• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I P ENDAHULUAN

G. Sistematika Penulisan Skripsi

Untuk memudahkan pembahasan dan pemahaman dalam memahami dan membaca skripsi ini, maka disusunlah sistem penulisan skripsi secara garis besarnya, yaitu sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian E. Metode Penelitian F. Penegasan istilah

15

BAB II: M. QURAISH SHIHAB DAN TAFSIR AL-MISBAH A. Sejarah hidup M. Quraish Shihab

B. Karya-karya M. Quraish Shihab C. Corak pemikiran M. Quraish Shihab

1. Bidang teologi 2. Bidang syari‟at Islam 3. Bidang tasawuf 4. Bidang tafsir

BAB III: KAJIAN PUSTAKA A. Pendidikan

B. Konsep tentang humanisme 1. Latar belakang humanisme 2. Pengertian Humanisme

3. Dasar dan Tujuan Humanisme C. Pendidkan Humanis

BAB IV : ANALISIS TAFSIR SURAT AL-HUJURAT AYAT 13

A. Tafsir surat Al-Hujurat ayat 13 dalam tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab

B. Nilai pendidikan humanisme dalam surat Al-Hujurat ayat 13 dalam tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab

C. Relevansi Surat al-Hujurat Ayat 13 dalam Tafsir al-Mibah Karya M. Quraish Shihab terhadap dunia Pendidikan saat ini.

16 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran C. Penutup Daftar pustaka Lampiran

17 BAB II KAJIAN TEORI

A. Pendidikan

Pendidikan adalah tindakan yang dilakukan secara sadar dengan tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah secara potensi (sumber daya insani) menuju terbentuknya manusia seutuhnya (Ahmadi, 2005: 28). Dewey mendefinisikan pendidikan sebagai berikut: “education is thus as fostering, a

nurturing, a cultivating, process”. (Pendidikan adalah memelihara, menjaga,

memperbaiki melalui sebuah proses). Menurut Mc. Donald dalam Education Psychology, pendidikan diartikan sebagai “process or activity, which is directed at producing desirable changes in the behavior of human being (Pendidikan adalah proses atau aktifitas yang berlangsung untuk menghasilkan perubahan yang diperlukan pada tingkah laku manusia).

Dalam kehidupan sosial kemanusiaan, pendidikan bukan hanya satu upaya yang melahirkan proses pembelajaran yang bermaksud manusia menjadi sosok potensial secara intelektual (intelected oriented) melalui proses tranfer of knowledge yang kental. Tetapi proses tersebut juga bermuara pada upaya pembentukan masyarakat bermasyarakat yang berwatak, beretika dan berestetika melalui transfer of values yang terkandung di dalamnya. Muatan upaya yang dibawa dalam proses pendewasaan manusia (pendidikan) seperti yang dimaksud di atas, merupakan proses yang terpadu dan komprehensif (Usa &Widjan, 1999: 9).

18

Melalui pendidikan ini, warisan budaya ilmu pengetahuan dan nilai atau norma suatu kelompok sosial tertentu bisa dipertahankan dan keberlangsungan hidup mereka bisa dijamin, singkatnya pendidikan memberikan arti bagi keberadaan suatu kebudayaan dan membantunya mempertahankan pandangan dunia (worldview) yang dimilikinya.

Berdasarkan di atas, proses pendidikan memiliki potensi yang kuat dalam mengakselerasikan kebebasan, maka pendidikan harus mampu merangsang manusia (peserta didik) untuk berfikir mandiri dalam rangka menciptakan gagasan otentik, orisinil, sehingga tidak gampang terpengaruhi oleh berbagai tekanan dari pihak manapun. Proses pendidikan yang dipaksakan tergantung kepada keputusan pihak lain berarti telah menempatkan manusia pada posisi yang terserabut dari akar kemanusiaannya dan tidak mengembangkan kesadaran kritisnya.

Menurut Ali Ashraf, model pendidikan dengan model pendidikan dengan tekanan pada transfer ilmu dan keahlian daripada pembangunan moralitas akan memunculkan sikap individualis dan enggan menerima hal-hal non observasional dan sikap menjauhi nilai-nilai ilahiyah yang bernuansa kemanusiaan. Akibat model pendidikan ini akan menghasilkan manusia mekanis yang mengabaikan penghargaan kemanusiaan. Kenyataan ini akan menyebabkan kearifan, kecerdasan, spiritual, dan kesadaran manusia terhadap lingkungan sosial dan alamnya menjadi gagal. Untuk itu pendidikan harus mampu mengantarkan manusia menuju kesempurnaan dan kelengkapan nilai

19

kemanusiaan dalam arti yang sesungguhnya sebagai suatusi sistem pemanusiaan manusia yang unik, mandiri, dan kreatif

Dalam hal ini Mas‟ud (2002: 134) memaparkan, tujuan akhir pendidikan adalah proses pembentukan diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya. Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan terutama peserta didik untuk mengembangkan diri dari potensi yang dimilikinya secara maksimal (Bahridjamarah, 2005: 155). Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha seseorang yang sistematis, terarah, yang bertujuan untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan dasar menuju perubahan tingkah laku dan kedewasaan anak didik, baik diselenggarakan secara formal maupun non formal.

Dari uraian di atas bahwasannya watak manusia itu berkembang. Yang membedakan adalah konsep fitrah itu sendiri. Fitrah adalah pembawaan manusia yang tetap. Semua orang yang dilahirkan dengan pembawaan asal berupa fitrah tersebut, seumur hidupnya manusia memilikinya tidak ada perubahan dalam fitrah Allah yang dikaruniakan kepada hambanya.

Oleh karena itu usaha-usaha pendidikan (tarbiyah) bagi manusia menjadi suatu kebutuhan pokok guna menunjang pelaksanaan amanat yang dilimpahkan Allah kepadanya. Ini merupakan kebutuhan manusia terhadap pendidikan yang bersifat individual. Kalau diamati keadaan bayi pada saat dilahirkan, dapat disaksikan bahwa mereka dalam keadaan yang sangat lemah,

20

tidak berdaya. Hampir semua hidupnya tergantung pada orang tuanya. Mereka sangat memerlukan pertolongan dan bantuan orang tuanya dalam segala hal.

Demikian pula, jika dia tidak diberi bimbingan atau pengetahuan, baik jasmaniah maupun ruhaniah berupa pendidikan intelek, susila, sosial agama, dan sebagainya. Maka anak tersebut tidak akan dapat berbuat sesuatu secara maksimal. Dari sini jelaslah bahwa manusia dalam rangka melaksanakan tugas kehidupannya sangat membutuhkan apa yang disebut pendidikan, dengan demikian pendidikan menjadi kebutuhan pokok bagi manusia. Jadi manusia memerlukan pendidikan.

B. Konsep Humanisme

1. Latar Belakang Humanisme

Humanis adalah orang yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik berdasarkan asas-asas kemanusiaan, pengabdi kepentingan sesama umat manusia (1), penganut paham yang menganggap manusia sebagai obyek terpenting (2), penganut paham humanisme (3) (KBBI, 1994: 361). Arti istilah “humanisme” lebih mudah dipahami kalau ditinjau dari sisi historis dan sisi aliran-aliran di dalam filsafat. Dari sisi pertama, humanisme berarti suatu gerakan intelektual dan kesusastraan yang pertama kali muncul di Italia pada paruh kedua abad ke-14 Masehi. Pada gerakan ini bisa dikatakan sebagai motor penggerak kebudayaan modern.

Humanisme sebagai suatu gerakan intelektual dan kesusastraan, pada prinsipnya merupakan aspek dasar dari gerakan renaisans abad ke-14

21

sampai ke-16 M. Gerakan yang berawal di Italia ini kemudian menyebar ke segenap penjuru Eropa, dimaksudkan untuk membangunkan umat manusia dari tidur panjang abad pertengahan, yaitu dikuasai oleh dogma-dogma agamis gerejani. Abad pertengahan adalah abad dimana otonomi kreativitas, kemerdekaan berpikir manusia dibelenggu oleh kekuasaan gereja. Abad ini sering disebut “abad kegelapan” karena cahaya akal budi manusia tertutup kabut dogma-dogma gereja. Kuasa manusia dipatahkan oleh pandangan gereja yang menganggap bahwa hidup manusia telah digariskan oleh kekuatan-kekuatan Ilahi, dan akal budi manusia tidak akan pernah sampai pada misteri dari kekuatan-kekuatan itu. Pikiran-pikiran manusia yang menyimpang dari dogma-dogma tersebut adalah pikiran-pikiran sesat dan karenanya harus dicegah dan dikendalikan.

Dalam zaman seperti itulah, gerakan humanisme muncul. Gerakan kaum humanis ini bertujuan untuk melepaskan diri dari belenggu dari kekuasaan gereja dan membebaskan akal budi dari kungkungannya yang mengikat, melalui pendidikan liberal, mereka mengajarkan bahwa manusia pada prinsipnya adalah makhluk bebas dan berkuasa penuh atas eksistensinya sendiri dan masa depannya. Istilah “humanisme” sendiri berasal dari kata Latin “humanitas” (pendidikan manusia) dan dalam bahasa Yunani disebut paideia, yaitu pendidikan yang didukung oleh manusia-manusia yang hendak menempatkan seni liberal sebagai materi atau sarana utamanya. Karena alasan seni liberal inilah yang menjadi sarana terpenting dalam dunia pendidikan pada waktu itu (retorika,

22

sejarah, etika dan politik) adalah kenyataan bahwa hanya dengan seni liberal, manusia akan tergugah untuk menjadi manusia, menjadi makhluk bebas yang tidak terkungkung oleh kekuatan-kekuatan dari luar dirinya (Abidin, 2006: 41).

Seperti apa yang diungkapkan oleh Paulo Friere (1991: 26), seorang pakar pendidikan dari Brazil, telah berhasil melihat fenomena pendidikan dalam karyanya yang terkenal “Pendidikan Kaum Tertindas”. Menurut Friere bahwasannya pendidikan yang dimulai dengan kepentingan egoistis kaum penindas dan menjadikan kaum tertindas sebagai objek humanitarianisme, mereka justru memprahaturkan dan menjelmakan penindas itu sendiri.

Friere (1991: 50) mengatakan dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas, para murid menjadi celengan dan guru menjadi penabungnya. Dan yang terjadi bukanlah proses komunikasi, akan tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan mengisi tabungan yang diterima dan dituangkan dengan patuh oleh para muridnya. Aktivitas pendidikan hanya sekedar sebuah mekanisme otomatik dan lebih bersifat formalistik belaka. Pada pola pendidikan semacam ini nilai kreativitas dan progresivitas individu menjadi sangat terpasung.

Dalam konsep pendidikan gaya bank demikian, pengetahuan adalah sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya lebih berpengetahuan, kepada mereka yang diangap tidak memiliki pengetahuan. “Education is transfer a certain knowledge from teachers

23

totheir students” dalam kata lain bahwasannya pendidikan hanyalah memindahkan ilmu dari otak (yang satu) ke otak yang lain. Untuk itu dengan adanya konsep humanisme, kebebasan berfikir merupakan tema terpenting dari pendidikan humanis. Akan tetapi kebebasan yang dimaksudkan bukan kebebasan yang absolut, atau kebebasan sebagaian antitesis dari deferminisme abad pertengahan. Kebebasan yang mereka perjuangkan adalah kebebasan yang berkarakter manusiawi, kebebasan manusia dalam batas-batas alam, sejarah dan masyarakat.

Dengan demikian, bahwa humanisme yang telah dijelaskan di atas merupakan salah satu paham di dalam aliran-aliran filsafat yang hendak menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia serta menjadikan manusia sebagai ukuran dari segenap penilaian, kejadian dan gejala di atas muka bumi ini. Dengan kata lain, manusia merupakan pusat kontrol dari realitas. Realitas manusia adalah hak milik manusia sehingga setiap kejadian, gejala dan penilaian apapun harus dikaitkan dengan keberadaan, kepentingan atau kebutuhan manusia.

Abidin (2001: 42) memaparkan, manusia adalah pusat realitas, sehingga segala sesuatu yang terdapat di dalam realitas harus dikembalikan lagi pada manusia. Dengan demikian tidak dapat dibenarkan adanya penilaian atau interpretasi tentang kejadian atau gejala manusiawi yang menempatkan manusia sebagai entitas-entitas marjinal atau pinggiran.

24

2. Pengertian Humanisme

Humanis berasal dari kata Human (Echols, 1998: 326) (Inggris) yang berarti manusiawi. Menurut Budiono, dalam Kamus Ilmiah Populer Internasional, menyebutkan bahwa Human berarti mengenai manusia, cara manusia, sedangkan humanis sendiri berarti seorang yang human, penganut ajaran huminisme. Sedangkan Budiono (2005: 228) memaparkan, humanisme sendiri adalah suatu doktrin yang menekankan kepentingan kemanusiaan dan ideal (humanisme di zaman Renaissan didasarkan atas peradaban Yunani purba. Sedangkan humanisme modern menempatkan manusia secara eksklusif). Sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa human: bersifat manusiawi, (seperti manusia yang dibedakan dengan binatang, jin, dan malaikat) berperikemanusiaan, baik budi, budi luhur dan sebagainya.

Dalam kamus Echols, (1998: 362) humanis berasal dari kata Human (Inggris) yang berarti manusiawi. Menurut Budiono, dalam Kamus Ilmiah Populer Internasional, menyebutkan bahwa Human berarti mengenai manusia, cara manusia, sedangkan humanis sendiri berarti seorang yang human, penganut ajaran huminisme. Sedangkan humanisme sendiri dalam pernyataan Budiono, (2005: 228) adalah suatu doktrin yang menekankan kepentingan kemanusiaan dan ideal (humanisme di zaman Renaissan didasarkan atas peradaban Yunani purba. Sedangkan humanisme modern menempatkan manusia secara eksklusif).

25

Sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa human: bersifat manusiawi, (seperti manusia yang dibedakan dengan binatang, jin, dan malaikat) berperi kemanusiaan, baik budi, budi luhur dsb. Humanis adalah orang yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik berdasarkan asas-asas kemanusiaan, pengabdi kepentingan sesama umat manusia (1), penganut paham yang menganggap manusia sebagai obyek terpenting (2), penganut paham humanisme (3).

Dengan demikian manusia merupakan pemegang kebebasannya dalam melakukan sesuatu yang terbaik bagi dirinya saat ini, dan juga bagi masa depannya yang akan datang. Sehingga bisa dikatakan bahwa kedudukan manusia dalam dunia ini sangatlah tinggi, karena dibekali dengan potensi-potensi kebebasan dalam melakukan hal terbaik bagi dirinya.

Manusia merupakan makhluk yang multidimensi bukan saja karena manusia sebagai subyek yang secara teologis memiliki potensi untuk mengembangkan pola kehidupan, Firman Allah dalam surat al-Jatsiyah ayat 13:

َنوُرَّكَفَ تَ ي ٍمْوَقِل ٍتاَيلآَكِلَذ ِفِ َّنِإ ُهْنِم اًعيَِجَ ِضْرلأا ِفِ اَمَو ِتاَواَمَّسلا ِفِ اَم ْمُكَل َرَّخَسَو

Artinya:“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. Al-Jatsiyah, 45: 13)

26

Bagi sebagian orang, pendidikan seringkali dicerna sebagai suatu kegiatan pengisian otak dengan pengetahuan-pengetahuan tertentu tersebut diyakini akan menghasilkan keterampilan-keterampilan tertentu pula seseorang akan dikatakan berpendidikan apabila dia memiliki potensi kognitif yang dikontrol oleh institusi-institusi yang menyelenggarakannya. Seorang guru profesional memiliki kemampuan kognisi dari lembaga dimana dia melakukan proses belajar (pendidikan). Seorang dokter, tentara, bankir, bahkan seorang pelukis memperoleh kemampuan dari institusi pendidikannya masing-masing. Itulah kesan yang sering muncul dari kebanyakan kaum awam saat mereka berbicara mengenai pendidikan.

Proses pemikiran yang demikian dapat mempengaruhi minat dan motivasi, baik secara internal maupun eksternal, untuk memiliki kesadaran berpendidikan. Bagi mereka yang terlalu berpegang pada doktrin ini apabila tidak memiliki kemampuan untuk memasuki lembaga-lembaga pendidikan tertentu maka pintu pendidikan sudah tertutup selamanya bagi mereka padahal pendidikan bukan hanya sekedar proses transformasi pengetahuan saja.

Pendidikan adalah suatu proses penyampaian nilai dengan lingkup yang sangat luas. Pendidikan adalah bagaimana manusia dapat melaksanakan hidup dan kehidupan. Oleh karena itu, sejalan dengan ini, Prof. Lodge pernah mengatakan bahwa hidup adalah pendidikan dan pendidikan adalah hidup itu sendiri (Tim Dosen IKIP Malang, 1988: 5). Manusia sebagai makhluk multidimensional yang memiliki potensi dasar

27

yang bisa dikembangkan, sehingga manusia dinamakan makhluk pedagogik. Makhluk pedagogik adalah makhluk yang dapat dididik sekaligus makhluk yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan aktivitas pendidikan.

Dalam terminologi yang praktis, hal itu dinamakan pendidikan dalam makna yang luas. Firman Allah SWT surat an-Nahl ayat 78:

ًَۡش ٍََُّْٛ ۡعَت َلا ُُۡىِتَََُِّٰٙأ ُِْٛطُب ِِّۢٓ ُُىَجَش ۡخَأ ُ َّللَّٱَٚ َع َّّۡغٌٱ ُُُىٌَ ًََعَجَٚ ا ٗ ٔ

ۡفَ ۡلأٱَٚ َش ََٰصۡبَ ۡلأٱَٚ َُْٚشُى ۡشَت ُُۡىٍََّعٌَ َةَد ِٔ ٔ

Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam

keadaan tidak mengetahui sesuatupun dan dari memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur” (Q.S. An-Nahl, 16: 78).

Dalam pernyataan Al-Qur‟an di atas, dapat dibingkai sebuah pengertian bahwa manusia dilahirkan dengan membawa potensi yang bisa dikembangkan (fitrah) seperti dalam hadist yang telah dijelaskan di atas yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah di muka “dan manusia dilahirkan dengan tidak membawa pengetahuan apapun”. Namun demikian, manusia dibekali alat untuk mencapai pengetahuan seperti indra pendengaran, penglihatan, dan hati (Makin, 2007:105-107).

Menurut filsafat humanisme Syari‟ati (1992:59) bahwasannya, beliau mengartikan humanisme sebagai aliran filsafat yang menyatakan bahwa tujuan pokok yang dimilikinya adalah untuk keselamatan dan kesempurnaan manusia. Humanisme memandang manusia sebagai

28

makhluk yang mulia, dan prinsip-prinsip yang didasarkannya didasarkan atas pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok yang bisa membentuk species manusia.

Pendidikan yang di dalamnya mengandung unsur manusia, baik sebagai pelaku atau objek, dengan demikian tidak terpisahkan dari orientasi humanistik. Sejauhmana humanisme itu berperan dalam pendidikan, adalah tergantung dari persepsi para pendidik itu sendiri tentang manusia (human). Ada sebagian para ahli mengatakan bahwasannya watak manusia itu “berkembang” sesuai dengan perkembangan pribadi dan lingkungan yang melingkupinya. Hal itulah yang mengindikasikan bahwa sifat dan pembawaan, termasuk di didalamnya watak dan insting pada anak-anak itu berbeda-beda. Karena itu dapat dikatakan bahwa kewajiban seorang pendidik bila hendak memilihkan bidang pekerjaan buat seorang anak, meneliti terlebih dahulu sifat-sifatnya dan menguji kepintarannya kemudian dipilihkan jurusan pekerjaan yang sesuai. Perbedaan sifat pembawaan, watak dan insting manusia tidak dapat dipisahkan dari pengaruh lingkungannya. Dengan pengaruh itu seluruh kondisi batin di atas dapat berkembang, bisa menjadi baik, bisa pula sebaliknya, menjadi buruk. Sabda Rasulullah :“Lingkungan mempengaruhi hidup manusia mempunyai dampak atau pengaruh didalam kehidupan dan perjalanannya dan berpengaruh di dalam akhlaknya maka jika ada kebaikan yang dapat memotifasi maka dampaknya akan baik, dan jika ada kejelekan atau kesesatan tidak akan

29

ditemukan perbuatan yang dapat memotivasi dan dampaknya akan buruk”.

Dengan demikian, lingkungan dimana manusia itu berada berpengaruh besar bagi hidup dan perkembangan kehidupannya, mampu membentuk watak, kebiasaan, dan kecenderungan-kecenderungannya. Jika lingkungannya baik, dapat memotivasi untuk mendatangkan pengaruh yang baik, sebaliknya, jika lingkungannya buruk, tak seorang (ulama‟) pun mampu membendung atau membantu akses buruknya. Sebenarnya manusia itu lahir dalam keadaan fitrah yaitu pembawaan asal untuk siap menerima agama Islam. Kemudian lingkungannya mempengaruhinya untuk menjadi baik atau buruk. Untuk mengendalikan dan mengarahkan pengaruh tersebut, pendidikan berperan aktif.

3. Dasar dan Tujuan Humanisme

Syariati (1996:47-49), mendiskripsikan tujuh asas dalam humanisme.

a. Manusia adalah makhluk asli, artinya manusia memiliki substansi yang mandiri dan berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya dengan substansi fisik sekaligus ruh yang dimiliki. Substansi fisik membedakan manusia dengan malaikat yang ghaib, dan substansi ruh membedakannya dengan binatang dan tumbuhan.

b. Manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas. Ini adalah kekuatan yang paling besar dalam diri manusia karena kehhendak bebas adalah sifat manusia yang mencerminkan ilahiyah. Kebebasan

30

berkehendak memberi kesempatan pada manusia untuk menentukan sendiri arah hidupnya dengan kemudian harus dipertanggungjawabkan pada Yang Maha Kuasa.

c. Manusia adalah makhluk yang sadar (berpikir). Dengan kesadaran yang dimiliki memungkinkan manusia memahami realitas. Potensi berpikir menjadi modal paling penting bagi manusia untuk mempertahankan eksistensinya karena dengan berpikir, manusia selalu mampu mencari jalan untuk bertahan hidup dan berkembang menuju kehidupan yang lebih baik. Ketika sebuah ancaman hadir, maka secara otomatis manusia memikirkan bagaimana menanganinya.

d. Manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya sendiri. Ini memungkinkan manusia mempelajari dirinya sendiri sebagai subyek yang berbeda dengan hal-hal selain dirinya. Dengan begitu manusia memahami kebutuhannya, apa yang semestinya dilakukan, dan ke arah mana dia berjalan. Kepentingannya adalah tentu saja manusia harus memastikan bahwa dirinya berjalan ke arah yang lebih baik.

e. Manusia adalah makhluk kreatif. Kreativitas manusia menyatu dalam perbuatannya sendiri sebagai penegasan atas kesempurnaannya di antara makhluk lainnya dan di hadapan Tuhan. Dengan kreativitas, manusia dapat menutup kekurangannya denga cara yang diusahakannya. Misalnya keterbatasan fisik untuk melakukan pekerjaan berat, maka manusia akan mengerahkan daya kreatifnya untuk membuat peralatan yang bisa membantu memudahkannya bekerja.

31

f. Manusia adalah makhluk yang memiliki cita-cita dan merindukan sesuatu yang ideal. Visi tentang sebuah masa depan membuatnya tidak akan puas dengan keadaan kekinian dan membawa manusia selalu bergerak dinamis menuju perubahan positif. Bahkan ini dapat menegaskan bahwa perubahan itu ditentukan oleh manusia itu sendiri. g. Manusia adalah makhluk moral yang memiliki nilai-nilai. Nilai-nilai

diartikan sebagai ungkapan tentang hubungan manusia dengan fenomena, cara atau kondisi yang di dalamnya terdapat motif yang lebih luhur dari pada keuntungan.

Potensi dasar yang paling dominan dalam diri manusia adalah potensi akal yang memungkinkan dia sadar dan berpikir. Ali Syari‟ati mengurutkan orientasi pemikiran manusia, bahwa berpikir yang benar adalah jalan menuju pengetahuan yang benar, dan pengetahuan yang benar adalah pengantar menuju keyakinan. Keyakinan akan ketuhanan menjadi tujuan utama sekaligus modal bagi kehidupan manusia. Karena pemikiran manusia yang tanda disadari kesadaran ketuhanan akan melahirkan kesimpulan yang dangkal dan membentuk kebudayaan yang timpang karena manusia tidak mampu mengenal dirinya sendiri dengan benar.

C. Pendidikan Humanis

1. Pendidikan Humanis

pendidikan humanis adalah proses pendidikan penganut aliran humanisme, yang berarti proses pendidikan yang menempatkan seseorang sebagai salah satu objek terpenting dalam pendidikan.

32

Namun, kata obyek di sini bukan berarti sebagai penderita, melainkan menempatkan manusia sebagai salah satu subyek (pelaku) yang sebenarnya dalam pendidikan itu sendiri. Hal itu seperti yang dicitacitakan oleh Freire bahwa manusia adalah pelaku dalam pendidikan.

Pendidikan humanis berarti pendidikan yang didalamnya selalu mengutamakan kepentingan manusia sebagai seseorang yang senantiasa harus mendapatkan segala haknya sebagai manusia yang merdeka. Hak yang dimaksud adalah hak untuk dihargai sebagai manusia yang mempunyai potensi, hak untuk dihormati, hak untuk diperlakukan sebagai manusia yang merdeka.

Dari pengertian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan humanis adalah proses pendidikan penganut aliran humanisme, yang berarti proses pendidikan yang menempatkan seseorang sebagai salah satu objek terpenting dalam pendidikan. Namun, kata obyek di sini bukan berarti sebagai penderita, melainkan menempatkan manusia sebagai salah satu subyek (pelaku) yang sebenarnya dalam pendidikan itu sendiri. Hal itu seperti yang dicita-citakan oleh Freire bahwa manusia adalah pelaku dalam pendidikan. Pendidikan humanis berarti pendidikan yang didalamnya selalu mengutamakan kepentingan manusia sebagai seseorang yang senantiasa harus mendapatkan segala haknya sebagai manusia yang merdeka. Hak yang dimaksud adalah hak untuk dihargai sebagai

33

manusia yang mempunyai potensi, hak untuk dihormati, hak untuk diperlakukan sebagai manusia yang merdeka.

Dari uraian di atas jelas bahwa sesungguhnya manusia memegang peranan penting dalam kehidupannya. Dalam hal itu,

Dokumen terkait