai “pencucian uang” sejak dimasukkannya Indonesia untuk pertama kali dalam NCCTs pada tahun 2001 oleh FATF, bersama 14 negara lainnya, yang pada akhirnya mendorong otoritas moneter dan hukum di Indonesia untuk segera bereaksi positif.66

Upaya pemberantasan pencucian uang (money laudering) di Indonesia berawal dari bulan Juni 2001. Indonesia pada bulan Juni 2001 untuk pertama kalinya dimasukkan ke dalam NCCTs. Predikat sebagai NCCTs diberikan kepada suatu negara atau teritori yang dianggap tidak mau bekerja sama dalam upaya global memerangi kejahatan money laundering. “Vonis” FATF kepada Indonesia itu didasarkan atas beberapa pertimbangan yaitu belum adanya peraturan perundang- undangan yang menyatakan pencucian uang sebagai tindak pidana, loopholes dalam pengaturan lembaga keuangan terutama lembaga keuangan

non-64Azharziva, Loc.Cit.

65 Adrian Sutedi, Op.Cit, hlm 1

66 Edi Waluyo, Jurnal Dinamika Hukum, Upaya Memerangi Tindakan Pencucian Uang (Money Laundring) Di Indonesia, Vol. 9 No. 3 September 2009, hlm 240

bank, terbatasnya sumber daya yang dimiliki, serta minimnya kerjasama internasional dalam upaya memerangi kejahatan pencucian uang.67

Kriminalisasi Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia dibuktikan dengan dikeluarkannya UU No. 15 tahun 2002, namun pada dasarnya tidak terlepas dari desakan dan ancaman sanksi yang dijatuhkan oleh masyarakat internasional. Sebagaimana disebutkan diatas Indonesia dinyatakan sebagai salah satu negara yang dikategorikan sebagai NCTTs Adapun ancaman sanksi yang diberikan oleh FATF diantaranya adalah Bank-bank internasional akan memutuskan hubungan dengan bank-bank Indonesia, Negara-negara lain akan menolak Letter of Credit (L/C) yang dikeluarkan oleh Indonesia dan lembaga-lembaga keuangan Indonesia akan dikenakan biaya tinggi (risk premium) terhadap setiap transaksi yang dilakukan dengan lembagalembaga keuangan luar negeri.68

Indonesia dalam keikutsertaannya pada kegiatan internasional ini dianggap tidak serius makanya masuk daftar hitam tersebut. UU No. 15 Tahun 2002 yang diterbitkan dimaksudkan untuk mengikuti keinginan negara internasional dianggap banyak kelemahannya. Setiap tahun FATF mengevaluasinya tidak saja kepada anggotanya berdasarkan kepatuhannya terhadap kebijakan yang digariskan untuk memerangi kegiatan pencucian uang, tetapi juga kepada negara berkembang (termasuk Indonesia) yang bukan negara anggota yang telah memperoleh label NCCT dari TATF.69

67 Yunushusein.files.wordpress.com, Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Di Indonesia, diakses tanggal 2 April 2020

68 Hibnu Nugroho, Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Upaya Penarikan Asset, Vol. 16 No. 1, Maret 2016, hlm 4

69 Soewarsono, Jurnal Legaslasi Indonesia, Peran Kejaksaan Dalam Melawan Praktek Pencucian UangVol. 1 No. 3 - November 2004, hlm 58

Rezim anti pencucian uang di Indonesia dimulai sejak diterbitkannya UU No. 15 tahun 2002 yang telah digantikan dengan UU No. 8 Tahun 2010 yang mencakup seluruh upaya anti pencucian uang. Di dalam Undang-Undang tersebut telah diatur tentang perbuatan pencucian uang maupun pemidanaan terhadap pelaku pencucian uang.

b. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Bagi Indonesia dengan pola pembiayaan pembangunan yang tergantung pada dana (investasi) luar negeri (hutang luar negeri), menyebabkan pemerintah harus mengkondisikan agar dana investasi asing dapat dengan mudah masuk ke Indonesia. Mengacu pada "perubahan semangat" pemerintah yang begitu cepat (1993 s/d 2000) dan kondisi kemampuan penegakan hukum di Indonesia, maka tidaklah keliru apabila politik hukum yang sedang dijalani sekarang, dinilai lebih banyak segi "emosionalnya" daripada segi "rasionalnya". Bukan berarti bahwa tidak melihat bahaya "money laundering", tetapi yang disangsikan adalah keseriusan menghadapi masalah ini. Alasannya adalah kurang dipikirkannya berbagai kendala yang ada atau akan ada, seolah-olah dengan pengesahan undang-undang sudah dianggap cukup bukti adanya "reformasi hukum" di Indonesia.70

Langkah awal dan pemerintah memberantas kegiatan pencucian uang sudah ada, salah satunya menyusun UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, kemudian dalam waktu 1 tahun direvisi, dengan UU No.25 tahun 2003 tentang Perubahan UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana

70 Dian Adriawan, Jurnal Hukum Prioris. Pengaturan Kejahatan Money Laundering (Pencucian Uang) Di Beberapa Negara, Volume 1, Nomor 1, September 2006, hlm 48

Pencucian Uang, dan berdasarkan undang-undang tersebut dibentuk suatu lembaga independen yang dikenal dengan PPATK.71

Meskipun Pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan aturan mengenai kejahatan pencucian uang, namun hal ini dirasa belum dapat mengakomodasi FATF 40+8 recommendation and international best practice. Pada tahun 2002, FATF menyampaikan kepada Indonesiaterkait dengan hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Indonesia untuk membangun rezim anti-pencucian uang yang efektif dan memenuhi international best practice, yakni:

1) Belum adanya kerangka pengaturan yang komprehensif dalam kaitannya dengan standar anti-pencucian uang untuk lembaga keuangan non-bank, seperti asuransi dan stockbrokers.

2) Belum adanya ketentuan tentang fit and proper test untuk lembaga keuangan non-bank.

3) Belum adanya ketentuan tentang know your customer untuk lembaga keuangan non-bank.

4) Perlunya memperluas pengertian transaksi keuangan yang mencurigakan dalam UU No 15 tahun 2002, sehingga termasuk kewajiban melaporkan transaksi yang diduga menggunakan dana hasil dari kejahatan.

5) Belum adanya ketentuan larangan pemberian informasi (“anti tipping off”) dalam UU No 15 tahun 2002.

6) Perlunya mempersingkat jangka waktu pelaporan transaksi keuangan mencurigakan dari PJK kepada PPATK, karena 14 hari terlalu lama.

71Ibid

7) Perlunya meniadakan batasan (threshold) hasil kejahatan (proceed of crime) yang dalam UU No 15 tahun 2002 ditetapkan sebesar Rp. 500.000.000,-.

8) Adanya potensi untuk tidak dapat membekukan dan menyita hasil kejahatan yang besarnya dibawah batasan Rp. 500.000.000,-.

9) Belum adanya ketentuan yang mengatur bantuan hukum timbal balik (mutual legal assistance.

10) Belum beroperasinya PPATK sebagai Financial Intelligence Unit (FIU).72 Latar belakang dibentuknya UU No. 15 Tahun 2002, dikarenakan timbulnya berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun oleh korporasi, baik dalam batas wilayah suatu negara hukum maupun yang dilakukan, melintasi batas wilayah negara lain makin meningkat. Kejahatan tersebut antara lain, berupa tindak pidana korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, tenaga kerja, dan imigran, perbankan, perdagangan gelap narkotrika dan psikotropika, perdagangan budak, wanita dan anak, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan dan berbagai kejahatan kerah putih.73

Di Indonesia Penanganan tindak pidana pencucian uang dimulai sejak disahkannya UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas UU No. 15 Tahun 2002, telah menunjukkan arah yang positif.

Adapun pokok-pokok yang diatur dalam UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, antara lain:

1) Pengaturan cara perbuatan pencucian uang.

72 WIdiyanto, Op.Cit, hlm 73

73 Adrian Sutedi, Op.Cit, hlm 4

2) Kegiatan pencucian uang dan tindak pidana yang merupakan sumber pencucian uang yaitu tindak pidana korupsi; penyuapan; penyelundupan barang; penyelundupan tenaga kerja; penyelundupan imigran; perbankan;

nakotika; psikotropika; perdagangan budak, wanita dan anak; perdagangan senjata gelap; penculikan; terorisme; pencurian; penggelapan; penipuan

3) Pelaku tindak pidana pencucian uang dapat dikenakan sanksi pidana paling sedikit 5 (lima ) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun penjara dan denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000. 000.000,00 (lima belas milyar rupiah).

4) Lembaga Keuangan wajib melaporkan transaksi keuangan yang mencurigakan dan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara, baik dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam satu hari kerja.

5) Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (KPTPPU).

6) Kewajiban nasabah deposan (perorangan maupun koperasi) untuk menyampaikan identitas secara lengkap dan benar termasuk untuk nasabah bank, reksa dana dan perusahaan efek.

7) Perlindungan hukum bagi pelapor dan saksi.74

Bagi Indonesia, UU No.15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU No.25 tahun 2003, menjadi landasan yang kokoh bagi pembangunan rezim anti pencucian uang. Berdasarkan

undang-74 Edi Waluyo, Op.Cit, hlm 242-243

undang itu pula, PPATK dibentuk. Kewenangan, melaksanakan kebijakan pencegahan dan pemberantasan pencucian uang, sekaligus membangun rezim anti pencucian uang di Indonesia. Fungsinya antara lain membantu upaya menjaga stabilitas sistem keuangan dan menurunkan terjadinya tindak pidana asal (predicate crimes).75

c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Perubahan UU No 15 tahun 2002 menjadi UU No. 25 tahun 2003, dan kemudian diganti dengan UU No. 8 Tahun 2010, dilakukan dengan alasan-alasan sebagai berikut:

(1) Kriminalisasi perbuatan pencucian uang yang mul interpretasi, banyaknya unsur yang harus dipenuhi atau dibuktikan sehingga menyulitkan dalam hal pembukan;

(2) Kurang sistemas dan dak jelasnya klasifikasi perbuatan yang dapat dijatuhi sanksi serta bentuk-bentuk sanksinya;

(3) Masih terbatasnya pihak pelapor (reporng pares) yang harus menyampaikan laporan kepada PPATK termasuk jenis laporannya;

(4) Tidak adanya landasan hukum mengenai perlunya penerapan prinsip mengenali pengguna jasa (customer due diligence) oleh pihak pelapor yang ada hanya know your customer (KYC);

(5) Terbatasnya instrumen formal untuk melakukan deteksi dan penafsiran serta penyitaan aset hasil kejahatan dan terbatasnya kewenangan PPATK;

75 Dian Adriawan, Op.Cit, hlm 61

(6) Hukum acara pemeriksaan perkara Tindak Pidana Pencucian Uang dengan metode pembukan terbalik belum memadai sehingga menghambat efekvitas pemeriksaan di sidang pengadilan;

(7) Masih terbatasnya wewenang penyidik ndak pidana asal untuk melanjutkan penyidikan atas ada dugaan ndak pidana pencucian uang;

(8) Belum ada kewajiban laporan lembaga penyedia jasa keuangan dan barang yang diiku dengan sanksi, dan belum ada perlindungan hukum yang memadai bagi pelapor dan lembaga dimaksud; dan

(9) Berdasarkan ruang Asia Pasific Group on Money Laundering bulan Juli 2008 di Bali, pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia menempa 'level of compliance' yang rendah baik dalam memenuhi 40 butir rekomendasi dan 9 butir rekomendasi dalam Suspicious Transacon Report (STR).76

Materi muatan dalam UU No. 8 Tahun 2010, antara lain:

1) Redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang;

2) Penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang;

3) Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administratif;

3) Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administratif;

Dokumen terkait