• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.8 Sistematika Penyajian

Sistematika penyajian penelitian bahasa ini disusun dalam empat bab. Bab I pendahuluan, bab pendahuluan berisi (i) latar belakang masalah, (ii) rumusan masalah, (iii) tujuan penelitian, (iv) manfaat penelitian, (v) landasan teori, (vi) metode penelitian, dan (vii) sistematika penyajian.

Latar belakang dalam penelitian ini menguraikan alasan penulis melakukan penelitian terhadap novel Canting karya Arswendo Atmowiloto dengan teori kajian feminis liberal. Rumusan masalah menjelaskan beberapa permasalahan yang ditemukan dalam penelitian ini. Tujuan penelitian mendeskripsikan tujuan diadakan penelitian bahasa ini. Manfaat penelitian memaparkan manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini. Landasan teori berisi teori-teori yang digunakan sebagai landasan penelitian ini. Metode

penelitian berisi tentang perincian teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan teknik pemaparan hasil analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini. Sistematika penyajian menguraikan urutan hasil penelitian dalam penelitian ini.

Bab II berisi tentang tokoh dan penokohan dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Bab III berisi tentang kajian novel Canting karya Arswendo Atmowiloto menggunakan teori kajian feminisme liberal. Bab IV berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan hasil analisis data dan saran untuk penelitian selanjutnya.

22

BAB II

TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM NOVEL CANTING

Dalam Bab II ini akan dibahas tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel

Canting dan penokohannya. Tokoh cerita dapat disebut sebagai pelaku-pelaku certita yang ditampilkan dalam karya naratif atau drama. Istilah tokoh menunjukkan kepada orangnya, dalam hal ini berperan sebagai pelaku cerita. Tokoh-tokoh cerita ditampilkan dengan emosi, keinginan, sikap, dan prinsip moral yang diekspresikan dalam ucapan (verbal) dan tindakan (nonverbal) di dalam cerita disebut penokohan. Berikut adalah pemaparan analisis penokohan dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto.

2. 1 Tokoh Utama (Central Character)

Tokoh-tokoh cerita yang terdapat dalam novel Canting dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan berdasarkan segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam cerita. Tokoh utama (central character) adalah tokoh yang paling sering dimunculkan dalam cerita, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh utama juga sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Dalam novel Canting terdapat tiga tokoh utama, yaitu Bu Bei (Tuginem), Pak Bei (Raden Ngabehi Daryono/ Raden Ngabehi Sestrokusuma), dan Ni (Subandini Dewaputri Sestrokusuma).

2.1.1 Bu Bei (Tuginem)

Bu Bei digambarkan sebagai seorang gadis desa—anak seorang buruh batik (wong cilik)—yang polos dan lugu. Sampai suatu saat, ia harus mau menerima pinangan dari seorang priayi—Raden Ngabehi Sestrokusuma. Bu Bei yang awalnya hanya wong cilik harus belajar keras untuk menjadi seorang priayi. Kehidupan priayi adalah kehidupan yang bertolak belakang dengan kehidupan wong cilik. Bu Bei adalah wanita Jawa yang memiliki sikap sabar, sumarah, lan sumeleh. Artinya, wanita yang sabar, mengalah, dan diam. Setelah ini akan diterangkan penokohan lain dari Bu Bei yang didukung dengan kutipan-kutipan ekspositori dan dramatik.

Bu Bei digambarkan memiliki sikap sabar, sumarah, lan sumeleh (sabar, mengalah, dan diam) selayaknya sikap yang dimiliki wanita Jawa pada zamannya. Hal itu terlihat ketika Bu Bei tetap sabar menerima kenyataan bahwa Pak Bei telah menikah lagi (poligami). Bu Bei menanggapi kenyataan suaminya berpoligami dengan tetap diam dan mengalah. Maksudnya, Bu Bei mengalah adalah dengan berpura-pura tidak tahu bahwa suaminya telah menikah lagi. Dan juga Bu Bei tidak mempermasalahkan hal tersebut. Berikut kutipan yang menggambarkan sikap sabar, sumarah, lan sumeleh Bu Bei dengan teknik ekspositori yang disajikan oleh pengarang.

Seminggu lebih Pak Bei tidak pulang. Setelah itu setian dua hari sekali, tiga hari datang dan bermalam. Pak Bei tahu bahwa Bu Bei tahu. Tapi Bu Bei tidak pernah menanyakan, tidak pernah mengurus. Hanya Bu Bei tidak pernah menunjukkan sikap manis di dalam kamar. Namun sehari-hari tetap sama, menata meja makan, mangatur anak-anak—saat itu belum mau pergi ke Pasar Klewer—dan bersikap manis serta menghormat. Hanya malam harinya Bu Bei berdiam diri bagai guling. Tak bereaksi—walau juga tak

menolak. Ini selalu membuat esoknya Pak Bei berangkat ke Mbaki dan menemukan apa yang tersendat di rumah. Apalagi kalau habis bertugas di medan perang.

Bu Bei pasti mengetahui siapa Karmiyem, di mana rumahnya. entah bagaimana caranya. Mungkin saja dengan menyuruh Mbok Tuwuh mencari tahu. Karena, rasanya Pak Bei seperti pernah melihat Mbok Tuwuh datang ke Mbaki. Tapi tak pernah terucp satu kata patah kata pun dari Bu Bei. (Atmowiloto, 2013: 65)

Tokoh Bu Bei berwatakkan nrima atau pasrah. Bu Bei akan menerima semua keputusan, perintah, ataupun pendapat yang dirasa itu yang terbaik. Dalam kutipan berikut Bu Bei menerima begitu saja keinginan anak-anaknya untuk tidak bekerja dan tinggal bersama anak-anaknya secara bergilir. Bu Bei merasa itu adalah wujud balas budi anak-anaknya dan tidak merugikan, Bu Bei menerima keinginan itu setelah Pak Bei menyetujui hal tersebut. Kutipan berikut ini akan mendukung penjelasan sifat pasrah Bu Bei. Kutipan ini merupakan potongan percakapan Bu Bei dengan Wahyu—putra sulung Sestrokusuman.

Tawa kecil dan canda bertebaran di mana-mana. Terasa bermekaran bagai bunga-bunga.

―Jadi tadi itu maksudnya apa?‖ tanya Bu Bei.

―Pokoknya Ibu tak usah mencari duit lagi. Kita semua ini, anak-anak dan menantu yang akan menanggung. Ibu tinggal menikmati saja.‖

―Oooooo, begitu.‖

―Ibu bisa memilih di Jakarta, di rumah saya. Atau di rumah Bayu, atau malah ke Irian...‖

―Ooooooo, begitu....‖

―Selama ini Ibu terus-menerus bekerja. Tak mengenal libur dan hari Minggu. Sekarang saatnya. Ibu menunggui menantu-cucu...supaya tidak cemburu, digilir.‖

―Ooooo, begitu. Yang pertama ke mana?‖ (Atmowiloto, 2013: 169-170) Selain itu, kutipan percakapan di bawah akan menunjukkan bahwa Bu Bei memiliki sifat bekti atau patuh pada suaminya, Pak Bei. Bu Bei akan menuruti semua keputusan yang diberikan Pak Bei. Dalam hal ini, Bu Bei menerima keputusan Pak Bei untuk berdagang di Pasar Klewer menggantikan mertuanya

yang telah meninggal. Kutipan percakapan antara Pak Bei dan Bu Bei akan menjelaskan hal di atas.

―Bagaimana, Bu, jadi jualan?‖ ―Terserah Pak Bei.‖

―Apa keberatanmu?‖ ―Tidak ada.‖

―Saya tahu. Soal Wahyu, kan? Kamu ini lebih mementingkan Wahyu daripada adik-adiknya. Ada Lintang, ada Ismaya, ada Bayu, ada Wening, kok hanya Wahyu yang dipikirkan.‖ (Atmowiloto, 2013: 54)

Dari kutipan di atas menunjukkan sikap pasrah Bu Bei untuk menggantikan mertua perempuannya berdagang di Pasar Klewer. Karena mertua perempuan Bu Bei meninggal sudah dua tahun dan kios di Pasar Klewer yang biasa digunakan berdagang telah kosong. Bu Bei dapat dikatakan sukses dalam menjalankan usaha pembatikan. Hasil dagang batik di pasar mampu mencukupi kebutuhan keluarga Sestrokusuma dan para buruh batik. Bu Bei sangat berpengaruh dalam perekonomian di Ngabean.

Kepasrahan Bu Bei yang lain adalah saat Bu Bei menunggu keputusan Pak Bei mengenai kehamilannya. Kehamilan yang diragukan oleh Pak Bei tentang ayah biologis anak yang dikandung Bu Bei. Saat kehamilan anak keenam, Bu Bei merasa takut dan gelisah. Ketakutannya dikarenakan Bu Bei juga menyangsikan siapa ayah anak yang sedang dikandungnya. Jika anak yang dikandungnya bukan anak Pak Bei, maka kegilaan Bu Bei dengan buruh batik benar adanya. Meskipun dirundung kegelisahan, Bu Bei tetap menunggu keputusan yang akan diambil Pak Bei dengan sabar. Berikut kutipan yang menjelaskan hal tersebut.

Bu Bei menunggu.

Kalau tiba-tiba Pak Bei meneriakkan keputusan penting bagi hidup Bu Bei. Misalnya mengingatkan akan kandungan. Atau menceraikan. Atau menghentikan kegiatan.

Bu Bei menunggu. (Atmowiloto, 2013: 48)

Puncak penantian Bu Bei tentang keputusan Pak Bei tepat pada saat kelahiran anak keenamnya. Bayi perempuan yang kurus, hitam, dan pipinya tembam telah lahir. Bu Bei tetap menunggu keputusan Pak Bei akan nasib Bu Bei dan bayi perempuannya. Dan pada akhirnya, Pak Bei menerima bayi perempuan tersebut dengan menggendongnya di tengah pertemuan yang tengah diadakan di rumah Ngabean. Bu Bei merasa lega dan bahagia melihat Pak Bei mau menerima bayi perempuan tersebut. Berikut kutipannya.

―Anakmu sudah lahir, Bu,‖ kata Pak Bei di samping Bu Bei yang masih susah mengatur napas.

―Hitam seperti jangkrik.‖ Bu Bei menangis. ―Selamat semuanya.‖ Bu Bei menangis lagi.

Dulu, kelima anaknya lahir, dan Pak Bei sudah menyiapkan nama. Kali ini tidak dibisikkan nama. Kali ini biasa-biasa saja. Tak menjenguk kembali. Bu Bei menunggu semuanya, sambil meneteki, dan merasa bayinya sangat kuat menghisap dan membuat sakit.

―Sabar...‖ kata Pak Bei. ―Kamu sudah kehilangan kesabaran. Sudah lupa, ya?‖

Kebahagiaan itu mencapai puncaknya, ketika akhirnya Pak Bei menggendong anaknya yang hitam dan pipinya tembam. Lebih dari itu semua, pada lima hari usia si kecil, Pak Bei agaknya mendemonstrasikan menggendong ke tengah pertemuan yang biasa diadakan. (Atmowiloto, 2013: 78-79)

Saat berada di rumah, Bu Bei akan menjadi istri yang bekti kepada suami dan ibu yang baik bagi anak-anaknya. Sebelum berangkat ke pasar, Bu Bei akan menjalankan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga, yaitu melayani suami, mengurusi kebutuhan anak-anak, dan membereskan rumah. Bu Bei akan melayani semua kebutuhan Pak Bei dari bangun tidur, air hangat untuk mandi juga Bu Bei yang menyiapkan dan Bu Bei akan memasak sendiri makanan yang akan disantap

Pak Bei. Setelah anak-anak Sestrokusuman berangkat ke sekolah, Bu Bei akan membereskan rumah sebelum pergi ke pasar. Berikut adalah bukti ngabekti Bu Bei sebagai seorang istri.

Ngresake ngunjuk punapa?

Ingin minum apa, adalah sambutan yang pertama. Pak Bei tak perlu menjawab. Karena biasanya di meja sudah disediakan. Ada wedang jahe, ada teh, ada juga susu yang masih hangat. Bu Bei memperhitungkan saat Pak Bei pulang dari tirakatan. Apa saja, kalau pergi malam diartikan sebagai tirakatan, atau merenungkan keprihatinan. Ini berarti tidak tidur. Bu Bei telah menyiapkan segalanya. Pun andai saat itu Pak Bei menghendaki sarapan bubur. (Atmowiloto, 2013: 31-32)

Bu Bei digambarkan memiliki dua kepribadian yang bertolak belakang. Maksudnya, Bu Bei memiliki sikap bekti, setia, dan penuh kasih sayang saat menjadi ibu rumah tangga di rumah. Namun, hal berbeda akan terlihat saat Bu Bei berada di pasar, ia akan menjadi Bu Bei yang galak, bisa bercanda, dan berani mengambil keputusan tanpa harus bertanya Pak Bei dahulu. Kutipan ekspositori yang disajikan oleh pengarang berikut ini akan menerangkan hal di atas.

Dari kios-kios sempit, yang biasa panas seakan memuaikan penghuninya, segala apa dilebur. Tak ada beda antara Bu Bei, Bu Menggung, atau Bu Joko, atau Ing Giok, dan Bu Bjoko bertahi lalat. Yang berbeda hanyalah penampilan Bu Bei di rumah dan di Pasar Klewer. dan itu hanya diketahui yang bersangkutan, dalam arti disadari. Tapi peran yang disediakan Pasar Klewer sedemikian besar, sehingga Bu Bei yang memijati kaki suaminya dengan tabah, setia, bekti, penuh kasih sayang, dan juga ketakutan, adalah juga Bu Bei yang galak dan bisa memaki polisi, yang bisa bercanda, mencolek dan dicolek, dan dengan berani memutuskan masalah-masalah yang sulit. Mengambil keputusan sampai dengan ratusan ribu rupiah dalam satu tarikan napas. (Atmowiloto, 2013: 46)

Meskipun Bu Bei akan menjadi Bu Bei yang galak dan bisa memaki, namun saat berada di rumah Bu Bei akan menjadi Bu Bei yang bekti. Sepulang dari pasar, Bu Bei tidak lagi galak, melainkan menjadi istri yang melayani

suaminya. Berikut kutipan narasi yang menggambarkan sosok Bu Bei saat di rumah.

Bu Bei kembali menjadi istri Pak bei. Turun dari becak, menjinjing tas hitam, berjalan ke ruang dalam. Meletakkan oleh-oleh untuk suaminya di meja, mandi, berganti pakaian, dan siap melayani suami. (Atmowiloto, 2013:47)

Tokoh Bu Bei digambarkan pengarang melalui pelukisan fisik, seperti memiliki mata yang indah, alis yang tebal melengkung, dan wajah yang bercahaya. Tokoh ini dilukiskan sebagai wanita cantik, baik, ramah, dan pekerja keras karena di usia 32 tahun tokoh ini masih gesit melakukan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Kutipan narasi berikut mendukung penjelasan fisik Bu Bei di atas.

Bu Bei masih memberi kesan muram. Matanya merah. Mata yang indah di bawah sepasang alis tebal melengkung. Untuk usianya yang 32 tahun, Bu Bei masih menampakkan kegesitan yang luar biasa, dan yang paling luar biasa adalah wajahnya yang selalu tampak bercahaya. Rasanya tak ada masalah yang tak bisa dihadapi serta diselesaikan dengan baik dan memuaskan. Cahaya wajah Bu Bei adalah cahaya kebahagiaan. (Atmowiloto, 2013: 6)

Penokohan Bu Bei juga digambarkan melalui tokoh-tokoh lain yang terdapat dalam novel. Kutipan berikut menjelaskan bahwa Bu Bei memiliki pemikiran yang lugu dan lurus. Gambaran tersebut tersampaikan melalui percakapan Pak Bei dengan Ni. Dan hal ini kutipan diambil dari potongan perkataan Pak Bei.

Nyatanya begitu.

―Ni, ibumu itu dulunya wong ndesa. Sekali dari desa tetap dari desa. Pikirannya lugu, lurus, dan hanya mengenal satu jalan saja.

―Kalau ibumu merasa bahwa kamu tidak baik mengurusi batik, ia tak melihat sisi yang lain. (Atmowiloto, 2013: 227)

Bu Bei yang memiliki sikap pasrah juga digambarkan melalui tokoh Pak Bei saat berbicara dengan Ni. Berikut kutipan pernyataan dari Pak Bei yang menyatakan Bu Bei memiliki sikap pasrah dan bekti kepada suami, yaitu Pak Bei.

―Tidak. Ibumu tak menjadi rintangan kita bicara seperti ini. Saya makin sadar bahwa selama ini ibumu tidak pernah merintangi saya. Tak pernah, satu kali pun.

―Segalanya serba -iya, serba –inggih, serba sakkersa, serba semau saya. Belum pernah ibumu menolak apa yang saya inginkan. Tidak dengan kata- kata, tidak juga dengan suara hatinya.

―Ibumu berhasil menyatukan suara hatinya dengan tindakan suaminya. ―Ibumu berhasil menyatukan suara hatinya sebagai wanita dengan suara hati seorang istri.

―Ini luar biasa. Ini sebabnya saya menganggap ibumu adalah wanita yang bahagia, lahir maupun batin. (Atmowiloto, 2013: 256-257)

Selain itu, Bu Bei digambarkan memiliki sikap nrima atau menerima, baik hati, dan pernah marah terhadap tokoh Pak Bei karena Pak Bei ketahuan memiliki anak dengan wanita lain. Berikut kutipannya yang menyatakan kekaguman Pak Bei terhadap Bu Bei yang tetap menerima Pak Bei meski Pak Bei memiliki anak dari istri lain.

―Kamu seperti ibu mertuamu lho, Him. Betul. Mau menerima keanehan Ni, tanpa merendahkan. Seperti mertuamu menerimaku, Him.

―Jangan dikira saya dulu tak ada konflik. Banyak. Sering. Jangan dikira saya tak pernah dimarahi. Waktu saya punya anak lain, ibu mertuamu marah besar. Murka. Saya didiamkan. Saya tidak tahu apakah anak itu tumbuh besar atau mati seperti yang dikatakan kemudian. Tapi dalam kemurkaan yang luar biasa hebat itu, ibu mertuamu tetap baik. Baik lho. Saya baru tahu belakangan bahwa keluarga Karmiyem atau siapa itu diberi duit. Dibelikan sawah. Solidaritas wanita yang tak tertandingi. (Atmowiloto, 2013: 347)

Selain itu, Bu Bei bersikap diam dan tidak menolak kenyataan ketika Bu Bei mengetahui bahwa Pak Bei telah berpoligami (memiliki istri lebih dari satu). Pak Bei dijelaskan dalam novel menikah lagi dengan Karmiyem—gadis berkulit

hitam manis berambut mengombak dari Mbaki—dan memiliki seorang anak. Meskipun Bu Bei menyadari bahwa Pak Bei telah menikah lagi, Bu Bei tetap diam dan berpura-pura semua itu tidak terjadi. Bu Bei tetap bekti melayani segala kebutuhan Pak Bei.

Seminggu lebih Pak Bei tidak pulang. Setelah itu setiap dua hari sekali, tiga hari datang dan bermalam. Pak Bei tahu bahwa Bu Bei tahu. Tapi Bu Bei tidak pernah menanyakan, tidak pernah mengurus. Hanya Bu Bei tidak pernah menunjukkan sikap manis di dalam kamar. Namun sehari-hari tetap sama, menata meja makan, mengatur anak-anak—saat itu belum mau pergi ke Pasar Klewer—dan bersikap manis serta menghormat. Hanya malam harinya Bu Bei berdiam diri bagai guling. Tak bereaksi—walau juga tak menolak. Ini selalu membuat esoknya Pak Bei berangkat ke Mbaki dan menemukan apa yang tersendat di rumah. Apalagi kalau habis bertugas di medan perang.

Bu Bei pasti mengetahui siapa Karmiyem, di mana rumahnya. entah bagaimana caranya. Mungkin saja dengan menyuruh Mbok Tuwuh mencari tahu. Karena, rasanya Pak Bei seperti pernah melihat Mbok Tuwuh datang ke Mbaki. Tapi tak pernah terucapkan satu patah kata pun dari Bu Bei. (Atmowiloto, 2013: 65)

Bu Bei mempunyai sifat yang baik, ia memiliki solidaritas yang tinggi terhadap sesamanya. Dari kutipan di atas juga di terangkan bahwa Bu Bei memberikan uang dan membelikan sawah untuk keluarga Karmiyem—mantan istri kedua Pak Bei yang tinggal di Mbaki, ia diceraikan setelah kematian anaknya diketahui Pak Bei. Selain itu, Bu Bei mengirim uang untuk keluarganya secara rutin. Bu Bei tetap bersikap baik kepada Karmiyem dan keluarganya. Kutipan narasi dalam novel di bawah ini akan memaparkan hal tersebut.

Kiriman apa?

Bukannya Ni tidak tahu bahwa ibunya dulu selalu mengirimi duit buat belanja. Secara tetap kepada keluarga di Laweyan dan di Gading. Dalam jumlah yang cukup untuk makan dan keperluan sehari-hari secara—apa pun maknanya—wajar. Selalu begitu. Di samping kebutuhan lain, seperti waktu perkawinan Laksmi atau adik-adiknya atau kakak-kakaknya, sampai melahirkan dan melahirkan lagi. (Atmowiloto, 2013: 306-307)

Dari kutipan di atas juga digambarkan Bu Bei memiliki rasa solidaritas yang tinggi terhadap sanak saudaranya. Setiap bulan mengirimkan uang kepada keluarga di Lawean dan di Gading secara tetap dan cukup.

Pada akhirnya, Bu Bei diceritakan meninggal dunia karena terpukul dengan keinginan Ni untuk melanjutkan usaha pembatikan. Keinginan Ni menjadi juragan batik merupakan pukulan besar buat Bu Bei. Keinginan Ni sama saja membuka luka lama Bu Bei mengenai keraguan Pak Bei terhadap siapa ayah Ni. Karena hal tersebut Bu Bei tidak sadarkan diri sampai dibawa ke rumah sakit. Bu Bei sempat mengalami koma hingga pada akhirnya ia meninggal dunia. Berikut kutipan saat Bu Bei mengalami syok dan tidak sadarkan diri.

Air dalam gelas telah tenang, rata.

Pak Bei berdiri, meninggalkan perjamuan. Berjalan dengan gagah. Bu Bei tertunduk. Sewaktu memegang piring untuk dikumpulkan, piring itu jatuh. Bu Bei masih berusaha untuk memungut, akan tetapi justru tubuhnya yang limbung. Kolonel Pradoto dan Himawan yang lebih dulu bergerak, memegangi tubuh Bu Bei. bu Bei seperti tak bertenanga, sehingga digotong ke dalam kamar.

Kesibukan mendadak berganti.

Bu Bei ternyata sesak bernapas. Wahyu memeriksa nadi dengan cepat, juga Bayu dan istrinya. Kesimpulan sama, bahwa Bu Bei perlu mendapat perawatan khusus. (Atmowiloto, 2013: 193-194)

Dan kutipan berikut akan menggambarkan sesaat sebelum Bu Bei meninggal dunia. Bu Bei digambarkan meninggal dengan keadaan yang tenang dan ikhlas meninggalkan semua urusan duniawi. Bu Bei meninggal dihadapan semua anak, menantu, cucu, dan suaminya, Pak Bei.

―Ibumu telah mendapat pengampunan.‖

Ni masih sempat melihat, biji mata ibunya seperti bergerak, seolah menangkap apa yang dikatakan suaminya. Napasnya naik-turun. Dokter- dokter datang memeriksa, sementara Pak Bei memimpin berdoa. Terdengar suara-suara bergema dalam berbagai bahasa.

Ni masih sempat melihat, Pak Bei menutupkan mata istrinya, dan ia tak bisa menahan diri lagi. Himawan merangkul makin kencang.

Pak Bei menghela napas, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Beberapa detik masih berdiam diri. Sekilas mengawasi cucu-cucu, menantu-menantu, lalu mendekati dokter.

―Kalau peralatan mau dicabut sekarang, silakan. (Atmowiloto, 2013: 243) Dilihat dari pemaparan penokohan di atas, dapat disimpulkan tokoh Bu Bei memiliki wajah yang cantik bercahaya dengan mata indah dan alis yang tebal. Bu Bei digambarkan sebagi istri yang sabar, sumarah, lan sumeleh (sabar, mengalah, dan diam). Bu Bei juga istri yang bekti kepada suaminya, yaitu Pak Bei. Sebelum berangkat dan sepulangnya dari pasar, Bu Bei selalu membereskan rumah dan melayani Pak Bei. Bu Bei dilukiskan dengan sikap nrima atau pasrah. Sikap pasrah Bu Bei ditunjukkan dengan menerima semua keputusan yang diberikan Pak Bei. Sedangkan sifat lainnya adalah baik hati, ramah, pekerja keras, dan memiliki pemikiran yang lugu. Bu Bei juga memiliki solidaritas yang tinggi dan dermawan. Namun, Bu Bei memiliki sisi yang berbeda saat berada di pasar. Ia akan menjadi sosok Bu Bei yang galak dan berani mengambil keputusan.

Selain itu, Bu Bei digambarkan pengarang sebagai wanita sukses yang

Dokumen terkait