BAB I PENDAHULUAN
G. Sistematika Penulisan
Pembahasan dan penyajian suatu penelitian harus terdapat keteraturan agar terciptanya karya ilmiah yang baik. Maka dari itu, penulis membagi skripsi ini dalam beberapa bab yang saling berkaitan satu sama lain, karena isi dari skripsi ini berkesinambungan antara bab yang satu dengan bab yang lainnya. Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I merupakan bab pendahuluan yang memuat tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan, yang semuanya berkaitan dengan penyalahgunaan posisi dominan.
BAB II merupakan bab yang membahas tentang sejarah dan pengertian hukum persaingan usaha di Indonesia, substansi dari UU No. 5/1999 serta Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
BAB III merupakan bab yang membahas tentang penguasaan pasar yang kerap terjadi jika ada penyalahgunaan posisi dominan yang dilakukan oleh pelaku usaha atau suatu kelompok pelaku usaha. Serta akan dibahas mengenai bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dilakukan oleh PT. Angkasa Pura Logistik di Terminal Kargo Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar.
BAB IV merupakan bab yang membahas tentang analisis hukum mengenai putusan KPPU serta menilik lebih lanjut apakah dalam penyalahgunaan posisi dominan yang dilakukan oleh pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha dapat menimbulkan potensi monopoli.
BAB V merupakan bab terakhir yang menjabarkan ringkasan dari keseluruhan substansi skripsi ini juga mengenai saran-saran yang penulis berikan untuk masalah yang dibahas oleh penulis dalam skripsi ini.
BAB II
HUKUM PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA
A. Latar Belakang Persaingan Usaha di Indonesia
Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan persaingan usaha, adapun istilah-istilah yang digunakan dalam bidang hukum ini selain istilah hukum persaingan usaha (competition law), yakni hukum antimonopoli (antimonopoly law), dan hukum antitrust (antitrust law).33 Sebetulnya sudah sejak lama masyarakat Indonesia, khususnya para pelaku bisnis, merindukan sebuah undang-undang yang secara komprehensif mengatur persaingan sehat.
Keinginan itu didorong oleh munculnya praktek perdagangan yang tidak sehat terutama karena penguasa sering memberikan perlindungan ataupun privileges34 kepada para pelaku bisnis tertentu, sebagai bagian dari praktek-praktek kolusi, korupsi, kroni, dan nepotisme.35
Bersaing dalam kehidupan sehari-hari dan dalam bisnis memiliki asumsi dan analogi berbeda. Fenomena bersaing ini muncul secara alamiah diantara pelaku bisnis di dunia usaha. Persaingan memang timbul secara natural demi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesarnya dari konsumen.
Namun yang menjadi persoalan ialah apakah para pelaku usaha itu bersaing secara sehat atau tidak.
33Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hlm. 1.
34Privileges adalah hak imunitas atau manfaat yang hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Bisa juga bermakna keuntungan yang hanya satu orang atau sekelompok orang memiliki, yang biasanya karena posisi mereka atau karena mereka kaya, diakses dari http://www.pengertianmenurutparaahli.com/pengertian-privilege, pada 21 November 2018 pukul 14:40 Wib.
35Rachmadi Usman, Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia , Op.Cit., hlm. 1.
1. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Ketentuan larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 33 pada tanggal 5 Maret 1999 oleh Presiden B.J. Habibie diawal era reformasi dan berlaku secara efektif 1 (satu) tahun sejak memerintahkan pembentukan peraturan pemerintah dan memberikan tugas kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menyusun pedoman dari pasal-pasal terkait.36 Pengesahannya tidak terlepas dari pelaksanaan amanat Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara dan Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi.37
Diakui atau tidak, masalah persaingan usaha di Indonesia pada masa order baru belumlah mendapat perhatian yang serius dari pemerintahan, walaupun banyak tuntutan agar Indonesia memiliki undang-undang antimonopoli. Tuntutan ini muncul pertama kali di tahun 1990 sebagai perdebatan tindakan kebijakan antimonopoli di Indonesia, tetapi tuntutan
36Ningrum Natasya Sirait, Dkk, Ikhtisar Ketentuan Persaingan Usaha (Jakarta: Nasional Legal Reform Program, 2010), hlm. 1.
37Rachmadi Usman, Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia, Op.Cit., hlm. 7.
itu tampaknya sulit diwujudkan karena tidak didukung oleh political will dari pemerintah. 38
Akibatnya tidaklah mengherankan jika iklim persaingan usaha yang ada pada masa orde baru itu bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi di bidang ekonomi. Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang memperhatikan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 serta cenderung menunjukkan corak yang sangat monopolistik. 39
Di sisi lain, perkembangan usaha swasta dalam kenyataannya sebagian besar merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat. Lebih dari itu, masyarakat pada umumnya juga menyadari pentingnya keberadaan Undang-Undang Antimonopoli untuk mengatur perilaku usaha yang mengandung tindakan kolusi, nepotisme, dan kebijakan pemerintah yang tidak transpraran.40
Sementara itu, latar belakang langsung dari penyusunan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini adalah perjanjian yang dilakukan antara Dana Moneter Internasional (IMF) dengan pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 15 Januari 1998. Dalam perjanjian tersebut, IMF menyetujui pemberian bantuan keuangan kepada NKRI sebesar US$ 43 miliar yang bertujuan untuk mengatasi krisis ekonomi. Tetapi syaratnya, Indonesia harus melaksanakan reformasi ekonomi dan hukum ekonomi tertentu.41
38Hermansyah, Op.Cit., hlm. 10.
39Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia,Op.Cit., hlm. 3.
40Hermansyah, Op.Cit., hlm. 11.
41Rachmadi Usman, Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia, Op.Cit., hlm. 10.
Dengan memperhatikan kondisi di awal tahun-tahun reformasi di Indonesia memunculkan rasa memprihatinkan rakyat terhadap fakta bahwa perusahaan-perusahaan besar yang disebut konglomerat menikmati pangsa pasar terbesar dalam perekonomian nasional. Melalui berbagai cara mereka berusaha mempengaruhi kebijakan ekonomi pemerintah, sehingga mereka dapat mengatur pasokan barang dan jasa serta menetapkan harga-harga secara sepihak yang tentu saja menguntungkan mereka. Oleh karena itu perlu disusun Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat.42
2. Tujuan Lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Pada hakikatnya, keberadaan hukum persaingan usaha adalah mengupayakan secara optimal terciptanya persaingan usaha yang sehat dan efektif pada suatu pasar tertentu, yang mendorong agar pelaku usaha melakukan efisiensi agar mampu bersaing dengan para pesaingnya.43 Iklim dan kesempatan berusaha yang ingin diwujudkan tersebut selengkapnya tercantum dalam ketentuan Pasal 3 UU No. 5/1999.44
42Ibid., hlm. 11.
43Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hlm. 4.
44Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, berbunyi: “Tujuan pembentukan undang-undang ini adalah untuk: (a) menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; (b) mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil; (c) mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan (d) terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.”
Jelaslah bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh UU No. 5/1999 yang tercantum dalam Pasal 3 di atas adalah efisiensi, baik berupa efisiensi ekonomi nasional (allocative efficiency)45 maupun efisiensi kegiatan usaha (productive efficiency).46 Sedangkan apabila tujuan UU No. 5/1999 itu disederhanakan, maka dapat disederhanakan menjadi 3 tujuan yaitu:
pertama, adalah memberi kesempatan yang sama bagi setiap warga negara atau pelaku usaha untuk menjalankan kegiatan usaha, kedua adalah menciptakan iklim usaha yang sehat, kondusif, dan kompetitif, dan ketiga adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat (kepentingan umum).47
Di samping mengikat para pelaku usaha, UU No. 5/1999 mengikat pemerintah untuk tidak mengeluarkan peraturan yang bersifat memberikan kemudahan dan fasilitas istimewa kepada para pelaku usaha tertentu yang bersifat monopolistik. Oleh karena itu, kehadiran UU No. 5/1999
45Allocative efficiency is a state of the economy in which production represents consumer preferences; in particular, every good or service is produced up to the point where the last unit provides a marginal benefit to consumers equal to the marginal cost of producing. In the single-price model, at the point of allocative efficiency, single-price is equal to marginal cost. At this point the social surplus is maximized with no deadweight loss, or the value society puts on that level of output produced minus the value of resources used to achieve that level, yet can be applied to other things such as level of pollution. Allocative efficiency is the main tool of welfare analysis to measure the impact of markets and public policy upon society and subgroups being made better or worse off, diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Allocative_efficiency, pada 21 November 2018 pada pukul 15:46 Wib.
46Productive efficiency is a situation in which the economy could not produce any more of one good without sacrificing production of another good. In other words, productive efficiency occurs when a good or a service is produced at the lowest possible cost. The concept is illustrated on a production possibility frontier (PPF), where all points on the curve are points of productive efficiency. An equilibrium may be productively efficient without being allocatively efficient, it may result in a distribution of goods where social welfare is not maximized. It is one type of economic efficiency.Productive efficiency requires that all firms operate using best-practice technological and managerial processes. By improving these processes, an economy or business can extend its production possibility frontier outward, so that efficient production yields more output than previously, diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Productive_efficiency, pada tanggal 21 November 2018 pada pukul 16:05 Wib.
47Hermansyah, Op.Cit., hlm. 15.
diharapkan mampu mengikat pemerintah untuk lebih objektif dan profesional dalam mengatur dunia usaha di Indonesia.
3. Pengertian Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat UU No. 5/1999 secara garis besar mengatur dua hal, yakni larangan praktek monopoli dan persaingan tidak sehat. Keduanya merupakan hal yang berbeda. Pengertian Monopoli terkandung dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 5/199948 sedangkan pengertian praktek monopoli sendiri tertuang dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 5/1999. Menurut pasal tersebut monopoli tidak hanya diartikan mencakup struktur pasar dengan hanya ada satu pemasok atau pembeli di pasar bersangkutan, sebab struktur pasar demikian jarang sekali terjadi.
Dengan demikian, kata “monopoli” berarti kondisi penguasaan atas produksi dan pemasaran oleh satu kelompok pelaku usaha tertentu.
Sedangkan praktek monopoli menekankan pada pemusatan kekuasaan sehingga terjadi kondisi pasar yang monopoli.49 Karenanya, praktek monopoli tidak harus langsung bertujuan menciptakan monopoli, tetapi istilah ini pada umumnya menggambarkan suatu usaha mencapai atau memperkuat posisi dominan di pasar.50
48Pasal 1 angka 1 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, berbunyi: “Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.”
49Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha Teori dan Praktiknya di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 16.
50Knud Hansen, Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices And Unfair Business Competition (Jakarta: Katalis, 2002), hlm. 18, sebagaimana dikutip dari Andi Fahmi Lubis, Dkk, Op.Cit., hlm. 121.
Monopoli dapat terjadi dengan dua cara, pertama, monopoli alamiah yang terjadi akibat kemampuan seseorang atau sekelompok pelaku usaha yang mempunyai satu kelebihan tertentu sehingga membuat pelaku usaha lain kalah bersaing. Kedua, monopoli berdasarkan hukum yaitu monopoli yang berasal dari pemberian negara seperti yang termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945 yang selanjutnya dilindungi olehUU dan peraturan di bawahnya. Misalnya pada perusahaan listrik negara, Pertamina, Pelni dan sebagainya.51
Persaingan usaha tidak sehatdalam UU No. 5/1999 memberikan beberapa indikator untuk menyatakan terjadinya persaingan usaha tidak sehat, yaitu pertama, persaingan usaha yang dilakukan secara tidak jujur, misalnya dalam persaingan tender, para pelaku usaha telah melakukan konspirasi usaha dengan panitia lelang untuk dapat memenangkan sebuah tender. Kedua, persaingan usaha yang dilakukan dengan cara melawan hukum, misalnya pelaku usaha yang bebas pajak atau bea cukai. Ketiga, persaingan usaha yang dilakukan dengan cara menghambat terjadinya persaingan di antara pelaku usaha, misalnya, perjanjian yang dilakukan pelaku usaha menjadikan pasar bersaing secara tidak kompetitif. 52
Persaingan dalam usaha dapat berimplikasi positif, sebaliknya dapat menjadi negatif jika dijalankan dengan perilaku negatif dan sistem ekonomi yang menyebabkan tidak kompetitif. Persaingan dalam dunia usaha adalah cara yang efektif untuk mencapai pendayagunaan sumber daya secara optimal. Bahkan lebih dari itu persaingan dapat menjadi
51Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit., hlm. 17.
52Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit., hlm. 18.
landasan fundamental bagi kinerja di atas rata-rata untuk jangka panjang dan dinamakannya keunggulan bersaing yang lestari yang dapat diperoleh melalui tiga strategi generik yaitu keunggulan biaya, diferensiasi, dan fokus biaya.53
B. Perjanjian yang Dilarang, Kegiatan yang Dilarang dan Posisi Dominan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tetang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Pada dasarnya persaingan dalam dunia usaha merupakan syarat mutlak (condition sine qua non) bagi terselenggaranya suatu perekonomian yang berorientasi pasar (market economy).54 Peranan hukum dalam persaingan usaha adalah agar terselenggaranya suatu persaingan yang sehat dan adil (fair competition), sekaligus mencegah munculnya persaingan yang tidak sehat (unfair competition), karena persaingan yang tidak sehat hanya akan bermuara pada matinya persaingan usaha yang pada gilirannya akan melahirkan monopoli.
Dalam dunia usaha sekarang ini, sesungguhnya banyak ditemukan perjanjian dan kegiatan usaha yang mengandung unsur-unsur yang kurang adil terhadap pihak yang ekonomi atau sosialnya lebih lemah dengan dalih pemeliharaan persaingan usaha yang sehat. Namun demikian, tidak dapat
53Johny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha: Filosofi, Teori, dan Implikasi Penerapannya di Indonesia, (Malang: Bayu Media, 2006), hlm. 102-103.
54Market economy atau dalam Bahasa Indonesia disebut ekonomi pasar adalah sebuah sistem ekonomi di mana keputusan terkait investasi, produksi, dan distribusi dilandaskan pada hubungan antara permintaan dan penawaran, yang menentukan harga-harga barang dan jasa.
Ciri utama ekonomi pasar adalah pengambilan keputusan investasi atau alokasi barang produsen lewat pasar modal dan keuangan.Sistem ini berlawanan dengan ekonomi terencana, di mana keputusan investasi dan produksi dijewantahkan dalam sebuah rencana produksi yang ditetapkan oleh suatu negaraatau badan lainnya yang mengendalikan faktor produksi, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_Pasar, pada tanggal 22 November 2018 pukul 19:01 Wib,
dipungkiri bahwa di balik praktek bisnis itu adanya berbagai macam persaingan, misalnya: ada persaingan yang sehat dan adil (fair competition), ada persaingan yang tidak sehat (unfair competition), bahkan ada persaingan yang destruktif (destrucitive competition) seperti predatory pricing.55
Untuk mencegah timbulnya persaingan usaha tidak sehat, telah ditentukan secara jelas dan terstruktur mengenai perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, dan posisi dominan. Disadari oleh pembentuk undang-undang bahwa sebagian besar transaksi bisnis memang didasarkan pada perjanjian antara pelaku usaha.56 UU No. 5/1999 melarang beberapa perjanjian (Pasal 4 sampai dengan Pasal 16), beberapa kegiatan (Pasal 17 sampai dengan Pasal 24) dan penyalahgunaan posisi dominan (Pasal 25 sampai dengan Pasal 29). Namun sesuai dengan penulisan skripsi Penulis, maka hanya ketentuan mengenai posisi dominan dan monopoli saja yang dibahas secara rinci.
1. Perjanjian yang Dilarang
Di dalam Bab III Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 mengatur mengenai perjanjian tertentu yang dilarang oleh UU No. 5/1999 yaitu perjanjian tertentu yang dianggap dapat menimbulkan monopoli dan/atau persaingan tidak sehat. Definisi perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang
55Predatory pricing adalah salah satu bentuk strategi yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga yang sangat rendah, yang tujuan utamanya untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar dan juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama. Segera setelah berhasil mengusir pelaku usaha pesaing dan menunda masuknya pelaku usaha pendatang baru, selanjutnya dia dapat menaikkan harga kembali dan memaksimalkan keuntungan yang mungkin didapatkan, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Predatory_pricing, pada tanggal 21 November 2018 pukul 16:30 Wib.
56Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2009), hlm. 24.
Hukum Perdata (KUHP),57 dan dalam dunia persaingan diatur dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 5/1999.58
Sementara Black‟s Law Dictionary59 mendefinisikan perjanjian sebagai berikut:
“An agreement between two or more persons which creates an obligation to do or not to do a particular thing.”
Menurut UU No. 5/1999, subjek hukum di dalam perjanjian adalah
“pelaku usaha” yang diatur dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 5/1999.60 Ada perjanjian yang baik tertulis maupun lisan tidak terdapat suatu perjanjian yang tegas di dalamnya. Inilah yang biasa terjadi, yakni saling memahami dengan melihat pasar sehingga dalam perjanjian hukum persaingan usaha ada yang disebut dengan “express agreement” (perjanjian yang tegas dan nyata) dan “tacit agreement” (perjanjian secara diam-diam).Contoh express agreement jika terdapat dan pengakuan telah terjadi kesepakatan antar pelaku usaha, baik secara tertulis maupun tidak. Adapun tacit agreement jika perilaku seorang atau sekelompok pelaku usaha membuat pelaku usaha lain “ikut” dengan caranya, sehingga seolah-olah telah terjadi
57Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP), berbunyi: “Perjanjian adalah suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
58Pasal 1 angka 7 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, berbunyi: “Perjanjian adalah suatu perbuatan atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.”
59Henry Campbell Black, Op.Cit., hlm. 394, diakses melalui file PDF yang di download pada tanggal 21 November 2018.
60Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, berbunyi: “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badam hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.”
perjanjian.Untuk menghindari terjadinya monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, pada UU No. 5/1999 ini para pelaku usaha dilarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu, yaitu perjanjian yang dapat melahirkan monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian-perjanjian yang dilarang itu antara lain:
a. Oligopoli
Biasanya oligopoli terjadi secara diam-diam(tacit collusion),61 misalnya dalam price fixing,62 para pelaku usaha saling bergantung satu sama lain dan mengikuti pelaku usaha yang menjadi price leader-nya.63 Disini, UU No. 5/1999membuat anggapan hukum bahwa telah terjadi penguasaan yang melahirkan monopoli jika para produsen atau penjual, karena perjanjian itu, kemudian menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
61Tacit collusion occurs where firms undergo actions that are likely to minimize a response from another firm, e.g. avoiding the opportunity to price cut an opposition. Put another way, two firms agree to play a certain strategy without explicitly saying so. Oligopolists usually try not to engage in price cutting, excessive advertising or other forms of competition. Thus, there may be unwritten rules of collusive behavior such as price leadership (tacit collusion). A price leader will then emerge and it sets the general industry price, with other firms following suit. For example, see the case of British Salt Limited and New Cheshire Salt Works Limited, diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Tacit_collusion, pada tanggal 22 November 2018 pada pukul 21:36 Wib.
62Price fixing is an agreement between participants on the same side in a market to buy or sell a product, service, or commodity only at a fixed price, or maintain the market conditions such that the price is maintained at a given level by controlling supply and demand.The intent of price fixing may be to push the price of a product as high as possible, generally leading to profits for all sellers but may also have the goal to fix, peg, discount, or stabilize prices. The defining characteristic of price fixing is any agreement regarding price, whether expressed or
62Price fixing is an agreement between participants on the same side in a market to buy or sell a product, service, or commodity only at a fixed price, or maintain the market conditions such that the price is maintained at a given level by controlling supply and demand.The intent of price fixing may be to push the price of a product as high as possible, generally leading to profits for all sellers but may also have the goal to fix, peg, discount, or stabilize prices. The defining characteristic of price fixing is any agreement regarding price, whether expressed or