BAB I PENDAHULUAN
F. Sistematika Penulisan
Dalam skripsi ini, penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut :
12 Teleologi adalah ajaran yang menerangkan segala sesuatu dan segala kejadian menuju pada tujuan tertentu. Henk ten Napel. 2009, Kamus Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. h. 306 dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Teleologi#cite_note-Napel-0 diakses tanggal 3 Agustus 2011 pukul 10.59 WIB
BAB I Pendahuluan terdiri atas Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Telaah Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan Skripsi.
BAB II Memberi gambaran tentang Tinjauan Umum Terhadap Kejahatan dalam Fiqh Jinayah yang meliputi: Pengertian Jarimah, Unsur-unsur Jarimah, Klasifikasi Jarimah yaitu Jarimah Hudud, Jarimah Qishas dan Diyat dan Jarimah Ta’zir, Qiyas dalam Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah) yaitu Pengertian Qiyas, Rukun Qiyas, Macam-macam Qiyas dan Qiyas dalam Menentukan Jarimah.
BAB III Berisi tentang Tinjauan Umum Cyber Crime yang meliputi: Pengertian Kejahatan, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) dan Klasifikasi dan Jenis-Jenis Cyber Crime.
BAB IV Berisi tentang Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindak Pidana Pengaksesan Sistem Elektronik Dalam UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Yang Meliputi: Tinjauan Hukum Pidana Islam Mengenai Tindak Pidana Pengaksesan Sistem Elektronik Milik Orang Lain Tanpa Izin Dalam Pasal 30 UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Tinjauan Hukum Pidana Islam Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dokumen Elektronik Dalam Pasal 32 ayat (2) UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Tinjauan Hukum Pidana Islam Mengenai Tindak
Pidana Perusakan Sistem Elektronik Dalam Pasal 33 UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Bab V Adalah penutup yang merupakan bab terakhir dari skripsi ini yang berisi kesimpulan saran-saran dan kata penutup.
14
A. Pengertian Tindak Kejahatan a. Pengertian Jarimah
Secara bahasa jarimah berasal dari kata jadian masdar yang
berasal dari kata
َوَرَج
yang artinya berbuat salah.13 Dalam Kamus BesarBahasa Indonesia (KBBI), kata jarimah adalah kejahatan yang dilarang
oleh syariat Islam dengan ancaman hudud atau ta’zir.14 Secara istilah
Imam Al-Mawardi memberikan definisi jarimah sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Wardi Muslich dalam bukunya:
ٍّدَحِت اَهَُْع َمَعَذ ُاللهَرَجَز ٍحَّيِع ْرَش ٌخ اَر ْوُظْحَي ُىِئاَرَجْن َا
ٍرْ ِسْعَذْ َ
Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh
syara‟, yang diancam dengan hukuman had atau ta‟zir.15
Kata lain yang sering digunakan sebagai padanan istilah jarimah ialah kata jinayah. Hanya, dikalangan fuqaha (ahli fiqh) istilah jarimah pada umumnya digunakan untuk semua pelanggaran terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara‟, baik mengenai jiwa ataupun lainnya. Sedangkan jinayah pada umumnya digunakan untuk
13
Asad, M Alkali, Kamus Indo-Arab, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993, h. 28
14 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 4, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008. h.460
15
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Azas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), Jakarta: Sinar Grafika, 2004, h.9
menyebutkan perbuatan pelanggaran yang mengenai jiwa atau anggota
badan seperti membunuh dan melukai anggota badan tertentu.16
Sedangkan menurut Ahmad Hanafi yang dimaksud dengan kata-kata “jarimah” ialah, larangan-larangan Syara‟ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir. Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang, atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Yang dimaksud dengan kata-kata “Syara” adalah bahwa sesuatu perbuatan baru dianggap jarimah apabila dilarang oleh Syara‟. Juga berbuat atau tidak berbuat tidak dianggap sebagai jarimah, kecuali apabila telah diancamkan hukuman terhadapnya. Di kalangan fuqaha, hukuman biasa disebut
dengan kata-kata “ajziyah” dan mufradnya, “jaza”.17
Pengertian jarimah tersebut tidak berbeda dengan pengertian tindak pidana (peristiwa pidana/delik) pada hukum pidana positif. b. Unsur-Unsur Jarimah
Suatu perbuatan baru bisa dianggap sebagai perbuatan pidana apabila telah memenuhi unsur-unsurnya. Unsur-unsur ini ada yang umum dan ada yang khusus. Unsur umum berlaku untuk semua jarimah, sedangkan unsur khusus hanya berlaku untuk masing-masing jarimah dan berbeda antara jarimah yang satu dengan jarimah yang lain.
Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa unsur-unsur umum untuk jarimah itu ada tiga macam, yaitu:
16 NN, Jarimah http://wahyuset.wordpress.com/2008/10/17/jarimah/ diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.06 WIB
17
a) Unsur formal ( ٌ ِع ْرَّلنا ٍُْ رُّرنَا) yaitu adanya nash (ketentuan) yang melarang perbuatan dan mengancamnya dengan hukuman.
b) Unsur material ( رُّ ِ اًَْنا ٍُْ رُّرنَا ) yaitu adanya tingkah laku yang mebentuk jarimah, baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat (negatif)
c) Unsur moral ( رُّ ِت َ َاا ٍِْ رُّرنَا ) yaitu bahwa pelaku adalah orang yang mukallaf yakni orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas
tindak pidana yang dilakukannya.18
B. Klasifikasi Jarimah
Jarimah dibagi menjadi beberapa macam dan jenis sesuai dengan aspek yang ditonjolkan. Pada umumnya, para ulama membagi jarimah berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan atau tidaknya oleh Al-Qur’an atau hadist. Atas dasar ini mereka membaginya menjadi tiga macam, yaitu: jarimah hudud, jarimah qishas dan jarimah ta’zir.19
Mengenai uraian ataupun penjelasan tentang jarimah hudud, jarimah qishas dan jarimah ta’zir serta penggolongan-penggolongannya, akan diuraikan sebagai berikut:
a) Jarimah Hudud
Jarimah hudud adalah tindak pidana yang diancam hukuman had, yakni hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlah
18 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam jilid I, Jakarta: PT Kharisma Ilmu, 2007, h.129-130
19
Djazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1947, h.13
ringan) sanksinya yang menjadi hak Allah SWT.20 Dalam hubungannya dengan hukuman had maka pengertian hak Allah mempunyai pengertian bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang mewakili negara.
Ada tujuh macam perbuatan jarimah hudud yaitu, zina, menuduh orang lain berbuat zina (qadzaf), minum minuman keras,
mencuri, menggangu keamanan (hirabah), murtad, dan
pemberontakan (al-bagyu).
Salah satu bentuk contoh dari hukuman hudud yang menyatakan sebagai hukuman yang di tentukan oleh syara‟ adalah jarimah pencurian yang didasarkan pada firman Allah dalam surat AL-Maidah ayat (38):
“Orang pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, hendaklah dipotong tangan keduanya, sebagai balasan pekerjaan keduanya dan sebagai siksaan dari Allah,
Allah Maha Perkasa, lagi Maha Bijaksana.”21
b) Jarimah Qishas dan Diyat
Jarimah Qishas dan diyat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishas atau diyat. Baik qishas maupun diyat keduanya
20 NN, Jarimah dalam http://wahyuset.wordpress.com/2008/10/17/jarimah/ diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.06 WIB
21
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1992, h.103-104
adalah hukuman yang sudah ditentukan oleh syara‟. Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa had merupakan hak Allah, sedangkan qishas dan diyat adalah hak manusia (individu). Dalam arti korban dan keluarganya berhak memberikan pengampunan terhdap
pelaku.22
Baik qishas maupun diyat adalah hukuman-hukuman yang telah ditentukan batasnya, dan tidak mepunyai batas terendah maupun batas tertinggi.
Pengertian qishas sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Wardi Muslich adalah sebagai berikut:
...
ُمْثِي ِحَّ ِّ اًَْنا ِحَت ْوُقُعْنا ٍَِي ىَِ اَجْنِات َلِسُُْ ٌَْ َوُه
ِ ْيَهَع ِّىُِ ْجًَْن اِت َلِسَُْ اَي
.
“Qishas adalah memberikan hukuman kepada pelaku perbuatan persis seperti apa yang dilakukan terhadap
korban.” 23
Hukuman qishas didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 178-179:
22Ahmad Wardi Muslich, op.cit, h.18 23
“Hai orang-orang yang beriman, diperlukan atas kamu qishas dalam pembunuhan, merdeka dengan merdeka, sahaya dengan sahaya, perempuan dengan perempuan. Barangsiapa mendapat maafdari sudaranya akan sesuatu, maka hendaklah ia mengikut secara baik (ma‟ruf) dan membayarkan (diyat) kepada saudaranya itu dengan baik-baik. Demikian itu suatu keringanan dari Tuhanmu dan rahmat-Nya. Barangsipa yang aniaya sesudah itu, maka untuknya siksaan yang pedih. Kamu mendapat hidup dengan (peraturan) qishas itu, hai orang-orang yang
mempunyai akal, mudah-mudahan kamu bertakwa.”24
Sedangkan Diyat adalah sejumlah harta yang wajib diberikan karena suatu tindakan pidana kepada korban kejahatan atau walinya. Diyat disyariatkan dalam pembunuhan dan penganiayaan.25 Dasar hukum wajib diyat yaitu berdasar pada surat An-Nisa‟ ayat 92:
...
“Tidak boleh orang mukmin membunuh orang mukmin (yang lain), kecuali jika tersalah. Barangsiapa membunuh orang mukmin dengan tersalah hendaklah memerdekakan hamba yang mukmin, serta dibayarkan denda kepada keluarga yang terbunuh itu, kecuali jika mereka
sedekahkan...”26
24
Departemen Agama RI, op.cit, h.25-26
25 The Reff All, Pengertian Diyat dalam
http://revolver19.blogspot.com/2009/08/pengertian-diyat.html diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.07 WIB
26
Yang termasuk jarimah qishas-diyat ialah pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan tidak sengaja, penganiayaan sengaja, dan penganiayaan tidak sengaja.
c) Jarimah Ta’zir
Adapun jarimah ta’zir ialah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir. Secara bahasa ta’zir merupakan mashdar (kata dasar) dari „azzaro yang berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti
menguatkan, memuliakan, membantu.27 Sedangkan menurut istilah Abdul
Qadir Audah mengemukakan bahwa hukuman ta’zir adalah hukuman pendidikan atas dosa-dosa (tindak pidana-tindak pidana) yang belum
ditentukan oleh syara‟.28
Dapat dikatakan bahwa hukuman ta’zir itu adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara‟, melainkan diserahkan kepada hakim, baik penentuannya maupun pelaksanaannya. Dalam menetukan hukuman tersebut, hakim hanya menentukan hukuman secara umum saja artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah ta’zir, dari yang seringan-ringan sampai seberat-beratnya.
Jenis-jenis hukuman ta’zir adalah sebagai berikut: a. Hukuman Mati
27Zanikhan, Pengertian dan Unsur-Unsur Jarimah Ta‟zir, dalam http://zanikhan.multiply.com/journal/item/694 diakses pada tanggal 30 Juli 19.09 WIB
28
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam jilid III, Jakarta: PT Kharisma Ilmu, 2007, h.84
Pada dasarnya hukuman ta’zir dalam hukum Islam adalah hukuman yang bersifat mendidik. Sehingga dalam hukuman ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Tetapi sebagian besar fuqoha memberikan pengecualian terhadap peraturan hukuman tersebut yaitu diperbolehkannya hukuman mati apabila kepentingan umum menghendakinya atau kerusakan yang dilakukan pelaku tidak bisa dihindari kecuali dengan membunuhnya, seperti menjatuhkan hukuman mati kepada mata-mata,
penyeru bid’ah (pembuat fitnah), atau residivis yang berbahaya.29
Oleh karena itu, hukuman mati merupakan suatu pengecualian dari aturan hukuman ta’zir, hukuman tersebut tidak boleh diperluas dan diserahkan seluruhnya kepada hakim.
b. Hukuman Cambuk
Hukuman cambuk merupakan salah satu hukuman pokok dalam hukum Islam dan hukuman yang ditetapkan untuk hukuman hudud dan hukuman ta’zir.
Dikalangan fuqoha‟ terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama‟ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan
29
Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir adalah 39 kali, dan menurut Abu yusuf adalah 75 kali.30
Sedangkan di kalangan madzhab Syafi‟i ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu yusuf. Sedangkan pendapat yang ketiga, hukuman jilid pada ta’zir boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat lain bahwa jarimah ta’zir yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah hudud.31
Dalam mazhab Hambali ada lima pendapat. Tiga diantaranya sama denga pendapat madzhab Imam Syafi‟i. pendapat ke empat mengatakan bahwa jilid yang diancam atas sesuatu perbuatan jarimah tidak boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarimah lain yang tidak sejenisnya. Pendapat ke lima mengatakan bahwa hukuman ta’zir tidak boleh melebihi 10 kali.32
Alasannya ialah hadits dari Abu Burdah yang diterima dari Rosululloh SAW, sebagai berikut :
ُالله َمَص َّىِثَُّنا ُدْعًَِض َلاَق ِّ ِراَصََْلاْا َجَ ْرُت ْىِتَا ٍَْع
ْىِفَّلاِا ٍطاَوْضَا ِجَرْلَع َقْوَف ا ْ ُدِه ْجَذ َلا ُلْوُقَ َىَهَضَ ِ ْيَهَع
ِاللهِ ْ ُدُح ٍِْي ٍّدَح
“Dari Abu Burdah Al-Anshori katanya: saya mendengar Nabi Shallallaahu „alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kamu mendera
diatas sepuluh cambukan, kecuali dalam salah satu had Allah”33
30
Ahmad Hanafi, op.cit, h.306 31 Ibid, h.307
32 Ibid 33
Imam Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, Shahih Bukhori juz VIII, Semarang: CV. Asy Syifa, 1993, h.678
c. Hukuman Kawalan (Penjara atau Kurungan)
Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman yaitu hukuman
kawalan terbatas dan hukuman kawalan tidak terbatas.34 Pertama,
hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dari hukuman ini adalah satu hari, sedangkan batas tertinggi ulama‟ berbeda pendapat. Ulama‟ Syafi‟iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka
mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina.35
Sementara ulama-ulama lain menyerahkan semuanya kepada penguasa berdasarkan maslahat.
Kedua, hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan terlebih dahulu karena hukuman ini tidak terbatas, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang-ulang melakukan jarimah-jarimah yang berbahaya.
d. Hukuman Salib
Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan (hirobah), dan para fuqoha mengatakan bahwa hukuman salib dapat menjadi hukuman ta’zir. Akan tetapi untuk jarimah ta’zir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum disalib hidup-hidup dan tidak dilarang
34
Abdul Qadir Audah, op.cit, jilid III, h.92 35
makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalan menjalankan shalat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqoha tidak lebih dari tiga hari.
e. Hukuman Pengucilan
Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta’zir yang disyari‟atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rasulullah pernah melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka‟ab bin Malik, Miroroh bin Rubai‟ah dan Hilal bin Umayyah. Mereka dikucilkan selama lima
puluh hari tanpa diajak bicara.36 Sehingga turunlah firman Allah surat
At-Taubah ayat 118, sebagai berikut:
“Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit oleh mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta mereka mengira tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhan menerima
taubat mereka agar mereka bertaubat”37
f. Hukuman Ancaman, Teguran, dan peringatan
36
Abdul Qadir Audah, op.cit, Jilid III, h.98 37 Departemen Agama RI, op.cit, h.186
Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta’zir, dengan syarat dapat akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman saja. Misalnya dengan ancaman cambuk, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakanya lagi.
Sementara hukuman teguran bisa dilakukan apabila dipandang hukuman tersebut bisa memperbaiki dan mendidik pelaku. Hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rasulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki-maki orang lain dengan menghinakan ibunya.
Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari‟at Islam dengan jalan memberikan nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam Al-Qur‟an sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.
g. Hukuman Denda
Hukuman denda ditetapkan juga oleh syari‟at Islam sebagai hukuman. Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut. Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap orang yang menyembunyikan barang hilang. Sebagian fuqoha berpendapat bahwa denda yang bersifat finansial dapat dijadikan
hukuman ta‟zir yang umum, tapi sebagian lainnya tidak sependapat.38
38
C. Qiyas dalam Hukum Pidana Islam 1. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut istilah ahli ilmu Ushul Fiqh adalah mempersamakan suatu kasus dengan yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, karena
ada persamaan kedua itu dalam „illat hukumnya.39
Dajzuli menerangkan dalam bukunya Imam Syafi‟i
menyatakan tentang qiyas sebagai berikut „setiap
kejadian/peristiwa yang terjadi pada seorang muslim pasti ada hukumnya. Dan ia wajib mengikuti nash, apabila ada nashnya. Dan apabila tidak ada nashnya, dicari dari permasalahannya (dalalah-nya) diatas jalan yang benar dengan ijtihad. Dan ijitihad
itu adalah qiyas‟.40
Jadi qiyas merupakan mashodirul ahkam yang keempat setelah Al-Qur‟an, As-Sunnah dan ijma’. Yakni cara mengishtinbatkan suatu hukum dengan cara menganalogikan antara dua hal yang memiliki kesamaan „‘illat tetapi yang satu belum ada ketentuan hukumnya dalam nash.
حُطنا باركنا ٍي ودقرًنا رثخ ىهع حقفاوًنا مئلادنا ةهط اي وه شايقنا “Qiyas adalah metode berfikir untuk menemukan petunjuk makna yang sesuai dengan khabar yang sudah ada dalam al-Qur‟an dan sunnah”.
39
Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994, h.66 40
A. Djazuli dan Nurul Aen, Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam), Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2000, h. 121
Adapun cara mengoperasionalkan qiyas ini yakni dimulai dengan mengeluarkan hukum yang ada pada kasus yang disebutkan dalam nash, setelah itu kita teliti „‘illatnya. Selanjutnya kita cari dan teliti „‘illat yang ada pada kasus yang tidak disebutkan dalam nash, sama ataukah tidak. Jika sudah diyakini bahwa „‘illat yang ada dalam kedua kasus tersebut ternyata sama maka kita menggunakan ketentuan hukum pada
kedua kasus itu berdasarkan keadaan „‘illat.41
2. Rukun Qiyas
Dari pengertian qiyas yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur pokok (rukun) qiyas terdiri atas empat
unsur berikut:42
a. Ashal (asal); yaitu sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan/ menqiyaskan. Dalam istilah ushul disebut ashal (مصلاا) atau maqis ‘alaih ( يهع صيقًنا) atau musyabbah bih ( ت ثلي).
Dalam menentukan ashal harus ada syarat-syarat yang dipenuhi yaitu :
Menurut Imam al-Ghozali dan Syaifuddin al-Amidi yang keduanya adalah ahli ushul fiqh Syafiiyyah
syarat-syarat ashal itu adalah:43
41
Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh 1, Jakarta: Departemen Agama, 1986, h.107
42 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, diterjemahkan oleh Saefullah Ma‟sum,dkk., cet. II., Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 351. Lihat juga Djazuli.dkk, Ushul Fiqih, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2000, h. 136-137
a. Hukum ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan dinasakhkan
b. Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara‟
c. Ashl itu bukan merupakan far’u dari ashl lainnya d. Dalil yang menetapkan „‘illat pada ashal itu adalah
dalil khusus, tidak bersifat umum
e. Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas
f. Hukum ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas far’u.
b. Far’u (cabang); yaitu sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya yang diserupakan atau yang diqiyaskan. Di dalam istilah ushul disebut al-far’u (عرفنا) atau al-maqis (صيقًنا) atau al-musyabbah ( ثلًنا).
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam menentukan far’u adalah sebagai berikut:
Para ulama usul fiqh mengemukakan beberapa
syarat yang harus dipenuhi oleh al-far’u yaitu:44
a. ‘‘illat yang ada pada far’u harus sama dengan ‘illat yang ada pada ashal.
b. Hukum ashal tidak berubah setelah dilakukan qiyas. c. Tidak ada nash atau ijma‟ yang menjelaskan hukum
far’u itu.
43 Harun Nasrun, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1995, h. 73
c. Hukum ashal ( مصلاا ىكح); yaitu hukum syara‟ yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi hukum pula bagi cabang.
Syarat-syarat hukum ashal antara lain:45
Hukum syara‟ itu hendaknya hukum syara‟ yang
amaly yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Hal ini diperlukan karena yang akan ditetapkan itu adalah hukum syara’, sedang sandaran hukum syara‟ itu adalah nash. Hukum ashl harus ma’qul al-ma’na, artinya pensyari‟atannya harus rasional
Hukum ashl itu tidak merupakan hukum
pengecualian atau hukum yang berlaku khusus untuk peristiwa atau kejadian tertentu.
d. „‘illat (حهعنا); yaitu sebab yang menyambungkan pokok
dengan cabangnya atau suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat yang dicari pada far’u.
Secara etimologi „‘illat berarti nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaannya. Misalnya penyakit itu dikatakan
„‘illat, karena dengan adanya penyakit tersebut tubuh manusia berubah dari sehat menjadi sakit.
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi „‘illat
yang dikemukakan
ulama
ushul fiqh. Akan tetapi padamakalah ini akan kami sebutkan definisi „‘illat menurut imam al-Ghozali, yaitu:
ِخاَّلناِتَلا ىَناَعَذ ِ ِهْعَجِت ِىْكُح ْ ِف ُرِّثَ ًُنا “Sifat yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena dzatnya, melainkan karena perbuatan syar‟i”.
Menurutnya, „‘illat itu bukanlah hukum, tetapi
merupakan penyebab munculnya
hukum
, dalam arti:adanya suatu „‘illat menyebabkan munculnya hukum. Syarat-syarat „‘illat antara lain adalah:
a. „‘illat itu adalah sifat yang jelas, yang dapat dicapai oleh panca indra.
b. Merupaka sifat yang tegas dan tidak elastis yakani dapat dipastiakan berwujudnya pada furu‟ dan tidak mudah berubah.
c. Merupakan sifat yang munasabah, yakni ada persesuian antara hukum da sifatnya.
d. Merupakan sifat yang tidak terbatsas pada aslnya, tapi bisa juaga berwujud pada beberapa satuan hukum yang bukan ashal.
Ada beberapa bentuk sifat yang munkin menjadi
„‘illat bagi hukum bila
telah
memenuhi syarat-syarattertentu46. Di antara bentuk sifat itu adalah: