BAB I PENDAHULUAN
G. Sistematika Penulisan…
Unutuk mempermudah dalam memahami penulisan skripsi ini maka penulis akan menyajikannya dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I: Bab ini merupakan bab pendahuluan, dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan maalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, keaslian penulisan serta sistematika penulisan yang digunakan.
BAB II: Bab ini merupakan bab yang menguraikan tinjauan umum tentang klausula baku, pengertian klausula baku, jenis-jenis perjanjian yang menggunakan klausula baku, sejarah perkembangan klausula baku di Indonesia, landasan hukum perjanjian yang menggunakan klausula baku, serta kekuatan mengikat klausula baku.
BAB III: Bab ini merupakan bab yang berisi tentang analisis terhadap pencantuman klausula baku menurut Kitab Undang-Undang hukum Perdata dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Bab ini membahas tentang pengertian dan syarat sah perjanjian,
syarat-syarat suatu perjanjian, asas-asas perjnjian, ketentuan klausula baku ditinjau dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ketenttuan Klausula baku ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sengketa dan penyelesaian sengketa mengenai klausula baku.
BAB IV: Bab ini merupakan yang berisi tentang analisis hukum terhadap pencantuman klausula baku dalam suatu perjanjian (studi putusan Pengadilan Negeri Nomor: 56/Pdt.G/2011/PN.Tegal). Dalam bab ini akan diuraikan tentang permasalahan pokok yang dibahas penulis yakni kasus posisi atas putusan Pengadilan Negeri Tegal Nomor: 56/Pdt.G/2011/PN.Tegal dan analisis kasus.
BAB V: Bab ini merupakan bab penutup, dalam bab terakhiri ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan dan saran sebagai sumbanan pemikiran penulis dalam memecahkan persoalan praktek keabsahan terhadap penggunaan klausula baku.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSULA BAKU
E. Pengertian Klausula Baku
Klausula baku merupakan isi atau bagian dari suatu perjanjian. Perjanjian yang menggunakan klausula baku ini disebut dengan perjanjian baku. Didalam suatu perjanjian baku tercantum klausula-klausula tertentu yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kedudukan yang lebih kuat tang mengakibatkan sangat merugikan pihak yang lemah yang dapat menimbulkan penyalahgunaan keadaan.26
1. Menurut Abdul Kadir Muhammad, istilah perjanjian baku dialih bahasakan dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu “standard contract”. Kata baku atau standar artinya tolak ukur yang Perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang didalamnya telah terdapat syarat-syarat tertentu yang dibuat oleh pihak kreditor, yang umumnya disebut perjanjian adhesie atau perjanjian baku. Pihak lain yaitu debitor, umumnya disebut “Adherent”, ia tidak turut serta dalam menyusun kontrak, ia tidak mempunyai pilihan. Dalam hal penyusun kontrak (kreditor) mempunyai kedudukan monopoli. Terserah mau mengikuti atau menolak. Penyusun kontrak bebas dalam membuat redaksinya, sehingga pihak lawan berada dalam keadaan di bawah kekuasaannya.
Adapun pengertian perjanjian baku adalah:
dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha, yang dibakukan dalam perjanjian baku ialah meliputi model, rumusan, dan ukuran.27 2. Menurut Sluitjer mengatakan bahwa perjanjian baku bukan
merupakan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk Undang-Undang swasta (legio
particuliere wetgever). Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha
dalam perjanjian itu adalah undang-undang, bukan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha dalam perjanjian itu seperti pembentuk Undang-Undang swasta (legio particuliere wetgever). Syarat yang ditentukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah Undang-Undang bukan merupakan perjanjian.
3. Menurut Sutan Remy Sjahdeni perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-kalausul yang dibakukan oleh pemakainya dan pihak lainnya pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal saja, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Dengan kata lain yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausul-klausulnya. Oleh karena itu suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notaries, bila dibuat oleh notaries dengan klausul-klausul yang hanya mengambil alih saja klausul-klausul yang telah dibakukan oleh salah satu pihak, sedangkan
pihak lain yang tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausul-kalausul itu, maka perjanjian yang dibuat dengan akta notaris itu pun adalah juga perjanjian baku.28
4. Menurut Mariam Darus Badrulzaman perjanjian standar yaitu perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Ia menyimpulkan bahwa perjanjian standar itu bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab. Terlebih-lebih lagi ditinjau dari asas-asas hukum nasional, dimana akhirnya kepentingan masyarakatlah yang lebih didahulukan. Dalam perjanjian standar kedudukan pelaku usaha dan konsumen tidak seimbang. Posisi yang didominasi oleh pihak pelaku usaha, membuka peluang luas baginya untuk menyalahgunakan kedudukannya. Pelaku usaha hanya mengatur hak-haknya tidak kewajibannya. Menurutnya perjanjian standar ini tidak boleh dibiarkan tumbuh secara liar dan karena itu perlu ditertibkan.29
Didalam suatu perjanjian pada umumnya terdiri dari empat bagian yaitu: 1. Nama Perjanjian
2. Komparisi 3. Batang Tubuh 4. Penutup
Klausula baku didalam suatu perjanjian baku merupakan batang tubuh dari perjanjian tersebut. Adapun pengertian klausula baku menurut Undang-Undang
28 Sutan Remy Sahdeini, op.cit, hal 66.
29 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 1998), hal 143
Nomor 8 Tahun 2999 tentang Perlindungan Konsumen pasal 1 ayat (10) menyatakan bahwa:
Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen30
Istilah klausula baku beraneka ragam, ada yang meng-gunakan klausul eksemsi, klausul eksenorasi, onredelijk bezwarend (Belanda), unreasonably
(Inggris), exemption clause (Inggris), exculpatory clause (Amerika). Mariam Darus Badrulzaman menyatakan bahwa klausul eksonerasi adalah klausula yang berisi pembatasan per-tanggungan jawab dari kreditur. Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa klausul eksemsi adalah klausul yang bertujuan untuk membebas-kan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersang-kutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentuklan di dalam perjanjian tersebut.31
Klausula eksonerasi yang bisanya dimuat dalam perjanjianv sebagai klausula tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya ditemukan dalam perjanjian baku. Klausula tersebut merupakan klausula yang Rikjen mengatakan bahwa klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan dirivuntuk memenuhi kewajibannyavmembayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melanggar hukum.
30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
31
sangat merugikan konsumen yang umumnya memiliki posisi lemah jika dibandingkan dengan produsen, karena beban yang seharusnya dipikul oleh produsen, dengan adanya klausula tersebut menjadi beban konsumen.
Dalam UUPK, istilah klausul eksonerasi sendiri tidak ditemukan, yang ada adalah “klausula baku”. Pasal 1 angka 10 vmendefinisikan klausula baku sebagai aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang dipersiapkan dan ditetatapkan terlebih dahulu secara sepihakv oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen/perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Jadi yang ditekankan adalah prosedur pembuatannya yang bersifat sepihak, bukan menenai isinya. Padahal pengertian “klausul eksonerasi” tidak sekadar mempersoalkan prosedr pembuatannya, melainkan juga isinya yang bersifat pengalihan kewajiban tanggung jawab pelaku usaha. 32
Pasal 18 ayat (1) UUPK menyatakan pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/ atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang untuk membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/ atau perjanjian jika menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Ketentuan huruf (b) dan seterusnya sebenarnya memberikan contoh bentuk-bentuk pengalihan tanggung jawab itu, seperti pelaku saha dapat menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen atau menolak penyerahan kembali uang yang dibayar dan sebagainya.33
Apakah dengan demikian, klausula baku itu daapat disamakan dengan klausula eksonerasi? Jika melihat pada ketentuan pasal 18 ayat (1) UUPk, dapat
32 Celina Tri Siwi Kristiyanti , op. cit. hal 144-145
diperoleh jawaban sementara bahwa kedua istilah itu berbeda. Artinya klausula baku adalah klausul yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha, tetapi isinya tidak boleh mengarah kepada klausul eksonerasi. Pasal 18 ayat (2) mempertegas pengertian tersebut, dengan menyatakan bahwa klausula baku harus diletakkan pada tempat yang mudah terlihat dan jelas dapat dibaca dan mudah dimengerti, jika hal-hal yang disebutkan dalam ayat (1) dan (2) itu tidak dipenuhi, maka kalusul baku itu menjadi batal demi hukum.34
Oleh karena yang merancang format dan isi perjanjian adalah pihak yang memiliki kekuataan atau kedudukan yang lebih kuat, maka dapat dipastikan bahwa perjanjian tersebut memuat klausula-klausula yang menguntungkan baginya, atau meringankan/ menghapuskan beban-beban atau kewajiban-kewajiban tertentu yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya
Apabila dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak tidak seimbang, maka pihak lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul bebas untuk menentukan apa yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal demikian, piha yang memiliki posisi lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausula-kalausula tertentu dalam perjanjian baku, sehinggaq perjanjian yang seharusnya dibuat/ dirancang oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian, tidak ditemukan lagi di dalam perjanjian baku, karena format dan isi perjanjian dirancang oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat.
35
F. Jenis- Jenis Perjanjian yang Menggunakan Klausula Baku
34 Ibid, hal 145
Secara kuantitatif, jumlah perjanjian baku yang hidup dan berkmebang dalam masyarakat sangat banyak karena masing-masing perusahaan atau lembaga, baik yang bergerak dibidang perbankan atau non bank maupun lainnya, selalu menyiapkan standar baku dalam mengelola usahanya. Ini disebabkan untuk mempermudah dan mempercepat lalu lintas hukum. Hondius mengemukakan bahwa dewasa ini terdapat syarat-syarat baku di hampir di semua bidang dimana dibuat kontrak baku. Beberapa aktifitas penting dan cabang-cabng perusahaan, di mana banyak perjanjian-perjanjian dibuat atas dasr syarat-syarat baku seperti:
1. Perjanjian Kerja
Kontrak Kerja/Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha secara lisan dan/atau tulisan, baik untuk waktu tertentu maupun untuk waktu tidak tertentu yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban pekerja dan perusahaan
2. Perbankan (syarat- syarat umum perbankan)
3. Pembangunan ( Syarat-syarat seragam administrative untuk pelaksanaan pekerjaan)
4. Perdagangan eceran
suatu kegiatan menjual barang dan jasa kepada konsumen akhir. Perdagangan eceran adalah mata rantai terakhir dalam penyaluran barang dari produsen sampai kepada konsumen.
5. Sektor pemberian jasa-jasa 6. Hak sewa (erfpacht)
7. Dagang dan perniagaan 8. Perusahaan pelabuhan
9. Sewa-menyewa 10. Beli sewa 11. Hipotek
12. Pemberian kredit atau perjanjian kredit 13. Pertanian
14. Urusan makelar
15. Praktik notary dan hukum lainnya 16. Perusahaan-perusahaan umum 17. Penyewaan urusan pers
18. Perusahaan angkutan (syarat-syarat umum angkutan, syarat-syarat umum ekdpedisi Belanda)
19. Penerbitan
20. Urusan asuransi36 Hondius37
1. jenis-jenis kontrak baru dan hubungan-hubungan hukum baru; mengemukakan bahwa kiranya tidak tepat kalau ada kesan seakan-akan hampir semua transaksi dibuat atas dasar syarat-syarat baku.
Karena menurutnya tidak semua transaksi cocok untuk dibakukan. Berbagai contoh kontrak yang tidak cocok untuk dibakukan yaitu:
2. transaksi antara pengusaha dan seorang partikelir, yang segera dilaksanakan dalam hal pengusaha tidak ada resiko besar (misalnya penjualan bahan makanan);
3. transaksi antara golongan swasta satu dengan swasta lain (sewa-menyewa, penjualan mobil bekas);
36 Hondius, standaardvoorwaarden, diss (Leiden,1978), hal141. 37
4. perjanjian-perjanjian, kedua belah pihak segan mempergunakan dokumen-dokumen (misalnya transaksi-transaksi gelap yang tidak diberikan nota karena kedua belah pihak hendak mengelakkan undang-undang pajak peredaran);38
Penyebab keempat hal itu tidak dibuatkan syarat-syarat baku adalah karena:
1. Biaya, waktu dan kesulitan dari penerapan syarat-syarat umum tidak seimbang dengan keuntungan (Nomor 2);
2. Tidak ada pengetahuan tentang syarat-syarat baku atau karena kurang pengalaman;
3. Karena kedua belah pihak hendak mengelakkan Undang-Undang Pajak Peredaran.39
Menurut Mariam Darus Badrulzaman klasifikasi perjanjian baku itu terbagi menjadi empat jenis, yaitu sbagai berikut:
1. Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu Pihak yang kuat disini ialah pihak kreditor yang lazimnya mempunyai posisi ekionomi yang lebih kuat dibandingkan pihak debitur.
2. Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua belah pihak, misalnya perjanjian baku yang pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditur) dan pihak lainnya buruh (debitur). Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
38 Salim HS(a), op. cit, hal 155
3. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh pemerintah terhadap perbuatan-perbuatab hukum tertentu, misalnya perjanjian - perjanjian yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. Dalam bidang agrarian, lihatlah misalnya formulir-formulir perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No. 104/Dja/1977 berupa antara lain akta jual beli.
4. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaries atau advokad adalah perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan nptatis atau advokad yang bersangkutan. Di dalam perpustakaan Belanda, jenis keempat ini disebut contract model .40
Mariam Darus Badrulzaman tidak menyebutkan secara jelas perjanjian baku yang berlaku di kalangan perbankan, namun ia hanya menyebutkan perjanjian baku yang dibuat oleh pihak ekonomi kuat terhadap debitur yang kedudukan ekonominys lemah. Pihak ekonomi kuat ini, dapat ditafsirkan sebagai pihak pemberi kredit atau lembaga perbankan yang memberikan kredit pada debitur. Memang di dalam lembaga perbankan syarat-syarat baku itu telah disiapkan oleh lembaga perbankan, sedangkan nasabah atau debitur tiggal menerima atau menolak isi perjanjian. Apabila ia menerima, maka ia menandatangani isi perjanjian tersebut.41
Berdasarkan hasil kajian terhadap berbagai jenis perjanjian yang berlaku di Indonesia, H. Salim HS telah menginventarisasikan berbagai kontrak yang telah
40 Ibid, hal 156
dibakukan. Kontrak itu dapat dikaji dari obyeknya. Jenis-jenis kontrak itu dapat disajikan berikut ini:
1. Kontrak baku yang dikenal dalam bidang pertambangan umum dan minyak dan gas bumi, seperti kontrak baku pada kontrak karya, kontrak
production sharing, perjanjian karya pengusahaan batu bara, kontrak
bantuan teknis, dan lain-lain.
2. Kontrak baku yang dikenal dalam praktek bisnis. Seperti kontrak baku dalam perjanjian leasing, beli sewa, franchise, dan lain-lain.
3. Kontrak baku yang dikenal dalam bidang perbankan seperti perjanjian kredit bank, perjanjian bagi hasil pada bank syariah.
4. Kontrak baku yang dikenal dalam perjanjian pembiayaan non-bank seperti perjanjian pembiayaan dengan pola bagi hasil pada perusahaan modal ventura, perjanjian pembiayaan konsumen.
5. Kontrak baku yang dikenal dalam bidang asuransi, seperti perjanjian asuransi yang dibuat oleh perusahaan asuransi42
Disamping itu dikenal juga perjanjian baku yang dikenal dalam pembebanan jaminan, seperti perjanjian pembebanan jaminan hak tanggungan, fidusia, dan gadai. Perjanjian ini telah dibakukan oleh pemerintah dan lembaga pegadaian.
.
43
G. Landasan Hukum Perjanjian yang Menggunakan Klausula Baku
Peraturan PerUndang-Undangan yang mengatur tentang perjanjian baku dapat dilihat dan dibaca dalam berbagai peraturan perUndang-Undangan berikut ini:
42 Ibid, hal 157
1) Pasal 2 ayat 19 sampai dengan Pasal 2 ayat 22 Prinsip UNIDROIT (Principles of International Comercial Contract).
Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak karena prinsip kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa membahayakan pihak yang lemah, pasal 2.19 prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut.
1) Apabila salah satu pihak astau kedua belah pihak menggunakan syarat-syarat baku, maka berlaku sturan-aturan umum tentang pembentuksn kontrak dengan tunduk pada pasal 2 ayat 20 sampai Pasal 2 ayat 22;
2) Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.44
Ketentuan ini mengatur tentang:
a. tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku; dan b. pengertian kontrak baku
pasal 2 ayat 20 prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut. 1) Suatu persyaratan dalam persyaratan standar-persyaratan standar
yang tidak dapat secara layak diharapkan oleh suatu pihak diyatakan tidak berlaku kecuali pihak itu secar tegas menerimanya;
44 Tarnyana Soenandar, Tinjauan atas Beberapa Aspek Hukum Dari Prinsip-Prinsip UNIDROIT dan SISG, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hal 189
2) Untuk menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti disebut diatas akan bergantung pada isi, bahasa dan penyajiannya. Ketentuan ini mengatur tentang persyaratam dan cirri perjanjian baku. Cirinya tergantung pada isi, bahasa dan penyajiannya. Pasal 2.21 berbunyi: dalam hal timbul suatu pertentangan antara persyaratan-persyaratan standard dan tidak standar, persyaratan-persyaratan yang disebut terakhir dinyatakan berlaku.45
2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Ketentuan ini mengatur tentang konflik antara persyaratan standard dan tidak standar dalam suatu kontrak atau perjanjian. Apabila terjadi hal yang demikian, maka yang digunakan dalam penyelesaian masalahanya adalah didasarkan pada perjanjian tidak standar.
Pasal 2 ayat 22 berbunyi: jika kedua belah pihak menggunakan persyaratan-persyaratan standard an mencapai kesepakaan, kecuali untuk beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak dapat disimpulkan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan persyaratan-persyaratan standar yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali suatu pihak sebelumnya telah menyatakan secara jelas atau kemudian dan tanpa penundaan untuk memberitahukannya kepada pihak lain , bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan untuk terikat dengan kontrak tersebut. (Ketentuan ini mengatur kesepakatan para pihak dalam menggunakan kontak baku)
46
45 Salim HS (a), op. cit, hal 151
3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini mengatur tentang ketentuan Pencantuman klausula baku didalalam Bab V pada pasal 18 yang berbunyi sebagai berikut.
1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/ atau jasa yang ditujukan unyuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
1. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
2. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; 3. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak
penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan / atau jasa yang dibeli oleh konsumen; 4. menyatakan pemberian kuasavdari konsumen
kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsunguntuk melakukan segal tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
5. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
6. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
7. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa pada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggunag, hak gadi, atau hak jaminan terhadap barag yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimeegerti. 3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku
usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-Undang ini.47
4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
5) Undang-Undang nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian
H. Kekuatan Mengikat Klausula Baku
Perjanjian baku merupakan perjanjian yang telah ditentuksan klausul-klausulnya terlebih dahulu oleh satu pihak. Masalahnya di sini apakah perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat atau tidak. Perjanjian baku adalah salah satu bentuk format atau modelperjanjian yang merupakan sub system dalam system hukum perdata. Sebagai subsistem hukum perdata, maka isi perjnjian baku haruslah tunduk pada prinsip-prinsip(asas-asas) hukum perjanjian dan norma-norma hukum perjanjian yang diatur dalamBuku III KUHPerdata.48 Menurut ketentuan Pasakl 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian yang dibuat secara sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata, yang mana perjanjian itu setelah dibuat maka berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak, atau karena alaan-alasan yang cukup menurut Undang-Undang dan harus dilaksanakan dengan iktikad baik.49
48 Abdul Hakim Siagian, Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Melalui Kontrak Baku dan Asas Kepatutan Dalam Perlindungan Konsumen, (Medan: UMSU Press 2014) hal 6
49 Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Hal tersebut diatas berlaku juga terhadap perjanjian baku yahg merupakan