• Tidak ada hasil yang ditemukan

Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi Kasus Putusan Nomor 56/Pdt.G/2011/Pn Tegal)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi Kasus Putusan Nomor 56/Pdt.G/2011/Pn Tegal)"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM TERHADAP PENCANTUMAN

KLAUSULA BAKU DITINJAU DARI KITAB

UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG-UNDANG-UNDANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN (STUDI KASUS PUTUSAN

NOMOR 56/PDT.G/2011/PN TEGAL)

SKRIPSI

Diajukan dalam Rangka Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

AJA CHAIRINA RAHMAH 110200070

Departemen Hukum Perdata

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2015

ANALISIS HUKUM TERHADAP PENCANTUMAN

(2)

UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG-UNDANG-UNDANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN (STUDI KASUS PUTUSAN

NOMOR 56/PDT.G/2011/PN TEGAL)

SKRIPSI

Diajukan dalam Rangka Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

AJA CHAIRINA RAHMAH

Departemen Hukum Perdata 110200070

Program Kekhususan : Perdata (BW)

Diketahui/Disetejui oleh :

Ketua Departemen Hukum Perdata

NIP. 196603031985081001 (Dr. Hasim Purba, SH., M.Hum)

Pembimbing I Pembimbing II

M. Hayat, S.H

NIP. 195008081980021002 NIP. 196403301993031002

(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Segala Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah menciptakan penulis dan menjaga penulis hingga saat ini, tidak lupa pula penulis ucapkan shalawat beriring salam kepada junjungan kita, teladan kita Rasulullah Muhammad SAW, semoga kita mendapatkan syafaatnya di akhirat kelak

Skripsi ini ditukis guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum, Program Kekhususan Perdata BW, Departemen Hukum Perdata, Universitas Sumatera Utara. Penulis sangat menyadari bahwa kehadiran karya ini tidak terlepas dari perhatian, bimbingan, dorongan dan bantuan dari semua pihak. Untuk ini izinkanlah penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. Selaku dekan Fakultas Hukum Universita Sumatera Utara, Prof Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universita Sumatera Utara, Bapak Syafruddin SH.MH.DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universita Sumatera Utara dan Bapak Dr. OK. Saidin, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universita Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. H. Hasim Purba, S.H., M.Hum sebagai ketua Depaprtemen Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universita Sumatera Utara.

(4)

4. Ibu Maria Kaban, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta bimbingan di dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini.

5. Bapak Alwan S.H., M.Hum selaku Dosen Penasehat Akademik saya yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan masukan, arahan-arahan selama perkuliahan ini.

6. Bapak M. Husni, S.H., M.Hum selaku Dosen saya yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta bimbingan perkuliahan selama ini.

7. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah dengan ikhlas memberikan ilmunya kepada penulis.

8. Kepada Ntu, Alm. DR.Cand. Datuk. H. Chairil Anwar, SE. MH yang telah menjaga saya dari kecil hingga dewasa, semoga ina bisa membanggakan Ntu. Untukmu kupersembahkan ini Ntu.

9. Kepada Mama Almh. Hj. Rosiana Simatupang yang telah melahirkan saya di dunia ini serta Mama tercinta Sri Wardah Alhady SPd yang telah membesarkan saya dan mencintai kami hinga sekarang untukmu kupersembahkan ini ma.

10. Kepada adik-adiku tercinta Datuk Abdul Razaaq SCF, Datuk Abdul Razzaq TCA, Datuk Abdul Hafizh TCA, Rizky Audina Lubis, Salsabila Lubis, Kamila Adinda Lubis, terima kasih karena selalu ada dan buat kakak bahagia ya dek.

(5)

12. Terima kasih untuk uwakku tersayang Aja Chairanum BA yang telah merawat kami dari kecil, tak ada kata maupun perbuatan yang mampu membalas kebaikanmu wak anumku tersayang.

13. Terima kasih untuk Deffry Maulana Rahman yang paling baik hati namun keras kepala yang telah selalu ada.

14. Terima kasih untuk sahabat-sahabatku tercinta yang selalu ada Azirah, Nurul Pertiwi, Titi Fiandari Ahimsa, Shofa Husra, Dila Armaya, kalian teman-teman terbaikku saat susah maupun senang juga Nurul Musfirah dan Aprilia Hikari Dewi teman-teman kesayanganku.

15. Terima kasih untuk teman-teman Grup A Fakultas Hukum USU, Grup Perdata BW dan teman-teman seangkatan 2011, Kakak-kakak dan Adik – Adik BTM Aladdinsyah SH, serta seluruh mahasiswa-mahasiswi Fakultas Hukum yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu.

Medan, April 2015

Penulis

(6)

ANALISIS HUKUM TERHADAP PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU

DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN ( STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR

56/PDT.G/2011/PN.TGL )

ABSTRAK……….……….………..……….i

KATA PENGANTAR.... ……….……….……….…..ii

DAFTAR ISI……….……..,……….………...….……..…v

ABSTRAK………vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang…..…….……….………...1

B. Perumusan Masalah……..……….…………..10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………..……..11

D. Keaslian Penulisan………...………....12

E. Tinjauan Kepustakaan…....……….………12

F. Metode Penelitian..…..…….……….……….. ..16

G. Sistematika Penulisan…..…….……….……...18

(7)

A. Pengertian Klausula Baku………...……….20 B. Jenis- Jenis Perjanjian yang Menggunakan

Klausula Baku………..25 C. Landasan Hukum Perjanjian yang Menggunakan

Klausula Baku………...……30 D. Kekuatan Mengikat Klausula Baku……….………....35

BAB III PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU MENURUT KITAB

UNDANG HUKUM PERDATA DAN

UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengertian dan Syarat Sah Perjanjian………..……39 B. Syarat-Syarat Suatu Perjanjian……….………....44 C. Asas-Asas Perjanjian……….………...55 D. Ketentuan Klausula Baku Ditinjau Dari Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata……….………….….72 E. Ketentuan Klausula Baku Menurut Undang-Undang

Perlindungan Konsumen………...……….……..76 F. Sengketa dan Penyelesaian Sengketa Mengenai

Klausula Baku……….82

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PENCANTUMAN

KLAUSULA BAKU DALAM SUATU PERJANJIAN (STUDI

(8)

A. Kasus Posisi Atas Putusan Pengadilan Negeri Nomor 56/Pdt.G/2011/PN.Tgl……….………….95

B. Analisis Hukum Terhadap Pencantuman Klausula Baku Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang PerlindunganKonsumen ( Studi Kasus Putusan Nomor 56/PDT.G/2011/PN.Tegal )………..……….……106

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan……….……….……….….113 B. Saran……….………….………...…..115

(9)

ANALISIS HUKUM TERHADAP PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN ( STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR

56/PDT.G/2011/PN.TGL ) *) M. Hayat

**) Maria Kaban ***) Aja Chairina Rahmah

ABSTRAK

Pencantuman klausula baku yang merupakan isi dan syarat-syarat dalam suatu perjanjian merupakan hal yang tidak dapat dihindari ini merupakan wujud dari kebebasan berkontrak bagi para pelaku usaha dan konsumen. Tetapi bagi konsumen, ini merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena konsumen dihadapkan pada suatu pilihan yaitu menerima perjanjian tersebut atau menolaknya. Oleh hukum diragukan apakah perjanjian baku ini sah dan mengikat.

Poin penting yang menjadi rumusan masalah yakni tinjauan umum tentang klausula baku, keabsahan pencantuman klausula baku ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yakni melalui proses penelitian terhadap bahan pustaka yang kemudian dianalisa berdasarkan kaitannya dengan rumusan permasalahan.

Penggunaan klausula baku bersifat praktis dan sangat menguntungkan mengingat banyaknya kontrak yang dibuat oleh pelaku usaha dalam satu harinya. Dalam pelaksanaannya banyak sengketa yang terjadi yang timbul akibat permasalahan mengenai klausula baku. Peran pemerintah dan BPSK diperlukan dalam mengawasi penggunaan klausula baku. Selain itu baik pelaku usaha maupun konsumen hendaknya memiliki iktikad baik dalam melaksanakan kontrak.

1

Kata Kunci: Perjanjian Baku, Standart Contract, Perlindungan Konsumen

*) Dosen Pembimbing I **) Dosen Pembimbing II

(10)

ANALISIS HUKUM TERHADAP PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN ( STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR

56/PDT.G/2011/PN.TGL ) *) M. Hayat

**) Maria Kaban ***) Aja Chairina Rahmah

ABSTRAK

Pencantuman klausula baku yang merupakan isi dan syarat-syarat dalam suatu perjanjian merupakan hal yang tidak dapat dihindari ini merupakan wujud dari kebebasan berkontrak bagi para pelaku usaha dan konsumen. Tetapi bagi konsumen, ini merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena konsumen dihadapkan pada suatu pilihan yaitu menerima perjanjian tersebut atau menolaknya. Oleh hukum diragukan apakah perjanjian baku ini sah dan mengikat.

Poin penting yang menjadi rumusan masalah yakni tinjauan umum tentang klausula baku, keabsahan pencantuman klausula baku ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yakni melalui proses penelitian terhadap bahan pustaka yang kemudian dianalisa berdasarkan kaitannya dengan rumusan permasalahan.

Penggunaan klausula baku bersifat praktis dan sangat menguntungkan mengingat banyaknya kontrak yang dibuat oleh pelaku usaha dalam satu harinya. Dalam pelaksanaannya banyak sengketa yang terjadi yang timbul akibat permasalahan mengenai klausula baku. Peran pemerintah dan BPSK diperlukan dalam mengawasi penggunaan klausula baku. Selain itu baik pelaku usaha maupun konsumen hendaknya memiliki iktikad baik dalam melaksanakan kontrak.

1

Kata Kunci: Perjanjian Baku, Standart Contract, Perlindungan Konsumen

*) Dosen Pembimbing I **) Dosen Pembimbing II

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kontrak atau perjanjian dalam kehidupan sehari-hari menguasai begitu banyak aspek-aspek perekonomian kita. Sudah begitu banyak kontrak yang dibuat ditengah masyarakat hingga kita tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah kita buat. Kontrak diartikan sebagai suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus.2 Dewasa ini hubungan hukum yang terjadi dalam bentuk perjanjian terlihat dengan adanya kecendrungan bahwa perjanjian-perjanjian itu selalu diadakan dalam bentuk tertulis. Hal mana dimaksudkan untuk suatu pembuktian bahwa diantara para pihak telah terikat suatu hubungan hukum perjanjian, tetapi ini bukan berarti bahwa bentuk perjanjian yang dibuat secara lisan menjadi terabaikan.3

Perjanjian yang dibuat secara tertulis ini memiliki berbagai macam bentuk, salah satu diantaranya adalah perjanjian baku yang sering disebut dengan standard contract. Perjanjian baku/ perjanjian yang mengandung klausula baku ini sangat dibutuhkan dalam dunia perdagangan yang semakin maju dan dewasa ini, terutama karena dengan penggunaan perjanjian baku tersebut berarti para pihak

2 I.G Rai Widjaya, S.H, M.A, Merancang Suatu Kontrak. (Jakarta:Kesaint Blanc, 2003) . hal 11 3 Mariam Darus Badrulzaman, Pelangi Perdata II, (Medan: Fakultas Hukum Universitas

(12)

dapat mempersingkat waktu bernegosiasi. Hal ini sangat berguna jika dikaitkan dengan prinsip bahwa waktu adalah uang.4

Dalam era globalisasi ini, pembakuan syarat-syarat perjanjian merupakan mode yang tidak dapat dihindari. Bagi para pengusaha mungkin ini merupakan cara mencapai tujuan ekonomi yang efisien, praktis, dan cepat tidak bertele-tele. Dalam masyarakat kapitalis, sudah lumrah jika pengusaha besar mengendalikan perekonomian masyarakat (negara) dengan menjual produk atau jasa yang dihasilkannya berdasarkan modelmodel perjanjian yang mengandung syarat-syarat yang menguntungkan pihaknnya. Syarat-syarat-syarat perjanjian yang mereka buat dan sodorkan kepada konsumen umumnya kurang mencerminkan rasa keadalan karena konsumen tidak berhak menawar syarat-syarat yang telah Istilah klausula baku jarang sekali terdengar atau dibicarakan di kalangan masyarakat, namun kenyataannya istilah ini akan sering kita dengar dalam kehidupan perdagangan. Klausula baku atau perjanjian baku (standard contract) merupakan sebuah bentuk perjanjian yang mana isi perjanjian ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak didalam suatu kontrak. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Klausula Baku diartikan sebagai setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan lebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjia yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

4 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Raja

(13)

ditentukan oleh pengusaha. Menawar berarti menolak syarat-syarat yang ditentukan.5

Klausula baku dalam suatu perjanjian terutama didalam suatu perjanjian lembaga pembiayaan (perjanjian kredit) ini dalam praktiknya seringkali terjadi keadaan dimana debitur yang membutuhkan uang hanya menandatagani perjanjian kredit tanpa dibacakan isinya. Akan tetapi, isi perjanjian baru dipersoalkan oleh debitur pada saat debitur tidak mampu melaksanakan prestasinya karena kreditur tidak hanya membebani debitur untuk membayar

Para pelaku usaha bisnis terutama pada lembaga pembiayaan selalu menggunakan klausula baku (standard Contract) sebagai jenis perjanjian yang akan ditandatangani dengan pihak konsumen. Pencantuman pasal-pasal yang telah dibuat atau telah baku dalam sebuah perjanjian ini dirasa tidak memenuhi asas-asas perjanjian terutama konsensualisme dan asas-asas proporsionalitas dalam sebuah perjanjian.

Perjanjian baku diterima oleh para pengusaha umumnya dan dijadikan model perjanjian tidak hanya di negara-negara maju, melainkan juga di negara-negara berkembang sebagai dasar prinsip ekonomi, yaitu, dengan usaha sedikit mungkin, dalam waktu sesingkat mungkin, dengan biaya seringan mungkin, dengan cara yang praktis, memperoleh keuntungan sebesar mungkin. Dalam hubungan hukum sesama pengusaha, perjanjian baku hampir tidak menimbulkan masalah apa-apa karena mereka berpegang pada prinsip ekonomi yang sama dan menerapkan sistem bersaing secara sehat dalam melayani konsumen.

5 Ditkutip dar

(14)

pokok prestasinya dengan bunganya tetapi ia juga membebani debitur dengan membayar denda keterlambatan atas bunga sebesar 50% dari besarnya bunga yang dibayar setiap bulannya. Dengan demikian, utang yang harus dibayar oleh kreditur sangat tinggi. Kreditur berpendapat bahwa penerapan denda keterlambatan itu karena di dalam standar kontrak telah ditentukan dan diatur secara rinci dalam kontrak yang telah ditandatangani oleh debitur, sehingga tidak ada alasan bagi debitur untuk menolak pemenuhan denda keterlambatan tersebut. Oleh karena itu, debitur harus membayar poko, bunga, beserta denda keterlambatannya.6

Pada zaman sekarang ini, pencantuman klausula baku yang merupakan isi dan syarat-syarat dalam suatu perjanjian merupakan hal yang tidak dapat dihindari lagi. Hal ini dikarenakan bagi para pengusaha ini merupakan cara yang dirasa efisien, ekonomis, praktis dan tidak bertele-tele. Tetapi bagi konsumen, hal ini justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena konsumen hanya dihadapkan pada suatu pilihan yaitu menerima perjanjian tersebut atau menolaknya atau sering disebut perjanjian baku ini memiliki sifat take it or leave it. Dengan demikian, oleh hukum diragukan apakah benar-benar ada elemen kata sepakat yang merupakan syarat sahnya kontrak didalam kontrak tersebut.7

Perjanjian baku ini merupakan wujud dari kebebasan individu dalam menyatakan kehendaknya dalam menjalankan usahanya. Dimana dalam buku III BW dijelaskan bahwa perjanjian itu menganut sistem terbuka, artinya hukum perjanjian ini memberikan keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukumnya . Apa yang diatur dalam Buku III BW hanya sekedar

6 Salim HS (a), Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUHPERDATA, (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2006), hal 147

(15)

mengatur dan melengkapi (regelend recht – aanvullendrecht). 8

Menurut pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya” hal ini sering disebut dengan asas pacta sunt servanda. Asas ini menyatakan bahwa suatu perjanjian mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan para pihak terkait untuk melaksanakan kesepakatan kontrak tual, serta bahwa suatu kesepakatan harus dipenuhi, dianggap sudah terberi dan kita tidak pernah mempertanyakannya kembali. Kehidupan kemasyarakatan hanya mungkin berjalan dengan baik jika seorang dapat mempercayai perkataan orang lain. Ilmu pengetahuan kiranya tidak mungkin dapat memberikan penjelasan lebih dari itu, terkecuali bahwa kontrak memang mengikat karena memang merupakan suatu janji, serupa dengan Undang-Undang karena Undang-Undang Tersebut dipandag sebagai perintah pembuat Undang-Undang. Jika kepastian terpenuhinya kesepakatan kontraktual ditiadakan, hal itu akan sekaligus menghancurkan seluruh system pertukaran (benda-jasa) yang ada di dalam masyarakat. Oleh sebab itu, “kesetiaan pada janji yang diberikan merupakan bagian dari persyaratan yang dituntut akal-budi alamiah”

Jadi perjanjian baku ini merupakan wujud dari asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai sumber hukum perjanjian itu sendiri.

9

8 Prof. Dr. Agus Yudha Hernoko, S.H, M.H, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam

Kontrak Komersial. (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2010) hal 109

9 Asser Rutten Hartkamp II: Asser, C, Handleiding tot de befoening van het Nederlands Burgerlijk

(16)

Kontrak dengan asas pacta sunt servanda ini dalam kenyataannya dapat menimbulkan ketidakadilan. Dengan adanya prinsip kebebasan berkontrak yang berlaku dalam suatu kontrak memberikan asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang seimbang10 tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar menawar yang seimbang.11

Namun penting untuk diperhatikan bahwa asas kebebasan berkontrak yang sebagaimana tersimpul dari ketentuan pasal 1338 (1) BW tidaklah berdiri dalam kesendiriannya. Asas tersebut berada dalam suatu system yang utuh dan padu dengan ketentuan lain terkait. Dalam praktik dewasa ini, acap kali asas kebebasan berkontrak kurang dipahami secara utuh, sehingga banyak memunculkan (kesan) pola hubungan kontraktual yang tidak seimbang dan berat sebelah, kebebasan berkontrak didasarkan pada asumsi bahwa pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang seimbang, tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki tawar menawar yang seimbang.

Hal ini menyebabkan pihak yang memiliki posisi tawar lebih kuat menguasai pihak yang memiliki posisi tawar lebih lemah. Kontrak- kontrak yang seperti ini sering sekali terdapat dalam kontrak komersial dalam lingkungan perbankan yang sering menggunakan bentuk klausula baku (standard contract)

didalam pelaksanaan suatu kontrak.

12

Menurut pasal 1338 (1) BW yang menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang

10 A.G. Guest, ed, Chity On Contract, Volume I – General Principles, (London : Sweet &

Maxwell, 1983), hal. 3

11 Konrad Zweigt dan Hein Kotz, Introduction to Comparative Law Volume II – The Institution of Private Law, (Oxford : Clarendon Press, 1987) hal 9

(17)

membuatnya.” Istilah “secara sah” bermakna bahwa dalam suatu pembuatan perjanjian yang sah (menurut hukum) adalah mengikat (vide pasal 1320 BW).13

Banyak sekali pandangan para ahli hukum mengenai keabsahan klausula baku ini dalam suatu kontrak. Menurut Sutan Remy Sjahdeini bahwa keabsahan berlakunya perjanjian baku tidak perlu dipersoalkan oleh karena perjanjian baku eksistensinya sudah merupakan kenyataan, yaitu dengan telah dipakainya perjanjian baku secara meluas dalam dunia bisnis sejak lebih dari 80 tahun Didalam pengaturan pengaturan mengenai pencantuman klausula baku yang diatur dalam pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen mencantumkan beberapa syarat yang merupakan syarat sah dari pencantuman klausula baku. Menurut Undang-Undang ini, pelaku usaha yang melanggar ketentuan pada pasal tersebut mengakibatkan batalnya suatu perjanjian yang dibuat oleh klausula baku tersebut.

Walaupun telah dinyatakan demikian dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, namun acap kali terdengar permasalahan mengenai penyelesaian permasalahan perjanjian klausula baku ini di pengadilan yang menyebutkan bahwa pencantuman klausula baku tersebut tidak sesuai dengan ketentuan pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen tersebut. Banyak para pelaku usaha yang tidak mengindahkan pengaturan tersebut. Hal ini dikarenakan suatu perjanjian tersebut merupakan “lex specialis derogate lex generalis” bagi para pelaku uaha. Suatu perjanjian yang telah ditandatangani tersebut merupakan U ndang – Undang yang bersifat mengikat bagi para pihak yang telah menandatanganinya.

(18)

lamanya.14 Kenyataaan itu terbentuk karena perjanjian baku memang lahir dari kebutuhan masyarakat sendiri. Dunia bisnis tidak dapat berlangsung tanpa perjanjian baku. Perjanjian baku dibutuhkan oleh dank arena itu diterima oleh masyarakat.15 Berbeda dengan Sutan Remy, pandangan lain berpendapat bahwa perjanjian baku bukan merupakan perjanjian karena bertentangan dengan pasal 1320 KUH Perdata. Pendapat ini diwakili oleh Prof. Mariam Darus Badrulzaman dan Sluitjer.16 Sluitjer mengatakan bahwa perjanjian baku, bukan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk Undang-Undang swasta (legio particuliere wet-gever). Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah Undang-Undang dan bukan Perjanjian. Sedangkan Prof Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa dalam perjanjian yang menggunakan klausula baku, perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak memberikan kesempatan pada debitur mengadakan “real bargaining” dengan pengusaha (kreditur). Debitur tidak

mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasannnya dalam menentukan isi perjanjian. Karena itu perjanjian baku tidak memenuhi elemen yang dikehendaki pasal 1320 KUH Perdata jo pasal 1338 KUH Perdata.17

Kebebasan berkontrak yang merupakan “roh dan napas” sebuah kontrak atau perjanjian, secara implisit memberikan panduan bahwa dala berkontrak pihak-pihak diasumsikan mempunyai kedudukan seimbang. Denagan demikian, diharapkan bahwa kontrak yang diciptakan akan adil dan seimbang pula bagi para pihak. Namun demikian dalam paktik model kontrak standar (standard contract)

14 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para piihak dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal 66

15 Salim HS, op.cit, hal 174 16 Ibid,

(19)

ini cenderung dianggap berat sebelah , tidak seimbang dan tidak adil hingga dinamakan kontrak ini merupakan perjanjian timpang. Kontrak ini sering kali diibaratkan dengan pertarungan antara “David vs. Golliath”, dimana berhadapan dua kekuatan yang tidak seimbang antara pihak yang mempunyai bargaining position yang kuat (baik karena penguasaan modal, dana teknologi maupun skill yang diposisikan sebagai Golliath) dengan pihak yang lemah bargaining positionnya dimana pihak ini hanya sekadar menerima segala isi kontrak dengan terpaksa (taken for granted), sebab apabila ia mencoba menawar dengan alternatif

lain kemungkinan besar ia akan menerima konsekuensi kehilangan apa yang dibutuhkan. Jadi hanya ada dua alternatif bagi pihak yang lemah bargaining positionnya yaitu untuk menerima atau menolak (take it or leave it)18

Penggunaan perjanjian baku dalam perjanjian antara konsumen dengan produsen ini kadang atau bahkan sering terjadi penyalahgunaan keadaan atau yang dalam istlah Belanda dikenal dengan “misbruik van omstadigheden”.

Penyalahgunaan keadaan terjadi apabila orang mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa pihak lain karena suatu keadaan khusus seperti keadaan darurat, ketergantungan, tidak berpikir panjang, keadaan jiwa yang abnormal atau tidak berpengalaman tergerak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, meskipun ia tahu atau seharusnya mengerti bahwa sebenarnya ia harus mencegahnya.19

Untuk itu perlulah dikaji secara mendalam mengenai syarat sah suatu perjanjian yang tercantum dalam pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata terhadap keabsahan pencantuman klausula baku yang ditandatangani oleh konsumen (debitur) dan juga terhadap syarat sah pencantuman klausula baku

18 Agus Yudgo Hernoko, op.cit, hal 2

(20)

menurut pasal 18 Undang –Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Hal ini penting karena mengingat bahwa perjanjian baku ini sudah melekat didalam dunia bisnis. Pengkajian ini dilakukan untuk melindungi konsumen yang berada dalam posisi tawar yang lemar terhadap para pengusah (kreditur) yang memilik posisi tawar yang kuat. Selama ini konsumen yang menandatangani perjanjian tersebut dikarenakan ia membutuhkan biaya dengan waktu yang cepat tanpa memikirkan kemungkinan atau risiko yang terjadi kedepan terhadap pemenuhan prestasi atas perjanjian itu. Masyarakat menginginkan hal yang bersifat praktis tanpa terlebih dahulu mengkaji lebih dalam bagaimana terhadap pemenuhan hak di kemudian hari.

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis dalam skripsi ini memberi judul “ANALISIS HUKUM TERHADAP PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG-UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 56/PDT.G/2011/PN.TEGAL)”.

(21)

a. Apakah perjanjian baku bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan?

b. Apakah pelaksanaan perjanjian baku dirasa adil bagi masyarakat?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan antara lain sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui apakah perjanjian baku bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan

b. Untuk mengetahui apakah pelaksanaan perjanjian baku dirasa adil bagi masyarakat

Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumbangan masukan bagi ilmu pengetahuan serta penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang perjanjian serta bidang perlindungan konsumen, khususnya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan perjanjian baku. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan juga memberikan pengembangan wawasan dan pengkajian terhadap perlindungan konsumen dalam penerapan perjanjian baku di Indonesia, serta dapat dijadikan bahan informasi yang memuat data empiris sebagai dasar penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

(22)

ditandatangani. Serta bagi masyarakat agar dapat memahami dengan baik hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan ketika dihadapkan dengan permasalahan mengenai perjanjian baku.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan di kepustakaan pada Lingkungan Universitas Sumatera Utara, belum ditemukan penulisan skripsi yang membahas tentang “ANALISIS HUKUM TERHADAP PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 56/PDT.G/2011/PN.TEGAL)” sampai dengan penulisan skripsi ini dilakukan. Hal ini juga didasarkan pada penelitian yang dilakukan pada kepustakaan keperdataan khusunya Perdata BW (Burgerlijk Wetboek), sehinggadapat dikatakan bahwa isi

penulisan ini adalah asli, dan dapat dipertanggungjawabkan. Skripsi ini disusun berdasarkan referensi buku-buku, majalah-majalah hukum, media cetak maupun media elektronik, juga melalui banuan dari berbagai pihak

E. Tinjauan Kepustakaan

(23)

terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”

Menurut Sutan Remy Sjahdeini Perjanjian Baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausul yang dibakukan oleh pemakainya dan pihak lainnya pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Yang belum dibakukan hhanyalah beberapa hal saja, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Dengan kata lain yang dibakukan bukan formulir perjaniian tersebut tetapi klausul-klausulnya. Oleh karena itu suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notaries, bila dibuat oleh notsris dengan klusul-kalausul yang hanya mengambil alih saja klausul-kalausul yang telah dibakukan oleh salah satu pihak, sedangkan pihak yang lain tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausul-klausul itu, maka perjanjian yang dibuat dengan akta notaries itu pun adalah juga perjanjian baku”.20

a. isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat;

Sedangkan Menurut Mariam Darus Badrulzaman Perjanjian Baku (standard contract) adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan

dalam bentuk formulir.

Adapun menurut Mariam Darus Badrulzaman mengemukakakan ciri-ciri perjanjian baku yaitu:

b. masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama- sama mengemukakan isi perjanjian;

(24)

c. terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu; d. bentuk tertentu (tertulis);

e. dipersiapkan secara missal dan kolektif21

Klausula baku atau perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang juga tunduk pada Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pencantuman klausula baku dalam suatu perjanjian menjadikan perjanjian tersebut disebut dengan perjanijian baku disebut dengan kontrak standar (standard contract). Agar perjanjian yang menggunakan klausula baku ini memiliki kekuatan mengikat maka perjanjian baku ini harus memenuhi syarat sah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu:

a. Kesepakatan antara mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan para pihak

c. Suatu hal tertentu yang diperjanjikan d. Suatu sebab yang halal.22

Selain harus memenuhi syarat sah perjanjian, perjanjian baku juga harus tidak bertentangan dengan asas-asas umum yang dianut oleh hukum perjanjian yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas

pacta sunt servanda, asas iktikad baik dan asas keseimbangan.

Menurut Niewenhuis, asas-asas hukum itu berfungsi sebagai pembangun sistem, dan lebih lanjut asas-asas itu sekaligus membentuk sistem “check and balances”. Melalui pendekatan ini, ada tujuan yang

diemban yaitu agar terciptanya suatu hubungan kontraktual yang

21 Ibid, hal 146

(25)

proporsiaonal antara para pelaku bisnis, sebagai suatu pola hubungan

win-win solution yang bersimbiosis mutualistis.23

a. Untuk menyelesaikan sengketa melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen atau pelaku usaha (di luar pengadilan) atau,

Aturan mengenai perjanjian baku ini juga tercantum pada Bab 5 Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hal –hal yang diatur ialah mengenai berbagai larangan terhap pencantuman klausula baku dalam suatu dokemen atau perjanjian.

Didalam suatu perjanjian terutama perjanjian bisnis sering sekali terjadi sengketa.sengketa adalah dimana adanya ketidaksepakatan atau perbedaan di antara para pihak. penyelesaian sengketa terhadap kontrak konsumen ini diatur dalam pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 yang mana diberikan dua pilihan bagi para pihak apabila terjadi sengketa yaitu:

b. Untuk menyelesaikan sengkets melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.24

Adapun penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat dilakukan oleh suatu lembaga yang dibuat oleh pemerintah untuk menyelesaikan sengketa konsumen yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau oleh para pihak dilakukan sendiri metode penyelesaian sengketa alternatif lainnya karena penyelesaian sengketa melalui BPSK bukan merupakan sebuah keharusan.

23 Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal 108

(26)

Namun demikian hasil putusan BPSK memiliki suatu daya hukum yang cukup untuk memberikan shock therapy bagi pelaku usaha nakal karena putusan tersebut

dapat dijadikan bukti permulaan bagi penyidik di pengadilan.25

1. Jenis Penelitian F. Metode Penelitian

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan secara hukum

dengan cara membaca, mempelajari dan menguraikan tentang norma, ketentuan-ketentuan dan pendapat para ahli hukum tentang analisis terhadap pencantuman klasula baku ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Karena penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif maka data yang diperoleh berasal dari pustaka

sehingga merupakan penelitian kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder yang kemudian dijadikan sebagai data primer.

2. Bahan Hukum

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang kemudian dijadikan sebagai data primer, data sekunder ini mencakup:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari UUD 1945, KUHPerdata, UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU

25 Gunawan Widjaja Hukum Tentang Perlindugan Konsumen, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

(27)

Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer sehingga dapat membantu menganalisi dan memahami bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, artikel, makalah maupun hasil wawancara dari para ahli di bidang perlindungan konsumen, maupun standard contract.

c. Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus umum Bahasa Indonesia, dan Kamus Hukum.

3. Teknik Pengumpulan Data

Bahan diperoleh dengan cara melakukan penelitian kepustakaan, yaitu dengan membaca dan mempelajari buku-buku, perundang-undangan, makalah, artikel, laporan penelitian ataupun literature lainnya yang berkaitan dengan tema penelitian. Kemudian bahan-bahan tersebut dikelompok-kelompokkan menjadi bahan-bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier lalu disusun secara sistematis, dianalisa dan kemudian dikembangkan menjadi skripsi.

4. Analisis data

(28)

metode kualitatif, dimana proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berkahir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang berkebenaran empiris. Dalam hal ini, adapun data-data yang diperoleh akan dibaca, ditafsirkan, dibandingkan, dan diteliti sedemikian rupa sebelum dituangkan dalam menarik suatu kesimpulan akhir.

G. Sistematika Penulisan

Unutuk mempermudah dalam memahami penulisan skripsi ini maka penulis akan menyajikannya dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I: Bab ini merupakan bab pendahuluan, dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan maalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, keaslian penulisan serta sistematika penulisan yang digunakan.

BAB II: Bab ini merupakan bab yang menguraikan tinjauan umum tentang klausula baku, pengertian klausula baku, jenis-jenis perjanjian yang menggunakan klausula baku, sejarah perkembangan klausula baku di Indonesia, landasan hukum perjanjian yang menggunakan klausula baku, serta kekuatan mengikat klausula baku.

(29)

syarat-syarat suatu perjanjian, asas-asas perjnjian, ketentuan klausula baku ditinjau dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ketenttuan Klausula baku ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sengketa dan penyelesaian sengketa mengenai klausula baku.

BAB IV: Bab ini merupakan yang berisi tentang analisis hukum terhadap pencantuman klausula baku dalam suatu perjanjian (studi putusan Pengadilan Negeri Nomor: 56/Pdt.G/2011/PN.Tegal). Dalam bab ini akan diuraikan tentang permasalahan pokok yang dibahas penulis yakni kasus posisi atas putusan Pengadilan Negeri Tegal Nomor: 56/Pdt.G/2011/PN.Tegal dan analisis kasus.

(30)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSULA BAKU

E. Pengertian Klausula Baku

Klausula baku merupakan isi atau bagian dari suatu perjanjian. Perjanjian yang menggunakan klausula baku ini disebut dengan perjanjian baku. Didalam suatu perjanjian baku tercantum klausula-klausula tertentu yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kedudukan yang lebih kuat tang mengakibatkan sangat merugikan pihak yang lemah yang dapat menimbulkan penyalahgunaan keadaan.26

1. Menurut Abdul Kadir Muhammad, istilah perjanjian baku dialih bahasakan dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu “standard contract”. Kata baku atau standar artinya tolak ukur yang Perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang didalamnya telah terdapat syarat-syarat tertentu yang dibuat oleh pihak kreditor, yang umumnya disebut perjanjian adhesie atau perjanjian baku. Pihak lain yaitu debitor, umumnya disebut “Adherent”, ia tidak turut serta dalam menyusun kontrak, ia tidak

mempunyai pilihan. Dalam hal penyusun kontrak (kreditor) mempunyai kedudukan monopoli. Terserah mau mengikuti atau menolak. Penyusun kontrak bebas dalam membuat redaksinya, sehingga pihak lawan berada dalam keadaan di bawah kekuasaannya.

Adapun pengertian perjanjian baku adalah:

(31)

dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha, yang dibakukan dalam perjanjian baku ialah meliputi model, rumusan, dan ukuran.27 2. Menurut Sluitjer mengatakan bahwa perjanjian baku bukan

merupakan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk Undang-Undang swasta (legio

particuliere wetgever). Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha

dalam perjanjian itu adalah undang-undang, bukan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha dalam perjanjian itu seperti pembentuk Undang-Undang swasta (legio particuliere wetgever). Syarat yang ditentukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah Undang-Undang bukan merupakan perjanjian.

3. Menurut Sutan Remy Sjahdeni perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-kalausul yang dibakukan oleh pemakainya dan pihak lainnya pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal saja, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Dengan kata lain yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausul-klausulnya. Oleh karena itu suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notaries, bila dibuat oleh notaries dengan klausul-klausul yang hanya mengambil alih saja klausul-klausul yang telah dibakukan oleh salah satu pihak, sedangkan

(32)

pihak lain yang tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausul-kalausul itu, maka perjanjian yang dibuat dengan akta notaris itu pun adalah juga perjanjian baku.28

4. Menurut Mariam Darus Badrulzaman perjanjian standar yaitu perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Ia menyimpulkan bahwa perjanjian standar itu bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab. Terlebih-lebih lagi ditinjau dari asas-asas hukum nasional, dimana akhirnya kepentingan masyarakatlah yang lebih didahulukan. Dalam perjanjian standar kedudukan pelaku usaha dan konsumen tidak seimbang. Posisi yang didominasi oleh pihak pelaku usaha, membuka peluang luas baginya untuk menyalahgunakan kedudukannya. Pelaku usaha hanya mengatur hak-haknya tidak kewajibannya. Menurutnya perjanjian standar ini tidak boleh dibiarkan tumbuh secara liar dan karena itu perlu ditertibkan.29

Didalam suatu perjanjian pada umumnya terdiri dari empat bagian yaitu: 1. Nama Perjanjian

2. Komparisi 3. Batang Tubuh 4. Penutup

Klausula baku didalam suatu perjanjian baku merupakan batang tubuh dari perjanjian tersebut. Adapun pengertian klausula baku menurut Undang-Undang

28 Sutan Remy Sahdeini, op.cit, hal 66.

29 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 1998), hal

(33)

Nomor 8 Tahun 2999 tentang Perlindungan Konsumen pasal 1 ayat (10) menyatakan bahwa:

Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen30

Istilah klausula baku beraneka ragam, ada yang meng-gunakan klausul eksemsi, klausul eksenorasi, onredelijk bezwarend (Belanda), unreasonably

(Inggris), exemption clause (Inggris), exculpatory clause (Amerika). Mariam

Darus Badrulzaman menyatakan bahwa klausul eksonerasi adalah klausula yang berisi pembatasan per-tanggungan jawab dari kreditur. Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa klausul eksemsi adalah klausul yang bertujuan untuk membebas-kan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersang-kutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentuklan di dalam perjanjian tersebut.31

Klausula eksonerasi yang bisanya dimuat dalam perjanjianv sebagai klausula tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya ditemukan dalam perjanjian baku. Klausula tersebut merupakan klausula yang Rikjen mengatakan bahwa klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan dirivuntuk memenuhi kewajibannyavmembayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melanggar hukum.

30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

31

(34)

sangat merugikan konsumen yang umumnya memiliki posisi lemah jika dibandingkan dengan produsen, karena beban yang seharusnya dipikul oleh produsen, dengan adanya klausula tersebut menjadi beban konsumen.

Dalam UUPK, istilah klausul eksonerasi sendiri tidak ditemukan, yang ada adalah “klausula baku”. Pasal 1 angka 10 vmendefinisikan klausula baku sebagai aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang dipersiapkan dan ditetatapkan terlebih dahulu secara sepihakv oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen/perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Jadi yang ditekankan adalah prosedur pembuatannya yang bersifat sepihak, bukan menenai isinya. Padahal pengertian “klausul eksonerasi” tidak sekadar mempersoalkan prosedr pembuatannya, melainkan juga isinya yang bersifat pengalihan kewajiban tanggung jawab pelaku usaha. 32

Pasal 18 ayat (1) UUPK menyatakan pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/ atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang untuk membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/ atau perjanjian jika menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Ketentuan huruf (b) dan seterusnya sebenarnya memberikan contoh bentuk-bentuk pengalihan tanggung jawab itu, seperti pelaku saha dapat menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen atau menolak penyerahan kembali uang yang dibayar dan sebagainya.33

Apakah dengan demikian, klausula baku itu daapat disamakan dengan klausula eksonerasi? Jika melihat pada ketentuan pasal 18 ayat (1) UUPk, dapat

(35)

diperoleh jawaban sementara bahwa kedua istilah itu berbeda. Artinya klausula baku adalah klausul yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha, tetapi isinya tidak boleh mengarah kepada klausul eksonerasi. Pasal 18 ayat (2) mempertegas pengertian tersebut, dengan menyatakan bahwa klausula baku harus diletakkan pada tempat yang mudah terlihat dan jelas dapat dibaca dan mudah dimengerti, jika hal-hal yang disebutkan dalam ayat (1) dan (2) itu tidak dipenuhi, maka kalusul baku itu menjadi batal demi hukum.34

Oleh karena yang merancang format dan isi perjanjian adalah pihak yang memiliki kekuataan atau kedudukan yang lebih kuat, maka dapat dipastikan bahwa perjanjian tersebut memuat klausula-klausula yang menguntungkan baginya, atau meringankan/ menghapuskan beban-beban atau kewajiban-kewajiban tertentu yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya

Apabila dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak tidak seimbang, maka pihak lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul bebas untuk menentukan apa yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal demikian, piha yang memiliki posisi lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausula-kalausula tertentu dalam perjanjian baku, sehinggaq perjanjian yang seharusnya dibuat/ dirancang oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian, tidak ditemukan lagi di dalam perjanjian baku, karena format dan isi perjanjian dirancang oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat.

35

F. Jenis- Jenis Perjanjian yang Menggunakan Klausula Baku

34 Ibid, hal 145

(36)

Secara kuantitatif, jumlah perjanjian baku yang hidup dan berkmebang dalam masyarakat sangat banyak karena masing-masing perusahaan atau lembaga, baik yang bergerak dibidang perbankan atau non bank maupun lainnya, selalu menyiapkan standar baku dalam mengelola usahanya. Ini disebabkan untuk mempermudah dan mempercepat lalu lintas hukum. Hondius mengemukakan bahwa dewasa ini terdapat syarat-syarat baku di hampir di semua bidang dimana dibuat kontrak baku. Beberapa aktifitas penting dan cabang-cabng perusahaan, di mana banyak perjanjian-perjanjian dibuat atas dasr syarat-syarat baku seperti:

1. Perjanjian Kerja

Kontrak Kerja/Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha secara lisan dan/atau tulisan, baik untuk waktu tertentu maupun untuk waktu tidak tertentu yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban pekerja dan perusahaan

2. Perbankan (syarat- syarat umum perbankan)

3. Pembangunan ( Syarat-syarat seragam administrative untuk pelaksanaan pekerjaan)

4. Perdagangan eceran

suatu kegiatan menjual barang dan jasa kepada konsumen akhir. Perdagangan eceran adalah mata rantai terakhir dalam penyaluran barang dari produsen sampai kepada konsumen.

5. Sektor pemberian jasa-jasa 6. Hak sewa (erfpacht)

(37)

9. Sewa-menyewa 10. Beli sewa 11. Hipotek

12. Pemberian kredit atau perjanjian kredit 13. Pertanian

14. Urusan makelar

15. Praktik notary dan hukum lainnya 16. Perusahaan-perusahaan umum 17. Penyewaan urusan pers

18. Perusahaan angkutan (syarat-syarat umum angkutan, syarat-syarat umum ekdpedisi Belanda)

19. Penerbitan

20. Urusan asuransi36

Hondius37

1. jenis-jenis kontrak baru dan hubungan-hubungan hukum baru; mengemukakan bahwa kiranya tidak tepat kalau ada kesan seakan-akan hampir semua transaksi dibuat atas dasar syarat-syarat baku.

Karena menurutnya tidak semua transaksi cocok untuk dibakukan. Berbagai contoh kontrak yang tidak cocok untuk dibakukan yaitu:

2. transaksi antara pengusaha dan seorang partikelir, yang segera dilaksanakan dalam hal pengusaha tidak ada resiko besar (misalnya penjualan bahan makanan);

3. transaksi antara golongan swasta satu dengan swasta lain (sewa-menyewa, penjualan mobil bekas);

36 Hondius, standaardvoorwaarden, diss (Leiden,1978), hal141.

37

(38)

4. perjanjian-perjanjian, kedua belah pihak segan mempergunakan dokumen-dokumen (misalnya transaksi-transaksi gelap yang tidak diberikan nota karena kedua belah pihak hendak mengelakkan undang-undang pajak peredaran);38

Penyebab keempat hal itu tidak dibuatkan syarat-syarat baku adalah karena:

1. Biaya, waktu dan kesulitan dari penerapan syarat-syarat umum tidak seimbang dengan keuntungan (Nomor 2);

2. Tidak ada pengetahuan tentang syarat-syarat baku atau karena kurang pengalaman;

3. Karena kedua belah pihak hendak mengelakkan Undang-Undang Pajak Peredaran.39

Menurut Mariam Darus Badrulzaman klasifikasi perjanjian baku itu terbagi menjadi empat jenis, yaitu sbagai berikut:

1. Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu Pihak yang kuat disini ialah pihak kreditor yang lazimnya mempunyai posisi ekionomi yang lebih kuat dibandingkan pihak debitur.

2. Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua belah pihak, misalnya perjanjian baku yang pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditur) dan pihak lainnya buruh (debitur). Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.

(39)

3. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh pemerintah terhadap perbuatan-perbuatab hukum tertentu, misalnya perjanjian - perjanjian yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. Dalam bidang agrarian, lihatlah misalnya formulir-formulir perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No. 104/Dja/1977 berupa antara lain akta jual beli.

4. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaries atau advokad adalah perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan nptatis atau advokad yang bersangkutan. Di dalam perpustakaan Belanda, jenis keempat ini disebut contract model .40

Mariam Darus Badrulzaman tidak menyebutkan secara jelas perjanjian baku yang berlaku di kalangan perbankan, namun ia hanya menyebutkan perjanjian baku yang dibuat oleh pihak ekonomi kuat terhadap debitur yang kedudukan ekonominys lemah. Pihak ekonomi kuat ini, dapat ditafsirkan sebagai pihak pemberi kredit atau lembaga perbankan yang memberikan kredit pada debitur. Memang di dalam lembaga perbankan syarat-syarat baku itu telah disiapkan oleh lembaga perbankan, sedangkan nasabah atau debitur tiggal menerima atau menolak isi perjanjian. Apabila ia menerima, maka ia menandatangani isi perjanjian tersebut.41

Berdasarkan hasil kajian terhadap berbagai jenis perjanjian yang berlaku di Indonesia, H. Salim HS telah menginventarisasikan berbagai kontrak yang telah

(40)

dibakukan. Kontrak itu dapat dikaji dari obyeknya. Jenis-jenis kontrak itu dapat disajikan berikut ini:

1. Kontrak baku yang dikenal dalam bidang pertambangan umum dan minyak dan gas bumi, seperti kontrak baku pada kontrak karya, kontrak

production sharing, perjanjian karya pengusahaan batu bara, kontrak

bantuan teknis, dan lain-lain.

2. Kontrak baku yang dikenal dalam praktek bisnis. Seperti kontrak baku dalam perjanjian leasing, beli sewa, franchise, dan lain-lain.

3. Kontrak baku yang dikenal dalam bidang perbankan seperti perjanjian kredit bank, perjanjian bagi hasil pada bank syariah.

4. Kontrak baku yang dikenal dalam perjanjian pembiayaan non-bank seperti perjanjian pembiayaan dengan pola bagi hasil pada perusahaan modal ventura, perjanjian pembiayaan konsumen.

5. Kontrak baku yang dikenal dalam bidang asuransi, seperti perjanjian asuransi yang dibuat oleh perusahaan asuransi42

Disamping itu dikenal juga perjanjian baku yang dikenal dalam pembebanan jaminan, seperti perjanjian pembebanan jaminan hak tanggungan, fidusia, dan gadai. Perjanjian ini telah dibakukan oleh pemerintah dan lembaga pegadaian.

.

43

G. Landasan Hukum Perjanjian yang Menggunakan Klausula Baku

Peraturan PerUndang-Undangan yang mengatur tentang perjanjian baku dapat dilihat dan dibaca dalam berbagai peraturan perUndang-Undangan berikut ini:

42 Ibid, hal 157

(41)

1) Pasal 2 ayat 19 sampai dengan Pasal 2 ayat 22 Prinsip UNIDROIT (Principles of International Comercial Contract).

Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak karena prinsip kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa membahayakan pihak yang lemah, pasal 2.19 prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut.

1) Apabila salah satu pihak astau kedua belah pihak menggunakan syarat-syarat baku, maka berlaku sturan-aturan umum tentang pembentuksn kontrak dengan tunduk pada pasal 2 ayat 20 sampai Pasal 2 ayat 22;

2) Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.44

Ketentuan ini mengatur tentang:

a. tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku; dan b. pengertian kontrak baku

pasal 2 ayat 20 prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut. 1) Suatu persyaratan dalam persyaratan standar-persyaratan standar

yang tidak dapat secara layak diharapkan oleh suatu pihak diyatakan tidak berlaku kecuali pihak itu secar tegas menerimanya;

(42)

2) Untuk menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti disebut diatas akan bergantung pada isi, bahasa dan penyajiannya. Ketentuan ini mengatur tentang persyaratam dan cirri perjanjian baku. Cirinya tergantung pada isi, bahasa dan penyajiannya. Pasal 2.21 berbunyi: dalam hal timbul suatu pertentangan antara persyaratan-persyaratan standard dan tidak standar, persyaratan-persyaratan yang disebut terakhir dinyatakan berlaku.45

2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

Ketentuan ini mengatur tentang konflik antara persyaratan standard dan tidak standar dalam suatu kontrak atau perjanjian. Apabila terjadi hal yang demikian, maka yang digunakan dalam penyelesaian masalahanya adalah didasarkan pada perjanjian tidak standar.

Pasal 2 ayat 22 berbunyi: jika kedua belah pihak menggunakan persyaratan-persyaratan standard an mencapai kesepakaan, kecuali untuk beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak dapat disimpulkan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan persyaratan-persyaratan standar yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali suatu pihak sebelumnya telah menyatakan secara jelas atau kemudian dan tanpa penundaan untuk memberitahukannya kepada pihak lain , bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan untuk terikat dengan kontrak tersebut. (Ketentuan ini mengatur kesepakatan para pihak dalam menggunakan kontak baku)

46

(43)

3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini mengatur tentang ketentuan Pencantuman klausula baku didalalam Bab V pada pasal 18 yang berbunyi sebagai berikut.

1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/ atau jasa yang ditujukan unyuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

1. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

2. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; 3. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak

penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan / atau jasa yang dibeli oleh konsumen; 4. menyatakan pemberian kuasavdari konsumen

kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsunguntuk melakukan segal tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

(44)

6. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

7. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

8. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa pada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggunag, hak gadi, atau hak jaminan terhadap barag yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimeegerti. 3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku

usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-Undang ini.47

4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

(45)

5) Undang-Undang nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian

H. Kekuatan Mengikat Klausula Baku

Perjanjian baku merupakan perjanjian yang telah ditentuksan klausul-klausulnya terlebih dahulu oleh satu pihak. Masalahnya di sini apakah perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat atau tidak. Perjanjian baku adalah salah satu bentuk format atau modelperjanjian yang merupakan sub system dalam system hukum perdata. Sebagai subsistem hukum perdata, maka isi perjnjian baku haruslah tunduk pada prinsip-prinsip(asas-asas) hukum perjanjian dan norma-norma hukum perjanjian yang diatur dalamBuku III KUHPerdata.48 Menurut ketentuan Pasakl 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian yang dibuat secara sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata, yang mana perjanjian itu setelah dibuat maka berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak, atau karena alaan-alasan yang cukup menurut Undang-Undang dan harus dilaksanakan dengan iktikad baik.49

48 Abdul Hakim Siagian, Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Melalui Kontrak Baku dan Asas Kepatutan Dalam Perlindungan Konsumen, (Medan: UMSU Press 2014) hal 6

49 Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(46)

“orang mau karena orang merasa takluk kepada satu pengaturan yag aman, disusun secara ahli dan tidak sepihak, atau karena orang tidak dapat berbuat lain daripada takluk, tetapi orang mau dan orang tahu bahwa orang mau”50

Hondius berpendapat bahwa dua konstruksi itu tidak meyakinjkan. Pendapat Zeylemaker memang dapat dipakai sebagai dasar pengikatan, tetapi hanya dengan syarat bahwa hal itu dilengkapi dengan alasan keprcayaan. Hal ini mengandung arti di dalam penandatanganan hanya ada nilai dalam kerangka pembicaraan, penandatanganan tidak hanya mengikat kalau ia mau, juga jika ia sepanjang ia telah menciptakana kepercayaan pada pihak peserta lain dengan cara dapat diperhitungkan, bahwa ia mau terikat.51

Sluitjer menyatakan bahwa perjanjian baku bukan merupakan suatu perjanjian, sebab kedudukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk Undang-Undang swasta (legio particuliere wet-gever). Syarat-syarat

yang ditentukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah seperti Undang-Undang, bukan perjanjian. Pitlo menggolongkan perjanjian baku sebagai perjanjian paksa

(dwang contract), yang walaupun secara teoritis yuridis, perjanjian baku ini tidak

memenuhi ketentuan Undang-Undang dan oleh beberapa ahli hukum ditolak, namun kenyataannya kebutuhan masyarakat berjalana dalam arah yang berlawanan dengan keinginan hukum.

52

Pandangan diatas melihat perjanjian baku dari aspek pembuatan substansi kontrak. Substansi kontrak itu dibuat oleh pengusaha secara sepihak. Dengan

50 Sudikno Mertodikusumo, Syarat-Syarat Baku Dalam Hukum Kontrak, Disajikan pada

Penataran Hukum Perdata, yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UGM, (Yogyakarta:Fakultas Hukum UGM 1995), hal 12-13

51 Hondius, op.cit hal 147

(47)

demukian Sluitjer berpendapat substansi kontrak itu bukan kontrak, tetapi merupakan Undang-Undang swasta yang diberlakukan bagi debitur.53

Menurut Mariam darus Badrulzaman bahwa perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan idak memberikan kesempatan pada debitur untuk mengadakan real bargaining dengan pengusaha (kreditur). Debitur tidak

mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasannya dalam menentkan isi perjanjian. Karena itu perjanjian baku tidak memenuhi elemen yang dikehendaki pasal 1320 KUHPerdata.54

Pandangan Mariam Darus Badrulzaman juga mengkaji dari aspek kebebasan berkontrak. Di sini pihak debitur tidak mempunyai kekuatan taewar-menawar dalam menentukan isi kontrak dengan pihak kreditur. Pihak kreditur tinggal menyodokan isi kontrak tersebut kepada debitur dan debitur tinggal menyetujui “Ya” atau “Tidak”. Apabila debitur menyetujui substansinya, ia menandatangani kontrak tersebut, akan tetapi, apabila substansi itu tidak disetujui, maka ia tidak menandatangani kontrsk tersebut. Dengan demikian, kebebasan berkontrak yang tercantum dalam Pasal 1338 KUHPerdata tidak mempunyai arti bagi debitur karena ha-hak debitur dibatasi oleh kreditur.55

“Keabsahan berlakunya perjanjian baku tidak perlu dipersoalkan, oleh karena perjanjian baku eksistensinya sudah merupakan kenyataan, yaitu dengan telah dipakainya perjanjian baku secara meluas dalam dunia bisnis seja lebih dari 80 tahun lamanya. Kenyataan itu terbentuk karena perjanjian baku memang lahir dari kebutuhan masyarakat sendiri. Dunia bisnis tidak dapat berlangsung tanpa

Sutan Remy Sjahdeini berpendapat sebagai berikut.

53 H. Salim HS, op.cit, hal 173

(48)

perjanjian baku. Perjanjian baku dibutuhkan pleh dank arena itu diterima oleh masyarakat”56

“kekuatan mengikat perjanjian baku dititik beratkan dari kebiasaan yang berlaku pada masyarakat. Pada dasarnya, masyarakat menginginkan hal-hal yang bersifat pragmatis. Artinya dengan menandatangani perjanjian baku, ia akan segera mendapatkan sesuatu yang diinginkannya, tanpa memerlukan waktu yang lama. Seperti apabila ia membutuhkan kredit bank, maka begitu ia menandatangani perjanjian kredit, perjanjian sudah terjadi. Dengan ditandatanganinya standar kontrak tersebut, timbullah hak dan kewajiban para pihak.

Menurut H. Salim HS, ia berpandangan bahwa.

57

Ketentuan mengenai pencantuman klausula baku dalam suatu perjanjian diatur pula oleh Undang Perlindungan Konsumen. Pada prinsipnya Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen tidak melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian baku yang memuat klausula baku atas setiap dokumen dan/atau perjanjian transaksi usaha perdagangan barang dan/ atau jasa, selama dan sepanjang perjanjian baku dan/atau klausula baku tersebut tidak mencantumkan ketentuan sebagaimana yang dilarang dalam pasal 18 ayat (1), serta tidak “berbentuk” sebagaiman dilarang dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.58

56 Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hal 70-71 57 H. Salim HS (a), op.cit, hal 174-175

(49)

BAB III

PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU MENURUT KITAB

UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG-UNDANG-UNDANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN

G. Pengertian dan Syarat Sah Perjanjian

Perjanjian merupakan suatu perikatan yang diatur di dalam buku III KUHPerdata. Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.59Subekti memberikan definisi “perjanjian” adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji pada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.60

Menurut KRMT Tirtodiningrat, definisi dari perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh Undang-Undang.61 Menurut Setiawan, rumusan Pasal 1313 KUHPerdata tersebut selain tidak lengkap tetapi juga sangat sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dengan digunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum.62

59 Pasal 1313 KUHPerdata

60 Agus Yudho Hernoko, op.cit , hal 15-16

61 A. Qirom Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perikatan beserta Perkembangannya, (Yogyakarta: Lberty, 1985) hal 8

(50)

Sehubungan dengan hal itu, menurut Setiawan perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut, ialah:

a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum;

b. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya”. Dalam

Pasal 1313 KUHPerdata;

c. Sehingga perumusannya menjadi, “perjanjian adalah prbuatan hukum,

di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”63

Terhadap definisi Pasal 1313 KUHPerdata ini Purwahid Patrik juga menyatakan beberapa kelemahan, yaitu:

a. Definisi tersebut hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Hal ini dapat disimak dari rumusan “satu orang atau lebih mngikatkan dirinya

terhadap satu orsng atau lebih lainnya”. Kata “mengikatkan”

merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua pihak. Sedang maksud perjajian itu para pihak saling mengikatkan diri, sehingga tampak kekurangannya yang seharusnya ditambah dengan rumusan “saling mengikatkan diri”;

b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus/ kesepakatan,

termasuk perbuatan mengurus kepentingan orang lain

(zaakwarneming) dan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige

daad). Hal ini nunjukkan makna “perbuatan” itu luas dan yang

menimbulkan akibat hukum;

(51)

c. Perlu ditekankan bahwa rumusan Pasal 1313 KUHPerdata mempunyai ruang lingkup di dalam hukum harta kekayaaan (vermogensrecht).64

Definisi Pasal 1313 KUHPerdata mengenai perjanjian tersebut mengalami perubahan dalam Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW), sebagaimana diatur

dalam buku 6 Bab 5 Pasal 6:213 yaitu kontrak atau perjanjian merupakan perbuatn hukum yang bertimbal balik, di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.65 Samuel Comyn pada 1807 mendefinisikan perjanjian sebagai

aggregation mentium, vis, manakala bertemu dua atau lebih nalar yag bersatu

dalam suatu perbuatan.66

Menurut Prof. Subekti S.H perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Senada dengan hal tersebut Abdulkadir Muhammad, S.H. juga memberikan definisi mengenai perjanjian yaitu suatu persetujuan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.67

1. Perbuatan

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUHPerdata), pengertian perjanjian ini mengandung unsur :

64 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal 45-46 65 Agus Yudho Hernoko, op.cit, hal i8-19

66 A.W.B. Simpson, “Innovation in Nineteenth Century Contract Law”, The Law Quarterly Review, Vol 91 (April 1975), hal 266

67 P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1999), hal

(52)

Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;

2. Satu orang atau lebih terhadap orang lain atau lebih

Untuk adanya suatu perjanjian, paling edikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.

3. Mengikatkan dirinya

Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.

Sebelum suatu perjanjian disusun perlu diperhatikan identifikasi para pihak, penelitian awal tentang masing-masing pihak sampai dengan konsekuensi yuridis yang dapat terjadi pada saat perjanjian tersebut dibuat.68

Jadi dapat disimpulkan bahwa perjanjian (kontrak) adalah suatu perbuatan di mana seseorang atau beberapa orang lain mengikatkan dirinya kepada seseorang atau beberapa orang lain. Hal ini dilakukan karena mausia pada kodratnya saling membutuhkan antar satu sama lainnya. Perjanjian dibuat karena manusia ingin memperoleh keperluan-keperluan hidupnya di dalam pergaulan masyarakat. Hal tersebut menyebabkan manusia saling mengadakan

68 Salim H.S dkk (b), Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), (Jakarta:

Referensi

Dokumen terkait

Dokumen ini dibuat oleh fungsi penerimaan untuk menunjukkan bahwa barang yang diterima dari pemasok telah memenuhi jenis, spesifikasi, mutu dan kuantitas seperti

Sebelum diberikan penyuluhan dengan multimedia, sebagian besar anak SD Kelas III SD Negeri 2 Jambidan diketahui memiliki perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)

lain, pendidikan orangtua minimal SMA, mereka bertempat tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta, dan pengukuran awal menunjukkan nilai psychological well-being sedang.Jumlah

Jadi, metode dakwah adalah cara-cara yang digunakan oleh seorang da’i untuk menyampaikan materi dakwah, yaitu al Islam atau serentetan kegiatan untuk mencapai tujuan

Kata membiasakan memberi arti melakukan bersama-sama bukan hanya menyuruh. Seperti membiasakan ibadah shalat misalnya. Shalat adalah hubungan paling kuat antara hamba dengan

:rauma alan tera"hir seperti epiostomi yang lebar, laserasi perineum, dan rupture uteri uga menyebab"an perdarahan "arena terbu"anya pembuluh darah, penya"it

Pada masyarakat Desa Barengkok yang memilih pembersihan lahan dengan cara bakar (burning) yaitu sebesar 90% sedangkan yang memilih dengan cara tanpa bakar (no

Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut: 1 Pelaksanaan Bimbingan belajar dilakukan setelah menghadapi UTS, pelaksnaanya di lakukan di luar jam pelajaran setelah pulang sekolah