• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSULA BAKU E. Pengertian Klausula Baku - Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi Kasus Putusan Nomor 56/Pdt.G/2011/Pn Tegal)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSULA BAKU E. Pengertian Klausula Baku - Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi Kasus Putusan Nomor 56/Pdt.G/2011/Pn Tegal)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSULA BAKU

E. Pengertian Klausula Baku

Klausula baku merupakan isi atau bagian dari suatu perjanjian. Perjanjian

yang menggunakan klausula baku ini disebut dengan perjanjian baku. Didalam

suatu perjanjian baku tercantum klausula-klausula tertentu yang dilakukan oleh

pihak-pihak yang memiliki kedudukan yang lebih kuat tang mengakibatkan sangat

merugikan pihak yang lemah yang dapat menimbulkan penyalahgunaan

keadaan.26

1. Menurut Abdul Kadir Muhammad, istilah perjanjian baku dialih

bahasakan dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu

“standard contract”. Kata baku atau standar artinya tolak ukur yang Perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang didalamnya telah terdapat

syarat-syarat tertentu yang dibuat oleh pihak kreditor, yang umumnya disebut

perjanjian adhesie atau perjanjian baku. Pihak lain yaitu debitor, umumnya

disebut “Adherent”, ia tidak turut serta dalam menyusun kontrak, ia tidak

mempunyai pilihan. Dalam hal penyusun kontrak (kreditor) mempunyai

kedudukan monopoli. Terserah mau mengikuti atau menolak. Penyusun kontrak

bebas dalam membuat redaksinya, sehingga pihak lawan berada dalam keadaan di

bawah kekuasaannya.

Adapun pengertian perjanjian baku adalah:

26

(2)

dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang

mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha, yang dibakukan

dalam perjanjian baku ialah meliputi model, rumusan, dan ukuran.27

2. Menurut Sluitjer mengatakan bahwa perjanjian baku bukan

merupakan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha dalam perjanjian

itu adalah seperti pembentuk Undang-Undang swasta (legio

particuliere wetgever). Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha

dalam perjanjian itu adalah undang-undang, bukan perjanjian, sebab

kedudukan pengusaha dalam perjanjian itu seperti pembentuk

Undang-Undang swasta (legio particuliere wetgever). Syarat yang

ditentukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah Undang-Undang

bukan merupakan perjanjian.

3. Menurut Sutan Remy Sjahdeni perjanjian baku adalah perjanjian yang

hampir seluruh klausul-kalausul yang dibakukan oleh pemakainya dan

pihak lainnya pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk

merundingkan atau meminta perubahan. Yang belum dibakukan

hanyalah beberapa hal saja, misalnya yang menyangkut jenis, harga,

jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal lainnya yang spesifik

dari objek yang diperjanjikan. Dengan kata lain yang dibakukan bukan

formulir perjanjian tersebut tetapi klausul-klausulnya. Oleh karena itu

suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notaries, bila dibuat oleh

notaries dengan klausul-klausul yang hanya mengambil alih saja

klausul-klausul yang telah dibakukan oleh salah satu pihak, sedangkan

(3)

pihak lain yang tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau

meminta perubahan atas klausul-kalausul itu, maka perjanjian yang

dibuat dengan akta notaris itu pun adalah juga perjanjian baku.28

4. Menurut Mariam Darus Badrulzaman perjanjian standar yaitu

perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk

formulir. Ia menyimpulkan bahwa perjanjian standar itu bertentangan

dengan asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab.

Terlebih-lebih lagi ditinjau dari asas-asas hukum nasional, dimana akhirnya

kepentingan masyarakatlah yang lebih didahulukan. Dalam perjanjian

standar kedudukan pelaku usaha dan konsumen tidak seimbang. Posisi

yang didominasi oleh pihak pelaku usaha, membuka peluang luas

baginya untuk menyalahgunakan kedudukannya. Pelaku usaha hanya

mengatur hak-haknya tidak kewajibannya. Menurutnya perjanjian

standar ini tidak boleh dibiarkan tumbuh secara liar dan karena itu

perlu ditertibkan.29

Didalam suatu perjanjian pada umumnya terdiri dari empat bagian yaitu:

1. Nama Perjanjian

2. Komparisi

3. Batang Tubuh

4. Penutup

Klausula baku didalam suatu perjanjian baku merupakan batang tubuh dari

perjanjian tersebut. Adapun pengertian klausula baku menurut Undang-Undang

28

Sutan Remy Sahdeini, op.cit, hal 66.

29

(4)

Nomor 8 Tahun 2999 tentang Perlindungan Konsumen pasal 1 ayat (10)

menyatakan bahwa:

Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang

telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku

usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat

dan wajib dipenuhi oleh konsumen30

Istilah klausula baku beraneka ragam, ada yang meng-gunakan klausul

eksemsi, klausul eksenorasi, onredelijk bezwarend (Belanda), unreasonably

(Inggris), exemption clause (Inggris), exculpatory clause (Amerika). Mariam

Darus Badrulzaman menyatakan bahwa klausul eksonerasi adalah klausula yang

berisi pembatasan per-tanggungan jawab dari kreditur. Sutan Remy Sjahdeini

menyatakan bahwa klausul eksemsi adalah klausul yang bertujuan untuk

membebas-kan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan

pihak lainnya dalam hal yang bersang-kutan tidak atau tidak dengan semestinya

melaksanakan kewajibannya yang ditentuklan di dalam perjanjian tersebut.31

Klausula eksonerasi yang bisanya dimuat dalam perjanjianv sebagai

klausula tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya

ditemukan dalam perjanjian baku. Klausula tersebut merupakan klausula yang Rikjen mengatakan bahwa klausula eksonerasi adalah klausula yang

dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan

dirivuntuk memenuhi kewajibannyavmembayar ganti rugi seluruhnya atau

terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melanggar hukum.

30

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

31

(5)

sangat merugikan konsumen yang umumnya memiliki posisi lemah jika

dibandingkan dengan produsen, karena beban yang seharusnya dipikul oleh

produsen, dengan adanya klausula tersebut menjadi beban konsumen.

Dalam UUPK, istilah klausul eksonerasi sendiri tidak ditemukan, yang ada

adalah “klausula baku”. Pasal 1 angka 10 vmendefinisikan klausula baku sebagai

aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang dipersiapkan dan ditetatapkan

terlebih dahulu secara sepihakv oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu

dokumen/perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Jadi yang

ditekankan adalah prosedur pembuatannya yang bersifat sepihak, bukan menenai

isinya. Padahal pengertian “klausul eksonerasi” tidak sekadar mempersoalkan

prosedr pembuatannya, melainkan juga isinya yang bersifat pengalihan kewajiban

tanggung jawab pelaku usaha. 32

Pasal 18 ayat (1) UUPK menyatakan pelaku usaha dalam menawarkan

barang dan/ atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang untuk

membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/ atau

perjanjian jika menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Ketentuan

huruf (b) dan seterusnya sebenarnya memberikan contoh bentuk-bentuk

pengalihan tanggung jawab itu, seperti pelaku saha dapat menolak penyerahan

kembali barang yang dibeli konsumen atau menolak penyerahan kembali uang

yang dibayar dan sebagainya.33

Apakah dengan demikian, klausula baku itu daapat disamakan dengan

klausula eksonerasi? Jika melihat pada ketentuan pasal 18 ayat (1) UUPk, dapat

32

Celina Tri Siwi Kristiyanti , op. cit. hal 144-145

33

(6)

diperoleh jawaban sementara bahwa kedua istilah itu berbeda. Artinya klausula

baku adalah klausul yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha, tetapi isinya tidak

boleh mengarah kepada klausul eksonerasi. Pasal 18 ayat (2) mempertegas

pengertian tersebut, dengan menyatakan bahwa klausula baku harus diletakkan

pada tempat yang mudah terlihat dan jelas dapat dibaca dan mudah dimengerti,

jika hal-hal yang disebutkan dalam ayat (1) dan (2) itu tidak dipenuhi, maka

kalusul baku itu menjadi batal demi hukum.34

Oleh karena yang merancang format dan isi perjanjian adalah pihak yang

memiliki kekuataan atau kedudukan yang lebih kuat, maka dapat dipastikan

bahwa perjanjian tersebut memuat klausula-klausula yang menguntungkan

baginya, atau meringankan/ menghapuskan beban-beban atau

kewajiban-kewajiban tertentu yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya

Apabila dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak tidak seimbang,

maka pihak lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul bebas

untuk menentukan apa yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal demikian,

piha yang memiliki posisi lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut

untuk menentukan klausula-kalausula tertentu dalam perjanjian baku, sehinggaq

perjanjian yang seharusnya dibuat/ dirancang oleh para pihak yang terlibat dalam

perjanjian, tidak ditemukan lagi di dalam perjanjian baku, karena format dan isi

perjanjian dirancang oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat.

35

F. Jenis- Jenis Perjanjian yang Menggunakan Klausula Baku

34

Ibid, hal 145

35

(7)

Secara kuantitatif, jumlah perjanjian baku yang hidup dan berkmebang

dalam masyarakat sangat banyak karena masing-masing perusahaan atau lembaga,

baik yang bergerak dibidang perbankan atau non bank maupun lainnya, selalu

menyiapkan standar baku dalam mengelola usahanya. Ini disebabkan untuk

mempermudah dan mempercepat lalu lintas hukum. Hondius mengemukakan

bahwa dewasa ini terdapat syarat-syarat baku di hampir di semua bidang dimana

dibuat kontrak baku. Beberapa aktifitas penting dan cabang-cabng perusahaan, di

mana banyak perjanjian-perjanjian dibuat atas dasr syarat-syarat baku seperti:

1. Perjanjian Kerja

Kontrak Kerja/Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja dan

pengusaha secara lisan dan/atau tulisan, baik untuk waktu tertentu maupun

untuk waktu tidak tertentu yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan

kewajiban pekerja dan perusahaan

2. Perbankan (syarat- syarat umum perbankan)

3. Pembangunan ( Syarat-syarat seragam administrative untuk pelaksanaan

pekerjaan)

4. Perdagangan eceran

suatu kegiatan menjual barang dan jasa kepada konsumen akhir.

Perdagangan eceran adalah mata rantai terakhir dalam penyaluran barang

dari produsen sampai kepada konsumen.

5. Sektor pemberian jasa-jasa

6. Hak sewa (erfpacht)

7. Dagang dan perniagaan

(8)

9. Sewa-menyewa

10.Beli sewa

11.Hipotek

12.Pemberian kredit atau perjanjian kredit

13.Pertanian

14.Urusan makelar

15.Praktik notary dan hukum lainnya

16.Perusahaan-perusahaan umum

17.Penyewaan urusan pers

18.Perusahaan angkutan (syarat-syarat umum angkutan, syarat-syarat umum

ekdpedisi Belanda)

19.Penerbitan

20. Urusan asuransi36

Hondius37

1. jenis-jenis kontrak baru dan hubungan-hubungan hukum baru; mengemukakan bahwa kiranya tidak tepat kalau ada kesan seakan-akan

hampir semua transaksi dibuat atas dasar syarat-syarat baku.

Karena menurutnya tidak semua transaksi cocok untuk dibakukan.

Berbagai contoh kontrak yang tidak cocok untuk dibakukan yaitu:

2. transaksi antara pengusaha dan seorang partikelir, yang segera

dilaksanakan dalam hal pengusaha tidak ada resiko besar (misalnya

penjualan bahan makanan);

3. transaksi antara golongan swasta satu dengan swasta lain

(sewa-menyewa, penjualan mobil bekas);

36

Hondius, standaardvoorwaarden, diss (Leiden,1978), hal141.

37

(9)

4. perjanjian-perjanjian, kedua belah pihak segan mempergunakan

dokumen-dokumen (misalnya transaksi-transaksi gelap yang tidak

diberikan nota karena kedua belah pihak hendak mengelakkan

undang-undang pajak peredaran);38

Penyebab keempat hal itu tidak dibuatkan syarat-syarat baku adalah karena:

1. Biaya, waktu dan kesulitan dari penerapan syarat-syarat umum tidak

seimbang dengan keuntungan (Nomor 2);

2. Tidak ada pengetahuan tentang syarat-syarat baku atau karena kurang

pengalaman;

3. Karena kedua belah pihak hendak mengelakkan Undang-Undang Pajak

Peredaran.39

Menurut Mariam Darus Badrulzaman klasifikasi perjanjian baku itu terbagi

menjadi empat jenis, yaitu sbagai berikut:

1. Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh

pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu Pihak yang kuat

disini ialah pihak kreditor yang lazimnya mempunyai posisi ekionomi

yang lebih kuat dibandingkan pihak debitur.

2. Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan

oleh kedua belah pihak, misalnya perjanjian baku yang pihaknya terdiri

dari pihak majikan (kreditur) dan pihak lainnya buruh (debitur). Kedua

pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh

kolektif.

38

Salim HS(a), op. cit, hal 155

39

(10)

3. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah ialah perjanjian baku

yang isinya ditentukan oleh pemerintah terhadap perbuatan-perbuatab

hukum tertentu, misalnya perjanjian - perjanjian yang mempunyai objek

hak-hak atas tanah. Dalam bidang agrarian, lihatlah misalnya

formulir-formulir perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam

Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No. 104/Dja/1977 berupa antara lain akta

jual beli.

4. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaries atau advokad

adalah perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah

disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang

minta bantuan nptatis atau advokad yang bersangkutan. Di dalam

perpustakaan Belanda, jenis keempat ini disebut contract model .40

Mariam Darus Badrulzaman tidak menyebutkan secara jelas perjanjian

baku yang berlaku di kalangan perbankan, namun ia hanya menyebutkan

perjanjian baku yang dibuat oleh pihak ekonomi kuat terhadap debitur

yang kedudukan ekonominys lemah. Pihak ekonomi kuat ini, dapat

ditafsirkan sebagai pihak pemberi kredit atau lembaga perbankan yang

memberikan kredit pada debitur. Memang di dalam lembaga perbankan

syarat-syarat baku itu telah disiapkan oleh lembaga perbankan, sedangkan

nasabah atau debitur tiggal menerima atau menolak isi perjanjian. Apabila

ia menerima, maka ia menandatangani isi perjanjian tersebut.41

Berdasarkan hasil kajian terhadap berbagai jenis perjanjian yang berlaku di

Indonesia, H. Salim HS telah menginventarisasikan berbagai kontrak yang telah

40

Ibid, hal 156

41

(11)

dibakukan. Kontrak itu dapat dikaji dari obyeknya. Jenis-jenis kontrak itu dapat

disajikan berikut ini:

1. Kontrak baku yang dikenal dalam bidang pertambangan umum dan

minyak dan gas bumi, seperti kontrak baku pada kontrak karya, kontrak

production sharing, perjanjian karya pengusahaan batu bara, kontrak

bantuan teknis, dan lain-lain.

2. Kontrak baku yang dikenal dalam praktek bisnis. Seperti kontrak baku

dalam perjanjian leasing, beli sewa, franchise, dan lain-lain.

3. Kontrak baku yang dikenal dalam bidang perbankan seperti perjanjian

kredit bank, perjanjian bagi hasil pada bank syariah.

4. Kontrak baku yang dikenal dalam perjanjian pembiayaan non-bank seperti

perjanjian pembiayaan dengan pola bagi hasil pada perusahaan modal

ventura, perjanjian pembiayaan konsumen.

5. Kontrak baku yang dikenal dalam bidang asuransi, seperti perjanjian

asuransi yang dibuat oleh perusahaan asuransi42

Disamping itu dikenal juga perjanjian baku yang dikenal dalam pembebanan

jaminan, seperti perjanjian pembebanan jaminan hak tanggungan, fidusia, dan

gadai. Perjanjian ini telah dibakukan oleh pemerintah dan lembaga pegadaian. .

43

G. Landasan Hukum Perjanjian yang Menggunakan Klausula Baku

Peraturan PerUndang-Undangan yang mengatur tentang perjanjian baku dapat

dilihat dan dibaca dalam berbagai peraturan perUndang-Undangan berikut ini:

42

Ibid, hal 157

43

(12)

1) Pasal 2 ayat 19 sampai dengan Pasal 2 ayat 22 Prinsip UNIDROIT

(Principles of International Comercial Contract).

Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur hak

dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip

kebebasan berkontrak karena prinsip kebebasan berkontrak jika

tidak diatur bisa membahayakan pihak yang lemah, pasal 2.19

prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut.

1) Apabila salah satu pihak astau kedua belah pihak

menggunakan syarat-syarat baku, maka berlaku

sturan-aturan umum tentang pembentuksn kontrak dengan tunduk

pada pasal 2 ayat 20 sampai Pasal 2 ayat 22;

2) Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah

dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan secara umum

dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata

digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.44

Ketentuan ini mengatur tentang:

a. tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku; dan

b. pengertian kontrak baku

pasal 2 ayat 20 prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut.

1) Suatu persyaratan dalam persyaratan standar-persyaratan standar

yang tidak dapat secara layak diharapkan oleh suatu pihak

diyatakan tidak berlaku kecuali pihak itu secar tegas menerimanya;

44

(13)

2) Untuk menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti

disebut diatas akan bergantung pada isi, bahasa dan penyajiannya.

Ketentuan ini mengatur tentang persyaratam dan cirri perjanjian baku.

Cirinya tergantung pada isi, bahasa dan penyajiannya. Pasal 2.21

berbunyi: dalam hal timbul suatu pertentangan antara

persyaratan-persyaratan standard dan tidak standar, persyaratan-persyaratan yang disebut

terakhir dinyatakan berlaku.45

2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

Ketentuan ini mengatur tentang konflik antara persyaratan standard

dan tidak standar dalam suatu kontrak atau perjanjian. Apabila terjadi

hal yang demikian, maka yang digunakan dalam penyelesaian

masalahanya adalah didasarkan pada perjanjian tidak standar.

Pasal 2 ayat 22 berbunyi: jika kedua belah pihak menggunakan

persyaratan-persyaratan standard an mencapai kesepakaan, kecuali

untuk beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak dapat disimpulkan

berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan

persyaratan-persyaratan standar yang memiliki kesamaan dalam

substansi, kecuali suatu pihak sebelumnya telah menyatakan secara

jelas atau kemudian dan tanpa penundaan untuk memberitahukannya

kepada pihak lain , bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan untuk

terikat dengan kontrak tersebut. (Ketentuan ini mengatur kesepakatan

para pihak dalam menggunakan kontak baku)

46

45

Salim HS (a), op. cit, hal 151

46

(14)

3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen

Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini mengatur tentang

ketentuan Pencantuman klausula baku didalalam Bab V pada pasal

18 yang berbunyi sebagai berikut.

1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/ atau jasa

yang ditujukan unyuk diperdagangkan dilarang membuat

atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen

dan/atau perjanjian apabila:

1. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku

usaha;

2. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak

penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

3. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak

penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas

barang dan / atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

4. menyatakan pemberian kuasavdari konsumen

kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun

tidak langsunguntuk melakukan segal tindakan

sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli

oleh konsumen secara angsuran;

5. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya

kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli

(15)

6. memberi hak kepada pelaku usaha untuk

mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta

kekayaaan konsumen yang menjadi obyek jual beli

jasa;

7. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan

yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan

dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak

oleh pelaku usaha dalam masa konsumen

memanfaatkan jasa yang dibelinya;

8. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa pada

pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggunag,

hak gadi, atau hak jaminan terhadap barag yang

dibeli oleh konsumen secara angsuran.

2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang

letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca

secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimeegerti.

3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku

usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi

ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

dinyatakan batal demi hukum.

4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang

bertentangan dengan Undang-Undang ini.47

4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

47

(16)

5) Undang-Undang nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian

H. Kekuatan Mengikat Klausula Baku

Perjanjian baku merupakan perjanjian yang telah ditentuksan

klausul-klausulnya terlebih dahulu oleh satu pihak. Masalahnya di sini apakah perjanjian

itu mempunyai kekuatan mengikat atau tidak. Perjanjian baku adalah salah satu

bentuk format atau modelperjanjian yang merupakan sub system dalam system

hukum perdata. Sebagai subsistem hukum perdata, maka isi perjnjian baku

haruslah tunduk pada prinsip-prinsip(asas-asas) hukum perjanjian dan

norma-norma hukum perjanjian yang diatur dalamBuku III KUHPerdata.48 Menurut ketentuan Pasakl 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian yang

dibuat secara sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat Pasal 1320

KUHPerdata, yang mana perjanjian itu setelah dibuat maka berlaku sebagai

Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali

tanpa persetujuan kedua belah pihak, atau karena alaan-alasan yang cukup

menurut Undang-Undang dan harus dilaksanakan dengan iktikad baik.49

48

Abdul Hakim Siagian, Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Melalui Kontrak Baku dan Asas Kepatutan Dalam Perlindungan Konsumen, (Medan: UMSU Press 2014) hal 6

49

Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Hal tersebut diatas berlaku juga terhadap perjanjian baku yahg merupakan

suatu perjanjian. Banyak pandangan para ahli terhadap persoalan mengenai

kekuatan mengikat dari perjanjian baku. Dalam perpustakaan hukum telah dicoba

untuk membuat dasar ikatan dengan syarat-syarat baku. Pertama-tama ada ajaran

(17)

“orang mau karena orang merasa takluk kepada satu pengaturan yag aman,

disusun secara ahli dan tidak sepihak, atau karena orang tidak dapat berbuat

lain daripada takluk, tetapi orang mau dan orang tahu bahwa orang mau”50

Hondius berpendapat bahwa dua konstruksi itu tidak meyakinjkan. Pendapat

Zeylemaker memang dapat dipakai sebagai dasar pengikatan, tetapi hanya dengan

syarat bahwa hal itu dilengkapi dengan alasan keprcayaan. Hal ini mengandung

arti di dalam penandatanganan hanya ada nilai dalam kerangka pembicaraan,

penandatanganan tidak hanya mengikat kalau ia mau, juga jika ia sepanjang ia

telah menciptakana kepercayaan pada pihak peserta lain dengan cara dapat

diperhitungkan, bahwa ia mau terikat.51

Sluitjer menyatakan bahwa perjanjian baku bukan merupakan suatu

perjanjian, sebab kedudukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah seperti

pembentuk Undang-Undang swasta (legio particuliere wet-gever). Syarat-syarat

yang ditentukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah seperti Undang-Undang,

bukan perjanjian. Pitlo menggolongkan perjanjian baku sebagai perjanjian paksa

(dwang contract), yang walaupun secara teoritis yuridis, perjanjian baku ini tidak

memenuhi ketentuan Undang-Undang dan oleh beberapa ahli hukum ditolak,

namun kenyataannya kebutuhan masyarakat berjalana dalam arah yang

berlawanan dengan keinginan hukum.

52

Pandangan diatas melihat perjanjian baku dari aspek pembuatan substansi

kontrak. Substansi kontrak itu dibuat oleh pengusaha secara sepihak. Dengan

50

Sudikno Mertodikusumo, Syarat-Syarat Baku Dalam Hukum Kontrak, Disajikan pada Penataran Hukum Perdata, yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UGM, (Yogyakarta:Fakultas Hukum UGM 1995), hal 12-13

51

Hondius, op.cit hal 147

52

(18)

demukian Sluitjer berpendapat substansi kontrak itu bukan kontrak, tetapi

merupakan Undang-Undang swasta yang diberlakukan bagi debitur.53

Menurut Mariam darus Badrulzaman bahwa perbedaan posisi para pihak

ketika perjanjian baku diadakan idak memberikan kesempatan pada debitur untuk

mengadakan real bargaining dengan pengusaha (kreditur). Debitur tidak

mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasannya dalam

menentkan isi perjanjian. Karena itu perjanjian baku tidak memenuhi elemen yang

dikehendaki pasal 1320 KUHPerdata.54

Pandangan Mariam Darus Badrulzaman juga mengkaji dari aspek kebebasan

berkontrak. Di sini pihak debitur tidak mempunyai kekuatan taewar-menawar

dalam menentukan isi kontrak dengan pihak kreditur. Pihak kreditur tinggal

menyodokan isi kontrak tersebut kepada debitur dan debitur tinggal menyetujui

“Ya” atau “Tidak”. Apabila debitur menyetujui substansinya, ia menandatangani

kontrak tersebut, akan tetapi, apabila substansi itu tidak disetujui, maka ia tidak

menandatangani kontrsk tersebut. Dengan demikian, kebebasan berkontrak yang

tercantum dalam Pasal 1338 KUHPerdata tidak mempunyai arti bagi debitur

karena ha-hak debitur dibatasi oleh kreditur.55

Keabsahan berlakunya perjanjian baku tidak perlu dipersoalkan, oleh karena

perjanjian baku eksistensinya sudah merupakan kenyataan, yaitu dengan telah dipakainya perjanjian baku secara meluas dalam dunia bisnis seja lebih dari 80 tahun lamanya. Kenyataan itu terbentuk karena perjanjian baku memang lahir dari kebutuhan masyarakat sendiri. Dunia bisnis tidak dapat berlangsung tanpa

Sutan Remy Sjahdeini berpendapat sebagai berikut.

53

H. Salim HS, op.cit, hal 173

54

Mariam Darus Badrulzaman, op.cit, hal 13

55

(19)

perjanjian baku. Perjanjian baku dibutuhkan pleh dank arena itu diterima oleh masyarakat”56

“kekuatan mengikat perjanjian baku dititik beratkan dari kebiasaan yang berlaku pada masyarakat. Pada dasarnya, masyarakat menginginkan hal-hal yang bersifat pragmatis. Artinya dengan menandatangani perjanjian baku, ia akan segera mendapatkan sesuatu yang diinginkannya, tanpa memerlukan waktu yang lama. Seperti apabila ia membutuhkan kredit bank, maka begitu ia menandatangani perjanjian kredit, perjanjian sudah terjadi. Dengan ditandatanganinya standar kontrak tersebut, timbullah hak dan kewajiban para pihak.

Menurut H. Salim HS, ia berpandangan bahwa.

57

Ketentuan mengenai pencantuman klausula baku dalam suatu perjanjian diatur

pula oleh Undang Perlindungan Konsumen. Pada prinsipnya

Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen tidak melarang pelaku usaha untuk

membuat perjanjian baku yang memuat klausula baku atas setiap dokumen

dan/atau perjanjian transaksi usaha perdagangan barang dan/ atau jasa, selama dan

sepanjang perjanjian baku dan/atau klausula baku tersebut tidak mencantumkan

ketentuan sebagaimana yang dilarang dalam pasal 18 ayat (1), serta tidak

“berbentuk” sebagaiman dilarang dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.58

56

Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hal 70-71

57

H. Salim HS (a), op.cit, hal 174-175

58

Referensi

Dokumen terkait

Dari permasalahan dan isu seperti tersebut diatas antara di Malaysia dan Indonesia, maka penulis tertarik untuk melakukan kajian penelitian terhadap proses perencanaan

Pada masyarakat Desa Barengkok yang memilih pembersihan lahan dengan cara bakar (burning) yaitu sebesar 90% sedangkan yang memilih dengan cara tanpa bakar (no

Kesimpulan yang didapat dalam aplikasi ini adalah Aplikasi Pengolahan Data Persediaan dan Permintaan Raw Material menggunakan bahasa pemograman PHP, dandatabase

:rauma alan tera"hir seperti epiostomi yang lebar, laserasi perineum, dan rupture uteri uga menyebab"an perdarahan "arena terbu"anya pembuluh darah, penya"it

Jadi, metode dakwah adalah cara-cara yang digunakan oleh seorang da’i untuk menyampaikan materi dakwah, yaitu al Islam atau serentetan kegiatan untuk mencapai tujuan

Statika sederhana berisi tentang: Pengertian istilah (tumpuan, jenis konstruksi, gaya normal dan bidang gaya normal, gaya melintang dan bidang gaya melintang, momen dan

Undang-undang tentang perlindungan konsumen tidak memberikan definisi tentang perjanjian baku dan/atau pencantuman klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian

sensor dan tanpa menggunakan O 2 sensor. Pemasangan dan pelepasan Sensor Oksigen serta variasi putaran mesin menjadi acuan utama perbandingan dalam eksperimen ini. Adapun