• Tidak ada hasil yang ditemukan

Feminisme liberal dalam sikap dan pandangan wanita Jawa dalam novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Feminisme liberal dalam sikap dan pandangan wanita Jawa dalam novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto."

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

viii

ABSTRAK

Setianingsih, Damar. 2015. Feminisme Liberal dalam Sikap dan Pandangan Wanita Jawa

dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto. Skripsi S1. Program Studi Sastra

Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji pemikiran feminisme liberal novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Feminisme liberal adalah suatu pandangan tentang perempuan dalam upaya mendapatkan kesetaraan (sameness) untuk mendapatkan kesempatan berpendidikan, kesempatan kerja, kebebasan individual dengan mempertimbangkan perbedaan tugas di antara keduanya, dan menentang diskriminasi seks. Tujuan dari penelitian ini adalah (i) mendeskripsikan tokoh dan penokohan dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto, dan (ii) mendeskripsikan feminisme liberal dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan objektif dan pendekatan feminisme. Sedangkan, metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tiga teknik, yaitu teknik studi pustaka, teknik simak, dan teknik catat. Dan untuk menganalisis data-data yang telah terkumpul digunakan metode analisis isi.

Hasil penelitian ini adalah (1) deskripsi tokoh dan penokohan dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. (2) Hasil penelitian berikutnya menunjukkan pemikiran feminisme liberal yang terdapat dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto.

Dalam novel Canting terdapat tiga tokoh utama, yaitu Bu Bei, Pak Bei, dan Ni. Ketiga tokoh utama tersebut merupakan tokoh yang sering muncul dan menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Dan terdapat enam tokoh tambahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu Wahyu Dewabrata, Wening Dewamurti, Mijin, Mbok Tuwuh, Himawan, dan Wagimi.

Feminisme liberal yang terdapat dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto, yaitu (i) kesempatan dalam pendidikaan, (ii) kesempatan dalam dunia kerja, (iii) kebebasan individual, dan (iv) menentang diskriminasi seks.

(2)

ix

ABSTRACT

Setianingsih, Damar. 2015. Liberal Feminism in Attitude and Point of View of Javanese

Woman in Canting Novel by Arswendo Atmowiloto. Undergraduate Thesis. Study

Program of Indonesian Literary, Indonesia Literature Course, Sanata Dharma University.

The research analyzed the thought of liberal feminism in Canting novel by Arswendo Atmowiloto. Liberal feminism is point a view about woman in order to get equality (sameness), opportunity to get education, chance to get better job, individual freedom considering the task distinction between them, and facing toward sex discrimination. The aims of the research were (i) to describe character and characterization in Canting novel by Arswendo Atmowiloto, and (ii) to describe the liberal feminism in Canting novel by Arswendo Atmowiloto. The approach that used in this research were objective approach and feminism approach. The method of collecting the data in this research used three techniques, namely literature study technique, simak technique, and noted technique. And the content analysis was used to analyze the collected data.

The results of thesis are (1) the character and characterization in Canting novel by Arswendo Atmowiloto, and (2) the next result was showing the thought of liberal feminism in Canting novel by Arswendo Atmowiloto.

There are three main characters in this novel, namely Bu Bei, Pak Bei, and Ni. Those three main characters always appear and establish in the whole plot development. There are six peripheral characters which will be discussed in this research, namely Wahyu Dewabrata, Wening Dewamurti, Mijin, Mbok Tuwuh, Himawan, and Wagimi.

The liberal feminism which were in Canting novel by Arswendo Atmowiloto were (i) opportunity in education, (ii) opportunity in work-place, (iii) individual freedom, (iv) opposite to sex discrimination.

(3)

DALAM NOVEL CANTING KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO

Skripsi

Tugas Akhir

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Damar Setianingsih

104114010

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)

i

DALAM NOVEL CANTING KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO

Skripsi

Tugas Akhir

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Damar Setianingsih

104114010

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(5)
(6)
(7)
(8)
(9)

vi

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan

rahmat dan perlindunganNya atas terselesaikannya skripsi yang berjudul “Feminisme Liberal

dalam Sikap dan Pandangan Wanita Jawa dalam Novel Canting karya Arswendo Atmowiloto”.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana Sastra Indonesia.

Skripsi ini tidak akan berjalan lancar tanpa bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah

membantu, di antaranya:

1. S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum. selaku dosen pembimbing I yang telah berkenan

mendampingi, mengarahkan, dan memberikan bimbingan kepada penulis,

sehingga penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar.

2. Drs. B. Rahmanto, M.Hum. selaku dosen pembimbing II yang telah berkenan

memberikan kritik serta masukan yang membangun kepada penulis.

3. Dosen-dosen Prodi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma yang telah

mendampingi penulis selama menempuh masa studi, Prof. Dr. I. Praptomo

Baryadi, M.Hum., Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum., Drs. Hery Antono, M.Hum., Dra.

Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum., Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., Drs. FX. Santoso,

M.Hum. dan segenap dosen mata kuliah tertentu yang tidak bisa penulis sebutkan

satu per satu.

4. Segenap staf dan karyawan Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

5. Maryono, S.E. dan Sudarsih, orang tua penulis yang tidak ada henti-hentinya

memberikan semangat dan dukungan secara moral maupun material, serta Vivi

Rachmawati, M.Hum., kakak penulis yang telah memberikan semangat dan

motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

6. Semua teman Prodi Sastra Indonesia angkatan 2010 yang tidak bisa disebutkan

satu per satu, khususnya Suyanti, Radit, Jeje, Anton, Meika, dan Diska terima

kasih telah menjadi teman bertukar pikiran.

7. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan kepada penulis

(10)
(11)

viii

ABSTRAK

Setianingsih, Damar. 2015. Feminisme Liberal dalam Sikap dan Pandangan Wanita Jawa

dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto. Skripsi S1. Program Studi Sastra

Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji pemikiran feminisme liberal novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Feminisme liberal adalah suatu pandangan tentang perempuan dalam upaya mendapatkan kesetaraan (sameness) untuk mendapatkan kesempatan berpendidikan, kesempatan kerja, kebebasan individual dengan mempertimbangkan perbedaan tugas di antara keduanya, dan menentang diskriminasi seks. Tujuan dari penelitian ini adalah (i) mendeskripsikan tokoh dan penokohan dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto, dan (ii) mendeskripsikan feminisme liberal dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan objektif dan pendekatan feminisme. Sedangkan, metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tiga teknik, yaitu teknik studi pustaka, teknik simak, dan teknik catat. Dan untuk menganalisis data-data yang telah terkumpul digunakan metode analisis isi.

Hasil penelitian ini adalah (1) deskripsi tokoh dan penokohan dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. (2) Hasil penelitian berikutnya menunjukkan pemikiran feminisme liberal yang terdapat dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto.

Dalam novel Canting terdapat tiga tokoh utama, yaitu Bu Bei, Pak Bei, dan Ni. Ketiga tokoh utama tersebut merupakan tokoh yang sering muncul dan menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Dan terdapat enam tokoh tambahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu Wahyu Dewabrata, Wening Dewamurti, Mijin, Mbok Tuwuh, Himawan, dan Wagimi.

Feminisme liberal yang terdapat dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto, yaitu (i) kesempatan dalam pendidikaan, (ii) kesempatan dalam dunia kerja, (iii) kebebasan individual, dan (iv) menentang diskriminasi seks.

(12)

ix

ABSTRACT

Setianingsih, Damar. 2015. Liberal Feminism in Attitude and Point of View of Javanese

Woman in Canting Novel by Arswendo Atmowiloto. Undergraduate Thesis. Study

Program of Indonesian Literary, Indonesia Literature Course, Sanata Dharma University.

The research analyzed the thought of liberal feminism in Canting novel by Arswendo Atmowiloto. Liberal feminism is point a view about woman in order to get equality (sameness), opportunity to get education, chance to get better job, individual freedom considering the task distinction between them, and facing toward sex discrimination. The aims of the research were (i) to describe character and characterization in Canting novel by Arswendo Atmowiloto, and (ii) to describe the liberal feminism in Canting novel by Arswendo Atmowiloto. The approach that used in this research were objective approach and feminism approach. The method of collecting the data in this research used three techniques, namely literature study technique, simak technique, and noted technique. And the content analysis was used to analyze the collected data.

The results of thesis are (1) the character and characterization in Canting novel by Arswendo Atmowiloto, and (2) the next result was showing the thought of liberal feminism in Canting novel by Arswendo Atmowiloto.

There are three main characters in this novel, namely Bu Bei, Pak Bei, and Ni. Those three main characters always appear and establish in the whole plot development. There are six peripheral characters which will be discussed in this research, namely Wahyu Dewabrata, Wening Dewamurti, Mijin, Mbok Tuwuh, Himawan, and Wagimi.

The liberal feminism which were in Canting novel by Arswendo Atmowiloto were (i) opportunity in education, (ii) opportunity in work-place, (iii) individual freedom, (iv) opposite to sex discrimination.

(13)

x

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Masalah ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.5 Tinjauan Pustaka ... 5

1.6 Landasan Teori ... 7

1.6.1 Tokoh dan Penokohan ... 7

1.6.1.1 Tokoh ... 7

1.6.1.2 Penokohan ... 9

1.6.2 Feminisme ... 14

1.6.3 Feminisme Liberal ... 15

1.7 Metode dan Teknik Penelitian ... 17

1.7.1 Pendekatan ... 17

1.7.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 18

1.7.3 Metode dan Teknik Analisis Data ... 19

1.7.4 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ... 20

(14)

xi

2.1.1 Bu Bei ... 23

2.1.2 Pak Bei ... 33

2.1.3 Ni ... 43

2.2 Tokoh Tambahan ... 52

2.2.1 Wahyu Dewabrata ... 53

2.2.2 Mijin ... 57

2.2.3 Himawan ... 61

2.2.4 Wening Dewamurti ... 66

2.2.5 Mbok Tuwuh ... 69

2.2.6 Genduk Wagimi ... 73

2.3 Rangkuman ... 76

BAB III KONSTRUKSI PEMIKIRAN FEMINISME LIBERAL WANITA JAWA DALAM NOVEL CANTING ... 80

3.1 Kesempatan dalam Pendidikan ... 80

3.2 Kesempatan dalam Dunia Kerja ... 84

3.3 Kebebasan Individual ... 88

3.4 Menentang Diskriminasi Seks ... 91

3.5 Rangkuman ... 96

BAB IV PENUTUP ... 100

4.1 Kesimpulan ... 100

4.2 Saran ... 106

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Skripsi ini akan meneliti tentang pemikiran feminisme liberal dalam novel

Canting karya Arswendo Atmowiloto. Novel Canting karya Arswendo Atmowiloto ini sangat menarik karena menggunakan latar budaya Jawa yang

kental. Selain itu, novel karya Arswendo Atmowiloto ini mengandung pesan

moral. Novel ini mengisahkan tentang kehidupan keluarga priayi yang sarat akan

nilai-nilai budaya Jawanya dan penuh dengan konflik-konflik yang menarik.

Selain itu, novel ini mengisahkan dua tokoh perempuan yang berbeda karakter

dengan latar budaya yang sama, yaitu budaya Jawa sehingga memunculkan

konflik yang menarik.

Secara etimologis, feminis berasal dari kata femme (woman), berarti

perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum

perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Tujuan feminis adalah keseimbangan,

interelasi gender. Dalam pengertian yang paling luas, feminis adalah gerakan

kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan,

disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang

politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya. Dalam pengertian

yang lebih sempit, yaitu dalam sastra, feminis dikaitkan dengan proses produksi

maupun resepsi. Emansipasi wanita dengan demikian merupakan salah satu aspek

dalam kaitannya dengan persamaan hak. Dalam ilmu sosial kontemporer lebih

(16)

Mackinnon menyatakan bahwa feminisme liberal melihat perbedaan

laki-laki dengan perempuan sebagai konstruk sosio-ekonomis dan budaya ketimbang

sebagai hasil dari suatu biologi abadi. Feminisme liberal menekankan perlunya

kesetaraan kesempatan bagi perempuan di semua bidang, yang di dalam

demokrasi liberal barat diyakini dapat tercapai di dalam struktur besar dalam

kerangka kerja ekonomi dan hukum (Barker, 2005: 235).

Arswendo Atmowiloto terlahir dengan nama lahir Sarwendo. Nama

Arswendo Atmowiloto berasal dari Sarwendo yang diubah menjadi Arswendo

karena dianggap kurang kormesial. Atmowiloto yang menjadi nama belakang

Arswendo adalah nama ayahnya. Arswendo Atmowiloto dikenal sebagai seorang

penulis dan wartawan yang lahir pada tanggal 26 November 1948 di Solo, Jawa

Tengah. Karya-karya yang telah dihasilkan Arswendo antara lain berupa naskah

drama, cerpen, novel, dan puisi. Berikut beberapa karyanya: Sleko (1971), Dua

Ibu (1981), Serangan Fajar (1982), Pesta Jangkrik (2001), dan lain-lain. Sampai saat ini Arswendo masih aktif menulis dan juga memiliki sebuah rumah produksi.

Novel Canting karya Arswendo Atmowiloto, yang terbit pada tahun 1986,

mengisahkan tentang tradisi Jawa yang dijaga secara turun- temurun oleh Kraton

Kesunanan Surakarta. Novel ini menceritakan hubungan kekeluargaan dan

keterkaitannya dengan materialisme yang dimiliki oleh keluarga Kraton

Kesunanan Surakarta yang hidup sebagai kaum priayi. Dalam novel ini

diungkapkan kehidupan keluarga Jawa yang mengalami banyak konflik dalam

memahami dan mengamalkan nilai-nilai budaya Jawa. Konflik tersebut dialami

(17)

sosio-ekonomis di Jawa. Dengan demikian, penelitian ini menggunakan kajian

feminisme liberal.

Objek kajian penelitian ini adalah novel Canting karya Arswendo

Atmowiloto. Alasan dalam pemilihan topik penelitian Feminisme Liberal dalam

Sikap dan Pandangan Wanita Jawa dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto karena novel tersebut mengkonstruksikan pemikiran tentang feminisme liberal yang terlihat dari keinginan, sikap, dan pandangan perempuan

yang bebas secara utuh. Untuk melihat konstruksi pemikiran feminisme liberal,

peneliti menggunakan analisis tokoh dan penokohan. Dari analisis tokoh dan

penokohan dalam novel Canting akan terlihat sikap dan pandangan yang

menggambarkan pemikiran feminisme liberal.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka masalah dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut.

1.2.1 Bagaimana gambaran tokoh dan penokohan dalam novel Canting

karya Arswendo Atmowiloto?

1.2.2 Bagaimana konstruksi pemikiran feminisme liberal dalam novel

(18)

1.3Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah mengkaji novel Canting karya

Arswendo Atmowiloto menggunakan teori feminisme liberal. Secara khusus,

tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.3.1 Mendeskripsikan dan mengungkapkan gambaran tokoh dan

penokohan dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Hal

ini akan dibahas pada bab II.

1.3.2 Mendeskripsikan dan mengungkapkan konstruksi pemikiran

feminisme liberal dalam novel Canting karya Arswendo

Atmowiloto. Hal ini akan dibahas pada bab III.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini akan menghasilkan uraian dan penjelasan tentang tokoh dan

penokohan, serta kajian feminisme liberal dalam novel Canting karya Arswendo

Atmowiloto. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini menjadi contoh penerapan kajian struktural, khususnya pada

tokoh dan penokohan, serta kajian feminisme liberal untuk memahami perempuan

dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan tentang karya sastra

dan pemahaman tentang novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Selain itu,

(19)

lebih luas sehingga ilmu yang dirasa bermanfaat bagi pembaca dapat

diaplikasikan dalam kehidupan.

1.5Tinjauan Pustaka

Wiyatmi (2012: 182), dalam bukunya yang berjudul Kritik Sastra Feminis:

Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia, mendalami novel Canting karya Arswendo dengan memahami fenomena keterlibatan perempuan sebagai pelaku

bisnis. Judul penelitian yang menggunakan objek penelitian novel Canting adalah

Perempuan sebagai Pelaku Bisnis dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto. Dalam novel Canting yang terbit pertama kali pada tahun 1986 ini digambarkan bagaimana para perempuan memiliki kemampuan untuk

menjalankan kegiatan perekonomian.

Dengan menggambarkan para perempuan yang terjun ke dunia usaha,

Canting ingin menggambarkan para perempuan yang dapat berperan di dua area yang berbeda, di rumah sebagai makhluk domestik dan di luar rumah sebagai

pengusaha. Ketika di rumah peran domestiknya adalah mengurus rumah tangga,

melayani suami, melahirkan dan mendidik anak-anaknya, sedangkan di luar

rumah mereka memiliki kemampuan yang luar biasa dalam menjalankan perannya

sebagai penguasaha. Dalam novel tersebut digambarkan tokoh Bu Bei dan

Wening yang berhasil menjalankan kedua peran gendernya (Wiyatmi, 2012: 182).

Sulistyaningsih (1998), dalam skripsinya Citra Wanita Jawa Tokoh Utama

(20)

novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Pendekatan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah pendekatan sosiologis yang bertolak dari asumsi bahwa karya

sastra merupakan gejala sosial.

Hasil kajian ditemukan bahwa citra wanita Jawa tokoh Ni dan citra wanita

Jawa tokoh Bu Bei berbeda. Tokoh Ni merupakan cerminan wanita Jawa yang

ingin melepaskan kejawaannya dengan bersikap aeng atau aneh, sedangkan Bu

Bei hidup di zaman pra-kemerdekaan di dalam lingkungan priyayi, Bu Bei lebih

mencerminkan wanita Jawa yang memiliki sikap nrima atau pasrah akan keadaan

yang harus diterimanya.

Sidang (2013), dalam skripsinya yang berjudul Citra Perempuan Jawa

dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto, mendeskripsikan unsur intrinsik dan citra perempuan Jawa yang digambarkan dalam novel Canting karya

Arswendo Atmowiloto. Unsur struktur novel Canting membentuk totalitas makna

yang mencakup tema, alur, setting (latar tempat, latar waktu, dan latar suasana),

tokoh, sudut pandang, dan amanat. Citra perempuan Jawa yang terdapat dalam

novel Canting adalah pekerja keras, pasrah, bertanggung jawab, dan pantang

menyerah. Para perempuan yang mampu berperan dua sisi kehidupan, yaitu

sebagai makhluk domestik dan di luar rumah sebagai pengusaha. Dalam novel ini

telah ditunjukkan bahwa kaum perempuan juga memiliki kemampuan untuk

mandiri secara ekonomi dan membantu keperluan rumah tangga.

Penelitian yang menggunakan objek novel Canting karya Arswendo

Atmowiloto ini memiliki perbedaan dari penelitian-penelitian sebelumnya.

(21)

Jawa dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto ini mengkaji novel Canting dengan kajian feminisme liberal. Penelitian ini akan mendeskripsikan salah satu unsur intrinsik dan konstruksi feminisme liberal yang digambarkan

novel Canting. Unsur intrinsik yang dianalisis adalah tokoh dan penokohan yang

digambarkan dalam novel Canting. Novel Canting yang menggunakan latar waktu

tahun 1940-an menggambarkan konstruksi pemikiran feminisme liberal dalam

sikap dan pandangan wanita Jawa. Dengan demikian, kebaruan penelitian ini

adalah feminisme liberal yang terdapat dalam novel Canting karya Arswendo

Atmowiloto.

1.6 Landasan Teori

1.6.1 Tokoh dan Penokohan

1.6.1.1 Tokoh

Menurut Abrams, tokoh cerita adalah orang-orang yang tampil dalam

karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral

dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa

yang dilakukan dalam tindakannya (Nurgiyantoro, 2005: 165).

Stanton menunjukkan tokoh (character) sebagai pelaku-pelaku cerita yang

ditampilkan. Istilah tokoh menunjukkan kepada orangnya, dalam hal ini berperan

sebagai pelaku cerita. Penggunaan istilah karakter (character) dalam berbagai

(22)

keinginan, emosi, dan prinsisp moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut

(Nurgiyantoro, 2005: 165).

Terma ‗karakter‘ biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama,

karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita. Konteks

kedua, karakter merujuk pada pencampuran dari berbagai kepentingan, keinginan,

emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut. Dalam sebagian besar

cerita dapat ditemukan satu ‗karakter utama‘, yaitu karakter yang terkait dengan

semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita (Stanton, 2007: 33).

Tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi. Tokoh dalam

fiksi merupakan ciptaan pengarang, meskipun dapat juga merupakan gambaran

dari orang-orang yang hidup di alam nyata. Tokoh dalam fiksi biasanya dibedakan

menjadi beberapa jenis. Menurut Sayuti, tokoh dibedakan sesuai dengan

keterlibatan dalam cerita. Tokoh dibedakan menjadi tokoh utama (sentral) dan

tokoh tambahan (periferal). Disebut tokoh sentral apabila memenuhi tiga syarat,

yaitu (1) paling terlibat dengan makna atau tema, (2) paling banyak berhubungan

dengan tokoh lain, (3) paling banyak memerlukan waktu penceritaan (Wiyatmi,

2006: 30-31).

Berdasarkan wataknya, tokoh dibedakan menjadi tokoh sederhana dan

tokoh kompleks. Tokoh sederhana adalah tokoh yang kurang mewakili keutuhan

personalitas manusia dan hanya ditonjolkan satu sisi karakter. Sementara tokoh

kompleks, sebaliknya lebih menggambarkan keutuhan personalitas manusia yang

(23)

Menurut Panuti-Sudjiman, tokoh cerita adalah individu rekaan yang

mengalami peristiwa cerita. Berdasarkan menampilkannya, tokoh dibedakan

menjadi tokoh datar atau tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh

bulat atau tokoh kompleks (complex atau round character). Berdasarkan peranan

atau pentingnya atau fungsinya, tokoh di dalam rekaan dibedakan menjadi tokoh

sentral atau tokoh utama (central character, main character) dan tokoh bawahan

atau tokoh tambahan (peripheral character) (Sugihastuti, 2010: 50-52).

1.6.1.2 Penokohan

Sugihastuti (2010: 50-51), penokohan adalah penyajian watak, penciptaan

citra, atau pelukisan gambaran tentang seseorang yang ditampilkan sebagai tokoh

cerita. Penciptaan citra dalam penokohan, meliputi fisik, sosial, dan psikologi

tokoh dalam suatu cerita. Ada beberapa metode penokohan yang masing-masing

memiliki kelebihan dan kekurangannya. Pertama, menurut Hudson, metode

analitik atau metode langsung. Pengarang melalui narator memaparkan sifat-sifat,

hasrat, pikiran, dan perasaan tokoh, kadang-kadang disertai komentar tentang

watak tersebut.

Kedua, metode tidak langsung yang disebut juga metode ragaan atau

metode dramatik. Watak tokoh dapat disimpulkan pembaca dari pikiran, cakapan,

dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang melalui narator. Selain itu, watak juga

dapat disimpulkan dari penampilan fisik tokoh, dari gambaran lingkungannya,

(24)

Ketiga, menurut Kenney, metode kontekstual. Dengan metode ini, watak

tokoh dapat disimpulkan dari bahasa yang digunakan narator di dalam mengacu

kepada tokoh cerita. Ketiga metode tersebut dapat dipakai secara bersama-sama

dalam menganalisis penokohan sebuah novel.

Menurut Nurgiyantoro (2005: 194-195) dalam bukunya Teori Pengkajian

Fiksi, teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya sastra dapat dibagi menjadi dua cara atau teknik, yaitu pelukisan secara langsung (teknik ekspositori) dan teknik

pelukisan secara tidak langsung (teknik dramatik). Berikut adalah uraian singkat

tentang kedua teknik pelukisan tokoh.

1.6.1.2.1 Teknik Ekspositori

Teknik ekspositori dapat juga disebut sebagai teknik analitis. Pelukisan

tokoh menggunakan teknik ini dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian,

atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita dihadirkan begitu saja dan langsung

disertai dengan deskripsi kediriannya yang mungkin berupa sikap, sifat, watak,

tingkah laku, atau bahkan juga ciri fisiknya.

Deskripsi kedirian tokoh yang dilakukan secara langsung oleh pengarang

akan berwujud penuturan yang bersifat deskriptif pula. Artinya, deskripsi kedirian

tokoh tidak akan berwujud penuturan yang bersifat dialog, walaupun bukan

merupakan suatu pantangan atau pelanggaran jika dalam dialog tercermin watak

(25)

1.6.1.2.2 Teknik Dramatik

Teknik dramatik atau pelukisan tokoh cerita yang dilakukan secara tidak

langsung. Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan

sikap serta tingkah laku tokoh. Pengarang membiarkan para tokoh cerita untuk

menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik

secara verbal melalui kata-kata maupaun nonverbal melalui tidakan atau tingkah

laku dan juga melalui peristiwa yang terjadi.

Sifat kedirian tokoh tidak dideskripsikan secara jelas dan lengkap, kedirian

tokoh akan muncul atau dihadirkan secara sepotong-sepotong dan tidak sekaligus.

Sifat kedirian tokoh akan menjadi lengkap, apabila setelah pembaca

menyelesaikan sebagaian besar cerita, setelah menyelesaikannya, atau bahkan

setelah mengulang membaca.

Wujud penggambaran teknik dramatik atau penampilan tokoh secara

dramatik dapat dilakukan dengan sejumlah teknik. Dalam sebuah karya fiksi,

biasanya pengarang mempergunakan berbagai teknik itu secara bergantian dan

saling mengisi, walaupun ada perbedaan frekuensi penggunaan masing-masing

teknik. Berikut uraian dan penjelasan tentang berbagai teknik yang dimaksudkan,

yaitu

a. Teknik Cakapan

Percakapan yang dilakukan oleh tokoh cerita biasanya dimaksudkan untuk

menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Tidak semua percakapan

mencerminkan kedirian tokoh atau tidak mudah untuk menafsirkannya. Namun,

(26)

menunjukkan perkembangan plot sekaligus mencerminkan sifat kedirian tokoh

pelakunya.

b. Teknik Tingkah Laku

Teknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat nonverbal,

khususnya fisik. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah

laku dapat dipandang untuk menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang

mencerminkan sifat-sifat kediriannya.

c. Teknik Pikiran atau Perasaan

Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang melintas di

dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang (sering) dipikiran dan dirasakan oleh

tokoh dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kedirian juga. Perbuatan

dan kata-kata merupakan perwujudan konkret tingkah laku dan perasaan. Teknik

pikiran dan perasaan dapat ditemukan dalam teknik cakapan dan tingkah laku.

Artinya, penuturan itu sekaligus menggambarkan pikiran dan perasaan tokoh.

d. Teknik Arus Kesadaran

Menurut Abrams, arus kesadaran merupakan sebuah teknik narasi yang

berusaha menangkap pandangan dan aliran proses mental tokoh, di mana

tanggapan indera bercampur dengan kesadaran dan ketaksadaran pikiran,

perasaan, ingatan, harapan, dan asosiasi-asosiasi acak. Aliran kesadaran berusaha

menangkap dan mengungkapkan proses kehidupan batin yang memang hanya

terjadi di batin ataupun baik yang berada di ambang kesadaran maupun

ketaksadaran termasuk kehidupan di bawah sadar.

(27)

Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu

kejadian, masalah, keadaan, kata, dan sikap-tingkah-laku orang lain, dan

sebagainyayang berupa ―rangsangan‖ dari luar diri tokoh yang bersangkutan.

Bagaimana reaksi tokoh terhadap hal-hal tersebut dapat dipandang sebagai suatu

bentuk penampilan yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya.

f. Teknik Reaksi Tokoh Lain

Reaksi tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh

lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari kediriannya yang berupa

pandanagan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain. Singkatnya, penilaian

kedirian tokoh (utama) cerita oleh tokoh-tokoh cerita lainnya dalam sebuah karya.

g. Teknik Pelukisan Latar

Pelukisan suasana latar dapat lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh

seperti yang telah diungkapkan dengan berbagai teknik yang lain. Keadaan latar

tertentu dapat menimbulkan kesan tertentu di pihak pembaca. Pelukisan keadaan

latar sekitar tokoh secara tepat akan mampu mendukung teknik penokohan secara

kuat meskipun latar itu sendiri sebenarnya merupakan sesuatu yang berada di luar

kedirian tokoh. Suasana latar sering juga kurang ada hubungannya dengan

penokohan, paling tidak hubungan langsung.

h. Teknik Pelukisan Fisik

Keadaan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya

atau paling tidak pengarang sengaja mencari dan memperhubungkan adanya

(28)

kadang-kadang terasa penting. Keadaan fisik tokoh perlu dilukiskan, terutama jika

tokoh cerita memiliki bentuk fisik khas, sehingga pembaca dapat menggambarkan

secara imajinatif.

1.6.2 Feminisme

Budianta mengartikan feminisme sebagai sebuah kritik ideologis terhadap

cara pandang yang mengabaikan permasalahan ketimpangan dan ketidakadilan

dalam pemberian peran dan identitas sosial berdasarkan perbedaan jenis kelamin

(Sofia, 2009: 13).

Moeliono, dkk (1993: 241) menyatakan bahwa feminisme adalah gerakan

kaum perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum

perempuan dan laki-laki (Sugihastuti, 2010: 61).

Wiyatmi (2012: xv), mendefinisikan feminisme sebagai aliran pemikiran

dan gerakan sosial yang menginginkan adanya penghargaan terhadap kaum

feminin (perempuan) dan kesetaraan gender.

Gamble (2010: ix) menyatakan bahwa feminisme adalah sebuah

kepercayaan bahwa—perempuan semata-mata karena mereka adalah

perempuan—diperlakukan tidak adil dalam masyarakat yang dibentuk untuk

memprioritaskan cara pandang laki-laki serta kepentingannya.

Feminisme didefinisikan sebagai usaha untuk menghadapi manifestasi

sistem patriarkal. Menurut Chris Weedons, sistem pratiarkal (dalam buku

(29)

perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Hubungan kekuatan ini

memiliki banyak bentuk; mulai dari penggolongan pekerjaan menurut jenis

kelamin dan pemberdayaan dalam organisasi sosial, hingga norma femininitas

yang diinternalisasikan dalam kehidupan kita. Kekuatan patriakal bertumpu pada

makna sosial yang berdasar pada jenis kelamin‖ (Gamble, 2010: 3-4).

Rosemarie Putnam Tong (2006), mengemukakan bahwa feminisme

bukanlah sebuah pemikiran yang tunggal, melainkan memiliki berbagai ragam

yang kemunculan dan perkembangannya sering kali saling mendukung,

mengoreksi, dan menyangkal pemikiran feminisme sebelumnya. Tong

mengemukakan adanya delapan ragam pemikiran feminisme, yaitu feminisme

liberal, feminisme radikal, feminisme marxis dan sosialis, feminisme psikoanalisis

dan gender, feminisme eksistensial, feminisme posmodern, feminisme

multikultural dan global, dan ekofeminisme (Wiyatmi, 2012: 16).

1.6.3 Feminisme Liberal

Tong mengemukakan bahwa perkembangan feminisme liberal sejalan

dengan pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum perempuan mulai

diperhatiakan, jam kerja dan gaji kaum perempuan mulai diperbaiki dan diberi

kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini

hanya dinikmati oleh kaum laki-laki. Tujuan dari feminisme liberal adalah

menentang diskriminasi seks dan berjuang mencapai kesetaraan hak-hak

perempuan di segala bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan personal

(30)

Menurut Barker dalam bukunya yang berjudul Cultural Studies: Teori &

Praktik, feminisme liberal melihat perbedaan laki-laki dengan perempuan sebagai kontruk sosio-ekonomis dan budaya ketimbang sebagai hasil dari suatu biologi

abadi. Mereka menekankan perlunya kesetaraan kesempatan bagi perempuan di

semua bidang, yang di dalam demokrasi liberal barat diyakini dapat tercapai di

dalam struktur besar dalam kerangka kerja ekonomi dan hukum (Barker, 2005:

235)

Menurut Fakih, feminisme liberal adalah feminisme yang memandang

adanya korelasi positif antara partisipasi dalam produksi dan status perempuan.

Feminisme liberal memandang manusia dilahirkan sama dan mempunyai hak

yang sama meskipun mengakui adanya perbedaan tugas antara laki-laki dan

perempuan. Bagi feminisme liberal manusia adalah otonom dan dipimpin oleh

akal (reason). Dengan akal, manusia mampu memahami prinsip-prinsip moralitas

dan kebebasan individu (Sofia, 2009: 14).

Dalam buku Filsafat Berperspektif Feminis, feminisme liberal memiliki

dasar pemikiran sebagai berikut: ―Manusia adalah otonom dan dipimpin oleh akal

(reason). Dengan akal manusia mampu untuk memahami prinsip-prinsip

moralitas, kebebasan individu, dan dijamin hak-hak individunya. Dan isu feminis

liberal, yaitu akses pendidikan, kebijakan negara yang bias gender, hak sipil, dan

hak politik‖. Feminisme liberal berupaya untuk menekankan persamaan

perempuan dan laki-laki (sameness). Namun, feminisme liberal hanya berupaya

untuk mendukung kesetaraan perempuan berkulit putih dan dari kelas menengah

(31)

Berdasarkan gagasan di atas, feminisme liberal adalah suatu pandangan

tentang perempuan dalam upaya mendapatkan kesetaraan (sameness) untuk

mendapatkan kesempatan berpendidikan, kesempatan kerja, kebebasan individual

dengan mempertimbangkan perbedaan tugas di antara keduanya, dan menentang

diskriminasi seks. Hal ini akan diterapkan dalam penelitian ini.

1.7 Metode dan Teknik Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yakni (i) pengumpulan data,

(ii) analisis data, dan (iii) penyajian hasil analisis data. Berikut ini adalah uraian

dari masing-masing tahap dalam penelitian ini.

1.7.1 Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian tentang Feminisme Liberal

dalam Sikap dan Pandangan Wanita Jawa dalam Novel Canting Karya Arswendo Atowiloto adalah pendekatan objektif dan pendekatan feminisme.

Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang bertumpu pada karya

sastra. Pendekatan objektif memusatkan perhatian pada unsur-unsur yang dikenal

dengan analisis intrinsik. Melalui pendekatan objektif, unsur-unsur intrinsik karya

akan dieksploitasi semaksimal mungkin (Ratna, 2012: 72-74). Jadi, pendekatan

objektif dalam fiksi novel Canting karya Arswendo Atmowiloto akan mencari dan

meneliti unsur-unsur tokoh dan penokohannya.

Wolf membagi pendekatan feminisme menjadi dua hal, yaitu feminisme

(32)

Feminisme korban melihat perempuan dalam peran seksual yang murni dan

mistis, dipandu oleh naluri untuk mengasuh dan memelihara, serta menekankan

kejahatan-kejahatan yang terjadi atas perempuan sebagai jalan untuk menuntut

hak-hak perempuan. Sedangkan feminisme kekuasaan, menganggap perempuan

sebagai manusia biasa yang seksual, individual, tidak lebih baik dan tidak lebih

buruk dibandingkan dengan laki-laki yang menjadi mitranya dan mengklaim

hak-haknya atas dasar logika yang sederhana, yaitu perempuan memang memiliki hak

(Sofia, 2009: 17). Dalam penelitian ini, pendekatan feminisme kekuasaan lebih

sesuai untuk menganalisis permasalahan perempuan dalam novel Canting karya

Arswendo Atmowiloto.

1.7.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Penulis menggunakan metode pengumpulan data melalui studi pustaka.

Metode ini dipakai untuk mendapatkan data pada novel Canting, buku-buku

referensi, artikel, dan sumber lain yang berkaitan dengan objek.

Data diperoleh dari sumber tertulis, yaitu novel Canting karya Arswendo

Atmowiloto. Berikut sumber data yang digunakan dalam penelitian ini.

Judul Novel : Canting

Pengarang : Arswendo Atmowiloto

Tahun Terbit : Cetakan keempat, Juli 2013

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

(33)

Teknik yang digunakan dalam tahap pengumpulan data adalah teknik

simak dan teknik catat. Teknik simak untuk meyimak bacaan bagian yang dipilih

sebagai bahan penelitian. Dalam teknik ini menyimak bagian wacana naratif

(paragraf) dan dialog percakapan antar tokoh yang membuktikan objek kajian

dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Sedangkan teknik catat adalah

teknik yang digunakan untuk mencatat hal-hal yang dianggap mendukung dalam

memecahkan masalah.

1.7.3 Metode dan Teknik Analisis Data

Pada tahap analisis data, penulis menggunakan metode analisis isi untuk

menganalisis data-data yang telah dikumpulkan. Metode isi terdiri atas dua

macam yaitu isi laten dan isi komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung

dalam dokumen dan naskah, sedangkan isi komunikasi adalah isi yang terkandung

sebagai akibat komunikasi yang terjadi. Isi laten adalah isi yang dimaksudkan

penulis, sedangkan isi komunikasi adalah isi yang terwujud dalam hubungan

naskah dengan konsumen (pembaca). Analisis terhadap isi laten akan

menghasilkan arti, sedangkan analisis terhadap isi komunikasi akan menghasilkan

makna (Ratna, 2012: 48-49).

Ratna (2012: 49) menyebutkan dasar pelaksanaan metode analisis isi

adalah penafsiran. Metode analisis isi yang dilakukan terhadap novel Canting

karya Arswendo Atmowiloto untuk meneliti isi pesan novel secara tepat dan

(34)

1.7.4 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Setelah tahap analisis data, tahap selanjutnya adalah tahap penyajian hasil

analisis data. Analisis data dalam penelitian ini disajikan dengan menggunakan

metode deskriptif. Metode deskriptif dilakukan dengan cara mendeskripsikan

fakta-fakta yang ditemukan kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2012: 53).

Metode deskriptif analisis dirasa tepat oleh penulis dalam menguraikan hasil

penelitian tentang tokoh dan penokohan, serta kajian feminisme liberal dalam

novel Canting karya Arswendo Atmowiloto dan memberikan pemahaman

secukupnya.

1.8Sistematika Penyajian

Sistematika penyajian penelitian bahasa ini disusun dalam empat bab. Bab

I pendahuluan, bab pendahuluan berisi (i) latar belakang masalah, (ii) rumusan

masalah, (iii) tujuan penelitian, (iv) manfaat penelitian, (v) landasan teori, (vi)

metode penelitian, dan (vii) sistematika penyajian.

Latar belakang dalam penelitian ini menguraikan alasan penulis

melakukan penelitian terhadap novel Canting karya Arswendo Atmowiloto

dengan teori kajian feminis liberal. Rumusan masalah menjelaskan beberapa

permasalahan yang ditemukan dalam penelitian ini. Tujuan penelitian

mendeskripsikan tujuan diadakan penelitian bahasa ini. Manfaat penelitian

memaparkan manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini. Landasan teori

(35)

penelitian berisi tentang perincian teknik pengumpulan data, teknik analisis data,

dan teknik pemaparan hasil analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian

ini. Sistematika penyajian menguraikan urutan hasil penelitian dalam penelitian

ini.

Bab II berisi tentang tokoh dan penokohan dalam novel Canting karya

Arswendo Atmowiloto. Bab III berisi tentang kajian novel Canting karya

Arswendo Atmowiloto menggunakan teori kajian feminisme liberal. Bab IV berisi

penutup yang terdiri dari kesimpulan hasil analisis data dan saran untuk penelitian

(36)

22

BAB II

TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM NOVEL CANTING

Dalam Bab II ini akan dibahas tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel

Canting dan penokohannya. Tokoh cerita dapat disebut sebagai pelaku-pelaku certita yang ditampilkan dalam karya naratif atau drama. Istilah tokoh

menunjukkan kepada orangnya, dalam hal ini berperan sebagai pelaku cerita.

Tokoh-tokoh cerita ditampilkan dengan emosi, keinginan, sikap, dan prinsip

moral yang diekspresikan dalam ucapan (verbal) dan tindakan (nonverbal) di

dalam cerita disebut penokohan. Berikut adalah pemaparan analisis penokohan

dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto.

2. 1 Tokoh Utama (Central Character)

Tokoh-tokoh cerita yang terdapat dalam novel Canting dibedakan menjadi

tokoh utama dan tokoh tambahan berdasarkan segi peranan atau tingkat

pentingnya tokoh dalam cerita. Tokoh utama (central character) adalah tokoh

yang paling sering dimunculkan dalam cerita, baik sebagai pelaku kejadian

maupun yang dikenai kejadian. Tokoh utama juga sangat menentukan

perkembangan plot secara keseluruhan. Dalam novel Canting terdapat tiga tokoh

utama, yaitu Bu Bei (Tuginem), Pak Bei (Raden Ngabehi Daryono/ Raden

(37)

2.1.1 Bu Bei (Tuginem)

Bu Bei digambarkan sebagai seorang gadis desa—anak seorang buruh

batik (wong cilik)—yang polos dan lugu. Sampai suatu saat, ia harus mau

menerima pinangan dari seorang priayi—Raden Ngabehi Sestrokusuma. Bu Bei

yang awalnya hanya wong cilik harus belajar keras untuk menjadi seorang priayi.

Kehidupan priayi adalah kehidupan yang bertolak belakang dengan kehidupan

wong cilik. Bu Bei adalah wanita Jawa yang memiliki sikap sabar, sumarah, lan sumeleh. Artinya, wanita yang sabar, mengalah, dan diam. Setelah ini akan diterangkan penokohan lain dari Bu Bei yang didukung dengan kutipan-kutipan

ekspositori dan dramatik.

Bu Bei digambarkan memiliki sikap sabar, sumarah, lan sumeleh (sabar,

mengalah, dan diam) selayaknya sikap yang dimiliki wanita Jawa pada zamannya.

Hal itu terlihat ketika Bu Bei tetap sabar menerima kenyataan bahwa Pak Bei

telah menikah lagi (poligami). Bu Bei menanggapi kenyataan suaminya

berpoligami dengan tetap diam dan mengalah. Maksudnya, Bu Bei mengalah

adalah dengan berpura-pura tidak tahu bahwa suaminya telah menikah lagi. Dan

juga Bu Bei tidak mempermasalahkan hal tersebut. Berikut kutipan yang

menggambarkan sikap sabar, sumarah, lan sumeleh Bu Bei dengan teknik

ekspositori yang disajikan oleh pengarang.

(38)

menolak. Ini selalu membuat esoknya Pak Bei berangkat ke Mbaki dan menemukan apa yang tersendat di rumah. Apalagi kalau habis bertugas di medan perang.

Bu Bei pasti mengetahui siapa Karmiyem, di mana rumahnya. entah bagaimana caranya. Mungkin saja dengan menyuruh Mbok Tuwuh mencari tahu. Karena, rasanya Pak Bei seperti pernah melihat Mbok Tuwuh datang ke Mbaki. Tapi tak pernah terucp satu kata patah kata pun dari Bu Bei. (Atmowiloto, 2013: 65)

Tokoh Bu Bei berwatakkan nrima atau pasrah. Bu Bei akan menerima

semua keputusan, perintah, ataupun pendapat yang dirasa itu yang terbaik. Dalam

kutipan berikut Bu Bei menerima begitu saja keinginan anak-anaknya untuk tidak

bekerja dan tinggal bersama anak-anaknya secara bergilir. Bu Bei merasa itu

adalah wujud balas budi anak-anaknya dan tidak merugikan, Bu Bei menerima

keinginan itu setelah Pak Bei menyetujui hal tersebut. Kutipan berikut ini akan

mendukung penjelasan sifat pasrah Bu Bei. Kutipan ini merupakan potongan

percakapan Bu Bei dengan Wahyu—putra sulung Sestrokusuman.

Tawa kecil dan canda bertebaran di mana-mana. Terasa bermekaran bagai bunga-bunga.

―Jadi tadi itu maksudnya apa?‖ tanya Bu Bei.

―Pokoknya Ibu tak usah mencari duit lagi. Kita semua ini, anak-anak dan menantu yang akan menanggung. Ibu tinggal menikmati saja.‖

―Oooooo, begitu.‖

―Ibu bisa memilih di Jakarta, di rumah saya. Atau di rumah Bayu, atau malah ke Irian...‖

―Ooooooo, begitu....‖

―Selama ini Ibu terus-menerus bekerja. Tak mengenal libur dan hari Minggu. Sekarang saatnya. Ibu menunggui menantu-cucu...supaya tidak cemburu, digilir.‖

―Ooooo, begitu. Yang pertama ke mana?‖ (Atmowiloto, 2013: 169-170)

Selain itu, kutipan percakapan di bawah akan menunjukkan bahwa Bu Bei

memiliki sifat bekti atau patuh pada suaminya, Pak Bei. Bu Bei akan menuruti

semua keputusan yang diberikan Pak Bei. Dalam hal ini, Bu Bei menerima

(39)

yang telah meninggal. Kutipan percakapan antara Pak Bei dan Bu Bei akan

menjelaskan hal di atas.

―Bagaimana, Bu, jadi jualan?‖ ―Terserah Pak Bei.‖

―Apa keberatanmu?‖ ―Tidak ada.‖

―Saya tahu. Soal Wahyu, kan? Kamu ini lebih mementingkan Wahyu daripada adik-adiknya. Ada Lintang, ada Ismaya, ada Bayu, ada Wening, kok hanya Wahyu yang dipikirkan.‖ (Atmowiloto, 2013: 54)

Dari kutipan di atas menunjukkan sikap pasrah Bu Bei untuk

menggantikan mertua perempuannya berdagang di Pasar Klewer. Karena mertua

perempuan Bu Bei meninggal sudah dua tahun dan kios di Pasar Klewer yang

biasa digunakan berdagang telah kosong. Bu Bei dapat dikatakan sukses dalam

menjalankan usaha pembatikan. Hasil dagang batik di pasar mampu mencukupi

kebutuhan keluarga Sestrokusuma dan para buruh batik. Bu Bei sangat

berpengaruh dalam perekonomian di Ngabean.

Kepasrahan Bu Bei yang lain adalah saat Bu Bei menunggu keputusan Pak

Bei mengenai kehamilannya. Kehamilan yang diragukan oleh Pak Bei tentang

ayah biologis anak yang dikandung Bu Bei. Saat kehamilan anak keenam, Bu Bei

merasa takut dan gelisah. Ketakutannya dikarenakan Bu Bei juga menyangsikan

siapa ayah anak yang sedang dikandungnya. Jika anak yang dikandungnya bukan

anak Pak Bei, maka kegilaan Bu Bei dengan buruh batik benar adanya. Meskipun

dirundung kegelisahan, Bu Bei tetap menunggu keputusan yang akan diambil Pak

Bei dengan sabar. Berikut kutipan yang menjelaskan hal tersebut.

Bu Bei menunggu.

(40)

Bu Bei menunggu. (Atmowiloto, 2013: 48)

Puncak penantian Bu Bei tentang keputusan Pak Bei tepat pada saat

kelahiran anak keenamnya. Bayi perempuan yang kurus, hitam, dan pipinya

tembam telah lahir. Bu Bei tetap menunggu keputusan Pak Bei akan nasib Bu Bei

dan bayi perempuannya. Dan pada akhirnya, Pak Bei menerima bayi perempuan

tersebut dengan menggendongnya di tengah pertemuan yang tengah diadakan di

rumah Ngabean. Bu Bei merasa lega dan bahagia melihat Pak Bei mau menerima

bayi perempuan tersebut. Berikut kutipannya.

―Anakmu sudah lahir, Bu,‖ kata Pak Bei di samping Bu Bei yang masih susah mengatur napas.

―Hitam seperti jangkrik.‖ Bu Bei menangis. ―Selamat semuanya.‖ Bu Bei menangis lagi.

Dulu, kelima anaknya lahir, dan Pak Bei sudah menyiapkan nama. Kali ini tidak dibisikkan nama. Kali ini biasa-biasa saja. Tak menjenguk kembali. Bu Bei menunggu semuanya, sambil meneteki, dan merasa bayinya sangat kuat menghisap dan membuat sakit.

―Sabar...‖ kata Pak Bei. ―Kamu sudah kehilangan kesabaran. Sudah lupa, ya?‖

Kebahagiaan itu mencapai puncaknya, ketika akhirnya Pak Bei menggendong anaknya yang hitam dan pipinya tembam. Lebih dari itu semua, pada lima hari usia si kecil, Pak Bei agaknya mendemonstrasikan menggendong ke tengah pertemuan yang biasa diadakan. (Atmowiloto, 2013: 78-79)

Saat berada di rumah, Bu Bei akan menjadi istri yang bekti kepada suami

dan ibu yang baik bagi anak-anaknya. Sebelum berangkat ke pasar, Bu Bei akan

menjalankan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga, yaitu melayani suami,

mengurusi kebutuhan anak-anak, dan membereskan rumah. Bu Bei akan melayani

semua kebutuhan Pak Bei dari bangun tidur, air hangat untuk mandi juga Bu Bei

(41)

Pak Bei. Setelah anak-anak Sestrokusuman berangkat ke sekolah, Bu Bei akan

membereskan rumah sebelum pergi ke pasar. Berikut adalah bukti ngabekti Bu

Bei sebagai seorang istri.

Ngresake ngunjuk punapa?

Ingin minum apa, adalah sambutan yang pertama. Pak Bei tak perlu menjawab. Karena biasanya di meja sudah disediakan. Ada wedang jahe, ada teh, ada juga susu yang masih hangat. Bu Bei memperhitungkan saat Pak Bei pulang dari tirakatan. Apa saja, kalau pergi malam diartikan sebagai tirakatan, atau merenungkan keprihatinan. Ini berarti tidak tidur. Bu Bei telah menyiapkan segalanya. Pun andai saat itu Pak Bei menghendaki sarapan bubur. (Atmowiloto, 2013: 31-32)

Bu Bei digambarkan memiliki dua kepribadian yang bertolak belakang.

Maksudnya, Bu Bei memiliki sikap bekti, setia, dan penuh kasih sayang saat

menjadi ibu rumah tangga di rumah. Namun, hal berbeda akan terlihat saat Bu Bei

berada di pasar, ia akan menjadi Bu Bei yang galak, bisa bercanda, dan berani

mengambil keputusan tanpa harus bertanya Pak Bei dahulu. Kutipan ekspositori

yang disajikan oleh pengarang berikut ini akan menerangkan hal di atas.

Dari kios-kios sempit, yang biasa panas seakan memuaikan penghuninya, segala apa dilebur. Tak ada beda antara Bu Bei, Bu Menggung, atau Bu Joko, atau Ing Giok, dan Bu Bjoko bertahi lalat. Yang berbeda hanyalah penampilan Bu Bei di rumah dan di Pasar Klewer. dan itu hanya diketahui yang bersangkutan, dalam arti disadari. Tapi peran yang disediakan Pasar Klewer sedemikian besar, sehingga Bu Bei yang memijati kaki suaminya dengan tabah, setia, bekti, penuh kasih sayang, dan juga ketakutan, adalah juga Bu Bei yang galak dan bisa memaki polisi, yang bisa bercanda, mencolek dan dicolek, dan dengan berani memutuskan masalah-masalah yang sulit. Mengambil keputusan sampai dengan ratusan ribu rupiah dalam satu tarikan napas. (Atmowiloto, 2013: 46)

Meskipun Bu Bei akan menjadi Bu Bei yang galak dan bisa memaki,

namun saat berada di rumah Bu Bei akan menjadi Bu Bei yang bekti. Sepulang

(42)

suaminya. Berikut kutipan narasi yang menggambarkan sosok Bu Bei saat di

rumah.

Bu Bei kembali menjadi istri Pak bei. Turun dari becak, menjinjing tas hitam, berjalan ke ruang dalam. Meletakkan oleh-oleh untuk suaminya di meja, mandi, berganti pakaian, dan siap melayani suami. (Atmowiloto, 2013:47)

Tokoh Bu Bei digambarkan pengarang melalui pelukisan fisik, seperti

memiliki mata yang indah, alis yang tebal melengkung, dan wajah yang

bercahaya. Tokoh ini dilukiskan sebagai wanita cantik, baik, ramah, dan pekerja

keras karena di usia 32 tahun tokoh ini masih gesit melakukan pekerjaan sebagai

ibu rumah tangga. Kutipan narasi berikut mendukung penjelasan fisik Bu Bei di

atas.

Bu Bei masih memberi kesan muram. Matanya merah. Mata yang indah di bawah sepasang alis tebal melengkung. Untuk usianya yang 32 tahun, Bu Bei masih menampakkan kegesitan yang luar biasa, dan yang paling luar biasa adalah wajahnya yang selalu tampak bercahaya. Rasanya tak ada masalah yang tak bisa dihadapi serta diselesaikan dengan baik dan memuaskan. Cahaya wajah Bu Bei adalah cahaya kebahagiaan. (Atmowiloto, 2013: 6)

Penokohan Bu Bei juga digambarkan melalui tokoh-tokoh lain yang

terdapat dalam novel. Kutipan berikut menjelaskan bahwa Bu Bei memiliki

pemikiran yang lugu dan lurus. Gambaran tersebut tersampaikan melalui

percakapan Pak Bei dengan Ni. Dan hal ini kutipan diambil dari potongan

perkataan Pak Bei.

Nyatanya begitu.

―Ni, ibumu itu dulunya wong ndesa. Sekali dari desa tetap dari desa. Pikirannya lugu, lurus, dan hanya mengenal satu jalan saja.

(43)

Bu Bei yang memiliki sikap pasrah juga digambarkan melalui tokoh Pak

Bei saat berbicara dengan Ni. Berikut kutipan pernyataan dari Pak Bei yang

menyatakan Bu Bei memiliki sikap pasrah dan bekti kepada suami, yaitu Pak Bei.

―Tidak. Ibumu tak menjadi rintangan kita bicara seperti ini. Saya makin sadar bahwa selama ini ibumu tidak pernah merintangi saya. Tak pernah, satu kali pun.

―Segalanya serba -iya, serba –inggih, serba sakkersa, serba semau saya. Belum pernah ibumu menolak apa yang saya inginkan. Tidak dengan kata-kata, tidak juga dengan suara hatinya.

―Ibumu berhasil menyatukan suara hatinya dengan tindakan suaminya. ―Ibumu berhasil menyatukan suara hatinya sebagai wanita dengan suara hati seorang istri.

―Ini luar biasa. Ini sebabnya saya menganggap ibumu adalah wanita yang bahagia, lahir maupun batin. (Atmowiloto, 2013: 256-257)

Selain itu, Bu Bei digambarkan memiliki sikap nrima atau menerima, baik

hati, dan pernah marah terhadap tokoh Pak Bei karena Pak Bei ketahuan memiliki

anak dengan wanita lain. Berikut kutipannya yang menyatakan kekaguman Pak

Bei terhadap Bu Bei yang tetap menerima Pak Bei meski Pak Bei memiliki anak

dari istri lain.

―Kamu seperti ibu mertuamu lho, Him. Betul. Mau menerima keanehan Ni, tanpa merendahkan. Seperti mertuamu menerimaku, Him.

―Jangan dikira saya dulu tak ada konflik. Banyak. Sering. Jangan dikira saya tak pernah dimarahi. Waktu saya punya anak lain, ibu mertuamu marah besar. Murka. Saya didiamkan. Saya tidak tahu apakah anak itu tumbuh besar atau mati seperti yang dikatakan kemudian. Tapi dalam kemurkaan yang luar biasa hebat itu, ibu mertuamu tetap baik. Baik lho. Saya baru tahu belakangan bahwa keluarga Karmiyem atau siapa itu diberi duit. Dibelikan sawah. Solidaritas wanita yang tak tertandingi. (Atmowiloto, 2013: 347)

Selain itu, Bu Bei bersikap diam dan tidak menolak kenyataan ketika Bu

Bei mengetahui bahwa Pak Bei telah berpoligami (memiliki istri lebih dari satu).

(44)

hitam manis berambut mengombak dari Mbaki—dan memiliki seorang anak.

Meskipun Bu Bei menyadari bahwa Pak Bei telah menikah lagi, Bu Bei tetap

diam dan berpura-pura semua itu tidak terjadi. Bu Bei tetap bekti melayani segala

kebutuhan Pak Bei.

Seminggu lebih Pak Bei tidak pulang. Setelah itu setiap dua hari sekali, tiga hari datang dan bermalam. Pak Bei tahu bahwa Bu Bei tahu. Tapi Bu Bei tidak pernah menanyakan, tidak pernah mengurus. Hanya Bu Bei tidak pernah menunjukkan sikap manis di dalam kamar. Namun sehari-hari tetap sama, menata meja makan, mengatur anak-anak—saat itu belum mau pergi ke Pasar Klewer—dan bersikap manis serta menghormat. Hanya malam harinya Bu Bei berdiam diri bagai guling. Tak bereaksi—walau juga tak menolak. Ini selalu membuat esoknya Pak Bei berangkat ke Mbaki dan menemukan apa yang tersendat di rumah. Apalagi kalau habis bertugas di medan perang.

Bu Bei pasti mengetahui siapa Karmiyem, di mana rumahnya. entah bagaimana caranya. Mungkin saja dengan menyuruh Mbok Tuwuh mencari tahu. Karena, rasanya Pak Bei seperti pernah melihat Mbok Tuwuh datang ke Mbaki. Tapi tak pernah terucapkan satu patah kata pun dari Bu Bei. (Atmowiloto, 2013: 65)

Bu Bei mempunyai sifat yang baik, ia memiliki solidaritas yang tinggi

terhadap sesamanya. Dari kutipan di atas juga di terangkan bahwa Bu Bei

memberikan uang dan membelikan sawah untuk keluarga Karmiyem—mantan

istri kedua Pak Bei yang tinggal di Mbaki, ia diceraikan setelah kematian anaknya

diketahui Pak Bei. Selain itu, Bu Bei mengirim uang untuk keluarganya secara

rutin. Bu Bei tetap bersikap baik kepada Karmiyem dan keluarganya. Kutipan

narasi dalam novel di bawah ini akan memaparkan hal tersebut.

Kiriman apa?

(45)

Dari kutipan di atas juga digambarkan Bu Bei memiliki rasa solidaritas

yang tinggi terhadap sanak saudaranya. Setiap bulan mengirimkan uang kepada

keluarga di Lawean dan di Gading secara tetap dan cukup.

Pada akhirnya, Bu Bei diceritakan meninggal dunia karena terpukul

dengan keinginan Ni untuk melanjutkan usaha pembatikan. Keinginan Ni menjadi

juragan batik merupakan pukulan besar buat Bu Bei. Keinginan Ni sama saja

membuka luka lama Bu Bei mengenai keraguan Pak Bei terhadap siapa ayah Ni.

Karena hal tersebut Bu Bei tidak sadarkan diri sampai dibawa ke rumah sakit. Bu

Bei sempat mengalami koma hingga pada akhirnya ia meninggal dunia. Berikut

kutipan saat Bu Bei mengalami syok dan tidak sadarkan diri.

Air dalam gelas telah tenang, rata.

Pak Bei berdiri, meninggalkan perjamuan. Berjalan dengan gagah. Bu Bei tertunduk. Sewaktu memegang piring untuk dikumpulkan, piring itu jatuh. Bu Bei masih berusaha untuk memungut, akan tetapi justru tubuhnya yang limbung. Kolonel Pradoto dan Himawan yang lebih dulu bergerak, memegangi tubuh Bu Bei. bu Bei seperti tak bertenanga, sehingga digotong ke dalam kamar.

Kesibukan mendadak berganti.

Bu Bei ternyata sesak bernapas. Wahyu memeriksa nadi dengan cepat, juga Bayu dan istrinya. Kesimpulan sama, bahwa Bu Bei perlu mendapat perawatan khusus. (Atmowiloto, 2013: 193-194)

Dan kutipan berikut akan menggambarkan sesaat sebelum Bu Bei

meninggal dunia. Bu Bei digambarkan meninggal dengan keadaan yang tenang

dan ikhlas meninggalkan semua urusan duniawi. Bu Bei meninggal dihadapan

semua anak, menantu, cucu, dan suaminya, Pak Bei.

―Ibumu telah mendapat pengampunan.‖

(46)

Ni masih sempat melihat, Pak Bei menutupkan mata istrinya, dan ia tak bisa menahan diri lagi. Himawan merangkul makin kencang.

Pak Bei menghela napas, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Beberapa detik masih berdiam diri. Sekilas mengawasi cucu-cucu, menantu-menantu, lalu mendekati dokter.

―Kalau peralatan mau dicabut sekarang, silakan. (Atmowiloto, 2013: 243)

Dilihat dari pemaparan penokohan di atas, dapat disimpulkan tokoh Bu

Bei memiliki wajah yang cantik bercahaya dengan mata indah dan alis yang tebal.

Bu Bei digambarkan sebagi istri yang sabar, sumarah, lan sumeleh (sabar,

mengalah, dan diam). Bu Bei juga istri yang bekti kepada suaminya, yaitu Pak

Bei. Sebelum berangkat dan sepulangnya dari pasar, Bu Bei selalu membereskan

rumah dan melayani Pak Bei. Bu Bei dilukiskan dengan sikap nrima atau pasrah.

Sikap pasrah Bu Bei ditunjukkan dengan menerima semua keputusan yang

diberikan Pak Bei. Sedangkan sifat lainnya adalah baik hati, ramah, pekerja keras,

dan memiliki pemikiran yang lugu. Bu Bei juga memiliki solidaritas yang tinggi

dan dermawan. Namun, Bu Bei memiliki sisi yang berbeda saat berada di pasar. Ia

akan menjadi sosok Bu Bei yang galak dan berani mengambil keputusan.

Selain itu, Bu Bei digambarkan pengarang sebagai wanita sukses yang

mampu menjalankan usaha batik cap Canting. Penghasilan yang diperoleh Bu Bei

dari berjualan batik mampu memenuhi kebutuhan keluarga Sestrokususma dan

buruh batik. Dapat dikatakan Bu Bei adalah tulang punggung keluarga

Sestrokusuma. Saat Bu Bei dinyatakan hamil anak keenam, Bu Bei merasa takut

dan gelisah. Hingga puncaknya, bayi perempuan lahir dan Pak Bei menerima bayi

(47)

2.1.2 Pak Bei (Raden Ngabehi Daryono/ Raden Ngabehi Sestrokusuma)

Tokoh Pak Bei dalam novel Canting digambarkan sebagai priayi dengan

pembawaan yang tenang dan berwibawa. Pak Bei adalah seorang Ngabean

karismatik dengan jiwa kepimpinan yang tegas. Hal tersebut menjadikan Pak Bei

sebagai orang yang dihormati dan disegani. Selanjutnya akan dipaparkan

penokohan Pak Bei berserta kutipan dalam novel yang disajikan pengarang

dengan teknik ekspositori dan dramatik.

Pak Bei dilukiskan sebagai tokoh yang ramah, berwibawa, dan

berkarismatik. Hal ini terlihat dari kutipan percakapan antara Pak Bei dengan Ni

dan Wening. Pak Bei menanggapi pertanyaan Ni dengan pembawaan sikap yang

tenang dan berkarisma, sehingga Ni sangat segan dan hormat kepada Pak Bei.

Kutipan berikut akan menjelaskan pelukisan tokoh Pak Bei.

Begitu didudukan di dekat Himawan, Ni berdiri lagi ketika ibunya berpindah tempat.

―Sudah, di situ saja....‖

―Kan belum ngabekti sama Rama....‖ Wening berkata lembut,

―Ni, acara belum dimulai....‖ ―Apa acaranya sekarang ini?‖

―Acaranya kok apa? Acaranya ya makan, ya kumpul, ya cerita, terus dipotret.‖

Empuk, ramah, mengajak, tapi juga berwibawa. (Amowiloto, 2013: 157)

Dari kutipan di atas, terlihat hubungan Pak Bei dengan Ni—putri keenam

Sestrokusuman—sangat dekat dan tidak ada jarak antara yang muda dengan yang

tua atau akrab.

Pak Bei dilukiskan memiliki sikap yang tidak mudah goyah, kokoh dalam

(48)

kutipan percakapan antara Pak Bei dengan putri kedua Sestrokusuman, Lintang,

yang menjelaskan bahwa Pak Bei memiliki pendirian yang kokoh. Pak Bei marah

saat mengetahui dalang dibalik kasus penggelapan batik yang dilakukan Pakde

Tangsiman dan Pakde Wagiman adalah Lintang Dewanti. Hal tersebut akan

diperkuat dengan kutipan yang disajikan pengarang dengan teknik dramatik dari

pengarang.

―Mas Pradoto memerlukan duit, Rama. Untuk kenaikan pangkatnya yang tertunda.‖

―Kenapa tidak bilang lagsung?‖ ―Rama tak akan menyetujui cara ini.‖

―Caramu lebih buruk daripada menyogok agar kenaikan pangkatnya lancar.

―Kamu tahu waktu kamu masih hubungan sama Metra. Dan Metra ditagkap karena partai terlarang. Saya bisa membebaskan waktu itu. Tapi saya tak mau mencampur-adukkan masalah politik dan keluarga dalam mencari keuntungan. Saya merasa cocok dengan Metra dibandingkan dengan calon yang lain. Tetapi tetap tak melanggar prinsip.

―Kamu ini sekarang ini melanggar prinsip.‖ ―Ampun, Rama....‖ (Atmowiloto, 2013: 222)

Pak Bei digambarkan oleh pengarang sebagai tokoh yang tenang dan

mampu menahan emosi. Pak Bei diceritakan tidak bisa menerima kehamilan anak

keenam Bu Bei karena ia meragukan anak itu. Ketika kelahiran Ni—anak keenam

Bu Bei, Pak Bei melihat anak yang dilahirkan Bu Bei dengan pembawaan yang

tenang. Bahkan, Pak Bei mampu menahan emosinya, ketika melihat bayi Bu Bei

memiliki ciri fisik yang hitam, kurus, pipi tembam, dan tidak mempunyai rambut.

Padahal Pak Bei berkulit putih, Pak Bei tidak menyangsikan bayi yang terlahir

dengan kulit hitam. Pak Bei selain mampu menahan emosi, Pak Bei mampu

(49)

anaknya. Kutipan narasi dan percakapan di bawah ini akan menerangkan

pelukisan tokoh Pak Bei.

―Anakmu sudah lahir, Bu,‖ kata Pak Bei di samping Bu Bei yang masih susah mengatur napas.

―Hitam seperti jangkrik.‖ Bu Bei menangis. ―Selamat semuanya.‖ Bu Bei menangsi lagi.

Dulu,kelima anaknya lahir, dan Pak Bei sudah menyiapkan nama. Kali ini tidak dibisikkan nama. Kali ini biasa-biasa saja. Tak menjenguk kembali. Bu Bei menunggu semuanya, sambil meneteki, dan merasa bayinya sangat kuat mengisap dan membuat sakit.

―Sabar...‖ kata Pak Bei. ―Kamu sudah kehilangan kesabaran. Sudah lupa, ya?‖

Kebahagiaan itu mencapai puncaknya, ketika akhirnya Pak Bei menggendong anaknya yang hitam dan pipinya tembam. Lebih dari itu semua, pada lima hari usia si kecil, Pak Bei agaknya mendemonstrasikan menggendong ke tengah pertemuan yang biasa diadakan. (Atmowiloto, 2013: 78-79)

Kutipan di bawah ini juga akan menerangkan tentang Pak Bei yang

menerima Ni sebagai anak Sestrokusuman. Pak Bei menunjukkan sikap yang bisa

menerima Ni yang tidak diketahui dengan jelas ayah biologisnya. Pak Bei pasrah

dan menerima Ni sebagai anak kandungnya sendiri tanpa mempersoalkan ayah

kandung Ni. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan percakapan antara Ni dengan

Pak Bei dan didukung dengan teknik dramatik.

―Bagiku persoalan itu sudah selesai. Aku bisa berdamai dengan diriku. Aku tahu kamu pasti bertanya-tanya apakah aku ini ayah kandungmu atau bukan? Iya, kan?

―Aku tahu. ―Aku diam saja.

―Aku juga lebih suka kamu diam saja. ―Tak usah bertanya.

(50)

―Bagiku, sudah tak jadi soal lagi. Apakah kamu anak kandungku atau bukan. Apa pun juga, kamu tetap anakku.‖

Mata Ni merah. Basah.

―Kamu anakku, karena aku ayahmu, dan karena istriku adalah ibumu. Itu penjelasannya. (Atmowiloto, 2013: 228-229)

Pak Bei dalam novel diceritakan melakukan poligami atau memiliki istri

lebih dari satu. Poligami biasa dilakukan oleh para priayi pada jaman Pak Bei.

Setelah menikah dengan Bu Bei, Pak Bei juga menikahi Karmiyem. Karmiyem

digambarkan sebagai gadis desa dari daerah Mbaki dengan kulit hitam manis dan

berambut keriting mengombak. Pak Bei menjadikannya selir setelah satu minggu

pertemuannya dengan Karmiyem. Kutipan narasi di bawah ini akan menjelaskan

kronologis pernikahan Pak Bei dengan Karmiyem.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kegiatan dakwah, media menjadi salah satu unsur kegiatan dakwah, media dakwah adalah alat yang menjadi perantara penyampaian pesan dakwah kepada mitra dakwah. 34

PERUMUSAN STRATEGI PENGELOLAAN SAMPAH DI DINAS KEBERSIHAN, PERTAMANAN DAN TATA KOTA (DKPTK) KOTA MAGELANG. Skripsi, Jurusan Ilmu Administrasi. Program Studi Ilmu

Dengan metode linoleat-tiosianat, hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun kemuning dengan konsentrasi 1%; 5% dan 10 % mempunyai daya antioksidan dengan

Skripsi ini memaparkan penelitian tentang desain dan pengembangan bahan ajar Sistem Komputer menggunakan pendekatan saintifik untuk pendidikan menengah SMK dan MAK kelas

• Hak desain industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara Republik Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri

Di sidang pengadilan, perdamaian yang terjadi sepenuhnya menjadi kewenangan hakim, artinya apakah perdamaian tersebut dipertimbangkan hakim atau tidak dalam memeriksa dan

adalah dokumen rencana induk kebutuhan Barang Operasi yang akan diimpor dan akan digunakan yang disusun oleh Kontraktor/PT Pertamina (Persero) untuk suatu

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah IPR, APB, IRR, PDN, BOPO, CAR, PR, Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi dan Suku Bunga mempunyai pengaruh terhadap