• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI DAKWAH YAYASAN MAJELIS TA LIM TULI INDONESIA DI JAGAKARSA JAKARTA SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "STRATEGI DAKWAH YAYASAN MAJELIS TA LIM TULI INDONESIA DI JAGAKARSA JAKARTA SELATAN"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

JAKARTA SELATAN

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

(S. Sos)

Oleh:

Amiradhana Salsabila NIM: 11140510000054

KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H/2021 M

▸ Baca selengkapnya: contoh kop surat majelis ta'lim

(2)

i

STRATEGI DAKWAH YAYASAN MAJELIS TA’LIM TULI INDONESIA DI JAGAKARSA

JAKARTA SELATAN

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

(S. Sos)

Oleh:

Amiradhana Salsabila NIM: 11140510000054

KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H/2021 M

▸ Baca selengkapnya: contoh proposal majelis ta'lim doc

(3)

ii

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Amiradhana Salsabila NIM : 11140510000054

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Amiradhana Salsabila NIM : 11140510000054

Amiradhana Salsabila NIM: 11140510000054

Amiradhana Salsabila NIM: 11140510000054

▸ Baca selengkapnya: contoh proposal majelis ta'lim ibu-ibu

(4)

iii

STRATEGI DAKWAH YAYASAN MAJELIS TA’LIM TULI INDONESIA DI JAGAKARSA JAKARTA SELATAN

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Sosial (S. Sos.)

Disusun oleh:

Amiradhana Salsabila NIM: 11140510000054

Pembimbing,

Nasichah, M.A.

196711261996032001

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H/2021 M

(5)

iv

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi berjudul Strategi Dakwah Yayasan Majelis Ta’lim Tuli Indonesia Di Jagakarsa Jakarta Selatan disusun oleh Amiradhana Salsabila 11140510000054 telah diujikan dalam sidang Munaqasah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syartif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 5 Juli 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S. Sos) dalam bidang Komunikasi Penyiaran Islam.

Jakarta, 5 Juli 2021 Sidang Munaqasah

Ketua

Dr. Armawati Arbi, M.Si NIP. 196502071991032002

Sekretaris

Dr. H. Edi Amin, S.Ag., M.A.

NIP. 197609082009011010 Penguji 1

Ade Masturi, M.A.

NIP. 197506062007101001

Penguji 2

Ade Rina Farida, M.Si NIP. 197705132007012018

Pembimbing

Nasichah, M.A.

NIP. 196711261996032001

(6)

v ABSTRAK Amiradhana Salsabila

Strategi Dakwah Majelis Ta’lim Tuli Indonesia di Jagakarsa Jakarta Selatan

Golongan Tuli tidak mudah mendapatkan akses belajar agama sebagaimana orang pada umumnya. Dengan berbagai keterbatasan Tuli sebagai tantangan, maka diperlukan strategi dalam menyampaikan pelajaran-pelajaran tersebut. Majelis Ta’lim Tuli Indonesia merupakan sebuah yayasan yang memberikan pengajaran agama kepada Tuli. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana strategi dakwah tilawah, tazkiyah, taklim yang ada di Yayasan Majelis Taklim Tuli Indonesia.

Peneliti menggunakan konsep strategi dakwah tilawah, tazkiyah, dan taklim dari Moh. Ali Aziz. Sebagai pisau analisis, teori yang digunakan adalah teori interaksionisme simbolik dari George Herbert Mead, suatu cara berpikir mengenai pikiran, diri dan masyarakat. Mead tertarik pada interaksi, di mana isyarat non verbal dan makna dari suatu pesan verbal akan memengaruhi pikiran orang yang sedang berinteraksi. Metode yang digunakan peneliti adalah pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Dengan observasi secara langsung, wawancara, dokumentasi, dan mengkaji literatur yang sesuai.

Hasil penelitian menunjukkan, strategi tilawah pada yayasan ini adalah dengan mengajarkan Baca Tulis Quran, dan makna-makna Quran sehingga jemaah memahami, dan berusaha patuh terhadap perintah agama. Strategi tazkiyah yaitu dengan memperbaharui iman dan ghirah, menanamkan keikhlasan, mengajarkan dzikir dan sifat Allah. Strategi taklim dengan mengadakan taklim setiap dua minggu sekali dan Baca Tulis Quran. Dari interaksionisme simbolik satu sama lain, mereka mendapatkan kosa isyarat baru. Proses berpikir juga menjadikan tiap individu di yayasan ini dapat terbentuk, menempatkan diri, dan berperan dengan baik secara dinamis baik di luar maupun di dalam yayasan

Kata kunci: Strategi Dakwah, Interaksionisme Simbolik, Majelis Taklim Tuli Indonesia, Tuli

(7)

vi ABSTRACT Amiradhana Salsabila

The Da’wah Strategy of Indonesia Ta’lim of Deaf Foundation in Jagakarsa Jakarta Selatan

Deaf people do not easily get access to religious studies like people in general. Given the limitations of the Deaf as a challenge, the necessary strategy in delivering these lessons. The Indonesia Ta’lim of Deaf Foundation is a foundation that provides religious teachings to the Deaf. This study aims to find out how the strategy of tilawah, tazkiyah, taklim in the Indonesia Ta’lim of Deaf Fondation

Researcher used the concept of the strategy of tilawah, tazkiyah, and taklim from Moh. Ali Aziz. The theory used is the theory of symbolic interactionism of George Herbert Mead, a way of thinking about the mind, self and society. Mead interested in interaction, in which the non-verbal cues and the meaning of a verbal message will influence the thinking of people who are interacting.

The method used by the researcher is a qualitative approach with a descriptive method. By direct observation, interviews, documentation, and reviewing the appropriate literature. The results of the study show that the tilawah strategy at this foundation is to teach Reading and Writing the Quran, and the meanings of the Quran so that the congregation understands, and tries to obey religious orders. The tazkiyah strategy is to renew faith and passion, instill sincerity, teach dhikr and the nature of God. Taklim strategy by holding Islamic studies every two weeks and Read Write Quran.

From symbolic interactionism with each other, they get a new sign vocabulary. Sign language is supported by other forms of communication such as finger spelling, speech reading, gestures, facial expressions, writing, reading, and oral. The thought process also makes each individual in this foundation able to form, position themselves, and play a good role dynamically both outside and inside the foundation.

Keywords: Da'wah Strategy, Symbolic Interactionism, Assembly Ta’lim Deaf Indonesia, Deaf

(8)

vii

KATA PENGANTAR Bismillaahirrahmaanirrahiim

Assalaamu’alaykum warahmatullaah wabarakaatuh

Alhamdulillaah, segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala yang senantiasa melimpahkan rahmat dan nikmat kepada selutuh hamba-Nya. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam yang menjadi perantara bagi umatnya hingga kita dapat merasakan nikmat iman dan Islam saat ini.

Hanya dengan pertolongan-Nya peneliti mampu menyelesaikan tugas akhir ini yang berjudul “Strategi Dakwah Yayasan Majelis Ta’lim Tuli Indonesia Di Jagakarsa Jakarta Selatan”. Peneliti sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka peneliti dengan senang hati menerima masukan, kritik, dan saran sebagai pelajaran dan perbaikan bagi peneliti di masa yang akan datang. Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari dari dukungan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak antara lain:

1. Dr. Suparto, M.Ed., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Dr. Siti Napsiyah, S.Ag wakil Dekan 1 Bidang Akademik. Dr. Sihabbudin Noor, M.Ag wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum dan Drs. Cecep Castrawijaya, MA. Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan.

2. Dr. Armawati Arbi M.Si, selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, dan Dr. H. Edi Amin, MA. selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam

(9)

viii

3. Dr, Suhaimi, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik sekaligus penasehat peneliti.

4. Nasichah, M.A., selaku dosen pembimbing yang telah mencurahkan ilmu, waktu, pikiran, tenaga dan kesabaran dalam membimbing peneliti. Dari beliau, peneliti banyak mendapatkan pelajaran-pelajaran baru dalam berbagai hal.

Semoga Allah ta’ala selalu mengaja, memudahkan, serta memberi keberkahan kepada beliau.

5. Seluruh teman-teman di Majelis Ta’lim Tuli Indonesia yang terlibat dalam penelitian ini. Pak Aprizar, Pak Rama, Pak Farid, Pak Fachri, Bu Sri, Mbak Menik, dan yang lainnya.

Terima kasih telah memberikan informasi dan wawasan baru kepada peneliti. Banyak hikmah dan pelajaran yang dapat penulis ambil selama bersinggunggan langsung dengan teman-teman Tuli.

6. Keluarga peneliti. Suamiku, Mas Ari, yang menjadi inspirasi peneliti memilih judul ini, mengenalkan dengan dunia Tuli, berjuang bersama dan saling membantu agar skripsi kami segera selesai. Anakku Zubair yang luar biasa cerdas. Ayah rahimahullah yang merelakan peneliti berkuliah di kampus ini. Mama Ryan dan Apa yang terus mendukung dan mendoakan, Kansa yang terus menyemangati dan berjuang juga di kota lain, dan Uca yang sering membantu menjaga Zubair. Bapak dan ibu mertua tercinta, serta Mas Andi yang banyak membantu kami. Terima kasih juga pada Om Fidel sebagai donatur wisuda peneliti.

(10)

ix

7. Dondo alias Dinda yang dengan rela meminjamkan laptop selama beberapa tahun terakhir agar penulis dapat menyelesaikan skripsinya. Aku cinta kamu Meng.

8. Teman-teman seperjuangan sejak awal masuk kuliah hingga lulus, dan teman yang masih peduli dengan perkembangan skripsi peneliti dengan bertanya kabar dan membantu semampunya.

9. Terakhir, peneliti berterima kasih pada diri sendiri. Dengan segala rintangan, dan atas izin Allah, peneliti mampu berjuang hingga bisa sampai di titik ini. Kamu luar biasa!

Jazaakumullaahu khayraan. Semoga Allah ta’ala membalas kebaikan kalian semua.

Akhir kata, semoga skripsi ini menjadi bermanfaat bagi banyak orang dan ilmunya dapat terus berkembang. Allaahumma aamiin.

Bekasi, Juni 2021

Amiradhana Salsabila

(11)

x DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 10

C. Batasan Masalah ... 10

D. Rumusan Masalah ... 11

E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 11

F. Tinjauan Kajian Terdahulu ... 12

G. Metodologi Penelitian ... 17

H. Sistematika Penulisan ... 21

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 23

A. Landasan Teori ... 23

1. Strategi ... 23

2. Strategi Dakwah ... 24

3. Dakwah ... 27

4. Interaksionisme Simbolik ... 32

B. Definisi Majelis Taklim ... 38

C. Definisi Tuli ... 39

D. Kerangka Pemikiran ... 43

BAB III GAMBARAN UMUM YAYASAN MAJELIS TA’LIM TULI INDONESIA ... 44

A. Sejarah... 44

B. Letak Geografis ... 45

C. Maksud Dan Tujuan ... 46

D. Visi dan Misi Yayasan MTTI ... 46

E. Program Kerja Yayasan ... 46

(12)

xi

F. Struktur Yayasan Majelis Ta’lim Tuli Indoneisa... 48

BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN ... 51

A. Strategi Dakwah Tilawah Yayasan Majelis Ta’lim Tuli Indonesia ... 52

B. Strategi Dakwah Tazkiyah Yayasan Majelis Ta’lim Tuli Indonesia ... 54

C. Strategi Dakwah Taklim Yayasan Majelis Ta’lim Tuli Indonesia ... 56

BAB V PEMBAHASAN ... 65

A. Strategi Dakwah Tilawah di Yayasan Majelis Ta’lim Tuli Indonesia ... 65

B. Strategi Dakwah Tazkiyah di Yayasan Majelis Ta’lim Tuli Indonesia ... 70

C. Strategi Dakwah Taklim di Yayasan Majelis Ta’lim Tuli Indonesia ... 72

BAB VI PENUTUP ... 77

A. KESIMPULAN ... 77

B. IMPLIKASI ... 80

C. SARAN ... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 85

LAMPIRAN ... 89

(13)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1Kategoriketulian ...41

Tabel 4.1 Temuan Strategi Tilawah ...35

Tabel 4.2 Temuan Strategi Tazkiyah...36

Tabel 4.3 Temuan Strategi Taklim ...36

(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran ... 43

Gambar 3.1 Logo lama Yayasan MTTI... 45

Gambar 3.2 Logo baru Yayasan MTTI ...45

Gambar 3.3 Struktur Yayasan MTTI ...50

(15)

1 A. Latar Belakang Masalah

Manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah. Ibadah dalam syariat Islam juga merupakan tujuan akhir yang dicintai dan diridhai Allah Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan membersihkannya.1 Dakwah merupakan salah satu bentuk ibadah. Ibadah menjadi hal utama untuk dipelajari dan diamalkan..

Setiap umat Islam yang terkena taklif (mukallaf), adalah ia dianggap mampu untuk menjalankan perintah dan hukum Allah, dan memahami tuntunan dalam al-Quran dan Sunnah dengan syarat baligh dan berakal.2 Dengan itu, ia wajib untuk beribadah dan berhak mendapatkan pengajaran tentang agamanya, termasuk Tuli muslim. Tuli berhak mendapat nikmat Islam dan menjadi individu muslim yang unggul dalam menghamba kepada Allah. Islam tidak hanya eksklusif kepada individu dengan pancaindera yang sempurna saja.3

1 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Prinsip Dasar Islam (Bogor: Pustaka At- Taqwa), 2016, h. 120-121

2 Analiansyah, Pengembangan Subjek Hukum Dalam Islam Dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Fikih: Kajian terhadap Peraturan Perundang-Undangan Islam di Indonesia. Conference Proceedings – ARICIS I, Vol 1, 2016, h. 197-198

3 Mohd Husain & Hajarul Zakaria & Bani Hidayat bin Mohd Shafie, & Nor Hayati Fatmi binti Talib & Nabiroh Kassim. Kepentingan Dakwah kepada Golongan Bermasalah Pendengaran: Satu Keperluan. 2015, h. 1

(16)

Hamdi Ishak4 mengatakan bahwa pendidikan agama mutlak wajib bagi golongan tuli, karena mereka adalah individu yang berakal sehat dan mampu menerima serta mempelajari dakwah dan agama.

Mayoritas komunitas tuli tidak memiliki ilmu dasar dalam agama khususnya dalam pelaksanaan Ibadah. Sebagai contoh ketika menunaikan salat, mereka hanya mengikuti berdasarkan gerakan salat itu sendiri tanpa mengetahui bacaan dan makna dalam setiap gerakan dalam salat. Hal ini karena, komunitas tuli ini bergantung sepenuhnya kepada kekuatan penglihatan mereka.5

Tuli menghadapi berbagai macam masalah selama pembelajaran Islam. Tiga masalah muncul termasuk terbatasnya bahasa isyarat dan interpreter isyarat selama pembelajaran islam; terbatasnya kemampuan literasi sebagai satu-satunya cara berkomunikasi dengan orang dengar; dan keputusasaan belajar tentang Islam dari masyarakat. Masalah muncul karena pendekatan sosial yang terbatas dalam konteks Indonesia.6

Adanya kelas agama atau kajian untuk mempelajari ibadah bagi komunitas tuli tidak sebanyak kajian golongan umum

4 Syar Meeze Mohd Rashid, Mohd. Hanafi Mohd Yasin, & Noraidah Sahari Ashaari. Arabic Sign Language Adaption in Teaching Fardhu Ain to The Disabled Hearing. Indonesian Journal of Informatics Education, 2018, Vol. 2, h. 22

5 Siti Ramna Khamaruddin, dkk., Analisis Keperluan Pembangunan Bahasa Isyarat Malaysia Bagi Terminologi Ibadah. International Journal for Studies on Children, Women, Elderly And Disabled, 2018, Vol. 4, h. 64

6 Mardiyanti, N., & Haryanthi, L. P. S., Challenges on learning Islam among deaf Muslim in an Indonesian context: Deaf teachers perspective. International Medical Journal Malaysia, 17(Specialissue1), 2016, h. 20

(17)

(orang dengar). Kebergantungan mereka kepada juru bahasa isyarat sebagai perantaraan ilmu sangat diperlukan. Begitu pula adanya terminologi bahasa isyarat yang terbatas dalam bidang agama khususnya Ibadah, menjadikan penyampaian ilmu kepada mereka juga terbatas. 7

Masalah komunikasi merupakan isu utama untuk golongan istimewa ini dalam mendapat hak mereka. Masalah pendengaran yang dialami membuat mereka bergantung kepada bahasa visual yaitu bahasa isyarat dibanding dengan bahasa lisan.8 Selain itu, terbatasnya pemerolehan bahasa menyulitkan mereka memahami ayat-ayat di dalam bahasa-bahasa lain dan ayat yang bermakna tinggi.9

Perlunya usaha dakwah kepada golongan dengan masalah pendengaran (tuli) sama seperti golongan sempurna. Bahkan lebih utama diberikan perhatian karena gangguan kemampuan dan kesulitan yang dihadapi untuk menerima dakwah berbeda dengan yang lain. Golongan bermasalah pendengaran amat lemah dalam pemahaman ibadah fardu ‘ain dan sulit untuk mengikuti perkembangan agama, di samping tidak ada pegangan dari institusi agama khususnya pengurusan masjid

7 Siti Ramna Khamaruddin, dkk., Analisis Keperluan Pembangunan Bahasa Isyarat Malaysia Bagi Terminologi Ibadah. International Journal for Studies on Children, Women, Elderly And Disabled, Vol. 4, 2018, h. 64

8Klaudia Krammer, The benefits of sign language for deaf children with and without cochlear implant(s). European Scientific Journal. Volume 4, 2013, 341- 349.

9 Syar Meeze & Norlidah Alias & Zawawi Ismail, Isu dan Cabaran Dalam Penggunaan Bahasa Isyarat Malaysia (BIM) untuk Pengajaran Perkara Asas Fardhu Ain (PAFA). Journal of Quran Sunnah Education & Special Needs. Vol 1 No 1.2, 2017, h. 8

(18)

dalam usaha dakwah kepada golongan berkebutuhan khusus terutama dengan masalah pendengaran.10

Meskipun akses Tuli untuk mempelajari agamanya masih jarang, tapi saat ini sudah semakin berkembang dengan adanya beberapa organisasi atau lembaga yang memfasilitasi kebutuhan kaum Tuli akan dakwah Islam ini. Salah satunya Majelis Ta'lim Tuli Indonesia.

Yayasan Majelis Ta’lim Tuli Indonesia, selanjutnya akan disebut Yayasan MTTI, menjadi salah satu majelis yang didirikan karena kepedulian pendirinya kepada kawan-kawan muslim Tuli lain. Di majelis tersebut, diadakan kajian rutin kepada jemaah Tuli dengan harapan agar mereka mengerti tentang Islam. Kajian MTTI dibawakan oleh seorang ustad dan seorang penerjemah (interpreter) atau Juru Bahasa Isyarat (JBI) yang bertugas untuk menerjemahkan bahasa lisan yang disampaikan oleh ustad ke dalam bahasa isyarat agar para jemaah Tuli mengerti isi kajian tersebut. Selain itu, ada juga beberapa dai yang sudah menguasai bahasa isyarat.

Sebelum MTTI didirikan, masih banyak muslim Tuli yang tidak paham tentang agamanya, belum mengerti tentang Allah, Tuhan mereka sendiri. Mereka juga tidak memahami ibadah yang benar karena tidak ada yang mengajarkan sesuai dengan kekhususan mereka, yaitu dengan bahasa isyarat.11

10 Mohd Husain & Hajarul Zakaria & Bani Hidayat bin Mohd Shafie, & Nor Hayati Fatmi binti Talib & Nabiroh Kassim. Kepentingan Dakwah kepada Golongan Bermasalah Pendengaran: Satu Keperluan. 2015, h. 1

11 www.yayasan-mtti.org diakses pada 28 September 2018 Pukul 09:27 WIB

(19)

Metode efektif dari pengajaran Islami adalah melalui dua metode komunikasi. Pertama adalah komunikasi manual menggunakan bahasa isyarat dan ejaan jari, dan yang kedua adalah metode oral dengan menekankan melatih kemampuan berbicara dan membaca gerak bibir selama berbicara menggunakan isyarat visual.12 Secara umum, mereka berkomunikasi bukan dengan bahasa lisan melainkan dengan bahasa isyarat yang merupakan bahasa alamiah mereka, tapi ada juga sebagian mereka yang menggunakan komunikasi oral.

Biasanya Tuli yang bisa berkomunikasi oral adalah yang berlatar belakang pendidikan di sekolah luar biasa, mereka diajarkan sewaktu menempuh pendidikan di sana.

Bahasa isyarat adalah bahasa manual yang digunakan oleh orang yang Tuli untuk berkomunikasi; bahasa sejati bagi Tuli dengan tata bahasanya sendiri.13 Bahasa isyarat dapat menjadi salah satu strategi dalam menyampaikan pesan dakwah kepada kaum Tuli. Kuantitas terutama kualitas interpreter isyarat sangat berpengaruh terhadap kelancaran dan keberhasilan kegiatan dakwah. Jika interpreter bahasa isyarat khususnya interpreter yang mengerti isyarat Islam dengan kemampuan berbahasa isyarat yang baik atau juga dai jumlahnya kurang, maka kegiatan dakwah akan terkendala atau menjadi kurang

12 Ns. Mardiyanti, & Luh Putu Suta Haryanthi Challenges on learning Islam among deaf Muslim in an Indonesian context: Deaf teachers perspective. International Medical Journal Malaysia, 17(Specialissue1), 2016, h.

18

13 Daniel, James, Paige. Exceptional Learners, Eleventh Edition (New York: Pearson) 2009, h. 348

(20)

efektif. Butuh waktu lebih lama dalam penyampaian sebuah pesan dakwah apabila sang dai kurang lancar berbahasa isyarat karena bertanya ke sana-sini saat kegiatan dakwah berlangsung, yang malah akan membingungkan jemaah Tuli.

Inilah salah satu masalah yang dialami MTTI saat ini, selain itu interpreter di sana sifatnya cenderung sukarela dan masih sedikit yang istiqomah. Juga frekuensi adanya taklim menjadi lebih sedikit dibanding kebutuhan jemaah, melihat sedikitnya interpreter yang ada di MTTI.

Meeze, dkk. mengatakan bahwa Tuli akan memiliki minat untuk mempelajari sesuatu jika bahasa isyarat digunakan sebagai media komunikasi utama mereka dalam pengajaran dan pembelajaran. Mereka akan mudah didekati apabila orang yang mendekatinya bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat.14

Dalam menyampaikan dakwah diperlukan strategi, strategi yang digunakan harus disesuaikan dengan kondisi mad’u.

Begitu pula dengan pendekatan komunikasi juga harus tepat.

Berdakwah kepada komunitas tuli tentu berbeda dengan berdakwah kepada komunitas dengar. Strategi dakwah dan pendekatan yang digunakan harus sesuai dengan kebutuhan serta budaya dari komunitas tuli tersebut.

Strategi dakwah adalah perencanaan yang berisi rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan dakwah

14 Syar Meeze & Norlidah Alias & Zawawi Ismail, Isu dan Cabaran Dalam Penggunaan Bahasa Isyarat Malaysia (BIM) untuk Pengajaran Perkara Asas Fardhu Ain (PAFA). Journal of Quran Sunnah Education & Special Needs. Vol 1 No 1.2, 2017,. h. 7

(21)

tertentu.15 Dalam berdakwah kepada kaum Tuli diperlukan strategi-strategi tersendiri dengan memerhatikan unsur-unsur dakwah khususnya metode dan media dakwah agar pesan dakwah dapat tersampaikan dan dipahami dengan baik. Semua itu perlu direncanakan dengan matang, kemudian dilaksanakan dan setelahnya dilakukan evaluasi untuk melihat seberapa efektif strategi yang telah disusun dan perbaikan apa yang perlu dilakukan kedepannya.

Selain bahasa isyarat sebagai strategi dakwah, Tuli juga memiliki bentuk komunikasi lain yang biasanya berdampingan dengan bahasa isyarat. Bentuk-bentuk komunikasi itu digunakan untuk memaksimalkan proses pengajaran seperti gerak isyarat (gesture), ejaan jari, simbol-simbol, gambar- gambar, membaca, dan menulis. Itu semua juga termasuk dalam bentuk-bentuk interaksionisme simbolik.

Interaksionisme Simbolik adalah segala hal yang saling berhubungan dengan pembentukan makna dari suatu benda atau lambang atau simbol, baik benda mati maupun benda hidup, melalui proses komunikasi baik dari pesan non verbal maupun perilaku nonverbal dan tujuan akhirnya adalah memaknai lambang atau simbol tersebut berdasarkan kesepakatan bersama yang berlaku di wilayah atau kelompok komunitas masyarakat tertentu.16

15 Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta: Kencana), 2009, h. 349

16 Nina Siti Salmaniah Siregar, Kajian tentang Interaksi Simbolik. Jurnal Ilmu Sosial ISIPOL UMA: Perspektif, 4. 2011 , h. 101

(22)

Dalam interaksionisme simbolik terdapat makna, simbol- simbol, interaksi, komunikasi nonverbal dan komunikasi verbal. Maka isyarat tangan juga termasuk bentuk interaksionisme simbolik.17

Dakwah bahasa isyarat masih jarang ditemui, padahal kaum Tuli mempunyai kebutuhan akan dakwah juga sebagaimana dengan orang tanpa disabilitas. Sudah terdapat pula dalam al-Qur’an mengenai kewajiban mendakwahi orang dengan disabilitas serta hak mereka untuk memperoleh pengetahuan agama yang telah tertulis dalam UU RI No. 8 tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas.

Dalam permulaan surat ‘Abasa, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat teguran dari Allah ketika berpaling dari seorang buta bernama Abdullah bin Ummi Maktum, yang hendak mendapat pelajaran dari beliau,

ىَّل َوَت َو َسَبَع ىَمْعٌّلاا ُهَءآَج نَأ–

ىَّك َّزَي ُهَّلَعَل َكي ِرْدُي اَم َو– ى َرْكِ ذلا ُهَعَفنَتَف ُرَّكَّذَي ْوَأ–

Artinya, “1. Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling. 2. Karena seorang buta telah datang kepadanya. 3.

Dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali ia ingin menyucikan dirinya (dari dosa). 4. Atau ia ingin mendapatkan pengajaran yang memberi manfaat kepadanya?” Q.S ‘Abasa: 1- 4.18

17 Mailinda, M., & Suzy S. Azeharie Komunikasi Interaksionisme Simbolik Antara Pekerja Tunarungu Dengan Tamu (Studi Komunikasi di Kafe Kopi Tuli Depok). Koneksi, 2(2), 2019. h. 426

18 Al-Qur’an Surat ke 80 ‘Abasa , hlm. 585

(23)

Teguran yang Allah berikan pada Nabi Muhammad mengajarkan bahwa penyandang disabilitas juga berhak mengetahui ajaran agamanya selama dia berakal atau mampu memahami apa yang disampaikan. Berarti terdapat kewajiban berdakwah pada mereka dan mereka juga berkewajiban menjalankan ibadah semampu mereka.

Saat ini Yayasan MTTI memiliki anggota sekitar 150-200 orang, jumlah tersebut naik turun. Sedangkan jemaah yang menghadiri kajian rutin berjumlah sekitar 30-50 orang pada tiap pertemuan. Rata-rata usia jemaah yaitu sekitar 50 tahun.

Dengan adanya MTTI, merupakan salah satu fenomena di dalam dakwah kaum Tuli yang berdampak positif. Kaum Tuli dapat belajar mengenai agama mereka sehingga dapat mengenal Allah dan dapat terus memperbaiki kualitas ibadah mereka.

Meneliti tentang strategi dakwah merupakan hal yang sangat penting, sebab dakwah merupakan satu-satunya jalan terbesar untuk mengenalkan agama Islam kepada kaum Tuli.

Dan MTTI merupakan salah satu lembaga dakwah yang konsisten berdakwah pada kaum Tuli. Dengan meneliti hal ini diharapkan dapat mengetahui bagaimana strategi dakwah tilawah, tazkiyah, dan taklim di Yayasan MTTI dengan interaksionisme simbolik sebagai pisau analisis. Juga mengetahui strategi apa yang bisa ditiru, ditambah, atau diperbaiki.

Berangkat dari latar belakang di atas mengenai dakwah kepada kaum Tuli, terutama tentang bagaimana strategi dakwah

(24)

tilawah, tazkiyah, dan taklm. Maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “STRATEGI DAKWAH YAYASAN MAJELIS TA’LIM TULI INDONESIA DI JAGAKARSA JAKARTA SELATAN”.

B. Identifikasi Masalah

Dari pemaparan latar belakang di atas, terdapat beberapa poin masalah:

1. Terbatasnya akses komunitas tuli dalam mendapatkan pengetahuan agama Islam.

2. Sulitnya jamaah dalam memahami isi materi dakwah karena terbatasnya pemerolehan bahasa mereka, sehingga penyampaian materi dakwah dilakukan berulang.

3. Kurangnya Juru Bahasa Isyarat agama dan terbatasnya terminologi isyarat Islam.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah, agar penelitian ini fokus dan terarah, maka peneliti membatasi masalah hanya pada poin dua dan tiga. Yaitu, mengenai kesulitan jamaah tuli dalam memahami isi materi dakwah karena keterbatasan pemerolehan bahasa mereka, yang menyebabkan penyampaian materi dakwah dilakukan berulang. Juga mengenai kurangnya juru bahasa isyarat dan terbatasnya istilah-istilah isyarat Islam. Kedua batasan masalah di atas dikhususkan tentang strategi apa yang dilakukan yayasan agar tidak meluas dan lebih jelas.

(25)

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana strategi dakwah tilawah di Yayasan Majelis Ta’lim Tuli Indonesia?

2. Bagaimana strategi dakwah tazkiyah di Yayasan Majelis Ta’lim Tuli Indonesia?

3. Bagaimana strategi dakwah taklim di Yayasan Majelis Ta’lim Tuli Indonesia?

E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui strategi dakwah tilawah, tazkiyah, dan taklim yang dilakukan oleh Yayasan Majelis Taklim Tuli Indonesia

2. Manfaat penelitian a. Secara teoritis

Penelitian ini bisa menjadi bahan kajian bagi peneliti lainnya untuk memahami dan peduli terhadap masalah pendidikan agama terhadap Tuli. Serta diharapkan dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan keilmuan dakwah kepada mahasiswa, aktivis dakwah, penggiat komunikasi, maupun aktivis disabilitas, khususnya dalam strategi dakwah kepada disabilitas.

Hasil penelitian juga diharapkan dapat menjadi motivasi untuk meningkatkan proses belajar mengajar Tuli.

(26)

b. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca secara umum maupun memberi masukan kepada pemerintah dalam membantu dakwah Tuli minimal sesuai dengan UU RI No. 8 Tahun 2016 Tentang Disabilitas.

Memberikan perspektif baru tentang situasi dakwah Tuli. Dengan itu para mahasiswa dapat tertarik untuk terjun membantu para disabilitas agar mengerti tentang Islam, baik dengan cara menjadi dai, penerjemah dan lainnya. Diharapakan pula, para pelaku dakwah dapat ikut mencoba menerapkan strategi dakwah yang sudah berhasil diterapkan oleh lembaga dakwah lain kepada kaum Tuli.

F. Tinjauan Kajian Terdahulu

Dalam melakukan penelitian ini, penulis melakukan review kajian terdahulu terhadap beberapa skripsi yang mempunyai kemiripan judul untuk menghindari benuk plagiat:

1. Skripsi Amaliah Sifah, Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanudin Banten, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, yang berjudul “Strategi Dakwah Islamiyah pada Penyandang Tuna Rungu (Studi Kasus pada Majelis Ta’lim Tuli Indonesia, Jakarta Selatan)”, 2019.

Skripsi ini membahas tentang strategi dakwah Islamiyah pada penyandang tunarungu di Yayasan

(27)

MTTI. Menggunakan konsep umum strategi dakwah islamiyah dan teori komunikasi nonverbal, teori stimulus-respon. Konsep strategi dakwah yang digunakan berbeda dengan yang peneliti gunakan saat ini, dan peneliti tidak menggunakan teori komunikasi nonverbal dan stimulus respon.

Kesimpulan strategi dakwah dalam skripsi ini adalah Yayasan MTTI menggunakan metode dakwah Tabligh, Amar Ma’ruf nahi Munkar, Mau’idzah Hasanah, Tabsyir dan Tandzir, Ta’lim dan Tarbiyah.

Sementara teknik dakwah yang digunakan yaitu dakwah dari orang perorang, silaturahmi, pengajaran dilakukan secara bertahap, bimbingan, diskusi, mempromosikan kajian melalui media sosial. Lalu yang terakhir media dakwah yang digunakan Kedua Teknik Dakwah yang digunakan berupa white board, Bahasa Isyarat Indonesia, Bahasa Isyarat Arab.

2. Jurnal studi disabilitas Ahmad Siddicq, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, jurusan Pendidikan Agama Islam yang berjudul “Upaya Peningkatan Praktik Salat Mahasiswa Tuli Lewat Pelatihan Berbasis Bisindo”, 2017 yang merupakan versi pendek dari skripsinya yang berjudul “Upaya Peningkatan Praktik Tata Cara Salat Mahasiswa Tuli Melalui Program Keagamaan Berbasis Bisindo di UIN Sunan Kalijaga”

Di dalam jurnal ini disimpulkan bahwa aksesibilitas dan komunikasi merupakan hal terpenting dalam sebuah

(28)

pembelajaran adaptif. Sesulit apapun kondisi kelas atau peserta didiknya, jika menggunakan materi, media dan strategi yang tepat maka pembelajaran akan menjadi mudah. Mahasiswa tuli awalnya masih sangat awam perihal keagamaan terutama bacaan salat, namun setelah empat kali pertemuan mereka menjadi hafal bacaan salat dengan bahasa isyarat.

Penelitian ini menggunakan metode Action Research atau termasuk dalam Socially Critical Action Research, yang meneliti sekaligus memberi tindakan untuk penyetaraan hak-hak sosial yang terjadi pada sebagian masyarakat. Penelitian ini tidak hanya mempunyai tujuan teoritis melainkan langsung dipraktikkan oleh peneliti kepada subjek utama yaitu mahasiswa Tuli UIN Sunan Kalijaga.

Sedangkan penelitian penulis menggunakan metode yang berbeda yaitu deskriptif dengan model studi kasus, dilakukan pada subjek dan objek yang berbeda.

3. Skripsi Anita, mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati, jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam yang berjudul

“Aktivitas Tabligh Yayasan Majelis Ta’lim Tuli Indonesia”, 2018.

Skripsi Anita membahas mengenai aktivitas tabligh pada Yayasan MTTI. Pola tabligh yaitu materi, metode dan media tabligh menjadi rumusan yang difokuskan untuk menggambarkan hasil penelitian mengenai

(29)

aktivitas tabligh Yayasan MTTI itu sendiri. Anita menggunakan konsep tabligh, 1teori komunikasi non verbal, teori komunikasi total, dan teori interaksionisme simbolik. Penelitian ini membahas secara umum tentang aktivitas tabligh Yayasan MTTI, yang peneliti ini sarankan pada peneliti selanjutnya untuk bisa menambahkan kekurangan pada penelitian ini. Maka diharapkan peneliti setelahnya dapat melakukan penelitian dengan lebih spesifik.

Kekurangan penelitian ini yang sangat disayangkan adalah teori-teori yang disebutkan sebelumnya tidak dibahas di dalam bab pembahasan. Pembahasan yang ada hanya menggunakan konsep-konsep tabligh dan konsep dalam unsur-unsur dakwah saja.

Sementara dalam penelitian yang penulis hendak lakukan, penulis akan fokus pada strategi dakwah tilawah, tazkiyah, dan taklim dari Yayasan MTTI serta interaksionisme simbolik di yayasan tersebut.

4. Skripsi Muhammad Idris, mahasiswa Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, jurusan Manajemen Dakwah, Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang berjudul “Strategi Dakwah Yayasan Komunitas Sahabat Mata Dalam Pengembangan Potensi Diri Kaum Tunanetra Di Mijen Kota Semarang”, 2015.

Skripsi ini juga membahas tentang strategi dakwah namun pada sebuah yayasan dalam pengembangan potensi disabilitas tunanetra. Hasil penelitian yang

(30)

didapatkan yaitu, Strategi Tazkiyah (penyucian jiwa), diterapkan para dai untuk membersihkan hati, perilaku mad’u tunanetra agar mudah menerima pesan-pesan dakwah. Strategi Ta’lim (pembelajaran), dengan pembekalan keilmuan keagamaan, pembekalan keterampilan, perkembangan potensi diri termasuk potensi mental dan spiritual.

Perbedaan dengan penelitian yang hendak penulis lakukan yaitu pada subjek penelitian. Sedangkan ada konsep strategi dakwah yang digunakan sama yaitu, strategi tilawah, tazkiyah, taklim.

5. Jurnal Eka Wijaya Pranata, Mochamad Chaerul Latif, Fajriannoor Fanani, jurusan Komunikasi, Fakultas Informasi dan Teknologi Komunikasi, Universitas Semarang yang berjudul “Symbolic Interaction of The Deaf Students in Public School” atau “Interaksi Simbolik Siswa Tunarungu di Sekolah Umum”, 2019.

Jurnal ini berisi tentang hasil penelitian untuk mengetahui bagaimana terjadinya proses interaksionisme simbolik pada siswa tunarungu yang menempuh pendidikan di sekolah umum SD Maranatha 01. Teori yang digunakan adalah teori Interaksionisme Silmbolik dari George Herbert Mead. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu, perilaku dan bentuk interaksi yang terjadi pada siswa tunarungu terhadap guru dan siswa- siwa yang memiliki pendengaran baik di SD Maranatha

(31)

01 dipengaruhi oleh adanya proses sosial. Komunikasi yang terjadi itu akan memengaruhi perubahan makna dan perilaku. Individu yang terlibat dalam komunikasi tersebut memengaruhi siswa tunarungu untuk mengambil sikap dan menyesuaikan dengan situasi di sekolah umum.

G. Metodologi Penelitian

1. Subjek dan Objek Penelitian

Dalam penelitian ini, yang menjadi subjek penelitian adalah Majelis Ta’lim Tuli Indonesia, dan yang menjadi objek penelitian adalah strategi dakwah dengan pendekatan tilawah, tazkiyah, dan taklim dari Yayasan MTTI itu sendiri.

2. Pendekatan dan Jenis Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.

Pendekatan kualitatif dalam komunikasi menekankan pada bagaimana sebuah pendekatan dapat mengungkapkan makna-makna dari konten komunikasi yang ada sehingga hasil-hasil penelitian yang diperoleh berhubungan pemaknaan dari sebuah proses komunikasi yang terjadi. Studi yang menggunakan pendekatan kualitatif menggunakan khazanah dan fenomena empiris, seperti studi kasus, pengalaman pribadi, life history, wawancara, observasi, sejarah, interaksi dan teks visual

(32)

maupun konten pesan yang menggambarkan rutinitas dan problematika serta makna kehidupan individu.19

Model penelitian yang digunakan adalah studi kasus, model ini memfokuskan pada kasus tertentu. Studi kasus adalah suatu model penelitian kualitatif yang terperinci tentang individu atau suatu unit sosial tertentu selama kurun waktu tertentu. Secara lebih dalam, studi kasus merupakan suatu model yang bersifat komprehensif, intens, terperinci dan mendalam serta lebih diarahkan sebagai upaya untuk menelaah masalah-masalah atau fenomena yang bersifat kontemporer (berbatas waktu).20 Sedangkan paradigma yang digunakan adalah konstruktivis, yaitu pengetahuan dapat digambarkan sebagai hasil atau konsekuensi dari aktivitas manusia, pengetahuan merupakan konstruksi manusia. Artinya, bahwa aktivitas manusia itu merupakan aktivitas mengkonstruksi realitas, dan hasilnya tidak merupakan kebenaran yang tetap, tetapi selalu berkembang terus.21 Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk membuat penggambaran secara sistematis, faktual, dan

19 Jumroni, Suhaimi, Metode-Metode Penelitian Komunikasi (Jakarta: UIN Jakarta Press), 2006, h. 26

20 Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial (Jakarta: Salemba Humanika), 2010, h. 76

21 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta: Bumi Aksara), 2013, h. 49

(33)

akurat mengenai fakta-fakta dan sifat populasi atau daerah tertentu.22

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah sebagai berikut:

a. Observasi partisipatif

Dalam observasi ini, peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Peneliti belajar tentang perilaku, dan makna dari perilaku tersebut. Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan sumber data. Dengan observasi partisipan ini, maka data yang diperoleh akan lebih lengkap, tajam, dan sampai mengetahui pada tingkat makna dari setiap perilaku yang nampak.23 Peneliti juga akan merekam kegiatan saat melakukan observasi untuk diteliti kembali.

b. Wawancara

Wawancara adalah merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui

22 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: Rajawali Pers), 2013, h. 75

23 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta), 2010, h. 64

(34)

tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.24

c. Dokumentasi

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dari berkas-berkas, foto, video, serta fakta dan data lainnya.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang peneliti gunakan yaitu, analisis sebelum di lapangan dan analisis selama di lapangan Model Miles and Huberman. Yaitu, analisis data yang dilakukan secara interaktif dan berlangsung terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data yaitu, data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification.25 Bisa dikatakan juga analisis data kualitatif ini dilakukan secara bersamaan dengan proses pengumpulan data berlangsung, artinya kegiatan- kegiatan tersebut dilakukan juga selama dan sesudah pengumpulan data.26

24 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta), 2010, h. 72

25 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta), 2010, h. 91

26 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta: Bumi Aksara), 2013, h. 211

(35)

5. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan dengan mendatangi tempat- tempat kegiatan Yayasan MTTI berlangsung, termasuk kajian dwi mingguan, maka tempat penelitian dilakukan di tiga tempat, yaitu:

a. Masjid Abu Bakar Ash Shiddiq, Cawang, Jakarta Timur

b. Rumah Belajar Miranda, Villa Sawo, Cipete Utara, Jakarta Selatan

c. Grand Sahid Jaya Hotel, Karet Tengsin, Jakarta Pusat

H. Sistematika Penulisan BAB 1 PENDAHULUAN

Dalam bab ini terdapat latar belakang masalah, permasalahan penelitian (batasan penelitian dan rumusan masalah), tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian (paradigma penelitian, metode penelitian, subjek dan objek penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, waktu dan tempat penelitian), dan sistematika penulisan.

BAB II KERANGKA TEORI

Dalam bab ini berisikan landasan teori mengenai tinjauan umum strategi dakwah, berisi tentang pengertian strategi, pengertian dakwah, fungsi dan tujuan dakwah, unsur- unsur dakwah, termasuk metode dakwah sesuai dasar atau tiga

(36)

tahapan dakwah islam. kemudian tentang teori interaksionisme simbolik.

BAB III GAMBARAN UMUM

Berisi tentang gambaran umum tentang Yayasan Majelis Ta’lim Tuli Indonesia, latar belakang berdirinya, visi dan misi serta tujuan majelis taklim, struktur kepengurusan dan pembagian tugas dalam organisasi.

BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

Berisi uraian penyajian data dan temuan penelitian yang peneliti dapatkan di lapangan yang disajikan secara deskriptif.

BAB V PEMBAHASAN

Bagian ini berisi uraian yang mengaitkan latar belakang, teori, dan serta temuan penelitian.

BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

Berisi tentang simpulan berupa jawaban umum dari rumusan masalah, implikasi penelitian dan saran setelah semua rangkaian penelitian selesai.

(37)

22 A. Landasan Teori

1. Strategi

Strategi berasal dari bahasa Yunani: strategia yang berarti kepemimpinan atas pasukan atau seni memimpin pasukan. Kata strategia bersumber dari kata strategos yang berkembang dari kata stratos (tentara) dan kata agein (memimpin). Istilah strategi dipakai dalam konteks militer sejak zaman kejayaan Yunani-Romawi sampai masa awal industrialisasi. Sementara strategi menurut Arifin adalah keseluruhan keputusan kondisional tentang tindakan yang akan dijalankan, guna mencapai tujuan.27

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, strategi adalah ilmu dan seni menggunakan semua sumber daya bangsa(-bangsa) melaksanakan kebijaksanaan tertentu dalam perang dan damai atau juga rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus.28

Strategi merupakan sebuah keputusan dalam menentukan misi, visi, tujuan, dan kebijakan dan cara untuk

27 Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer-Sebuah Studi Komunikasi (Yogyakarta: Graha Ilmu), 2011, h. 227

28 Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa) 2008, h. 1376-1377

(38)

mencapai keunggulan dan menciptakan kondisi masa depan organisasi.29

2. Strategi Dakwah

M. Bahri Ghazali mengatakan bahwa dalam kegiatan dakwah komunikatif dibutuhkan suatu strategi yang merupakan taktik dalam berdakwah sehingga dapat dilaksanakan dengan tuntas dan berhasil dalam mencapai tujuan. Di dalam dakwah komunikatif strategi dalam menyampaikan pesan agama dapat dilakukan dengan melaksanakan kegiatan dakwah melalui pola dakwah yang tepat sesuai dengan sasaran dakwahnya. Pelaksanaan strategi dakwah dapat dilaksanakan melalui modifikasi kegiatan dakwah sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan dakwah itu.30

Istilah strategi meluas ke banyak aspek kegiatan masyarakat, termasuk dalam bidang komunikasi dan dakwah.

Hal ini penting karena dakwah bertujuan untuk membawa perubahan terencana kepada masyarakat dan hal ini telah berlangsung selama lebih dari seribu tahun lamanya. Menurut Anwar Arifin, merumuskan strategi dakwah, berarti mempertimbangkan kondisi dan situasi masa depan (ruang dan waktu) untuk mencapai efektivitas atau mencapai tujuan.

Dengan menggunakan strategi dakwah, ini berarti komunikasi

29 Nanang Fattah, Manajemen Strategik Berbasis Nilai (Bandung: Rosda Karya), 2016, h. 29

30 M. Bahri Ghazali, Da’wah Komunikatif (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), 1997, h. 21

(39)

dapat digunakan secara sadar dalam berbagai cara untuk menciptakan perubahan pada diri khalayak dengan mudah dan cepat.31

Menurut Moh. Ali Azis, strategi dakwah juga bisa ditentukan berdasarkan dari ayat-ayat al-Quran surah al- Baqarah (2) ayat 129 dan 151, al-Imran (3) ayat 164, dan al- Jumu’ah (62) ayat 2. Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan 3 strategi dakwah, yaitu Strategi Tilawah (Membacakan ayat- ayat Allah), Strategi Tazkiyah (Menyucikan Jiwa), dan Strategi Ta’lim (mengajarkan al-Qur’an dan al-Hikmah).32

1. Strategi Tilawah

Strategi ini merupakan transfer pesan dakwah dengan lisan atau tulisan. Mad’u diminta mendengarkan penjelasan dai atau mad’u membaca sendiri pesan yang ditulis oleh dai. Ayat-ayat Allah yang dimaksud ini bica mencakup ayat yang tertulis dalam kitab suci dan yang tidak tertulis, yaitu alam semesta dengan segala isinya dan kejadian-kejadian di dalamnya. Strategi tilawah bergerak lebih banyak pada ranah kognitif (pemikiran) yang transformasinya melewati indra pendengaran (al- sam’) dan indra penglihatan (al-abshar) serta ditambah akal yang sehat (al-af’idah).

2. Strategi Tazkiyah

31 Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer-Sebuah Studi Komunikasi (Yogyakarta: Graha Ilmu), 2011, h. 227

32 Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta: Kencana) 2009, h. 355-356

(40)

Strategi ini berbeda dari strategi tilawah yang melalui indra pendengaran dan penglihatan, maka strategi tazkiyah melalui aspek kejiwaan. Salah satu misi dakwah adalah menyucikan jiwa manusia. Kekotoran jiwa dapat menimbulkan berbagai masalah baik individu atau sosial, bahkan menimbulkan berbagai penyakit, baik penyakit hati atau badan. Sasaran strategi ini adalah jiwa yang kotor. Tanda jiwa yang kotor dapat dilihat dari gejala jiwa yang tidak stabil, keimanan yang tidak istiqamah seperti akhlak tercela lainnya, seperti serakah, sombong, kikir, dan sebagainya.

3. Strategi Ta’lim

Strategi ini mirip dengan strategi tilawah, yakni keduanya mentransformasikan pesan dakwah. Namun, strategi ta’lim bersifat lebih mendalam, dilakukan secara formal dan sistematis. Artinya metode ini hanya dapat diterapkan pada mad’u yang tetap, dengan kurikulum yang telah dirancang, dilakukan secara bertahap, serta memiliki target dan tujuan tertentu.

Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan bahwa hakikat Tilawah Al-Quran adalah tilawah yang sesungguhnya mencakup arti tilawah secara keseluruhan, yaitu membaca makna dan lafalnya. Tilawah lafal merupakan bagian dari tilawah itu sendiri, maksud dari tilawah ini yaitu mengikuti apa yang termaktub. Sedangkan tilawah hakiki yaitu, membaca maknanya dan mengikutinya, dengan membenarkannya, menunaikan perintahnya, menjauhi

(41)

larangannya, dan patuh kepadanya kemana saja ia menuntun.

Sering terlupa bahwa tilawah makna lebih mulia dari tilawah lafal. Orang yang melakukan tilawah makna adalah ahli Al- Quran yang berhak menerima pujian di dunia dan di akhirat.

Mereka itulah ahli tilawah dan pengikut Al-Quran yang sesungguhnya.33

Tiga konsep strategi dakwah inilah yang peneliti gunakan dalam penelitian ini, yaitu strategi tilawah, strategi tazkiyah, dan strategi taklim.

3. Dakwah

Dakwah menuju jalan Allah, maknanya yaitu mengajak orang lain agar melaksanakan perintahNya, dan menjauhi segala larangan-Nya. Hal itu berarti memerintahkan orang lain untuk melakukan kebaikan, dan melarang orang lain dari keburukan.

Makna dakwah secara syara’ adalah, mengajak orang lain agar melakukan segala perintah Allah, baik berupa ucapan atau amalan, dan meninggalkan segala larangan Allah baik berupa ucapan atau perbuatan.34

Menurut Ali Aziz, dakwah diserap dari bahasa Arab:

da’wah, yang antara lain maknanya mengajak, menyeru, memanggil, menyampaikan, mendorong atau memohon.

Da’wah sebagai istilah bahasa Arab itu telah mengalami

33 Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, Kunci Kebahagiaan (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana) 2004, h. 91

34 Fawwaz bin Hulayyil as-Suhaimi, Begini Seharusnya Berdakwah (Jakarta: Darul Haq), 2015, h. 19

(42)

perkembangan dari asal kata daa’ yang dalam bahasa Indonesia berarti ajakan, seruan atau panggilan. Jadi setiap kegiatan manusia yang bertujuan mengajak, menyeru atau memanggil sesamanya manusia, berbuat baik, melaksanakan kebajikan dan mencegah kemunkaran, disebut dakwah.

Pelakunya dinamakan ustaz (dai) yaitu orang atau sekelompok orang yang melaksanakan dakwah.35

Berikut ini, adalah beberapa definisi mengenai dakwah yang diungkapkan oleh para ahli:

a. Toha Yahya Omar mengatakan “Definisi ilmu dakwah secara umum adalah suatu ilmu pengetahuan yang berisi cara-cara atau tuntutan bagaimana seharusnya menarik perhatian manusia untuk menganut, menyetujui, melaksanakan suatu ide/gagasan, pendapat atau pekerjaan tertentu. Adapun definisi dakwah menurut Islam adalah mengajak manusia dengan cara yang bijaksana kepada jalan yang benar sesuai peringatan Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.”

b. Abu Bakar Dzakaria mengatakan “Dakwah sebagai kegiatan para ulama dengan mengajarkan manusia kepada apa yang baik bagi mereka, yaitu kehidupan dunia akhirat menurut kemampuan mereka.”

c. Al-Khuli’I mendefinisikan bahwa dakwah adalah

“Memindahkan umat dari satu situasi ke situasi yang lain.”

35 Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer-Sebuah Studi Komunikasi (Yogyakarta: Graha Ilmu), 2011, h. 36

(43)

d. Ali Mafudz mengatakan bahwa dakwah adalah

“Mendorong manusia untuk melakukan kebaikan dan mengikuti petunjuk serta memerintah mereka berbuat ma’ruf dan mencegah mereka dari perbuatan mungkar agar mereka memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat.”

Secara umum, dakwah adalah ajakan atau seruan kepada yang baik dan yang lebih baik. Dakwah mengandung ide tentang progresivitas, sebuah proses terus-menerus menuju kepada yang baik dan yang lebih baik dalam mewujudkan tujuan dakwah tersebut. Dengan begitu, dalam dakwah terdapat suatu ide dinamis, sesuatu yang terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan tuntunan ruang dan waktu.

Sementara itu dakwah dalam prakteknya merupakan kegiatan untuk mentransformasikan nilai-nilai agama yang mempunyai arti penting dan berperan langsung dalam pembentukan persepsi umat tentang bagaimana nilai kehidupan.36

1) Unsur-unsur Dakwah

Unsur-unsur dakwah merupakan komponen- komponen yang harus ada dalam setiap kegiatan dakwah. Dan desain pembentuk tersebut adalah meliputi;

a. Dai

Dai adalah orang yang melaksanakan dakwah baik secara lisan maupun tulisan ataupun perbuatan dan baik secara individu, kelompok atau bentuk organisasi atau

36 Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah (Bandung: Rosdakarya), 2010, h. 16- 17

(44)

lembaga. Pada dasarnya, semua pribadi muslim berperan secara otomatis sebagai juru dakwah, artinya orang yang harus meyampaikan atau dikenal sebagai komunikator dakwah. Maka, yang dikenal sebagai dai atau komunikator dakwah itu dapat dikelompokan menjadi:

1. Secara umum adalah setiap muslim atau muslimat yang mukallaf [dewasa] di mana bagi mereka kewajiban dakwah merupakan suatu yang melekat, tidak terpisahkan dari misinya sebagai penganut Islam, sesuai perintah: “Sampaikanlah walau satu ayat”.

2. Secara khusus adalah mereka yang mengambil keahlian khusus [mutakhasis] dalam bidang agama Islam, yang dikenal dengan panggilan ulama.

b. Mad’u

Mad’u adalah manusia yang menjadi mitra dakwah atau menjadi sasaran dakwah atau manusia penerima dakwah, baik secara individu, kelompok, baik yang beragama Islam maupun tidak, dengan kata lain manusia secara keseluruhan. Muhammad Abduh membagi mad’u menjadi tiga golongan yaitu:

1. Golongan cerdik cendekiawan yang cinta kebenaran dan dapat berpikir secara kritis, cepat menangkap persoalan.

2. Golongan awam, yaitu kebanyakan orang yang belum dapat berpikir secara kritis dan mendalam,

(45)

belum dapat menangkap pengertian-pengertian yang tinggi.

3. Golongan yng berbeda dengan golongan di atas adalah mereka yang senang membahas sesuatu, tetapi hanya dalam batas tertentu tidak sanggup mendalami benar.

c. Materi/pesan Dakwah

Materi/pesan dakwah adalah isi pesan yang disampaikan dai kepada mad’u. pada dasarnya pesan dakwah itu adalah ajaran Islam itu sendiri. Secara umum dapat dikelompokan menjadi Pesan Akidah, Pesan Syariah dan Pesan Akhlak.37 Pesan Akidah meliputi rukun iman, Pesan Syariah yaitu tentang ibadah dan muamalah, dan Pesan akhlak yaitu tentang akhlak terhadap Allah Ta’ala dan Akhlak terhadap makhluk Allah.38

d. Media Dakwah

Alat-alat yang dipakai untuk menyampaikan ajaran Islam. Hamzah Yaqub membagi media dakwah itu menjadi lima yaiu, Lisan,Tulisan¸Lukisan¸Audio Visual, Akhlak.

e. Efek Dakwah

Efek dakwah dalam ilmu komunikasi biasa disebut dengan feed back (umpan balik) adalah umpan balik dari

37 Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah (Bandung: Rosdakarya), 2010, h. 20 38 Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah (Bandung: Rosdakarya), 2010, h. 101- 102

(46)

reaksi proses dakwah. Dalam bahasa sederhananya adalah reaksi dakwah yang ditimbulkan oleh aksi dakwah.

f. Metode Dakwah

Metode dakwah adalah cara-cara yang digunakan dai untuk menyampaikan pesan dakwah atau rangkaian kegiatan untuk mencapai tujuan dakwah. Sementara itu, dalam komunikasi metode disebut juga dengan approach atau pendekatan, yaitu cara-cara yang digunakan oleh seorang komunikator untuk mencapai suatu tujuan tertentu.39

4. Interaksionisme Simbolik

Interaksionisme Simbolik merupakan salah satu dari teori awal ilmu sosial yang mengangkat pertanyaan mengenai bagaimana kita mempelajari budaya dan bagaimana budaya membentuk pengalaman hidup kita sehari-hari. Teori ini dikembangkan pada tahun 1920-an dan 1930-an sebagai reaksi terhadap kritik untuk aliran behaviorisme.

Teori ini memiliki banyak nama hingga Herbert blumer memberikan namanya yang sekarang pada tahun 1969.

Interaksionisme simbolik adalah teori yang menyatakan bahwa orang-orang memberikan makna terhadap simbol- simbol dan pemaknaan tersebut berfungsi untuk mengontrol mereka.

39 Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah (Bandung: Rosdakarya), 2010, h. 19- 22

(47)

Interaksionisme Simbolik adalah segala hal yang saling berhubungan dengan pembentukan makna dari suatu benda atau lambang atau simbol, baik benda mati maupun benda hidup, melalui proses komunikasi baik dari pesan non verbal maupun perilaku nonverbal dan tujuan akhirnya adalah memaknai lambang atau simbol tersebut berdasarkan kesepakatan bersama yang berlaku di wilayah atau kelompok komunitas masyarakat tertentu.40

Interaksi adalah satu relasi antara dua sistem yang terjadi sedemikian rupa sehingga kejadian yang berlangsung pada satu sistem akan mempengaruhi kejadian yang terjadi pada sistem yang lainnya.41

Menurut Ritzer, kehidupan masyarakat terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi antar-individu dan antarkelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar. Dalam perspektif interaksionisme simbolik, dakwah dengan pesan yang dibawanya dapat mengilhami pikiran anggota masyarakat untuk bersikap dan bertindak tertentu terhadap kejadian dan fenomena yang terjadi dalam masyarakat.42

Suatu kata tidaklah memiliki arti sebelum dia mengalami negosiasi dalam masyarakat sosial di mana

40 Nina Siti Salmaniah Siregar, Kajian tentang Interaksi Simbolik. Jurnal Ilmu Sosial ISIPOL UMA: Perspektif, 4. 2011 , h. 101

41 J.P. Chaplin Kartono K. (terj), Dictionary of Psychology. Kamus Lengkap Psikologi, (Jakarta: Rajawali Pers) 2011, h. 17

42 Syamsuddin, AB. Pengantar Sosiologi Dakwah. (Jakarta: 2016) h.26

(48)

simbolisasi bahasa tersebut hidup. Pemaknaan dari suatu bahasa pada hakikatnya terkonstruksi secara sosial.43

Paham mengenai interaksionisme simbolik adalah suatu cara berpikir mengenai pikiran (mind), diri (self) dan masyarakat (society) yang telah memberikan banyak kontribusi terhadap tradisi sosiokultural dalam membangun teori komunikasi. Dengan menggunakan sosiologi sebagai fondasi, paham ini mengajarkan bahwa ketika manusia berinteraksi satu sama lainnya, mereka saling membagi makna untuk jangka waktu tertentu dan untuk tindakan tertentu. Makna muncul sebagai hasil interaksi di antara manusia baik secara verbal maupun nonverbal. Melalui aksi dan respons yang terjadi, kita memberikan makna ke dalam kata-kata atau tindakan, dan karenanya kita dapat memahami peristiwa dengan cara-cara tertentu.44

George Herbert Mead dipandang sebagai pembangun paham interaksi simbolis ini. Ia merupakan salah satu tokoh yang paling besar kontribusinya. Dari bukunya yang berjudul

‘Mind, Self, and Society’ menunjukkan tiga konsep penting dari Interaksionisme Simbolik45, dengan deskrispsi sebagai berikut:

1) Mind (pikiran)

43 Syamsuddin, AB. Pengantar Sosiologi Dakwah. (Jakarta: 2016) h.130 44 Sindung Haryanto, Spektrum Teori Sosial Dari Klasik Hingga Postmodern (Jogjakarta: 2012) h 110-111

45 West R., & Turner H. Lynn, Introducing Communication Analysis and Aplication. ( New York: 2010) h.

(49)

Mead mendefinisikan mind sebagai kemampuan untuk mendefinisikan simbol yang mempunyai makna sosial umum, dan Mead percaya bahwa manusia harus mengembangkan pikiran melalui interaksi dengan orang lain. Bayi tidak dapat benar-benar berinteraksi dengan orang lain sampai mereka mempelajari bahasa, atau sistem bersama dari simbol verbal dan nonverbal yang diatur dalam pola untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan. (a) Bahasa (language) tergantung pada apa yang Mead sebut sebagai sygnificant symbol, simbol yang secara umum maknanya disepakati oleh banyak orang.

(b) Pemikiran (thought) dipahami Mead sebagai komunikasi dalam diri atau terhadap diri sendiri. Salah satu aktivitas terpenting yang dicapai orang melalui pemikiran adalah (c) pengambilan peran (role taking), atau kemampuan untuk menempatkan diri secara simbolis dalam imajinasi diri orang lain. Proses ini juga disebut “pengambilan perspektif” karena harus mengharuskan seseorang menangguhkan perspektifnya sendiri pada suatu pengalaman dan sebaliknya melihatnya dari perspektif orang lain.

2) Self (diri)

Mead mendefinisikan self sebagai kemampuan untuk merefleksikan diri dari perspektif orang lain. Dari sini kita dapat lihat bahwa Mead tidak meyakini bahwa self datang dari introspeksi atau dari pemikiran sederhana

(50)

pada diri sendiri. Bagi mead, diri berkembang dari jenis pengambilan peran tertentu, yaitu, bagaimana kita melihat kepada orang lain. Meminjam konsep yang berasal dari sosiolog Charles Cooley pada 1912, Mead menyebut ini sebagai looking-glas self, kemampuan kita untuk melihat diri sendiri menurut pandangan orang lain.

Dalam bukunya, Cooley juga memercayai tiga prinsip perkembangan yang dikaitkan dengan looking-glass self:

(1) kita membayangkan bagaimana kita terlihat bagi orang lain, (2) kita membayangkan penilaian mereka terhadap kita, dan (3) kita merasakan sakit atau bangga berdasarkan perasaan diri ini. Kita belajar tentang diri sendiri dari cara orang lain memperlakukan kita, melihat kita, dan melabeli kita.

Saat Mead berteori tentang self, ia mengamati bahwa melalui bahasa, orang memiliki kemampuan untuk menjadi subjek dan objek bagi diri mereka sendiri.

Sebagai subjek, kita bertindak, dan sebagai objek, kita mengamati diri kita sendiri yang bertindak. Mead menyebut subjek, atau tindakan diri sebagai ‘I’, dan objek, atau mengamati diri sebagai ‘Me’. ‘I’ adalah spontan, impulsif, dan kreatif, sedangkan ‘Me’ lebih reflektif dan sadar secara sosial. Mead melihat diri sebagai proses yang mengintegrasikan ‘I’ dan ‘Me’.

3) Society (masyarakat)

(51)

Mead berpendapat bahwa interaksi terjadi dalam struktur sosial yang dinamis yang kita sebut sebagai budaya atau masyarakat. Mead mendefinisikan masyarakat sebagai jaringan hubungan sosial yang diciptakan manusia. Individu terlibat dalam masyarakat melalui perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela.

Masyarakat terdiri dari individu-individu, dan Mead berbicara dua bagian penting dari masyarakat yang mempengaruhi ‘mind’ dan ‘self’. Gagasan Mead tentang particular others (orang-orang tertentu) mengacu pada individu dalam masyarakat yang penting bagi kita.

Orang-orang ini biasanya adalah anggota keluarga, teman, rekan kerja, dan supervisor. Kita melihat orang- orang tertentu untuk mendapatkan rasa penerimaan sosial dan rasa terhadap diri.

Generalized other atau tahap penerimaan norma kolektif mengacu pada sudut pandang kelompok sosial atau budaya secara keseluruhan. Ini kita dapatkan dari masyarakat, dan “sikap dari tahap penerimaan norma kolektif adalah sikap dari seluruh komunitas”.

Generalized other memberikan informasi tentang peran, aturan, dan sikap yang dibagikan oleh komunitas atau masyarakat, juga memberi kita pemahaman tentang bagaimana orang lain bereaksi terhadap kita dan ekspektasi sosial secara umum. Pengertian ini berpengaruh dalam mengembangkan kesadaran sosial.

(52)

Generalized other dapat membantu menengahi konflik yang ditimbulkan oleh kelompok yang berkonflik dari particular others.

B. Definisi Majelis Taklim

Majelis taklim adalah lembaga swadaya masyarakat murni. Ia dilahirkan dikelola, dipelihara, dikembangkan, dan didukung oleh anggotanya. Maka dari itu, majelis taklim merupakan wadah masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.46

Perkataan “majelis ta’lim” berasal dari bahasa Arab, yang terdiri dari dua kata, yaitu majelis dan ta’lim. Majelis artinya tempat duduk, tempat sidang, dewan. Dan ta’lim yang diartikan dengan pengajaran. Dengan demikian secara lughawi “majelis ta’lim” adalah tempat untuk melaksanakan pengajaran atau pengajian agama Islam.

Adapun pengertian secara istilah tentang majelis ta’lim, sebagaimana dirumuskan pada musyawarah Majelis Ta’lim se-DKI Jakarta tahun 1980 adalah: Lembaga pendidikan non formal Islam yang memiliki kurikulum tersendiri, diselengarakan secara berkala dan teratur, dan diikuti oleh jama’ah yang relatif banyak, dan bertujuan untuk membina dan mengembangkan hubungan yang santun dan serasi antara manusia dengan Allah, antara manusia dengan

46 Tutty Alawiyah, Strategi Dakwah di Lingkungan Majelis Taklim (Bandung: Mizan), 1997, h. 75

Gambar

Tabel 2.1 Kategori ketulian berdasarkan intensitas suara yang  dapat diterima
Gambar 2.1  Kerangka Berpikir
Gambar 3.1 Logo lama  Yayasan MTTI (2016-2020)
Gambar 3.3 Struktur Yayasan MTTI
+4

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana strategi komunikasi dakwah yang diterapkan Jamuro dalam setiap dakwah Islam yang dilakukannya.

Secara rinci strategi dakwah MUI di Bandar Lampung adalah diawali dengan menggunakan strategi dakwah pendekatan yaitu filosofi, instruksional dan diskusi

Berdasarkan uraian di atas maka penegasan judul ini dapat diformulasikan bahwa yang dimaksud penelitian tentang Strategi Dakwah Majelis Ta’lim Rahmat Hidayat ini

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa metode dakwah yang disampaikan Buya Yahya di majelis ta‟lim Al -Bahjah mudah dipahami serta

Pertama, Penulis mengamati penelitian skripsi Ema Khasanah (1401036102), dengan judul “Strategi Dakwah Kyai Purwanto Dalam Mengelola Majelis Ta’lim di Desa Tanjung

Dari seluruh kegiatan penelitian yang dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa strategi dakwah Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) dalam menjalin ukhuwah islamiyah

Kemudian untuk mengetahui lebih jauh bagaimana strategi dakwah berbasis social network yang dilakukan oleh Majelis Dakwah Al-Bahjah Cirebon, atau dalam arti lain social

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul STRATEGI DAKWAH GERAKAN NASIONAL ANTI NARKOBA (GANAS ANNAR) MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) KOTA BANDAR LAMPUNG adalah