• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.9 Sistematika Penyajian

Penelitian ini akan disajikan dalam empat bab, sistematikanya adalah sebagai berikut. Bab I berisi pendahuluan yang dibagi lagi menjadi delapan sub bab, yaitu (1) latar belakang, (2) rumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat hasil penelitian, (5) pendekatan, (6) tinjauan pustaka, (7) pendekatan, (8) landasan teori, (9) metode penelitian, dan (10) sistematika penyajian.

23

Bab II berisi penjelasan dan deskripsi hasil analisis struktur novel Maria dan Mariam yang meliputi tokoh dan penokohan, latar, dan alur dalam cerita. Bab

III berisi deskripsi aspek sosial yang meliputi aspek budaya, lingkungsan sosial, dan ekonomi yang terdapat dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba. Bab IV berisi penutup yang terdiri atas kesimpulan dan saran bagi penelitian yang akan dilakukan selanjutnya.

24 BAB II

STRUKTUR NOVEL MARIA DAN MARIAM KARYA FARAHDIBA 2.1 Pengantar

Pada bab ini akan dibahas mengenai analisis struktur novel Maria dan Mariam karya Farahdiba. Struktur novel yang akan dianalisis meliputi tokoh dan

penokohan, latar, dan alur. Mengenai struktur karya sastra, Nurgiyantoro (2015:

57) berpendapat sebagai berikut. “Struktur karya sastra juga menunjuk pada pengertian adanya hubungan antarunsur (intrinsik) yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling memengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh.”

Analisis struktur novel Maria dan Mariam bertujuan untuk memaparkan keterkaitan antarunsur dan hubungan tiap unsur tersebut dalam membangun cerita di dalam novel.

2.2 Tokoh dan Penokohan

Tokoh adalah pelaku dalam cerita dan penokohan adalah watak atau karakter tokoh tersebut. Istilah “penokohan” memiliki pengertian yang lebih luas karena mencakup tokoh dalam cerita dan pelukisan perwatakannya dalam cerita sehingga memberi gambaran yang jelas kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2015: 248).

Tokoh dibagi menjadi dua, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba, tokoh utamanya adalah Maria. Tokoh-tokoh tambahannya adalah Mariam, Guru Dharmo, Falah, Ira, Nilzam, dan Jivan.

Berikut analisis tokoh dan penokohan dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba.

25 2.2.1 Tokoh Utama

Tokoh utama adalah tokoh yang penceritaannya diutamakan dan paling banyak diceritakan dalam novel yang bersangkutan. Tokoh utama selalu hadir dalam setiap kejadian dan menentukan perkembangan plot cerita secara keseluruhan (Nurgiyantoro, 2015: 259). Berikut analisis tokoh utama dan penokohannya.

2.2.1.1 Tokoh dan Penokohan Maria

Maria merupakan perempuan yang memiliki tidak terlalu memperhatikan penampilan. Ia tidak seperti perempuan masa kini yang akan berdandan cantik atau memakai pakaian yang rapi. Maria senang berpenampilan sederhana dan biasa saja. Selain gaya berpakaiannya yang bebas, Maria adalah perempuan yang cerdas, kritis, dan tidak takut berbicara secara terus terang. Hal itu tampak dari kutipan berikut.

(1) Saat itu di depan sekretariat, tempat pendaftaran pesantren kilat, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara lantang, “Spada! Assalammu’alaikum!” Lalu terlihat seorang gadis manis namun dengan dandanan layaknya seorang aktivis yang baru habis berdemonstrasi di depan Markas Kodam.

Bercelana jins lusuh, menggantungkan ransel di bahu kanannya dan berkaos hitam dengan tulisan: “Kaum Demokrat Mencibir Ketika Perempuan Bersikap Kritis”.

(Farahdiba, 2006: 10) (2) “Loh, aku juga Islam, Mbak. Bagiku, Nabi Isa, Yesus Kristus, adalah orang yang sama, seperti halnya Maria, Mariam, Yusuf atau Joseph. Setiap nama toh bisa ditulis dengan cara yang berbeda-beda. Yang penting artinya sama.” kembali Maria terdiam. Baru kali ini ia bertemu seseorang yang demikian ajaib. Keterusterangannya membuat gerah, sekaligus penasaran.

(Farahdiba, 2006: 13) (3) “Jadilah diri kalian apa adanya, sepenuhnya. Jangan seperti yang lainnya.

Lagipula, kita ini siapa bisa menentukan keyakinan seseorang itu salah atau benar? Memangnya kita sudah ketemu sendiri sama Tuhan dan

26

Bertanya: ‘Han, han ... agama yang paling bener yang mana ya ‘Han?” Ira menjadi geli sendiri. Inilah bagian yang paling disukainya dari sepupu sintingnya. Bebas bicara apa saja, dan tidak ada yang bisa membantahnya.

(Farahdiba, 2006: 42) Dalam kutipan di atas diperlihatkan bagaimana kesan pertama Mariam ketika bertemu Maria. Mereka bertemu ketika Maria mendaftarkan diri menjadi peserta kegiatan pesantren kilat yang diadakan oleh Pondok Pesantren Al-Aziz.

Perempuan yang datang ke pesantren biasanya berpenampilan rapi, sopan dan sudah mengenakan busana muslim. Namun, penampilan Maria sungguh berbeda dari perempuan lain yang akan mengikuti kegiatan pesantren kilat. Maria digambarkan sebagai perempuan muslim dengan pemikiran yang terbuka, ia tidak takut menyampaikan pendapatnya secara terus terang. Maria juga membenci aturan-aturan yang dianggap tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.

(4) Dalam tiga minggu saja, Mariam yang berusaha keras untuk

“menaklukkan” Maria, sesungguhnya malah mendapatkan segunung inspirasi dari sahabatnya. Pertanyaan-pertanyaannya sungguh tak terduga.

Begitu bebas. Namun, memiliki ketulusan. Mariam dapat merasakannya.

Maria punya pandangan yang aneh sekali tentang bagaimana menjadi perempuan Islam sejati. “Bagiku, keislaman tidak harus ditonjolkan dengan pakaian atau simbol-simbol yang lain, Mbak. Yang penting, ia membawa kebaikan buat semua. Ia juga harus bisa menerima kemajuan, termasuk dalam bidang fashion, ilmu pengetahuan, film, musik, dan sebagainya. Tidak kaku, dan... agak gaul gitu lho, Mbak,” ujarnya suatu kali, meniru-niru gaya remaja ibukota.

(Farahdiba. 2006: 34) Dalam kutipan (4) diperlihatkan bahwa Maria adalah perempuan muslim yang dapat menerima keterbukaan pemikiran terhadap kemajuan. Ia juga membenci aturan-aturan kolot yang dapat menyebabkan ketidakadilan bagi sebagian orang. Menurut Maria, aturan-aturan yang ada di pondok pesantren

27

butuh diperbaharui seturut perkembangan zaman. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.

(5) Ia gelisah memikirkan aturan-aturan tidak adil yang berlaku di pondok pesantren, di jaman modern seperti sekarang ini. Kenapa tidak ada aturan yang lebih terbuka, yang lebih maju? Intervensi terlalu besar terhadap hak-hak setiap orang. Ia tak habis mengerti mengapa orang tidak boleh saling jatuh cinta. Menurutnya, dunia ini hanya bisa menjadi semakin baik, kalau semakin banyak orang yang jatuh cinta. Jangan-jangan orang yang membuat segala macam peraturan itu adalah orang-orang yang sudah mati rasa—atau terlalu munafik?

(Farahdiba, 2006: 20) (6) “Ya, sepakat. Tapi, aturan dalam pondok itu sangat menyesatkan para santri. Mereka kelak hanya akan seperti itu saja pola pikirnya. Bagaimana bisa mengharapkan kemajuan? Gus Falah harus ikut bertanggung jawab dengan pola pikir santri itu, bila kelak mereka menjadi pemimpin dalam bidangnya masing-masing,” Maria masih sengit.

“Terlalu jauh kamu berpikr Maria,” giliran Gus Falah yang memanas. “ Gus bisa lihat sendiri... Apa kata orang-orang di luar sana, nanti. Pantas saja kalau kita dibilang kampungan. Dalam hal-hal yang sangat umum pun kita masih belum bisa bersikap terbuka. Kita masih terus-terusan dikungkung. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Tidak ada kebebasan untuk bersikap dan berpendapat. Katanya percaya demokrasi, tapi keputusan akhir selalu dari...”

(Farahdiba, 2006: 54) Dalam kutipan (5) dan (6) diperlihatkan saat Maria mengkritik peraturan di pondok pesantren yang menurutnya sudah ketinggalan zaman. Maria menginginkan perubahan pola pikir dan aturan yang menurutnya akan membawa kemajuan bagi pondok pesantren. Maria juga kerap dicap berbeda karena pemikiran dan cara pandangnya. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.

(7) “Ha ha ha ha... sepertinya selalu begitu. Aku sendiri bingung. Di hampir setiap lingkungan yang aku kunjungi atau di manapun aku beraktifitas, selalu saja aku dicap aneh dan berbeda,” ujar Maria lebih santai.

(Farahdiba, 2006: 56) (8) “Iya. Seperti sekarang ini. Banyak orang yang tidak bisa menerima cara

pandangku. Kemudia mereka mengucilkanku. Ada pula yang mengatakan

28

bahwa aku sudah gila, sudah melanggar disiplin moral segala. Aku sendiri tidak mengerti, disiplin moral itu seperti apa.”

(Farahdiba, 2006: 56) Dalam kutipan (7) dan (8) diperlihatkan bahwa Maria sering tidak diterima oleh lingkungannya karena cara berpikirnya dan sikapnya yang suka mengkritisi sesuatu. Selain itu, Maria adalah orang yang memiliki rasa penasaran yang tinggi terhadap banyak hal. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.

(9) Maria merasa terhibur mendengarkan penjelasan papanya. Namun rasa penasaran akan Tuhan dan akan kehidupan setelah mati, terus terbawa dalam hidupnya. Maria tidak puas dan tidak akan pernah puas sebelum ia menemukan sendiri jawabannya.

(Farahdiba, 2006: 86) (10) Akhirnya Maria terus terang, “Martha, ada keinginan yang sangat dalam hatiki, untuk mengenali sesuatu yang mungkin masih misterius buatku..

Aku sendiri tidak tahu persis apa... Kamu tahu latar belakang keluargaku.

Kadang-kadang aku masih bingung dan tidak terima bila ada yang bertanya, ‘Agamamu apa, Maria’ Biasanya, aku tak peduli dengan pertanyaan itu... Biasanya aku akan balik bertanya, ‘Memangnya Tuhan beragama apa’ Tapi, sekarang, aku benar-benar pusing. Apa sebenarnya makna agama buat manusia? Mengapa semua oang mempersoalkannya?

Apa itu Tuhan? Kita semua membicarakanNya, kadang-kadang mengatasnamakanNya, tapi berapa banyak yang sudah mengenalNya?

Aku ingin, Martha. Aku ingin mencari, meskipun aku tidak tahu harus mulai dari mana....”

(Farahdiba, 2006: 96-97) Kutipan (9) dan (10) menunjukkan bahwa Maria memiliki rasa penasaran yang tinggi dan memiliki ambisi untuk mencari jawaban atas banyaknya pertanyaan dalam hidupnya. Maria merasa gelisah ketika rasa penasarannya belum terjawab. Selain itu, Maria adalah sahabat yang setia. Maria meanganggap Mariam sebagai sahabat sekaligus mentornya di pondok pesantren. Ia rela dikeluarkan dari pondok pesantren untuk melindungi nama baik Mariam. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.

29

(11) Maria, akhirnya memang harus pergi. Aturan untuk menjaga kewibawaan pondok harus dipertahankan. Dalam setiap hubungan yang melibatkan santri laki-laki dan perempuan, biasanya, keduanya yang harus pergi meninggalkan pesantren. Namun, kali ini, hanya Maria yang pergi. Ada 1001 alasan yang dapat digunakan untuk mempertahankan Falah. Intinya, Falah hanyalah korban. Titik.

Hanya karena kesamaan nama, “De’ Mar”, Maria telah berkorban demi sahabat barunya. Semua orang percaya bahwa Maria yang mempunya hubungan dengan Gus Falah. Maria sendiri tidak tega melihat Mariam terusir dari lingkungan yang telah membesarkannya. Di atas semua itu, ia merasa harus terus mendorong hubungan antara Mbak Mar dengan Gus Falah.

(Farahdiba, 2006: 33-34) Maria rela dijadikan kambing hitam untuk menutupi hubungan Mariam dan Gus Falah agar Mariam tidak diusir dari pondok pesantren. Tindakan itu dilakukannya karena sudah tidak betah berada di pondok pesantren. Maria berharap akan menemukan kebebasannya lagi setelah keluar dari pondok pesantren.

2.2.2 Tokoh Tambahan

Tokoh tambahan adalah tokoh yang kejadiannya lebih sedikit diceritakan dalam novel dibandingkan tokoh utama dan kejadiannya hanya ada jika berkaitan dengan tokoh utama (Wicaksono, 2017: 186). Tokoh-tokoh tambahan dalam novel Maria dan Mariam karya Farahdiba adalah tokoh Mariam, Guru Dharmo, Falah, Ira, Nilzam, dan Jivan. Berikut dipaparkan analisis tokoh dan penokohannya.

2.2.2.1 Tokoh dan Penokohan Mariam

Siti Mariam adalah santriwati yang tinggal di Pondok Pesantren Al-Aziz. Ia menjadi santriwati kebanggaan pesantren karena cerdas dan parasnya yang cantik.

30

Kecantikan dan kepintarannya membuat dua orang lelaki, yaitu Kiai Shiddieq dan anaknya, Gus Falah, jatuh hati kepadanya. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.

(12) Siti Mariam lebih dikenal dengan panggilan “Mbak Mar”. Selain cantik dan pintar, ia seorang hafidzah—hapal di luar kepala semua ayat Al-Qur’an. Predikat yang sungguh membanggakan seluruh pondok pesantren, khususnya Ibu Nyai Fatimah, istri Almarhum Kiai Haji Faqih, tokoh yang dulu mengasuh Pondok Pesantren Al-Aziz.

(Farahdiba, 2006: 6) (13) “Ibu tidak pernah bertanya lebih dulu padaku, apakah aku suka atau

menerima lamaran Kiai Shiddieq,” ujar Mariam lirih.

“Bilang saja sama Ibu, kalau kamu keberatan... ‘Aku ndak cinta sama Kiai bangkotan itu’. Selesai perkara.”

“Astagfirullah ‘De, jangan begitu. Bagaimana kalau didengar orang-orang... Beliau itu Kiai besar, tidak baik menghujat seperti itu.”

(Farahdiba, 2006: 9) (14) “Mbak Mar, aku tidak bisa membayangkan kalau Gus Falah sampai tahu.

Ia harus bersaing dengan ayahnya sendiri. Sorry, Mbak, tapi Gus Falah harus tahu kalau bapaknya juga mengincar calon mantunya.”

(Farahdiba, 2006: 15) Dalam kutipan di atas diperlihatkan bahwa Mariam diam-diam menjalin hubungan dengan Gus Falah, anak Kiai Shiddieq. Sementara itu, Kiai Shiddieq juga berniat menjadikan Mariam istrinya. Mariam ingin menolak lamaran Kiai Shiddieq, tetapi ia tidak tega melihat ibu asuhnya sedih jika ia menolak lamaran itu.

Mariam adalah perempuan yang kritis. Namun, ia tidak dapat mengungkapkan pendapatnya secara bebas. Ia iri dengan keberanian Maria yang tidak takut mengungkapkan pendapatnya secara gamblang. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.

(15) Mariam tersenyum kecut, ia sebetulnya mengetahui hal itu. Namun, di lingkungan ini, ia tak selalu bisa mengekspresikan jalan pikiannya. Ibu Nyai yang sering mendengarkan keluh-kesahnya, seringkali cuma bisa tersenyum kala mendengar ide-idenya yang tidak biasa. Ibu Nyai sendiri

31

sudah mengajarinya untuk tidak terjebak dalam simbol dan lebih mengutamakan substansi.

(Farahdiba, 2006: 12) (16) “Aduh De’, kamu ini ada-ada saja,” kali ini Mariam harus menahan geli sekuat tenaga. Ucapan Maria seperti mewakili salah satu lintasan pikirannya sendiri yang tak pernah berani ia ungkapkan. Entah mengapa ia menyukai kawannya yang kurang ajar ini. Sejenak ia mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan Maria.

(Farahdiba, 2006: 10) Dalam kutipan (15) dan (16) dipelihatkan bahwa Mariam sebenarnya kritis dan terbuka terhadap hal-hal baru.. Namun, lingkungan pesantren yang kental dengan budaya patriarki membuatnya tidak bisa menyuarakan pikiran dengan bebas.

Mariam yang tidak sanggup menolak lamaran Kiai Shiddieq memilih untuk kabur dari pondok pesantren. Ia sudah tidak tahan tinggal di lingkungan pondok pesantren yang malah membuatnya terkungkung dan tidak bebas untuk mengekspresikan diri. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.

(17) “Ibu Nyai tetap menikahkanku dengan Kiai Shiddieq, hari ini. Dan sekarang saatnya aku menentukan sikap. Aku kabur meninggalkan mereka. Aku sudah tak tahan...,” meledaklah tangis Mbak Mr. Tidak ada lagi kesan anggun, keibuan yang selama ini ia tunjukkan pada para santri, termasuk pada Maria.

Aku sudah capek, Maria. Kali ini, aku ingin menjadi diriku sendiri.

Perkawinan ini tidak boleh terjadi. Satu-satunya jalan, aku harus pergi meninggalkan lingkungan yang mengungkungku. Aku harus, aku harus...”

Maria tidak berbicara apa-apa. Ia hanya memeluk sahabatnya yang sedang terguncang itu.

(Farahdiba, 2006: 66) Mariam mendatangi Maria untuk meminta pertolongan agar dapat pergi sejauh mungkin dari Kota Yogyakarta. Mariam tidak ingin kembali lagi ke pondok pesantren dan ingin mencari kebebasan. Maria menyuruh Mariam pergi ke Jakarta bersama Ira, saudara sepupunya. Keputusan Mariam untuk kabur dari

32

pondok pesantren membuat Maria terkejut dan senang. Selama ini, Mariam tidak pernah berani mengambil keputusan karena lingkungan pondok yang menjadikan perempuan sebagai subordinat. Selepas keluar dari pondok pesantren, kehidupan Mariam justru berubah drastis.

(18) “Setahun lebih aku bekerja di Cafe itu. Saat itulah, aku benar-benar menjadi orang yang mandiri. Bebas menentukan langkahku sendiri. Tidak munafik,” kata-kata yang terakhir diucapkannya dengan sedikit keras.

Mariam sempat terlibat hubungan asmara dengan salah seorang pengunjung setia Cafe, anak seorang pejabat tinggi, yang akhirnya putus karena pacarnya sangat pencemburu. Sejak saat itu, Mariam tidak pernah mau lagi membina hubungan asmara dengan pria lokal yang disebutnya

“anak mami” itu. Dari sana pula ia kemudian bertemu dengan Andrew, kekasihnya saat ini.

(Farahdiba, 2006: 269) (19) Maria sedih mendengar cerita Mbak Mar. Meski tidak diekspresikan, Maria merasa ada kegetiran yang terpendam di balik penampilan Mbak Mar. Perubahan yang terlalu drastis semacam itu, baginya sangat tidak wajar. Ia telah cukup banyak mengamati berbagai jenis karakter orang.

Mereka yang mudah berubah secara ekstrem, biasanya memiliki tingkat ketidakstabilan mental yang tinggi. Ia kasihan terhadap sahabatnya ini.

Dulu “kearab-araban”, kini “kebarat-baratan”.

(Farahdiba, 2006: 270) Mariam mengekspresikan diri sebebas-bebasnya setelah tidak lagi tinggal di pondok pesantren. Namun, kepribadian Mariam yang berubah drastis justru membuat Maria sedih dan prihatin karena Mariam telah menjadi ‘gadis metropolis’.

2.2.2.2 Tokoh dan Penokohan Guru Dharmo

Guru Dharmo atau Dharmo Budi adalah pemilik padepokan spiritual sekaligus guru spiritual Maria. Ia memiliki perawakan tinggi besar dengan sorot mata tajam. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.

33

(20) Maria menoleh. Tampak seorang laki-laki tinggi besar dengan kulit agak gelap. Sorot matanya tajam, namun teduh. Sosok yang sulit ditebak. Sesaat Maria termangu, ia tak tahu harus bagaimana sekarang.

(Farahdiba, 2006: 78) (21) Senin sore. Maria sudah mendatangi padepokan Guru Dharmo. Ia sengaja datang lebih awal, berharap bisa berbincang-bincang dengan Guru Dharmo. Namun, sebelum memasuki lantai dua rumah itu, ia berpapasan dengan Armapali.

(Farahdiba, 2006: 105) Dalam kutipan (20) dan (21) diperlihatkan perawakan Guru Dharmo. Ia memiliki toko kain dan padepokan spiritual, tempat Maria mendaftarkan diri sebagai muridnya. Sebagai seorang guru spiritual, Guru Dharmo adalah orang yang bijaksana. Pemikirannya yang tidak biasa kadang membuat Maria tidak memahami ajaran Guru Dharmo dengan mudah. Meski begitu, Maria menganggap bahwa ajaran dari Guru Dharmo dapat menjawab pertanyaan-pertanyaannya selama ini dan mengobati kegelisahannya. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut.

(22) Tiba-tiba Guru Dharmo berbicara pula tentang materalisme yang berkembang di zaman edan ini, “kita tanpa terkecuali, telah menjadi sangat materialistik. Apapun yang kita lakukan, selalu kita nilai dengan uang.

Melihat harga barang yang mahal, kita menuduh si penjual barang terlalu materialistik—padahal, sikap kita yang terlalu berhitung ‘untung-rugi’-pun tak lain adalah cerminan dari betapa materialistiknya diri kita. Oleh karena itu, di zaman ini, kita harus menyadar-nyadarkan diri, setiap saat. Setiap detik.” Di bagian belakang, Maria terisak dengan perlahan. Pelajaran pertama tentang kesadaran sudah ia dapatkan. Ia hanya tak menyangka bahwa untuk melangkah maju, selalu akan ada rasa sakit dan air mata.

(Farahdiba, 2006: 108) (23) Tak mudah baginya menerima perkataan Gurunya, Padahal, yang dibicarakan adalah soal-soal keseharian. Guru Dharmo tidak pernah berbicara tentang Tuhan yang abstrak. Ia bicara tentang Tuhan yang dapat ditemui oleh setiap orang—dan justru itu, ia tidak dimengerti oleh orang kebanyakan.

(Farahdiba, 2006: 110)

34

(24) Di bawah bimbingan Guru Dharmo, Maria menyadari bahwa mencintai lingkungan dan memperhatikan hal-hal kecil di sekitar kita, sesungguhnya adalah tindakan-tindakan besar. Dengan menggunakan bahasa sains modern yang populer, Guru Dharmo menjelaskan bahwa setiap benda atau bentuk, sesungguhnya adalah bentuk lain dari energi. Segala sesuatunya adalah energi! Tidak ada yang namanya benda mati. Energi itu saling berinteraksi dengan pikiran dan emosi kita, manusia—yang juga merupakan bentuk energi yang lebih tinggi.

(Farahdiba, 2006: 111-112) Dalam kutipan (22), (23), dan (24) diperlihatkan ajaran-ajaran yang diberikan Guru Dharmo kepada para pengikutnya di padepokan. Ajaran-ajaran Guru Dharmo memberikan banyak pengaruh terhadap cara berpikir Maria. Maria menganggap Guru Dharmo mampu menjawab segala pertanyaan dan rasa penasarannya. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.

(25) “Jadi, beragama perlu atau tidak...?” tanya Maria masih penasaran.

“Ha ha ha ha... Kau harus menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaanmu.

Sekarang tergantung padamu. Tak ada jawaban yang berlaku sama untuk setiap orang. Kau tak bisa meminta orang lain terus menyuapimu, Kau harus mencapai kesadaranku, Maria. Jangan terus-menerus menjadi pengikutku.”

(Farahdiba, 2006: 120) (26) Sejak pertemuannya dengan Guru Dharmo, rasa gelisah itu sempat hilang entah ke mana. Dulu, ia gelisah karena setiap tempat maupun lingkungan yang ia singgahi selalu saja memiliki cara pandang yang berbeda dengannya—mulai dari keluarga besar Papanya yang tidak menyukai perkawinan kedua orangtuanya hingga ke lingkungan pesantren yang sempat dimasukinya. Semua itu, dalam pikirannya, sudah dapat diatasi ketika “mondok” di padepokan Guru Dharmo selama sebulan penuh.

(Farahdiba, 2006: 129) Dalam kutipan (26) dan (27) diperlihatkan bahwa Maria sangat tergantung pada Guru Dharmo. Maria seolah menemukan orang yang dapat menjawab semua pertanyaannya terkait banyak hal, seperti agama dan kehidupan.

Namun, Guru Dharmo berharap agar Maria dapat menemukan jawaban-jawaban dari pertanyaannya sendiri tanpa bergantung pada orang lain.

35 2.2.2.3 Tokoh dan Penokohan Falah

Falah adalah anak dari Kiai Shiddieq, seorang Kiai besar di Pondok Pesantren Al-Aziz. Falah adalah kekasih Mariam dan mereka menjalin hubungan diam-diam karena para santri dilarang berpacaran di dalam pondok. Falah adalah lelaki tampan yang membuat banyak santriwati jatuh cinta dan saling berebut untuk mendapat perhatiannya. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.

(27) Mendengar nama Gus Falah, yang tak lain adalah kekasihnya, Mariam tertunduk lesu sambil menghela napas panjang. Setelah beberapa saat, akhirnya ia mengungkapkan, “Kamu tahu siapa Kiai Shiddieq? Dia ayahnya Mas Falah...”

(Farahdiba, 2006: 14) (28) “Hmmmm, apa maksudnya ini?” Maria membatin. Dipandangnya

laki-laki yang masih berdiri di sampingnya “Lumayan juga, gagah. Dan senyumnya memang mengesankan. Pantas saja Mbak Mar sampai bertekuk lutut. Pantas pula kalau para santri perempuan saling bersaing untuk menarik perhatiannya.”

(Farahdiba, 2006: 24) Falah menjalin hubungan dengan Mariam secara diam-diam karena peraturan di dalam pondok pesantren melarang para santri untuk berpacaran agar

(Farahdiba, 2006: 24) Falah menjalin hubungan dengan Mariam secara diam-diam karena peraturan di dalam pondok pesantren melarang para santri untuk berpacaran agar

Dokumen terkait