• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINDAK PIDANA PENGAKSESAN SISTEM ELEKTRONIK DALAM UU NO.11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (Dalam Perspektif Fiqih Jinayah)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINDAK PIDANA PENGAKSESAN SISTEM ELEKTRONIK DALAM UU NO.11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (Dalam Perspektif Fiqih Jinayah)"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1

Dalam Ilmu Syari‟ah

Oleh :

FAJRIN WIDIYANINGSIH NIM. 072211020

JURUSAN JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH

IAIN WALISONGO SEMARANG

(2)

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Lamp : 4 (empat) eks. Kpd Yth.

Hal : Naskah Skripsi Dekan Fakultas Syariah

A.n. Sdri. Fajrin Widiyaningsih IAIN Walisongo Semarang

Di Semarang

Assalamu'alaikum. Wr. Wb.

Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini saya kirim naskah skripsi saudari :

Nama : Fajrin Widiyaningsih

Nomor Induk : 072211020

Judul Skripsi : TINDAK PIDANA PENGAKSESAN

SISTEM ELEKTRONIK DALAM UU NO.11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (Dalam Perspektif Fiqih Jinayah)

Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudari tersebut dapat segera dimunaqosyahkan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb. Semarang, 4 Oktober 2011 Pembimbing I Drs. H. Musahadi, M.Ag. NIP. 19690709 199403 1003 Pembimbing II

H. Muhammad Saifullah, M.Ag NIP. 19700321 199603 1003

(3)

iii

PENGESAHAN

Skripsi Saudari : Fajrin Widiyaningsih

NIM : 072211020

Judul : Tindak Pidana Pengaksesan Sistem Elektronik Dalam

UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. (Dalam Perspektif Fiqh Jinayah)

Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude / baik / cukup, pada tanggal :

16 Desember 2011

dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata 1 tahun akademik 2011/2012.

Semarang, 16 Desember 2011

Ketua Sidang Sekretaris Sidang

H.Abdul Ghofur, M.Ag H. Muhammad Saifullah, M.Ag

NIP. 19670117 199703 1001 NIP. 19700321 199603 1003

Penguji I Penguji II

Drs. H. Nur Syamsudin, M.Ag Drs. H. Miftah AF, M.Ag

NIP. 19680505 199503 1002 NIP. 19530515 198403 1001

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. H. Musahadi, M.Ag. H. Muhammad Saifullah, M.Ag

(4)

iv

penulis Menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah atau pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Dengan demikian skripsi ini tidak berisi satupun pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang menjadi bahan rujukan.

Semarang, 4 Oktober 2011 Deklarator,

Fajrin Widiyaningsih NIM. 072211020

(5)

v













.

Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan

antara Dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (Q.S Al-Fushshilat: 34)

(6)

vi

positif juga membawa dampak negatif. Dampak negatif yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan dunia kejahatan. Salah satu sisi gelap kemajuan teknologi yang mempunyai dampak negatif yang sangat luas dalam segala bidang kehidupan saat ini lebih dikenal dengan cyber crime. Sehingga para penegak hukum di Indonesia terdorong untuk memberikan pengaturan hukum dengan memberlakukan cyber law melalui pengesahan Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Selain itu hukum pidana Islam yang bersumber dari Al-Quran dan hadist perlu untuk memiliki dasar hukum dalam permasalahan cyber crime ini. Untuk mengetahui apakah hukuman yang telah diterapkan dalam UU ITE 2008 relevan dengan hukuman dalam Fiqh Jinayah, maka masih harus dilakukan qiyas untuk menentukan bahwa cyber crime dapat dikenakan hukuman yang sama dengan jarimah yang telah ada. Dari permasalah diatas, penelitian ini akan mengkaji tentang bagaimana tinjauan hukum pidana Islam tentang pengaksesan sistem elektronik dalam pasal 30 UU ITE 2008 ? pencurian dokumen elektronik dalam pasal 32 ayat (2) UU ITE 2008 ? dan perusakan dokumen elektronik dalam pasal 33 UU ITE 2008 ?

Data penelitian dihimpun dengan pembacaan, dan kajian teks (teks reading) dan selanjutnya dianalisis menggunakan metode content analysis.

Hasil studi penelitian menyimpulkan bahwa untuk tindak pidana pengaksesan sistem elektronik dapat disamakan dengan perbuatan memasuki rumah tanpa izin dengan illat memasuki rumah tanpa izin maka hukumannya adalah ta’zir. Sehingga hukuman yang telah diterapkan dalam UU ITE 2008 sama dengan fiqh jinayah. Sedangkan untuk pencurian dokumen elektronik disamakan dengan sariqah dengan illat mengambil barang orang lain secara diam-diam dari tempat penyimpanan. Hukuman bagi pelaku pencurian dokumen elektronik ini agak berbeda dengan UU ITE karena untuk kasus ini dilihat dari nisab pencurian, bisa dihukum potong tangan atau tidak. Untuk perusakan dokumen elektronik disamakan dengan hirabah dengan illat mengganggu keamanan, maka hukuman nya potong tangan dan kaki secara bersilang karena hirabah yang disamakan dalam kasus ini adalah mengambil harta secara terang-terangan tanpa membunuh pemiliknya. Tetapi pada realitanya hukuman bagi pencuri dokumen elektronik dan perusakan sistem elektronik tidak dapat diberlakukan di Indonesia karena hukum yang berlaku di Indonesia adalah UU ITE maka hukumannya turun menjadi hukuman ta‟zir yaitu penjara dan denda.

(7)

vii

 Bapak (Ali Said) dan Ibu (L. Tri Lestari Kusumaningrum S) tersayang

 Saudara-saudaraku : Alista Setyaningrum, Putri Kumala Sari, Akbar

Suryo Wibowo, dan Arifian Ramadhan

 Teruntuk seseorang yang selalu membantu dan memotivasi penulis

“Shohibul Ibad”

 Teman-teman senasib seperjuanganku selama 4,5 tahun di IAIN

Walisongo : Cukong, Pak Menwa, Arip, Nita, Ms Faqeh, Pakde, Fahri, Toheer, Kirun, Yanze, Hasan.

 Teman-Teman Kos : Wulan, Ika, Anies, Nuriel, Anggi

 Teman-Teman yang membantu terseleseikannya skripsi ini : Judin,

(8)

viii

Puji syukur Alhamdulillahirobbil‟alamin penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah dan karuniaNya, shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan kita Nabiullah Muhammad SAW, beserta keluarga,

sahabat-sahabat dan para pengikutnya yang telah membawa Islam dan

mengembangkannya hingga sekarang ini. Sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul: TINDAK PIDANA PENGAKSESAN SISTEM ELEKTRONIK DALAM UU NO.11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (Dalam Perspektif Fiqih Jinayah), dengan baik tanpa banyak kendala yang berarti.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih payah penulis secara pribadi. Tetapi semua itu merupakan wujud akumulasi dari usaha dan bantuan, pertolongan serta do‟a dari berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi tersebut. Oleh karena itu, sudah sepatutnya penulis menyampaikan terimakasih kepada:

1. DR. Imam Yahya, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang dan pembantu-pembantu Dekan yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk menulis skripsi tersebut dan memberikan fasilitas belajar hingga kini.

2. Drs. M. Solek, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah dan Rustam DKAH, M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang.

3. Drs. H. Musahadi, M.Ag. dan H. Muhammad Saifullah, M.Ag. selaku Pembimbing atas bimbingan dan pengarahan yang diberikan dengan sabar dan tulus ikhlas.

4. Kedua orang tua penulis beserta segenap keluarga, atas segala doa, perhatian dan arahan kasih sayangnya yang tidak dapat penulis ungkapan dalam untaian kata-kata.

(9)

ix

terutama teman-teman SJ angkatan 2007 dan teman-teman di lingkungan Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang.

Penulis juga menyadari dengan segala kerendahan hati bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, semua kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca yang budiman pada umumnya. Amin.

Semarang, 3 Oktober 2011 Penulis

Fajrin Widiyaningsih NIM. 072211020

(10)

x

dan Menteri Kebudayaan RI No. 158/1987 dan No. 0543 b/U/1987

Tertanggal 22 Januari 1988 A. Konsonan Tunggal

Huruf Arab Nama Huruf Latin N a m a

ا alif tidak dilambangkan Tidak dilambangkan

ب ba b -

ت ta t -

ث sa s s (dengan titik di atas)

ج jim j -

ح ha‟ h h (dengan titik di bawah)

خ kha‟ kh -

د dal d -

ذ zal ż z (dengan titik di atas)

ر ra r -

ز za ż -

س sin s -

ش syin sy -

(11)

xi

ظ za z z (dengan titik di bawah)

ع „ain „ koma terbalik ke atas

غ gain g - ف fa f - ق qaf q - ك kaf k - ل lam l - م mim m - ن nun n - و wawu w - ه ha h - ء hamzah َ apostrof ي ya‟ y B. Konsonan Rangkap

Konsonan rangkap, termasuk tanda syaddah, ditulis rangkap. contoh : ا

دمـح

وـٌـي ditulis Ahmadiyyah C. Ta‟ Marbutah di Akhir Kata

1. Bila dimatikan ditulis h, kecuali untuk kata-kata Arab yang sudah terserap menjadi Bahasa Indonesia, seperti salat, zakat dan sebagainya. Contoh :

(12)

xii D. Vokal Pendek

Fathah ditulis a, kasrah ditulis i, dan dammah ditulis u. E. Vokal Panjang

Panjang ditulis ā, i panjang ditulis ī dan u panjang ditulis ū, masing-masing dengan tanda hubung (-) di atasnya.

F. Vokal Rangkap

1. Fathah + ya‟ mati ditulis ai, contoh : مـكنـيب ditulis bainakum,

2. Fathah + wawu mati ditulis au, contoh : ل وـق ditulis qaul

G. Vokal-vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan apostrof („)

مـتناأ ditulis a’antum جـن ؤم ditulis mu’annas H. Kata Sandang Alif + Lam

1. Bila diikuti huruf Qamariyyah, contoh :

نارـقنا ditulis al-Qur’an ساـيقنا ditulis al-Qiyas

2. Bila didikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan menggunakan huruf Syamsiyyah yang mengikutinya, serta menghilangkan huruf l (el)-nya. ءامـسنا ditulis as-Sama سمـشنا ditulis asy-Syams

I. Penulisan huruf kapital

Meskipun dalam sistem tulisan arab huruf kapital tidak dikenal, dalam trasliterasi ini huruf tersebut digunakan juga. Penggunaan itu seperti yang berlaku pada EYD, diantara huruf kapital digunakan untuk menuliskan huruf awal, nama diri dan permulaan kalimat. Bila nama diri diawali dengan kata sandang maka yang ditulis menggunakan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut bukan huruf awal kata sandang.

(13)

xiii contoh:

ونـسنا مـىأ ditulis ahl as-Sunnah

(14)

xiv

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN DEKLARASI ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN ABSTRAK... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

HALAMAN KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN TRANSLITERASI ... x

HALAMAN DAFTAR ISI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Telaah Pustaka ... 6

E. Metode Penelitian ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II TINJAUAN UMUM KEJAHATAN DALAM FIQH JINAYAH A. Pengertian Tindak Kejahatan ... 13

a. Pengertian Jarimah ... 13

b. Unsur-Unsur Jarimah ... 14

B. Klasifikasi Jarimah ... 15

a. Jarimah Hudud ... 15

b. Jarimah Qisas dan Diat... 16

c. Jarimah Ta’zir ... 19

C. Qiyas dalam Hukum Pidana Islam (fiqh jinayah) ... 26

a. Pengertian Qiyas ... 26

b. Rukun Qiyas ... 27

c. Macam-macam Qiyas ... 32

(15)

xv

BAB IV ANALISIS TINDAK PIDANA PENGAKSESAN SISTEM ELEKTRONIK DALAM UU NO.11 TAHUN 2008

TENTANG INFORMASI TRANSAKSI DAN

ELEKTRONIK DALAM PERSPEKTIF FIQH JINAYAH A. Analisis Tindak Pidana Pengaksesan Sistem

Elektronik Milik Orang Lain Tanpa Izin pasal 30 UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Perspektif Fiqh

Jinayah ... 49 B. Analisis Tindak Pidana Pencurian Dokumen

Elektronik pasal 32 ayat (2) UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam

Perspektif Fiqh Jinayah ... 55 C. Analisis Tindak Pidana Perusakan Sistem

Elektronik pasal 33 UU No.11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik dalam

Perspektif Fiqh Jinayah ... 64 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 70 B. Saran-saran ... 72 C. Penutup ... 73 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP

(16)

1 A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan internet di Indonesia saat ini sangat pesat, sehingga tidak mengherankan apabila di kota maupun desa banyak ditemukan warung-warung internet yang menyajikan banyak pelayanan internet. Di satu sisi pengguna internet dapat memenuhi rasa keingintahuannya terhadap dunia maya, di sisi lain internet juga menghadirkan berbagai hal yang dapat menimbulkan efek positif maupun negatif bagi para penggunanya. Internet telah membangun sebuah dunia maya yang sebenarnya yaitu merupakan dunia tanpa batas serta dunia yang dapat dimasuki dan dimanfaatkan oleh siapa saja.

Hal tersebut tidak menutup kemungkinan akan terjadinya suatu tindak pidana melalui dunia maya yang sering dikenal dengan nama cyber crime. Cyber crime, yang selanjutnya disingkat CC, merupakan salah satu sisi gelap dari kemajuan teknologi yang mempunyai dampak negatif yang sangat

luas bagi seluruh bidang kehidupan modern saat ini.1

Di Indonesia telah banyak terjadi kejahatan di dunia maya atau cyber crime. Salah satu contoh kasus yang sempat menggegerkan Indonesia adalah pada tahun 2004, seseorang yang bernama Dani Firmansyah men-deface atau mengubah halaman dari situs tnp.kpu.go.id yang ia lakukan dengan cara

1

Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, Jakarat: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.h. 1.

(17)

SQL (Structured Query Language) Injection. Dia berhasil menembus IP (Internet Protocol)tnp.kpu.go.id 203.130.201.134, serta berhasil meng-update daftar nama partai. Teknik yang dipakai Dani dalam meng-hack yakni melalui teknik spoofing (penyesatan). Dani melakukan hacking dari IP public PT Danareksa (tempat dia bekerja) 202.158.10.117, kemudian membuka IP Proxy Anonymous Thailand 208.147.1.1 lalu masuk ke IP tnp.kpu.go.id 203.130.201.134, dan berhasil membuka tampilan nama 24 partai politik

peserta pemilu. 2

Contoh kasus lainnya adalah dunia perbankan melalui Internet (e-banking) Indonesia dikejutkan oleh ulah seseorang bernama Steven Haryanto, seorang hacker dan jurnalis pada majalah Master Web. Lelaki asal Bandung ini dengan sengaja membuat situs asli tapi palsu layanan internet banking Bank Central Asia, (BCA). Steven membeli domain-domain dengan nama mirip www.klikbca.com (situs asli Internet banking BCA), yaitu domain wwwklik-bca.com, kilkwwwklik-bca.com, clikwwwklik-bca.com, klickca.com, dan klikbac.com. Isi situs-situs plesetan ini nyaris sama. Jika nasabah BCA salah mengetik situs-situs BCA asli maka nasabah tersebut masuk perangkap situs plesetan yang dibuat oleh Steven sehingga identitas pengguna (user id) dan nomor identitas personal dapat diketahuinya. Diperkirakan, 130 nasabah BCA tercuri datanya. Menurut pengakuan Steven pada situs bagi para webmaster di Indonesia, www.webmaster.or.id tujuan membuat situs plesetan adalah agar publik

2

detik.com digital live dalam http://m.detik.com/read/2004/07/23/143207/180765/110/dani-firmansyah-tinggal-tunggu-sidang-pengadilan diakses tanggal 3 Agustus 2011 pukul 10.36 WIB

(18)

berhati-hati dan tidak ceroboh saat melakukan pengetikan alamat situs (typo site), bukan untuk mengeruk keuntungan.3

Kasus-kasus tersebut sudah nyata terlihat kalau dunia maya sebenarnya semakin membahayakan yang bahaya dan kerusakannya bagi kehidupan manusia bisa melebihi dunia nyata. Dunia maya telah menjadi tempat yang demikian bebas bagi kriminal-kriminal yang berteknologi canggih untuk menjalankan aksinya.

Oleh karena itu upaya perlindungan hukum terhadap kegiatan yang dilakukan di internet, baik merupakan kegiatan bisnis (e-bussines), birokrasi pemerintahan, pribadi diperlukan pengaturan hukum terhadap dunia cyber. Sehingga pemerintah khususnya aparat penegak hukum terdorong untuk memberikan pengaturan hukum terhadap cyber crime, yaitu dengan

memberlakukan cyber law melalui pengesahan UU ITE 2008.4 Undang-undang

inilah yang selama ini sangat ditunggu oleh sebagian besar kalangan masyarakat, karena dengan terwujudnya undang-undang tersebut diharapkan dapat mengurangi segala keresahan masyarakat yang banyak dirugikan oleh cyber crime.

Cyber crime yang merupakan suatu kejahatan yang dilakukan tidak secara fisik melainkan dalam ruang dunia maya (cyber space), yang dapat

3

Yuyun Yulianah, Hukum Pembuktian Cyber Crime, Tesis Magister Hukum, Bandung,

2010 dalam,

http://unsur.ac.id/images/articles/FH01_HUKUM_PEMBUKTIAN_TERHADAP_CYBER_CRIM E.pdf diakses tanggal 23 Juni 2011 pukul 21.41 WIB

4

UU ITE 2008 merupakan undang-undang baru, Undang-undang disahkan pada tanggal 25 Maret 2008. Secara garis besar undang-undang ini berjumlah 54 pasal, pada Bab KetentuanUmum (pasal 1-2), Bab II-Asas dan tujuan (pasal 3-4), Bab III-Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik (pasal 5-12), Bab IV-Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik dan Sistem Elektronik,Bab V- Transaksi Elektronik (pasal 17-22), Bab VI - Nama Domain, Hak Intelektual, dan Perlindungan Hak Pribadi (pasal 23-26), Bab VII- Perbuatan yang dilarang (pasal 27-37), Bab VIII

(19)

menimbulkan kerugian secara materi maupun non materi dan mengganggu kehidupan privasi orang lain. Islam menghormati hak milik pribadi, tetapi hak milik itu bersifat sosial, karena hak milik pribadi pada hakekatnya adalah milik

Allah yang diamanatkan kepada orang yang kebetulan memilikinya.5 Islam

juga menekankan hak-hak azasi manusia salah satunya jaminan terhadap pribadi seseorang. Oleh karenanya, apabila ada seseorang yang melakukan tindak pidana cyber crime maka perbuatan tersebut termasuk perbuatan jarimah.

Jarimah (tindak pidana) dalam Islam diartikan yaitu larangan-larangan syara„ yang diancam oleh Allah dengan hukum had (hukuman yang

sudah ada nash-nya) atau ta‘zir (hukuman yang tidak ada nashnya).6 Dengan

demikian, jarimah dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu hukum had dan

hukum ta’zir.7

Berdasarkan latar belakang yang penulis sampaikan di atas, menarik minat penulis untuk mengetahui mengenai tindak pidana cyber crime yang marak terjadi sekarang sehingga meresahkan dan merugikan banyak pihak khususnya mengenai tindak pidana pengaksesan sistem elektronik dalam perspektif hukum pidana Islam (fiqh Jinayah), dengan membatasi permasalahan dengan tiga macam kasus yaitu akses illegal sistem elektronik, pencurian dokumen elektronik, dan perusakan sistem elektronik yang terdapat pada pasal 30, 32 ayat (2), 33 dalam UU ITE 2008. Kemudian penulis mencoba menganalisis dalam bentuk karya ilmiah yang disusun dalam skripsi yang

5 Masjfuk Zuhdi, Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1998, h. 85-89

6 A. Hanafi, Azaz-azaz Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2002, h.121 7

(20)

berjudul: Tindak Pidana Pengaksesan Sistem Elektronik Dalam UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. (Dalam Perspektif Fiqh Jinayah)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam mengenai tindak pidana pengaksesan sistem elektronik milik orang lain tanpa izin dalam pasal 30 UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik? 2. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam mengenai tindak pidana pencurian dokumen elektronik dalam pasal 32 ayat (2) UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ?

3. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam mengenai tindak pidana perusakan sistem elektronik dalam 33 UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam kajian ini :

1. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam mengenai tindak pidana pengaksesan sistem elektronik milik orang lain tanpa izin dalam pasal 30 UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

(21)

2. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam mengenai tindak pidana pencurian dokumen elektronik dalam pasal 32 ayat (2) UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

3. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam mengenai tindak pidana perusakan sistem elektronik dalam 33 UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Dapat menambah ilmu pengetahuan mengenai Cyber Crime yang dapat melampaui belahan dunia manapun dan siapapun, karena para pelaku kejahatan ini bersifat internasional. Selain itu dapat memasuki perkembangan ilmu hukum dalam menciptakan hukum, khususnya pidana Islam, dengan pengaplikasian yang mudah dijangkau bagi semua kalangan.

2. Pemberian struktur keamanan lebih pada segala mediasi yang mendukung terjadinya tindak pidana Cyber Crime, agar dapat mengurangi jumlah angka tindak pidana ini.

3. Memberi pengetahuan lebih tentang tindak pidana cyber crime dan hukum pidana Islam, karena selama ini masyarakat cenderung tidak peduli selama dirinya tidak dirugikan. Sebenarnya, secara tidak langsung masyarakat awam juga ikut dirugikan, dengan adanya kerugian yang dialami oleh negara, baik secara materiil, maupun moril.

(22)

D. Telaah Pustaka

Dalam kajian pustaka ini, penulis akan memaparkan tentang beberapa sumber yang membicarakan masalah tersebut di antaranya:

Pertama ialah yang dilakukan oleh Desi Tri Astutik mahasiswi fakultas Syari‟ah program studi Siyasah Jinayah IAIN Sunan Ampel dalam skripsinya yang berjudul “Tindak Pidana Kejahatan Dunia Mayantara (Cyber Crime) Dalam Perspektif Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Fiqih Jinayah”. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2008. Di dalam skripsinya memaparkan tentang cyber crime pada dasarnya merupakan kejahatan dunia mayantara yang dilakukan dengan melalui jaringan internet dengan menggunakan fasilitas komputer. Dalam perspektif hukum pidana Islam (Fiqih Jinayah) pemberlakuan UU ITE dapat dikatakan sebagai ketentuan aturan hukum yang menjerat pelaku kejahatan dunia mayantara (cyber crime), karena di dalam undang-undang tersebut telah memenuhi unsur-unsur yang ada dalam aturan Fiqh Jinayah. Adapun unsur-unsur tersebut yaitu unsur umum yang terdiri dari (unsur formil, unsur materil, dan unsur moral) dan unsur khusus. Penerapan sanksi yang diberikan kepada pelaku cyber crime yaitu dikenakan sanksi ta’zir, dimana sanksi ta’zir meripakan hukuman yang diserahkan kepada Ulil Amri

dengan tujuan memberikan rasa jera kepada pelaku jarimah. 8

Kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Dwi Eka Wiratama mahasiswa fakultas hukum Universitas Brawijaya dalam skripsinya berjudul

8

Desi Tri Astutik, “Tindak Pidana Kejahatan Dunia Mayantara (Cyber Crime) Dalam Perspektif Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Fiqih Jinayah”, Skripsi Hukum Pidana Islam, Surabaya, 2008, h.86-88, t.d.

(23)

“Tinjauan Yuridis Pembuktian Cyber Crime dalam Perspektif Hukum Indonesia”. Penelitian ini dilakukan tahun 2009. Dalam penelitiannya tersebut dia memaparkan pembuktian terhadap KUHAP secara formil tidak lagi dapat menjangkau dan sebagai landasan hukum pembuktian terhadap perkara cyber crime sebab modus operandi di bidang cyber crime tidak saja dilakukan dengan alat-alat canggih tetapi kejahatan ini benar-benar sulit menentukan secara cepat dan sederhana siapa pelaku tindak pidananya. Oleh karena itu di butuhkan optimalisasi UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik.9

Ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Gabe Ferdinal Hutagalung mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam skripsinya berjudul “Penanggulangan Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) Dalam Perspektif Hukum Pidana”. Penelitian ini dilakukan tahun 2010. Dalam penelitiannya tersebut memparkan bahwa kebijakan formulasi hukum pidana terhadap kejahatan mayantara saat ini adalah, sebelum disahkannya UU ITE terdapat beberapa ketentuan perundang-undangan yang berhubungan dengan penanggulangan kejahatan mayantara, tetapi kebijakan formulasinya berbeda-beda terutama dalam hal kebijakan kriminalisasi-nya belum mengatur secara tegas dan jelas terhadap tindak pidana teknologi informasi, kebijakan formulasi dalam UU ITE masih membutuhkan harmonisasi/sinkronisasi baik

9

Dwi Eka Wiratama, “Tinjauan Yuridis Pembuktian Cyber Crime dalam Perspektif Hukum Indonesia”, Skripsi Hukum, Surabaya, 2009, h.68-69.t.d.

(24)

secara internal maupun secara eksternal terutama dengan instrumen hukum

internasional terkait dengan teknologi informasi.10

Dari kajian beberapa skripsi diatas, dapat diketahui bahwa penelitian di atas menjelaskan bahwa cyber crime merupakan kejahatan yang melanggar batas wilayah. Semuanya membahas secara keseluruhan (global) tentang tindak pidana cyber crime. Dalam skripsi Desi Tri Astutik membatasi permasalahan mengenai tigas kasus yaitu mengenai kasus pencurian kartu kredit secara on-line (carding), pornogarfi, dan pencemaran nama baik. Sedangkan dalam skripsi yang kedua membahas tentang pembuktian cyber crime secara normatif dalam ranah hukum di Indonesia dan skripsi ketiga membahas tentang penanggulangan cyber crime di Indonesia dengan mengoptimalisasi UU ITE 2008.

Dari penjelasan di atas maka pembahasan dalam skripsi ini sangat berbeda dengan skripsi-skripsi sebelumnya karena dalam penelitian ini akan membahas secara lebih khusus dan mendetail mengenai tindak pidana pengaksesan sistem elektronik milik orang lain tanpa izin, pencurian dokumen elektronik, dan perusakan sistem elektronik yang berkaitan dengan undang-undang tentang Informasi dan Transaksi elektronik khusunya pasal 30, 32 ayat (2), dan 33 yang akan di tinjau dalam perspektif fiqih jinayah. E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

10Gabe Ferdinal Hutagalung, “Penanggulangan Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) Dalam Perspektif Hukum Pidana, Skripsi Hukum, Sumatera Utara, 2010, h.156.t.d.

(25)

Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, juga disebut penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber tertulis, maka penelitian ini bersifat kualitatif. Sedangkan Library Research menurut Bambang Waluyo, adalah metode tunggal yang dipergunakan dalam penelitian

hukum normatif.11 Dalam penelitan ini dilakukan dengan mengkaji

dokumen atau sumber tertulis seperti buku, majalah, jurnal dan lain-lain. 2. Sumber Data

Sumber data merupakan bahan-bahan yang diperoleh berdasarkan dari data-data hukum primer dan sekunder.

a. Data Primer : Konsep-konsep hukum yang berkaitan dengan cyber crime, dan cyber law yang mengatur tentang tindak pidana virtual dan ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana Islam (Fiqh Jinayah) yang tercantum di dalam : Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan “Asas-Asas Hukum Pidana Islam” karya Ahmad Hanafi.

b. Data Sekunder : Merupakan bahan-bahan hukum yang diambil dari pendapat atau tulisan para ahli dalam bidang cyber dan fiqih jinayah untuk digunakan dalam membuat konsep-konsep hukum yang berkaitan dengan penelitian ini dan dianggap sangat penting.

11

(26)

3. Metode Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data dimaksud di atas digunakan teknik sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan (library research)

Dilakukan dengan mencari, mencatat, menginventarisasi, menganalisis, dan mempelajari data-data yang berupa bahan-bahan pustaka.

4. Analisis Data

Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, maka penulis akan menggunakan teknik content analysis, yaitu pengumpulan bahan-bahan hukum dan diinterpretasi, dan untuk ketentuan hukum

dipakai interpretasi teleologis12 yaitu berdasar pada tujuan norma. Selain

itu juga digunakan pendekatan Undang-undang baru terkait dengan cyber crime, yaitu Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dengan metode tersebut, dapat kita ketahui lebih mendalam tentang tindak pidana sistem pengaksesan elektronik, pencurian dokumen elektronik, perusakan sistem elektronik dalam hukum pidana Islam.

F. Sistematika Penulisan Skripsi

Dalam skripsi ini, penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut :

12 Teleologi adalah ajaran yang menerangkan segala sesuatu dan segala kejadian menuju pada tujuan tertentu. Henk ten Napel. 2009, Kamus Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. h. 306 dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Teleologi#cite_note-Napel-0 diakses tanggal 3 Agustus 2011 pukul 10.59 WIB

(27)

BAB I Pendahuluan terdiri atas Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Telaah Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan Skripsi.

BAB II Memberi gambaran tentang Tinjauan Umum Terhadap Kejahatan dalam Fiqh Jinayah yang meliputi: Pengertian Jarimah, Unsur-unsur Jarimah, Klasifikasi Jarimah yaitu Jarimah Hudud, Jarimah Qishas dan Diyat dan Jarimah Ta’zir, Qiyas dalam Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah) yaitu Pengertian Qiyas, Rukun Qiyas, Macam-macam Qiyas dan Qiyas dalam Menentukan Jarimah.

BAB III Berisi tentang Tinjauan Umum Cyber Crime yang meliputi: Pengertian Kejahatan, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) dan Klasifikasi dan Jenis-Jenis Cyber Crime.

BAB IV Berisi tentang Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindak Pidana Pengaksesan Sistem Elektronik Dalam UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Yang Meliputi: Tinjauan Hukum Pidana Islam Mengenai Tindak Pidana Pengaksesan Sistem Elektronik Milik Orang Lain Tanpa Izin Dalam Pasal 30 UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Tinjauan Hukum Pidana Islam Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dokumen Elektronik Dalam Pasal 32 ayat (2) UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Tinjauan Hukum Pidana Islam Mengenai Tindak

(28)

Pidana Perusakan Sistem Elektronik Dalam Pasal 33 UU No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Bab V Adalah penutup yang merupakan bab terakhir dari skripsi ini yang berisi kesimpulan saran-saran dan kata penutup.

(29)

14

A. Pengertian Tindak Kejahatan a. Pengertian Jarimah

Secara bahasa jarimah berasal dari kata jadian masdar yang

berasal dari kata

َوَرَج

yang artinya berbuat salah.13 Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI), kata jarimah adalah kejahatan yang dilarang

oleh syariat Islam dengan ancaman hudud atau ta’zir.14 Secara istilah

Imam Al-Mawardi memberikan definisi jarimah sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Wardi Muslich dalam bukunya:

ٍّدَحِت اَهَُْع َمَعَذ ُاللهَرَجَز ٍحَّيِع ْرَش ٌخ اَر ْوُظْحَي ُىِئاَرَجْن َا

ٍرْ ِسْعَذْ َ

Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh

syara‟, yang diancam dengan hukuman had atau ta‟zir.15

Kata lain yang sering digunakan sebagai padanan istilah jarimah ialah kata jinayah. Hanya, dikalangan fuqaha (ahli fiqh) istilah jarimah pada umumnya digunakan untuk semua pelanggaran terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara‟, baik mengenai jiwa ataupun lainnya. Sedangkan jinayah pada umumnya digunakan untuk

13

Asad, M Alkali, Kamus Indo-Arab, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993, h. 28

14 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 4, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008. h.460

15

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Azas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), Jakarta: Sinar Grafika, 2004, h.9

(30)

menyebutkan perbuatan pelanggaran yang mengenai jiwa atau anggota

badan seperti membunuh dan melukai anggota badan tertentu.16

Sedangkan menurut Ahmad Hanafi yang dimaksud dengan kata-kata “jarimah” ialah, larangan-larangan Syara‟ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir. Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang, atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Yang dimaksud dengan kata-kata “Syara” adalah bahwa sesuatu perbuatan baru dianggap jarimah apabila dilarang oleh Syara‟. Juga berbuat atau tidak berbuat tidak dianggap sebagai jarimah, kecuali apabila telah diancamkan hukuman terhadapnya. Di kalangan fuqaha, hukuman biasa disebut

dengan kata-kata “ajziyah” dan mufradnya, “jaza”.17

Pengertian jarimah tersebut tidak berbeda dengan pengertian tindak pidana (peristiwa pidana/delik) pada hukum pidana positif. b. Unsur-Unsur Jarimah

Suatu perbuatan baru bisa dianggap sebagai perbuatan pidana apabila telah memenuhi unsur-unsurnya. Unsur-unsur ini ada yang umum dan ada yang khusus. Unsur umum berlaku untuk semua jarimah, sedangkan unsur khusus hanya berlaku untuk masing-masing jarimah dan berbeda antara jarimah yang satu dengan jarimah yang lain.

Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa unsur-unsur umum untuk jarimah itu ada tiga macam, yaitu:

16 NN, Jarimah http://wahyuset.wordpress.com/2008/10/17/jarimah/ diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.06 WIB

17

(31)

a) Unsur formal ( ٌ ِع ْرَّلنا ٍُْ رُّرنَا) yaitu adanya nash (ketentuan) yang melarang perbuatan dan mengancamnya dengan hukuman.

b) Unsur material ( رُّ ِ اًَْنا ٍُْ رُّرنَا ) yaitu adanya tingkah laku yang mebentuk jarimah, baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat (negatif)

c) Unsur moral ( رُّ ِت َ َاا ٍِْ رُّرنَا ) yaitu bahwa pelaku adalah orang yang mukallaf yakni orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas

tindak pidana yang dilakukannya.18

B. Klasifikasi Jarimah

Jarimah dibagi menjadi beberapa macam dan jenis sesuai dengan aspek yang ditonjolkan. Pada umumnya, para ulama membagi jarimah berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan atau tidaknya oleh Al-Qur’an atau hadist. Atas dasar ini mereka membaginya menjadi tiga macam, yaitu: jarimah hudud, jarimah qishas dan jarimah ta’zir.19

Mengenai uraian ataupun penjelasan tentang jarimah hudud, jarimah qishas dan jarimah ta’zir serta penggolongan-penggolongannya, akan diuraikan sebagai berikut:

a) Jarimah Hudud

Jarimah hudud adalah tindak pidana yang diancam hukuman had, yakni hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlah

18 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam jilid I, Jakarta: PT Kharisma Ilmu, 2007, h.129-130

19

Djazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1947, h.13

(32)

ringan) sanksinya yang menjadi hak Allah SWT.20 Dalam hubungannya dengan hukuman had maka pengertian hak Allah mempunyai pengertian bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang mewakili negara.

Ada tujuh macam perbuatan jarimah hudud yaitu, zina, menuduh orang lain berbuat zina (qadzaf), minum minuman keras,

mencuri, menggangu keamanan (hirabah), murtad, dan

pemberontakan (al-bagyu).

Salah satu bentuk contoh dari hukuman hudud yang menyatakan sebagai hukuman yang di tentukan oleh syara‟ adalah jarimah pencurian yang didasarkan pada firman Allah dalam surat AL-Maidah ayat (38):





























“Orang pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, hendaklah dipotong tangan keduanya, sebagai balasan pekerjaan keduanya dan sebagai siksaan dari Allah,

Allah Maha Perkasa, lagi Maha Bijaksana.”21

b) Jarimah Qishas dan Diyat

Jarimah Qishas dan diyat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishas atau diyat. Baik qishas maupun diyat keduanya

20 NN, Jarimah dalam http://wahyuset.wordpress.com/2008/10/17/jarimah/ diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.06 WIB

21

Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1992, h.103-104

(33)

adalah hukuman yang sudah ditentukan oleh syara‟. Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa had merupakan hak Allah, sedangkan qishas dan diyat adalah hak manusia (individu). Dalam arti korban dan keluarganya berhak memberikan pengampunan terhdap

pelaku.22

Baik qishas maupun diyat adalah hukuman-hukuman yang telah ditentukan batasnya, dan tidak mepunyai batas terendah maupun batas tertinggi.

Pengertian qishas sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Wardi Muslich adalah sebagai berikut:

...

ُمْثِي ِحَّ ِّ اًَْنا ِحَت ْوُقُعْنا ٍَِي ىَِ اَجْنِات َلِسُُْ ٌَْ َوُه

ِ ْيَهَع ِّىُِ ْجًَْن اِت َلِسَُْ اَي

.

“Qishas adalah memberikan hukuman kepada pelaku perbuatan persis seperti apa yang dilakukan terhadap

korban.” 23

Hukuman qishas didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 178-179:







































































22

Ahmad Wardi Muslich, op.cit, h.18 23

(34)

























“Hai orang-orang yang beriman, diperlukan atas kamu qishas dalam pembunuhan, merdeka dengan merdeka, sahaya dengan sahaya, perempuan dengan perempuan. Barangsiapa mendapat maafdari sudaranya akan sesuatu, maka hendaklah ia mengikut secara baik (ma‟ruf) dan membayarkan (diyat) kepada saudaranya itu dengan baik-baik. Demikian itu suatu keringanan dari Tuhanmu dan rahmat-Nya. Barangsipa yang aniaya sesudah itu, maka untuknya siksaan yang pedih. Kamu mendapat hidup dengan (peraturan) qishas itu, hai orang-orang yang

mempunyai akal, mudah-mudahan kamu bertakwa.”24

Sedangkan Diyat adalah sejumlah harta yang wajib diberikan karena suatu tindakan pidana kepada korban kejahatan atau walinya. Diyat disyariatkan dalam pembunuhan dan penganiayaan.25 Dasar hukum wajib diyat yaitu berdasar pada surat An-Nisa‟ ayat 92:













































...



“Tidak boleh orang mukmin membunuh orang mukmin (yang lain), kecuali jika tersalah. Barangsiapa membunuh orang mukmin dengan tersalah hendaklah memerdekakan hamba yang mukmin, serta dibayarkan denda kepada keluarga yang terbunuh itu, kecuali jika mereka

sedekahkan...”26

24

Departemen Agama RI, op.cit, h.25-26

25 The Reff All, Pengertian Diyat dalam

http://revolver19.blogspot.com/2009/08/pengertian-diyat.html diakses pada tanggal 30 Juli 2011 pukul 19.07 WIB

26

(35)

Yang termasuk jarimah qishas-diyat ialah pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan tidak sengaja, penganiayaan sengaja, dan penganiayaan tidak sengaja.

c) Jarimah Ta’zir

Adapun jarimah ta’zir ialah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir. Secara bahasa ta’zir merupakan mashdar (kata dasar) dari „azzaro yang berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti

menguatkan, memuliakan, membantu.27 Sedangkan menurut istilah Abdul

Qadir Audah mengemukakan bahwa hukuman ta’zir adalah hukuman pendidikan atas dosa-dosa (tindak pidana-tindak pidana) yang belum

ditentukan oleh syara‟.28

Dapat dikatakan bahwa hukuman ta’zir itu adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara‟, melainkan diserahkan kepada hakim, baik penentuannya maupun pelaksanaannya. Dalam menetukan hukuman tersebut, hakim hanya menentukan hukuman secara umum saja artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah ta’zir, dari yang seringan-ringan sampai seberat-beratnya.

Jenis-jenis hukuman ta’zir adalah sebagai berikut: a. Hukuman Mati

27Zanikhan, Pengertian dan Unsur-Unsur Jarimah Ta‟zir, dalam http://zanikhan.multiply.com/journal/item/694 diakses pada tanggal 30 Juli 19.09 WIB

28

Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam jilid III, Jakarta: PT Kharisma Ilmu, 2007, h.84

(36)

Pada dasarnya hukuman ta’zir dalam hukum Islam adalah hukuman yang bersifat mendidik. Sehingga dalam hukuman ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Tetapi sebagian besar fuqoha memberikan pengecualian terhadap peraturan hukuman tersebut yaitu diperbolehkannya hukuman mati apabila kepentingan umum menghendakinya atau kerusakan yang dilakukan pelaku tidak bisa dihindari kecuali dengan membunuhnya, seperti menjatuhkan hukuman mati kepada mata-mata,

penyeru bid’ah (pembuat fitnah), atau residivis yang berbahaya.29

Oleh karena itu, hukuman mati merupakan suatu pengecualian dari aturan hukuman ta’zir, hukuman tersebut tidak boleh diperluas dan diserahkan seluruhnya kepada hakim.

b. Hukuman Cambuk

Hukuman cambuk merupakan salah satu hukuman pokok dalam hukum Islam dan hukuman yang ditetapkan untuk hukuman hudud dan hukuman ta’zir.

Dikalangan fuqoha‟ terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama‟ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan

29

(37)

Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir adalah 39 kali, dan menurut Abu yusuf adalah 75 kali.30

Sedangkan di kalangan madzhab Syafi‟i ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu yusuf. Sedangkan pendapat yang ketiga, hukuman jilid pada ta’zir boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat lain bahwa jarimah ta’zir yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah hudud.31

Dalam mazhab Hambali ada lima pendapat. Tiga diantaranya sama denga pendapat madzhab Imam Syafi‟i. pendapat ke empat mengatakan bahwa jilid yang diancam atas sesuatu perbuatan jarimah tidak boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarimah lain yang tidak sejenisnya. Pendapat ke lima mengatakan bahwa hukuman ta’zir tidak boleh melebihi 10 kali.32

Alasannya ialah hadits dari Abu Burdah yang diterima dari Rosululloh SAW, sebagai berikut :

ُالله َمَص َّىِثَُّنا ُدْعًَِض َلاَق ِّ ِراَصََْلاْا َجَ ْرُت ْىِتَا ٍَْع

ْىِفَّلاِا ٍطاَوْضَا ِجَرْلَع َقْوَف ا ْ ُدِه ْجَذ َلا ُلْوُقَ َىَهَضَ ِ ْيَهَع

ِاللهِ ْ ُدُح ٍِْي ٍّدَح

“Dari Abu Burdah Al-Anshori katanya: saya mendengar Nabi Shallallaahu „alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kamu mendera

diatas sepuluh cambukan, kecuali dalam salah satu had Allah”33

30

Ahmad Hanafi, op.cit, h.306 31 Ibid, h.307

32 Ibid 33

Imam Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, Shahih Bukhori juz VIII, Semarang: CV. Asy Syifa, 1993, h.678

(38)

c. Hukuman Kawalan (Penjara atau Kurungan)

Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman yaitu hukuman

kawalan terbatas dan hukuman kawalan tidak terbatas.34 Pertama,

hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dari hukuman ini adalah satu hari, sedangkan batas tertinggi ulama‟ berbeda pendapat. Ulama‟ Syafi‟iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka

mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina.35

Sementara ulama-ulama lain menyerahkan semuanya kepada penguasa berdasarkan maslahat.

Kedua, hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan terlebih dahulu karena hukuman ini tidak terbatas, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang-ulang melakukan jarimah-jarimah yang berbahaya.

d. Hukuman Salib

Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan (hirobah), dan para fuqoha mengatakan bahwa hukuman salib dapat menjadi hukuman ta’zir. Akan tetapi untuk jarimah ta’zir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum disalib hidup-hidup dan tidak dilarang

34

Abdul Qadir Audah, op.cit, jilid III, h.92 35

(39)

makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalan menjalankan shalat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqoha tidak lebih dari tiga hari.

e. Hukuman Pengucilan

Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta’zir yang disyari‟atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rasulullah pernah melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka‟ab bin Malik, Miroroh bin Rubai‟ah dan Hilal bin Umayyah. Mereka dikucilkan selama lima

puluh hari tanpa diajak bicara.36 Sehingga turunlah firman Allah surat

At-Taubah ayat 118, sebagai berikut:

































































“Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit oleh mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta mereka mengira tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhan menerima

taubat mereka agar mereka bertaubat”37

f. Hukuman Ancaman, Teguran, dan peringatan

36

Abdul Qadir Audah, op.cit, Jilid III, h.98 37 Departemen Agama RI, op.cit, h.186

(40)

Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta’zir, dengan syarat dapat akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman saja. Misalnya dengan ancaman cambuk, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakanya lagi.

Sementara hukuman teguran bisa dilakukan apabila dipandang hukuman tersebut bisa memperbaiki dan mendidik pelaku. Hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rasulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki-maki orang lain dengan menghinakan ibunya.

Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari‟at Islam dengan jalan memberikan nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam Al-Qur‟an sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.

g. Hukuman Denda

Hukuman denda ditetapkan juga oleh syari‟at Islam sebagai hukuman. Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut. Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap orang yang menyembunyikan barang hilang. Sebagian fuqoha berpendapat bahwa denda yang bersifat finansial dapat dijadikan

hukuman ta‟zir yang umum, tapi sebagian lainnya tidak sependapat.38

38

(41)

C. Qiyas dalam Hukum Pidana Islam 1. Pengertian Qiyas

Qiyas menurut istilah ahli ilmu Ushul Fiqh adalah mempersamakan suatu kasus dengan yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, karena

ada persamaan kedua itu dalam „illat hukumnya.39

Dajzuli menerangkan dalam bukunya Imam Syafi‟i

menyatakan tentang qiyas sebagai berikut „setiap

kejadian/peristiwa yang terjadi pada seorang muslim pasti ada hukumnya. Dan ia wajib mengikuti nash, apabila ada nashnya. Dan apabila tidak ada nashnya, dicari dari permasalahannya (dalalah-nya) diatas jalan yang benar dengan ijtihad. Dan ijitihad

itu adalah qiyas‟.40

Jadi qiyas merupakan mashodirul ahkam yang keempat setelah Al-Qur‟an, As-Sunnah dan ijma’. Yakni cara mengishtinbatkan suatu hukum dengan cara menganalogikan antara dua hal yang memiliki kesamaan „‘illat tetapi yang satu belum ada ketentuan hukumnya dalam nash.

حُطنا باركنا ٍي ودقرًنا رثخ ىهع حقفاوًنا مئلادنا ةهط اي وه شايقنا “Qiyas adalah metode berfikir untuk menemukan petunjuk makna yang sesuai dengan khabar yang sudah ada dalam al-Qur‟an dan sunnah”.

39

Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994, h.66 40

A. Djazuli dan Nurul Aen, Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam), Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2000, h. 121

(42)

Adapun cara mengoperasionalkan qiyas ini yakni dimulai dengan mengeluarkan hukum yang ada pada kasus yang disebutkan dalam nash, setelah itu kita teliti „‘illatnya. Selanjutnya kita cari dan teliti „‘illat yang ada pada kasus yang tidak disebutkan dalam nash, sama ataukah tidak. Jika sudah diyakini bahwa „‘illat yang ada dalam kedua kasus tersebut ternyata sama maka kita menggunakan ketentuan hukum pada

kedua kasus itu berdasarkan keadaan „‘illat.41

2. Rukun Qiyas

Dari pengertian qiyas yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur pokok (rukun) qiyas terdiri atas empat

unsur berikut:42

a. Ashal (asal); yaitu sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan/ menqiyaskan. Dalam istilah ushul disebut ashal (مصلاا) atau maqis ‘alaih ( يهع صيقًنا) atau musyabbah bih ( ت ثلي).

Dalam menentukan ashal harus ada syarat-syarat yang dipenuhi yaitu :

Menurut Imam al-Ghozali dan Syaifuddin al-Amidi yang keduanya adalah ahli ushul fiqh Syafiiyyah

syarat-syarat ashal itu adalah:43

41

Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh 1, Jakarta: Departemen Agama, 1986, h.107

42 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, diterjemahkan oleh Saefullah Ma‟sum,dkk., cet. II., Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 351. Lihat juga Djazuli.dkk, Ushul Fiqih, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2000, h. 136-137

(43)

a. Hukum ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan dinasakhkan

b. Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara‟

c. Ashl itu bukan merupakan far’u dari ashl lainnya d. Dalil yang menetapkan „‘illat pada ashal itu adalah

dalil khusus, tidak bersifat umum

e. Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas

f. Hukum ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas far’u.

b. Far’u (cabang); yaitu sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya yang diserupakan atau yang diqiyaskan. Di dalam istilah ushul disebut al-far’u (عرفنا) atau al-maqis (صيقًنا) atau al-musyabbah ( ثلًنا).

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam menentukan far’u adalah sebagai berikut:

Para ulama usul fiqh mengemukakan beberapa

syarat yang harus dipenuhi oleh al-far’u yaitu:44

a. ‘‘illat yang ada pada far’u harus sama dengan ‘illat yang ada pada ashal.

b. Hukum ashal tidak berubah setelah dilakukan qiyas. c. Tidak ada nash atau ijma‟ yang menjelaskan hukum

far’u itu.

43 Harun Nasrun, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1995, h. 73

(44)

c. Hukum ashal ( مصلاا ىكح); yaitu hukum syara‟ yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi hukum pula bagi cabang.

Syarat-syarat hukum ashal antara lain:45

 Hukum syara‟ itu hendaknya hukum syara‟ yang

amaly yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Hal ini diperlukan karena yang akan ditetapkan itu adalah hukum syara’, sedang sandaran hukum syara‟ itu adalah nash. Hukum ashl harus ma’qul al-ma’na, artinya pensyari‟atannya harus rasional

 Hukum ashl itu tidak merupakan hukum

pengecualian atau hukum yang berlaku khusus untuk peristiwa atau kejadian tertentu.

d. „‘illat (حهعنا); yaitu sebab yang menyambungkan pokok

dengan cabangnya atau suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat yang dicari pada far’u.

Secara etimologi „‘illat berarti nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaannya. Misalnya penyakit itu dikatakan

(45)

„‘illat, karena dengan adanya penyakit tersebut tubuh manusia berubah dari sehat menjadi sakit.

Secara terminologi, terdapat beberapa definisi „‘illat

yang dikemukakan

ulama

ushul fiqh. Akan tetapi pada

makalah ini akan kami sebutkan definisi „‘illat menurut imam al-Ghozali, yaitu:

ِخاَّلناِتَلا ىَناَعَذ ِ ِهْعَجِت ِىْكُح ْ ِف ُرِّثَ ًُنا “Sifat yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena dzatnya, melainkan karena perbuatan syar‟i”.

Menurutnya, „‘illat itu bukanlah hukum, tetapi

merupakan penyebab munculnya

hukum

, dalam arti:

adanya suatu „‘illat menyebabkan munculnya hukum. Syarat-syarat „‘illat antara lain adalah:

a. „‘illat itu adalah sifat yang jelas, yang dapat dicapai oleh panca indra.

b. Merupaka sifat yang tegas dan tidak elastis yakani dapat dipastiakan berwujudnya pada furu‟ dan tidak mudah berubah.

c. Merupakan sifat yang munasabah, yakni ada persesuian antara hukum da sifatnya.

d. Merupakan sifat yang tidak terbatsas pada aslnya, tapi bisa juaga berwujud pada beberapa satuan hukum yang bukan ashal.

(46)

Ada beberapa bentuk sifat yang munkin menjadi

„‘illat bagi hukum bila

telah

memenuhi syarat-syarat

tertentu46. Di antara bentuk sifat itu adalah:

1. Sifat haqiqi, yaitu yang dapat dicapai oleh akal dengan sendirinya, tanpa tergantung kepada „urf

(kebiasaan) atau lainnya. Contohnya: sifat

memabukkan pada minuman keras.

2. Sifat hissi, yaitu sifat atau sesuatu yang dapat diamati dengan alat indera. Contohnya: pembunuhan yang menjadi penyebab terhindarnya seseorang dari hak warisan, pencurian yang menyebabkan hukum potong tangan, atau sesuatu yang dapat dirasakan, seperti senang atau benci.

3. Sifat ‘urfi, yaitu sifat yang tidak dapat diukur, namun dapat dirasakan bersama. Contohnya: buruk dan baik, mulia dan hina.

4. Sifat lughowi, yaitu sifat yang dapat diketahui dalam penamaannya dalam artian bahasa. Contohnya: diharamkannya nabiz karena ia bernama khomr. 5. Sifat syar’i, yaitu sifat yang keadaannya sebagai

hukum syar‟i dijadikan alasan untuk menetapkan

(47)

sesuatu hukum. Contohnya: menetapkan bolehnya mengagungkan barang milik bersama dengan alasan bolehnya barang itu dijual.

6. Sifat murakkab, yaitu bergabungnya beberapa sifat yang menjadi alasan adanya suatu hukum. Contohnya: sifat pembunuhan secara sengaja, dan dalam bentuk permusuhan, semuanya dijadikan alasan berlakunya hukum qishos.

3. Macam-Macam Qiyas

Dilihat dari segi kekuatan „‘illat yang terdapat pada far’u dibandingkan yang terdapat pada ashal. Dari segi ini qiyas

dibagi kepada tiga segi yaitu:47

a. Qiyas al-Aulawi, yaitu qiyas yang hukumnya pada far’u lebih kuat daripada hukum ashl, karena „‘illat yang terdapat pada far’u lebih kuat dari yang ada pada ashl. Misalnya, mengqiyaskan memukul pada ucapan “ah”.

Dalam surat al-Isra‟:23 Allah berfirman:

                          



Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah

(48)

kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak

mereka dan ucapkanlah kepada mereka

Perkataan yang mulia. (al-Isra‟:23).

b. Qiyas al-Musawi, yaitu hukum pada far’u sama kualitasnya dengan hukum yang ada pada ashl, karena kualitas „‘illat pada keduanya juga sama. Misalnya Allah berfirman dalam Qs. al-Nisa‟:2:

                   

Artinya: Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama

hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan

(menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.( al-Nisa‟:2).

Ayat ini melarang memakan harta anak yatim secara tidak wajar, para ulama ushul fiqh, mengqiyaskan membakar harta anak yatim kepada memakan harta anak yatim secara tidak wajar, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, karena kedua sikap itu sama-sama menghabiskan harta anak yatim dengan cara zalim.

c. Qiyas al-adna, yaitu „‘illat yang ada pada far’u lebih lemah dibandingkan dengan „‘illat yang ada pada ashl.

(49)

Artinya ikatan „‘illat yang ada pada far’u sangat lemah disbanding ikatan „‘illat yang ada pada ashl. Misalnya, mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fadhl, karena keduanya mengandung „‘illat yang sama yaitu sama-sama jenis makanan.

4. Penggunaan Qiyas dalam Menentukan Jarimah

Tidak semua bidang hukum dalam Islam yang boleh diterapkan didalamnya metode Qiyas. Imam Syafi‟i sebagai representer dari kalangan ini menambahkan bahwa penerapan Qiyas tidak semuanya boleh digunakan dalam setiap bidang hukum. Hal

ini dibatasinya pada aspek ibadah dan jinayah.48

Dalam aspek pidana, semua pakar hukum fiqh ada yang sepakat menggunakan qiyas dan ada yang tidak sepakat menggunakan itu. Mereka yang membolehka pemakaian qiyas

beralasan bahwa:49

a. Nabi membenarkan pemakaian qiyas, ketika ia bertanya pada sahabat Mu‟az. “Dengan apa engkau memutusi suatu perkara?” jawabnya, “Dengan kitab Tuhan; kalau tidak saya dapati, maka dengan sunnah rasul, dan kalau tidak saya dapati, maka saya “berijtihad” dengan fikiran saya”. Rosulallah membenarkan

48Alam Surya Anggara, Implementasi Metode Qiyas Dalam Penilaian Terhadap Status Hukum Perbuatan Korupsi,http://tentangasa.wordpress.com/2011/04/11/implementasi-metode-qiyas-dalam-penilaian-terhadap-status-hukum-perbuatan-korupsi/ , diakses pada tanggal 19 Desember 2011 jam 19.55 WIB

49 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, cet. V., 1993, h. 34.

(50)

kata-kata Mu‟az yang mengenai ijtihad adalah mutlak yang tidak ditentukan macamnya. Sedang qiyas adalah salah satu cara ijtihad.

b. Ketika sahabat-sahabat bermusyawarah tentang hukuman had

bagi peminum minuman keras, disini sahabat Ali

mengqiyaskan hukuman minum-minuman keras dengan memperbuat kebohongan (iftira).

Adapun sebagian mereka yang menentang qiyas dalam

aspek jinayat, memberi alasan dan argumentasi sebagai berikut :50

a. Hukuman hudud dan kifarat-kifarat sudah ditentukan batasnya, tetapi tidak dapat diketahui alasan penentuan batas-batas tersebut sedang dasar qiyas ialah pengetahuan tentang „‘illat (sebab alasan) hukum peristiwa “asal”. Apa yang tidak dapat diketahui alasannya, maka qiyas tidak dapat diloakukan terhadapnya.

b. Hukuman hudud adalah suatu tindakan penghukuman, dan pada kifarat-kifarat juga terdapat sifat hukuman. Qiyas itu sendiri bisa kemasukan salah, sedang hukuman menjadi hapus disebabkan adanya syubhat (ketidak tegasan), sedangkan hukuman-hukuman (hudud) menjadi hapus disebabkan , karena kata-kata nabi: “Hindarkan hukuman hudud karena adanya syubhat-syubhat.

50 Ibid, h. 35.

Referensi

Dokumen terkait

PEJABAT PENGADAAN BARANG DAN/JASA PUSKESMAS KECAMATAN GAMBIR KOTA ADMINISTRASI JAKARTA

[r]

Mohammad Ibn Ishaaq stated of Wahb Ibn Munbah said that when Allah took Kalih Ibn Yofra (Jephtha) after Joshua, Ezekiel Ibn Buzi succeeded him as the prophet to the Israelites..

[r]

Telah melakukan test program Tugas Akhir Mahasiswa tersebut di atas pada tanggal ……./06/2014. Dengan Hasil : SUKSES

Dengan musikalisasi puisi, pengabdian ini hadir untuk menjawab masalah yang ada, yakni bagaimana pelatihan musikalisasi puisi dapat menambah kosakata anak tunarungu

Sektor UMKM yang berpotensi berperan besar menyumbang dalam pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan di Indonesia khususnya Jawa Tengah adalah sektor usaha

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab salah satu penyebab kerusakan karena korosi dengan perlakuan permukaan shot peening yaitu penembakan bola baja dengan