• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

H. Sistematika Penulisan

Dalam bab ini terdapat latar belakang masalah, permasalahan penelitian (batasan penelitian dan rumusan masalah), tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian (paradigma penelitian, metode penelitian, subjek dan objek penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, waktu dan tempat penelitian), dan sistematika penulisan.

BAB II KERANGKA TEORI

Dalam bab ini berisikan landasan teori mengenai tinjauan umum strategi dakwah, berisi tentang pengertian strategi, pengertian dakwah, fungsi dan tujuan dakwah, unsur-unsur dakwah, termasuk metode dakwah sesuai dasar atau tiga

tahapan dakwah islam. kemudian tentang teori interaksionisme simbolik.

BAB III GAMBARAN UMUM

Berisi tentang gambaran umum tentang Yayasan Majelis Ta’lim Tuli Indonesia, latar belakang berdirinya, visi dan misi serta tujuan majelis taklim, struktur kepengurusan dan pembagian tugas dalam organisasi.

BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

Berisi uraian penyajian data dan temuan penelitian yang peneliti dapatkan di lapangan yang disajikan secara deskriptif.

BAB V PEMBAHASAN

Bagian ini berisi uraian yang mengaitkan latar belakang, teori, dan serta temuan penelitian.

BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

Berisi tentang simpulan berupa jawaban umum dari rumusan masalah, implikasi penelitian dan saran setelah semua rangkaian penelitian selesai.

22 A. Landasan Teori

1. Strategi

Strategi berasal dari bahasa Yunani: strategia yang berarti kepemimpinan atas pasukan atau seni memimpin pasukan. Kata strategia bersumber dari kata strategos yang berkembang dari kata stratos (tentara) dan kata agein (memimpin). Istilah strategi dipakai dalam konteks militer sejak zaman kejayaan Yunani-Romawi sampai masa awal industrialisasi. Sementara strategi menurut Arifin adalah keseluruhan keputusan kondisional tentang tindakan yang akan dijalankan, guna mencapai tujuan.27

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, strategi adalah ilmu dan seni menggunakan semua sumber daya bangsa(-bangsa) melaksanakan kebijaksanaan tertentu dalam perang dan damai atau juga rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus.28

Strategi merupakan sebuah keputusan dalam menentukan misi, visi, tujuan, dan kebijakan dan cara untuk

27 Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer-Sebuah Studi Komunikasi (Yogyakarta: Graha Ilmu), 2011, h. 227

28 Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa) 2008, h. 1376-1377

mencapai keunggulan dan menciptakan kondisi masa depan organisasi.29

2. Strategi Dakwah

M. Bahri Ghazali mengatakan bahwa dalam kegiatan dakwah komunikatif dibutuhkan suatu strategi yang merupakan taktik dalam berdakwah sehingga dapat dilaksanakan dengan tuntas dan berhasil dalam mencapai tujuan. Di dalam dakwah komunikatif strategi dalam menyampaikan pesan agama dapat dilakukan dengan melaksanakan kegiatan dakwah melalui pola dakwah yang tepat sesuai dengan sasaran dakwahnya. Pelaksanaan strategi dakwah dapat dilaksanakan melalui modifikasi kegiatan dakwah sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan dakwah itu.30

Istilah strategi meluas ke banyak aspek kegiatan masyarakat, termasuk dalam bidang komunikasi dan dakwah.

Hal ini penting karena dakwah bertujuan untuk membawa perubahan terencana kepada masyarakat dan hal ini telah berlangsung selama lebih dari seribu tahun lamanya. Menurut Anwar Arifin, merumuskan strategi dakwah, berarti mempertimbangkan kondisi dan situasi masa depan (ruang dan waktu) untuk mencapai efektivitas atau mencapai tujuan.

Dengan menggunakan strategi dakwah, ini berarti komunikasi

29 Nanang Fattah, Manajemen Strategik Berbasis Nilai (Bandung: Rosda Karya), 2016, h. 29

30 M. Bahri Ghazali, Da’wah Komunikatif (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), 1997, h. 21

dapat digunakan secara sadar dalam berbagai cara untuk menciptakan perubahan pada diri khalayak dengan mudah dan cepat.31

Menurut Moh. Ali Azis, strategi dakwah juga bisa ditentukan berdasarkan dari ayat-ayat Quran surah Baqarah (2) ayat 129 dan 151, Imran (3) ayat 164, dan al-Jumu’ah (62) ayat 2. Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan 3 strategi dakwah, yaitu Strategi Tilawah (Membacakan ayat-ayat Allah), Strategi Tazkiyah (Menyucikan Jiwa), dan Strategi Ta’lim (mengajarkan al-Qur’an dan al-Hikmah).32

1. Strategi Tilawah

Strategi ini merupakan transfer pesan dakwah dengan lisan atau tulisan. Mad’u diminta mendengarkan penjelasan dai atau mad’u membaca sendiri pesan yang ditulis oleh dai. Ayat-ayat Allah yang dimaksud ini bica mencakup ayat yang tertulis dalam kitab suci dan yang tidak tertulis, yaitu alam semesta dengan segala isinya dan kejadian-kejadian di dalamnya. Strategi tilawah bergerak lebih banyak pada ranah kognitif (pemikiran) yang transformasinya melewati indra pendengaran (al-sam’) dan indra penglihatan (al-abshar) serta ditambah akal yang sehat (al-af’idah).

2. Strategi Tazkiyah

31 Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer-Sebuah Studi Komunikasi (Yogyakarta: Graha Ilmu), 2011, h. 227

32 Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta: Kencana) 2009, h. 355-356

Strategi ini berbeda dari strategi tilawah yang melalui indra pendengaran dan penglihatan, maka strategi tazkiyah melalui aspek kejiwaan. Salah satu misi dakwah adalah menyucikan jiwa manusia. Kekotoran jiwa dapat menimbulkan berbagai masalah baik individu atau sosial, bahkan menimbulkan berbagai penyakit, baik penyakit hati atau badan. Sasaran strategi ini adalah jiwa yang kotor. Tanda jiwa yang kotor dapat dilihat dari gejala jiwa yang tidak stabil, keimanan yang tidak istiqamah seperti akhlak tercela lainnya, seperti serakah, sombong, kikir, dan sebagainya.

3. Strategi Ta’lim

Strategi ini mirip dengan strategi tilawah, yakni keduanya mentransformasikan pesan dakwah. Namun, strategi ta’lim bersifat lebih mendalam, dilakukan secara formal dan sistematis. Artinya metode ini hanya dapat diterapkan pada mad’u yang tetap, dengan kurikulum yang telah dirancang, dilakukan secara bertahap, serta memiliki target dan tujuan tertentu.

Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan bahwa hakikat Tilawah Al-Quran adalah tilawah yang sesungguhnya mencakup arti tilawah secara keseluruhan, yaitu membaca makna dan lafalnya. Tilawah lafal merupakan bagian dari tilawah itu sendiri, maksud dari tilawah ini yaitu mengikuti apa yang termaktub. Sedangkan tilawah hakiki yaitu, membaca maknanya dan mengikutinya, dengan membenarkannya, menunaikan perintahnya, menjauhi

larangannya, dan patuh kepadanya kemana saja ia menuntun.

Sering terlupa bahwa tilawah makna lebih mulia dari tilawah lafal. Orang yang melakukan tilawah makna adalah ahli Al-Quran yang berhak menerima pujian di dunia dan di akhirat.

Mereka itulah ahli tilawah dan pengikut Al-Quran yang sesungguhnya.33

Tiga konsep strategi dakwah inilah yang peneliti gunakan dalam penelitian ini, yaitu strategi tilawah, strategi tazkiyah, dan strategi taklim.

3. Dakwah

Dakwah menuju jalan Allah, maknanya yaitu mengajak orang lain agar melaksanakan perintahNya, dan menjauhi segala larangan-Nya. Hal itu berarti memerintahkan orang lain untuk melakukan kebaikan, dan melarang orang lain dari keburukan.

Makna dakwah secara syara’ adalah, mengajak orang lain agar melakukan segala perintah Allah, baik berupa ucapan atau amalan, dan meninggalkan segala larangan Allah baik berupa ucapan atau perbuatan.34

Menurut Ali Aziz, dakwah diserap dari bahasa Arab:

da’wah, yang antara lain maknanya mengajak, menyeru, memanggil, menyampaikan, mendorong atau memohon.

Da’wah sebagai istilah bahasa Arab itu telah mengalami

33 Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, Kunci Kebahagiaan (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana) 2004, h. 91

34 Fawwaz bin Hulayyil as-Suhaimi, Begini Seharusnya Berdakwah (Jakarta: Darul Haq), 2015, h. 19

perkembangan dari asal kata daa’ yang dalam bahasa Indonesia berarti ajakan, seruan atau panggilan. Jadi setiap kegiatan manusia yang bertujuan mengajak, menyeru atau memanggil sesamanya manusia, berbuat baik, melaksanakan kebajikan dan mencegah kemunkaran, disebut dakwah.

Pelakunya dinamakan ustaz (dai) yaitu orang atau sekelompok orang yang melaksanakan dakwah.35

Berikut ini, adalah beberapa definisi mengenai dakwah yang diungkapkan oleh para ahli:

a. Toha Yahya Omar mengatakan “Definisi ilmu dakwah secara umum adalah suatu ilmu pengetahuan yang berisi cara-cara atau tuntutan bagaimana seharusnya menarik perhatian manusia untuk menganut, menyetujui, melaksanakan suatu ide/gagasan, pendapat atau pekerjaan tertentu. Adapun definisi dakwah menurut Islam adalah mengajak manusia dengan cara yang bijaksana kepada jalan yang benar sesuai peringatan Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.”

b. Abu Bakar Dzakaria mengatakan “Dakwah sebagai kegiatan para ulama dengan mengajarkan manusia kepada apa yang baik bagi mereka, yaitu kehidupan dunia akhirat menurut kemampuan mereka.”

c. Al-Khuli’I mendefinisikan bahwa dakwah adalah

“Memindahkan umat dari satu situasi ke situasi yang lain.”

35 Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer-Sebuah Studi Komunikasi (Yogyakarta: Graha Ilmu), 2011, h. 36

d. Ali Mafudz mengatakan bahwa dakwah adalah

“Mendorong manusia untuk melakukan kebaikan dan mengikuti petunjuk serta memerintah mereka berbuat ma’ruf dan mencegah mereka dari perbuatan mungkar agar mereka memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat.”

Secara umum, dakwah adalah ajakan atau seruan kepada yang baik dan yang lebih baik. Dakwah mengandung ide tentang progresivitas, sebuah proses terus-menerus menuju kepada yang baik dan yang lebih baik dalam mewujudkan tujuan dakwah tersebut. Dengan begitu, dalam dakwah terdapat suatu ide dinamis, sesuatu yang terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan tuntunan ruang dan waktu.

Sementara itu dakwah dalam prakteknya merupakan kegiatan untuk mentransformasikan nilai-nilai agama yang mempunyai arti penting dan berperan langsung dalam pembentukan persepsi umat tentang bagaimana nilai kehidupan.36

1) Unsur-unsur Dakwah

Unsur-unsur dakwah merupakan komponen-komponen yang harus ada dalam setiap kegiatan dakwah. Dan desain pembentuk tersebut adalah meliputi;

a. Dai

Dai adalah orang yang melaksanakan dakwah baik secara lisan maupun tulisan ataupun perbuatan dan baik secara individu, kelompok atau bentuk organisasi atau

36 Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah (Bandung: Rosdakarya), 2010, h. 16-17

lembaga. Pada dasarnya, semua pribadi muslim berperan secara otomatis sebagai juru dakwah, artinya orang yang harus meyampaikan atau dikenal sebagai komunikator dakwah. Maka, yang dikenal sebagai dai atau komunikator dakwah itu dapat dikelompokan menjadi:

1. Secara umum adalah setiap muslim atau muslimat yang mukallaf [dewasa] di mana bagi mereka kewajiban dakwah merupakan suatu yang melekat, tidak terpisahkan dari misinya sebagai penganut Islam, sesuai perintah: “Sampaikanlah walau satu ayat”.

2. Secara khusus adalah mereka yang mengambil keahlian khusus [mutakhasis] dalam bidang agama Islam, yang dikenal dengan panggilan ulama.

b. Mad’u

Mad’u adalah manusia yang menjadi mitra dakwah atau menjadi sasaran dakwah atau manusia penerima dakwah, baik secara individu, kelompok, baik yang beragama Islam maupun tidak, dengan kata lain manusia secara keseluruhan. Muhammad Abduh membagi mad’u menjadi tiga golongan yaitu:

1. Golongan cerdik cendekiawan yang cinta kebenaran dan dapat berpikir secara kritis, cepat menangkap persoalan.

2. Golongan awam, yaitu kebanyakan orang yang belum dapat berpikir secara kritis dan mendalam,

belum dapat menangkap pengertian-pengertian yang tinggi.

3. Golongan yng berbeda dengan golongan di atas adalah mereka yang senang membahas sesuatu, tetapi hanya dalam batas tertentu tidak sanggup mendalami benar.

c. Materi/pesan Dakwah

Materi/pesan dakwah adalah isi pesan yang disampaikan dai kepada mad’u. pada dasarnya pesan dakwah itu adalah ajaran Islam itu sendiri. Secara umum dapat dikelompokan menjadi Pesan Akidah, Pesan Syariah dan Pesan Akhlak.37 Pesan Akidah meliputi rukun iman, Pesan Syariah yaitu tentang ibadah dan muamalah, dan Pesan akhlak yaitu tentang akhlak terhadap Allah Ta’ala dan Akhlak terhadap makhluk Allah.38

d. Media Dakwah

Alat-alat yang dipakai untuk menyampaikan ajaran Islam. Hamzah Yaqub membagi media dakwah itu menjadi lima yaiu, Lisan,Tulisan¸Lukisan¸Audio Visual, Akhlak.

e. Efek Dakwah

Efek dakwah dalam ilmu komunikasi biasa disebut dengan feed back (umpan balik) adalah umpan balik dari

37 Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah (Bandung: Rosdakarya), 2010, h. 20 38 Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah (Bandung: Rosdakarya), 2010, h. 101-102

reaksi proses dakwah. Dalam bahasa sederhananya adalah reaksi dakwah yang ditimbulkan oleh aksi dakwah.

f. Metode Dakwah

Metode dakwah adalah cara-cara yang digunakan dai untuk menyampaikan pesan dakwah atau rangkaian kegiatan untuk mencapai tujuan dakwah. Sementara itu, dalam komunikasi metode disebut juga dengan approach atau pendekatan, yaitu cara-cara yang digunakan oleh seorang komunikator untuk mencapai suatu tujuan tertentu.39

4. Interaksionisme Simbolik

Interaksionisme Simbolik merupakan salah satu dari teori awal ilmu sosial yang mengangkat pertanyaan mengenai bagaimana kita mempelajari budaya dan bagaimana budaya membentuk pengalaman hidup kita sehari-hari. Teori ini dikembangkan pada tahun 1920-an dan 1930-an sebagai reaksi terhadap kritik untuk aliran behaviorisme.

Teori ini memiliki banyak nama hingga Herbert blumer memberikan namanya yang sekarang pada tahun 1969.

Interaksionisme simbolik adalah teori yang menyatakan bahwa orang-orang memberikan makna terhadap simbol-simbol dan pemaknaan tersebut berfungsi untuk mengontrol mereka.

39 Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah (Bandung: Rosdakarya), 2010, h. 19-22

Interaksionisme Simbolik adalah segala hal yang saling berhubungan dengan pembentukan makna dari suatu benda atau lambang atau simbol, baik benda mati maupun benda hidup, melalui proses komunikasi baik dari pesan non verbal maupun perilaku nonverbal dan tujuan akhirnya adalah memaknai lambang atau simbol tersebut berdasarkan kesepakatan bersama yang berlaku di wilayah atau kelompok komunitas masyarakat tertentu.40

Interaksi adalah satu relasi antara dua sistem yang terjadi sedemikian rupa sehingga kejadian yang berlangsung pada satu sistem akan mempengaruhi kejadian yang terjadi pada sistem yang lainnya.41

Menurut Ritzer, kehidupan masyarakat terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi antar-individu dan antarkelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar. Dalam perspektif interaksionisme simbolik, dakwah dengan pesan yang dibawanya dapat mengilhami pikiran anggota masyarakat untuk bersikap dan bertindak tertentu terhadap kejadian dan fenomena yang terjadi dalam masyarakat.42

Suatu kata tidaklah memiliki arti sebelum dia mengalami negosiasi dalam masyarakat sosial di mana

40 Nina Siti Salmaniah Siregar, Kajian tentang Interaksi Simbolik. Jurnal Ilmu Sosial ISIPOL UMA: Perspektif, 4. 2011 , h. 101

41 J.P. Chaplin Kartono K. (terj), Dictionary of Psychology. Kamus Lengkap Psikologi, (Jakarta: Rajawali Pers) 2011, h. 17

42 Syamsuddin, AB. Pengantar Sosiologi Dakwah. (Jakarta: 2016) h.26

simbolisasi bahasa tersebut hidup. Pemaknaan dari suatu bahasa pada hakikatnya terkonstruksi secara sosial.43

Paham mengenai interaksionisme simbolik adalah suatu cara berpikir mengenai pikiran (mind), diri (self) dan masyarakat (society) yang telah memberikan banyak kontribusi terhadap tradisi sosiokultural dalam membangun teori komunikasi. Dengan menggunakan sosiologi sebagai fondasi, paham ini mengajarkan bahwa ketika manusia berinteraksi satu sama lainnya, mereka saling membagi makna untuk jangka waktu tertentu dan untuk tindakan tertentu. Makna muncul sebagai hasil interaksi di antara manusia baik secara verbal maupun nonverbal. Melalui aksi dan respons yang terjadi, kita memberikan makna ke dalam kata-kata atau tindakan, dan karenanya kita dapat memahami peristiwa dengan cara-cara tertentu.44

George Herbert Mead dipandang sebagai pembangun paham interaksi simbolis ini. Ia merupakan salah satu tokoh yang paling besar kontribusinya. Dari bukunya yang berjudul

‘Mind, Self, and Society’ menunjukkan tiga konsep penting dari Interaksionisme Simbolik45, dengan deskrispsi sebagai berikut:

1) Mind (pikiran)

43 Syamsuddin, AB. Pengantar Sosiologi Dakwah. (Jakarta: 2016) h.130 44 Sindung Haryanto, Spektrum Teori Sosial Dari Klasik Hingga Postmodern (Jogjakarta: 2012) h 110-111

45 West R., & Turner H. Lynn, Introducing Communication Analysis and Aplication. ( New York: 2010) h.

Mead mendefinisikan mind sebagai kemampuan untuk mendefinisikan simbol yang mempunyai makna sosial umum, dan Mead percaya bahwa manusia harus mengembangkan pikiran melalui interaksi dengan orang lain. Bayi tidak dapat benar-benar berinteraksi dengan orang lain sampai mereka mempelajari bahasa, atau sistem bersama dari simbol verbal dan nonverbal yang diatur dalam pola untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan. (a) Bahasa (language) tergantung pada apa yang Mead sebut sebagai sygnificant symbol, simbol yang secara umum maknanya disepakati oleh banyak orang.

(b) Pemikiran (thought) dipahami Mead sebagai komunikasi dalam diri atau terhadap diri sendiri. Salah satu aktivitas terpenting yang dicapai orang melalui pemikiran adalah (c) pengambilan peran (role taking), atau kemampuan untuk menempatkan diri secara simbolis dalam imajinasi diri orang lain. Proses ini juga disebut “pengambilan perspektif” karena harus mengharuskan seseorang menangguhkan perspektifnya sendiri pada suatu pengalaman dan sebaliknya melihatnya dari perspektif orang lain.

2) Self (diri)

Mead mendefinisikan self sebagai kemampuan untuk merefleksikan diri dari perspektif orang lain. Dari sini kita dapat lihat bahwa Mead tidak meyakini bahwa self datang dari introspeksi atau dari pemikiran sederhana

pada diri sendiri. Bagi mead, diri berkembang dari jenis pengambilan peran tertentu, yaitu, bagaimana kita melihat kepada orang lain. Meminjam konsep yang berasal dari sosiolog Charles Cooley pada 1912, Mead menyebut ini sebagai looking-glas self, kemampuan kita untuk melihat diri sendiri menurut pandangan orang lain.

Dalam bukunya, Cooley juga memercayai tiga prinsip perkembangan yang dikaitkan dengan looking-glass self:

(1) kita membayangkan bagaimana kita terlihat bagi orang lain, (2) kita membayangkan penilaian mereka terhadap kita, dan (3) kita merasakan sakit atau bangga berdasarkan perasaan diri ini. Kita belajar tentang diri sendiri dari cara orang lain memperlakukan kita, melihat kita, dan melabeli kita.

Saat Mead berteori tentang self, ia mengamati bahwa melalui bahasa, orang memiliki kemampuan untuk menjadi subjek dan objek bagi diri mereka sendiri.

Sebagai subjek, kita bertindak, dan sebagai objek, kita mengamati diri kita sendiri yang bertindak. Mead menyebut subjek, atau tindakan diri sebagai ‘I’, dan objek, atau mengamati diri sebagai ‘Me’. ‘I’ adalah spontan, impulsif, dan kreatif, sedangkan ‘Me’ lebih reflektif dan sadar secara sosial. Mead melihat diri sebagai proses yang mengintegrasikan ‘I’ dan ‘Me’.

3) Society (masyarakat)

Mead berpendapat bahwa interaksi terjadi dalam struktur sosial yang dinamis yang kita sebut sebagai budaya atau masyarakat. Mead mendefinisikan masyarakat sebagai jaringan hubungan sosial yang diciptakan manusia. Individu terlibat dalam masyarakat melalui perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela.

Masyarakat terdiri dari individu-individu, dan Mead berbicara dua bagian penting dari masyarakat yang mempengaruhi ‘mind’ dan ‘self’. Gagasan Mead tentang particular others (orang-orang tertentu) mengacu pada individu dalam masyarakat yang penting bagi kita.

Orang-orang ini biasanya adalah anggota keluarga, teman, rekan kerja, dan supervisor. Kita melihat orang-orang tertentu untuk mendapatkan rasa penerimaan sosial dan rasa terhadap diri.

Generalized other atau tahap penerimaan norma kolektif mengacu pada sudut pandang kelompok sosial atau budaya secara keseluruhan. Ini kita dapatkan dari masyarakat, dan “sikap dari tahap penerimaan norma kolektif adalah sikap dari seluruh komunitas”.

Generalized other memberikan informasi tentang peran, aturan, dan sikap yang dibagikan oleh komunitas atau masyarakat, juga memberi kita pemahaman tentang bagaimana orang lain bereaksi terhadap kita dan ekspektasi sosial secara umum. Pengertian ini berpengaruh dalam mengembangkan kesadaran sosial.

Generalized other dapat membantu menengahi konflik yang ditimbulkan oleh kelompok yang berkonflik dari particular others.

B. Definisi Majelis Taklim

Majelis taklim adalah lembaga swadaya masyarakat murni. Ia dilahirkan dikelola, dipelihara, dikembangkan, dan didukung oleh anggotanya. Maka dari itu, majelis taklim merupakan wadah masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.46

Perkataan “majelis ta’lim” berasal dari bahasa Arab, yang terdiri dari dua kata, yaitu majelis dan ta’lim. Majelis artinya tempat duduk, tempat sidang, dewan. Dan ta’lim yang diartikan dengan pengajaran. Dengan demikian secara lughawi “majelis ta’lim” adalah tempat untuk melaksanakan pengajaran atau pengajian agama Islam.

Adapun pengertian secara istilah tentang majelis ta’lim, sebagaimana dirumuskan pada musyawarah Majelis Ta’lim se-DKI Jakarta tahun 1980 adalah: Lembaga pendidikan non formal Islam yang memiliki kurikulum tersendiri, diselengarakan secara berkala dan teratur, dan diikuti oleh jama’ah yang relatif banyak, dan bertujuan untuk membina dan mengembangkan hubungan yang santun dan serasi antara manusia dengan Allah, antara manusia dengan

46 Tutty Alawiyah, Strategi Dakwah di Lingkungan Majelis Taklim (Bandung: Mizan), 1997, h. 75

sesamanya dan antara manusia dengan lingkungannya, dalam rangka membina masyarakat yang bertakwa pada Allah.47

Ada tiga tujuan utama dari sebuah majelis taklim, Pertama; untuk mempererat tali silaturrahmi antar warga komunitas, Kedua; guna menyemarakkan kegiatan keagamaan di lingkungan warga komunitas, Ketiga; dalam rangka menambah pengetahuan anggota komunitas yang terlibat.48

C. Definisi Tuli

Deafness (ketulian, kepekakan): ketidakmampuan parsial atau menyeluruh untuk mendengar. Ketulian total adalah ketidakmampuan mendengar sebuah bunyi atau suara walau bagaimanapun kerasnya. Ketulian parsial bisa mencakup kepekaan yang semakin berkurang terhadap seluruh tingkatan nada dari bunyi-bunyi; atau dapat mencakup hanya ketidakmampuan mendengar titik nada tertentu.

Ketulian yang kebetulan (terjadi kemudian), disebabkan oleh luka pada kedua telinga, sebagai lawan dari ketulian bawaan, yang disebabkan oleh cacat perkembangan; sedang ketulian sentral atau tuli kortikal disebabkan oleh luka di daerah

47 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers), 1999, h. 202

48Erna Kasypiah, Modul Penguatan Majelis Taklim Perempuan, (Yogyakarta: Amongkarta, 2018, h. xi

pendengaran dalam kulit otak (cerebral cortex, lapisan luar otak).49

Menggolongkan tingkat ketulian berguna untuk mempertimbangkan kebutuhan pembelajaran. Tingkat berat-ringannya ketulian dapat menentukan perlakuan agar fungsing pendengaran yang tersisa dapat dioptimalkan.

Seseorang dikatakan bisa mendengar jika intensitas suaranya dalam rentang 0 hingga 130 dB. Suara yang lebih rendah dari 1 desibel bisa tidak terdengar sama sekali. Sedangkan s uara yang lebih tinggi dari 130 desibel dapat menyakitkan telinga.

Berikut ini pengkategorian tuli disesuaikan pada International Standard Organization. Pengkategorian ini berdasarkan intensitas suara yang bisa diterima.50

INTENSITAS SUARA TINGKAT

27-40 dB Slight Hearing Loss

(Gangguan Pendengaran Sangat Ringan)

41-55 dB Mild Hearing Loss (Gangguan Pendengaran Taraf Ringan)

56-70 dB Moderate Hearing Loss

(Gangguan Pendengaran Taraf

49 James P. Chaplin, Dictionary of Psychology. Kamus Lengkap Psikologi,Kartini Kartono (terj). (Jakarta: Rajawali Pers), 2011, h. 124

50 Diah Rahmawati, Panduan Bahasa Isyarat untuk Pendamping

50 Diah Rahmawati, Panduan Bahasa Isyarat untuk Pendamping

Dokumen terkait