viii
ABSTRAK
Setianingsih, Damar. 2015. Feminisme Liberal dalam Sikap dan Pandangan Wanita Jawa
dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto. Skripsi S1. Program Studi Sastra
Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji pemikiran feminisme liberal novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Feminisme liberal adalah suatu pandangan tentang perempuan dalam upaya mendapatkan kesetaraan (sameness) untuk mendapatkan kesempatan berpendidikan, kesempatan kerja, kebebasan individual dengan mempertimbangkan perbedaan tugas di antara keduanya, dan menentang diskriminasi seks. Tujuan dari penelitian ini adalah (i) mendeskripsikan tokoh dan penokohan dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto, dan (ii) mendeskripsikan feminisme liberal dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan objektif dan pendekatan feminisme. Sedangkan, metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tiga teknik, yaitu teknik studi pustaka, teknik simak, dan teknik catat. Dan untuk menganalisis data-data yang telah terkumpul digunakan metode analisis isi.
Hasil penelitian ini adalah (1) deskripsi tokoh dan penokohan dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. (2) Hasil penelitian berikutnya menunjukkan pemikiran feminisme liberal yang terdapat dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto.
Dalam novel Canting terdapat tiga tokoh utama, yaitu Bu Bei, Pak Bei, dan Ni. Ketiga tokoh utama tersebut merupakan tokoh yang sering muncul dan menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Dan terdapat enam tokoh tambahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu Wahyu Dewabrata, Wening Dewamurti, Mijin, Mbok Tuwuh, Himawan, dan Wagimi.
Feminisme liberal yang terdapat dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto, yaitu (i) kesempatan dalam pendidikaan, (ii) kesempatan dalam dunia kerja, (iii) kebebasan individual, dan (iv) menentang diskriminasi seks.
ix
ABSTRACT
Setianingsih, Damar. 2015. Liberal Feminism in Attitude and Point of View of Javanese
Woman in Canting Novel by Arswendo Atmowiloto. Undergraduate Thesis. Study
Program of Indonesian Literary, Indonesia Literature Course, Sanata Dharma University.
The research analyzed the thought of liberal feminism in Canting novel by Arswendo Atmowiloto. Liberal feminism is point a view about woman in order to get equality (sameness), opportunity to get education, chance to get better job, individual freedom considering the task distinction between them, and facing toward sex discrimination. The aims of the research were (i) to describe character and characterization in Canting novel by Arswendo Atmowiloto, and (ii) to describe the liberal feminism in Canting novel by Arswendo Atmowiloto. The approach that used in this research were objective approach and feminism approach. The method of collecting the data in this research used three techniques, namely literature study technique, simak technique, and noted technique. And the content analysis was used to analyze the collected data.
The results of thesis are (1) the character and characterization in Canting novel by Arswendo Atmowiloto, and (2) the next result was showing the thought of liberal feminism in Canting novel by Arswendo Atmowiloto.
There are three main characters in this novel, namely Bu Bei, Pak Bei, and Ni. Those three main characters always appear and establish in the whole plot development. There are six peripheral characters which will be discussed in this research, namely Wahyu Dewabrata, Wening Dewamurti, Mijin, Mbok Tuwuh, Himawan, and Wagimi.
The liberal feminism which were in Canting novel by Arswendo Atmowiloto were (i) opportunity in education, (ii) opportunity in work-place, (iii) individual freedom, (iv) opposite to sex discrimination.
DALAM NOVEL CANTING KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO
Skripsi
Tugas Akhir
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Damar Setianingsih
104114010
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
i
DALAM NOVEL CANTING KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO
Skripsi
Tugas Akhir
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Damar Setianingsih
104114010
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
vi
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan perlindunganNya atas terselesaikannya skripsi yang berjudul “Feminisme Liberal
dalam Sikap dan Pandangan Wanita Jawa dalam Novel Canting karya Arswendo Atmowiloto”.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana Sastra Indonesia.
Skripsi ini tidak akan berjalan lancar tanpa bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu, di antaranya:
1. S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum. selaku dosen pembimbing I yang telah berkenan
mendampingi, mengarahkan, dan memberikan bimbingan kepada penulis,
sehingga penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar.
2. Drs. B. Rahmanto, M.Hum. selaku dosen pembimbing II yang telah berkenan
memberikan kritik serta masukan yang membangun kepada penulis.
3. Dosen-dosen Prodi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma yang telah
mendampingi penulis selama menempuh masa studi, Prof. Dr. I. Praptomo
Baryadi, M.Hum., Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum., Drs. Hery Antono, M.Hum., Dra.
Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum., Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., Drs. FX. Santoso,
M.Hum. dan segenap dosen mata kuliah tertentu yang tidak bisa penulis sebutkan
satu per satu.
4. Segenap staf dan karyawan Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
5. Maryono, S.E. dan Sudarsih, orang tua penulis yang tidak ada henti-hentinya
memberikan semangat dan dukungan secara moral maupun material, serta Vivi
Rachmawati, M.Hum., kakak penulis yang telah memberikan semangat dan
motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
6. Semua teman Prodi Sastra Indonesia angkatan 2010 yang tidak bisa disebutkan
satu per satu, khususnya Suyanti, Radit, Jeje, Anton, Meika, dan Diska terima
kasih telah menjadi teman bertukar pikiran.
7. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan kepada penulis
viii
ABSTRAK
Setianingsih, Damar. 2015. Feminisme Liberal dalam Sikap dan Pandangan Wanita Jawa
dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto. Skripsi S1. Program Studi Sastra
Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji pemikiran feminisme liberal novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Feminisme liberal adalah suatu pandangan tentang perempuan dalam upaya mendapatkan kesetaraan (sameness) untuk mendapatkan kesempatan berpendidikan, kesempatan kerja, kebebasan individual dengan mempertimbangkan perbedaan tugas di antara keduanya, dan menentang diskriminasi seks. Tujuan dari penelitian ini adalah (i) mendeskripsikan tokoh dan penokohan dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto, dan (ii) mendeskripsikan feminisme liberal dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan objektif dan pendekatan feminisme. Sedangkan, metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tiga teknik, yaitu teknik studi pustaka, teknik simak, dan teknik catat. Dan untuk menganalisis data-data yang telah terkumpul digunakan metode analisis isi.
Hasil penelitian ini adalah (1) deskripsi tokoh dan penokohan dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. (2) Hasil penelitian berikutnya menunjukkan pemikiran feminisme liberal yang terdapat dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto.
Dalam novel Canting terdapat tiga tokoh utama, yaitu Bu Bei, Pak Bei, dan Ni. Ketiga tokoh utama tersebut merupakan tokoh yang sering muncul dan menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Dan terdapat enam tokoh tambahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu Wahyu Dewabrata, Wening Dewamurti, Mijin, Mbok Tuwuh, Himawan, dan Wagimi.
Feminisme liberal yang terdapat dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto, yaitu (i) kesempatan dalam pendidikaan, (ii) kesempatan dalam dunia kerja, (iii) kebebasan individual, dan (iv) menentang diskriminasi seks.
ix
ABSTRACT
Setianingsih, Damar. 2015. Liberal Feminism in Attitude and Point of View of Javanese
Woman in Canting Novel by Arswendo Atmowiloto. Undergraduate Thesis. Study
Program of Indonesian Literary, Indonesia Literature Course, Sanata Dharma University.
The research analyzed the thought of liberal feminism in Canting novel by Arswendo Atmowiloto. Liberal feminism is point a view about woman in order to get equality (sameness), opportunity to get education, chance to get better job, individual freedom considering the task distinction between them, and facing toward sex discrimination. The aims of the research were (i) to describe character and characterization in Canting novel by Arswendo Atmowiloto, and (ii) to describe the liberal feminism in Canting novel by Arswendo Atmowiloto. The approach that used in this research were objective approach and feminism approach. The method of collecting the data in this research used three techniques, namely literature study technique, simak technique, and noted technique. And the content analysis was used to analyze the collected data.
The results of thesis are (1) the character and characterization in Canting novel by Arswendo Atmowiloto, and (2) the next result was showing the thought of liberal feminism in Canting novel by Arswendo Atmowiloto.
There are three main characters in this novel, namely Bu Bei, Pak Bei, and Ni. Those three main characters always appear and establish in the whole plot development. There are six peripheral characters which will be discussed in this research, namely Wahyu Dewabrata, Wening Dewamurti, Mijin, Mbok Tuwuh, Himawan, and Wagimi.
The liberal feminism which were in Canting novel by Arswendo Atmowiloto were (i) opportunity in education, (ii) opportunity in work-place, (iii) individual freedom, (iv) opposite to sex discrimination.
x
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v
KATA PENGANTAR ... vi
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
DAFTAR ISI ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan Masalah ... 4
1.4 Manfaat Penelitian ... 4
1.5 Tinjauan Pustaka ... 5
1.6 Landasan Teori ... 7
1.6.1 Tokoh dan Penokohan ... 7
1.6.1.1 Tokoh ... 7
1.6.1.2 Penokohan ... 9
1.6.2 Feminisme ... 14
1.6.3 Feminisme Liberal ... 15
1.7 Metode dan Teknik Penelitian ... 17
1.7.1 Pendekatan ... 17
1.7.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 18
1.7.3 Metode dan Teknik Analisis Data ... 19
1.7.4 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ... 20
xi
2.1.1 Bu Bei ... 23
2.1.2 Pak Bei ... 33
2.1.3 Ni ... 43
2.2 Tokoh Tambahan ... 52
2.2.1 Wahyu Dewabrata ... 53
2.2.2 Mijin ... 57
2.2.3 Himawan ... 61
2.2.4 Wening Dewamurti ... 66
2.2.5 Mbok Tuwuh ... 69
2.2.6 Genduk Wagimi ... 73
2.3 Rangkuman ... 76
BAB III KONSTRUKSI PEMIKIRAN FEMINISME LIBERAL WANITA JAWA DALAM NOVEL CANTING ... 80
3.1 Kesempatan dalam Pendidikan ... 80
3.2 Kesempatan dalam Dunia Kerja ... 84
3.3 Kebebasan Individual ... 88
3.4 Menentang Diskriminasi Seks ... 91
3.5 Rangkuman ... 96
BAB IV PENUTUP ... 100
4.1 Kesimpulan ... 100
4.2 Saran ... 106
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Skripsi ini akan meneliti tentang pemikiran feminisme liberal dalam novel
Canting karya Arswendo Atmowiloto. Novel Canting karya Arswendo Atmowiloto ini sangat menarik karena menggunakan latar budaya Jawa yang
kental. Selain itu, novel karya Arswendo Atmowiloto ini mengandung pesan
moral. Novel ini mengisahkan tentang kehidupan keluarga priayi yang sarat akan
nilai-nilai budaya Jawanya dan penuh dengan konflik-konflik yang menarik.
Selain itu, novel ini mengisahkan dua tokoh perempuan yang berbeda karakter
dengan latar budaya yang sama, yaitu budaya Jawa sehingga memunculkan
konflik yang menarik.
Secara etimologis, feminis berasal dari kata femme (woman), berarti
perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum
perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Tujuan feminis adalah keseimbangan,
interelasi gender. Dalam pengertian yang paling luas, feminis adalah gerakan
kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan,
disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang
politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya. Dalam pengertian
yang lebih sempit, yaitu dalam sastra, feminis dikaitkan dengan proses produksi
maupun resepsi. Emansipasi wanita dengan demikian merupakan salah satu aspek
dalam kaitannya dengan persamaan hak. Dalam ilmu sosial kontemporer lebih
Mackinnon menyatakan bahwa feminisme liberal melihat perbedaan
laki-laki dengan perempuan sebagai konstruk sosio-ekonomis dan budaya ketimbang
sebagai hasil dari suatu biologi abadi. Feminisme liberal menekankan perlunya
kesetaraan kesempatan bagi perempuan di semua bidang, yang di dalam
demokrasi liberal barat diyakini dapat tercapai di dalam struktur besar dalam
kerangka kerja ekonomi dan hukum (Barker, 2005: 235).
Arswendo Atmowiloto terlahir dengan nama lahir Sarwendo. Nama
Arswendo Atmowiloto berasal dari Sarwendo yang diubah menjadi Arswendo
karena dianggap kurang kormesial. Atmowiloto yang menjadi nama belakang
Arswendo adalah nama ayahnya. Arswendo Atmowiloto dikenal sebagai seorang
penulis dan wartawan yang lahir pada tanggal 26 November 1948 di Solo, Jawa
Tengah. Karya-karya yang telah dihasilkan Arswendo antara lain berupa naskah
drama, cerpen, novel, dan puisi. Berikut beberapa karyanya: Sleko (1971), Dua
Ibu (1981), Serangan Fajar (1982), Pesta Jangkrik (2001), dan lain-lain. Sampai saat ini Arswendo masih aktif menulis dan juga memiliki sebuah rumah produksi.
Novel Canting karya Arswendo Atmowiloto, yang terbit pada tahun 1986,
mengisahkan tentang tradisi Jawa yang dijaga secara turun- temurun oleh Kraton
Kesunanan Surakarta. Novel ini menceritakan hubungan kekeluargaan dan
keterkaitannya dengan materialisme yang dimiliki oleh keluarga Kraton
Kesunanan Surakarta yang hidup sebagai kaum priayi. Dalam novel ini
diungkapkan kehidupan keluarga Jawa yang mengalami banyak konflik dalam
memahami dan mengamalkan nilai-nilai budaya Jawa. Konflik tersebut dialami
sosio-ekonomis di Jawa. Dengan demikian, penelitian ini menggunakan kajian
feminisme liberal.
Objek kajian penelitian ini adalah novel Canting karya Arswendo
Atmowiloto. Alasan dalam pemilihan topik penelitian Feminisme Liberal dalam
Sikap dan Pandangan Wanita Jawa dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto karena novel tersebut mengkonstruksikan pemikiran tentang feminisme liberal yang terlihat dari keinginan, sikap, dan pandangan perempuan
yang bebas secara utuh. Untuk melihat konstruksi pemikiran feminisme liberal,
peneliti menggunakan analisis tokoh dan penokohan. Dari analisis tokoh dan
penokohan dalam novel Canting akan terlihat sikap dan pandangan yang
menggambarkan pemikiran feminisme liberal.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimana gambaran tokoh dan penokohan dalam novel Canting
karya Arswendo Atmowiloto?
1.2.2 Bagaimana konstruksi pemikiran feminisme liberal dalam novel
1.3Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini adalah mengkaji novel Canting karya
Arswendo Atmowiloto menggunakan teori feminisme liberal. Secara khusus,
tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Mendeskripsikan dan mengungkapkan gambaran tokoh dan
penokohan dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Hal
ini akan dibahas pada bab II.
1.3.2 Mendeskripsikan dan mengungkapkan konstruksi pemikiran
feminisme liberal dalam novel Canting karya Arswendo
Atmowiloto. Hal ini akan dibahas pada bab III.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan menghasilkan uraian dan penjelasan tentang tokoh dan
penokohan, serta kajian feminisme liberal dalam novel Canting karya Arswendo
Atmowiloto. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini menjadi contoh penerapan kajian struktural, khususnya pada
tokoh dan penokohan, serta kajian feminisme liberal untuk memahami perempuan
dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan tentang karya sastra
dan pemahaman tentang novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Selain itu,
lebih luas sehingga ilmu yang dirasa bermanfaat bagi pembaca dapat
diaplikasikan dalam kehidupan.
1.5Tinjauan Pustaka
Wiyatmi (2012: 182), dalam bukunya yang berjudul Kritik Sastra Feminis:
Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia, mendalami novel Canting karya Arswendo dengan memahami fenomena keterlibatan perempuan sebagai pelaku
bisnis. Judul penelitian yang menggunakan objek penelitian novel Canting adalah
Perempuan sebagai Pelaku Bisnis dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto. Dalam novel Canting yang terbit pertama kali pada tahun 1986 ini digambarkan bagaimana para perempuan memiliki kemampuan untuk
menjalankan kegiatan perekonomian.
Dengan menggambarkan para perempuan yang terjun ke dunia usaha,
Canting ingin menggambarkan para perempuan yang dapat berperan di dua area yang berbeda, di rumah sebagai makhluk domestik dan di luar rumah sebagai
pengusaha. Ketika di rumah peran domestiknya adalah mengurus rumah tangga,
melayani suami, melahirkan dan mendidik anak-anaknya, sedangkan di luar
rumah mereka memiliki kemampuan yang luar biasa dalam menjalankan perannya
sebagai penguasaha. Dalam novel tersebut digambarkan tokoh Bu Bei dan
Wening yang berhasil menjalankan kedua peran gendernya (Wiyatmi, 2012: 182).
Sulistyaningsih (1998), dalam skripsinya Citra Wanita Jawa Tokoh Utama
novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan sosiologis yang bertolak dari asumsi bahwa karya
sastra merupakan gejala sosial.
Hasil kajian ditemukan bahwa citra wanita Jawa tokoh Ni dan citra wanita
Jawa tokoh Bu Bei berbeda. Tokoh Ni merupakan cerminan wanita Jawa yang
ingin melepaskan kejawaannya dengan bersikap aeng atau aneh, sedangkan Bu
Bei hidup di zaman pra-kemerdekaan di dalam lingkungan priyayi, Bu Bei lebih
mencerminkan wanita Jawa yang memiliki sikap nrima atau pasrah akan keadaan
yang harus diterimanya.
Sidang (2013), dalam skripsinya yang berjudul Citra Perempuan Jawa
dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto, mendeskripsikan unsur intrinsik dan citra perempuan Jawa yang digambarkan dalam novel Canting karya
Arswendo Atmowiloto. Unsur struktur novel Canting membentuk totalitas makna
yang mencakup tema, alur, setting (latar tempat, latar waktu, dan latar suasana),
tokoh, sudut pandang, dan amanat. Citra perempuan Jawa yang terdapat dalam
novel Canting adalah pekerja keras, pasrah, bertanggung jawab, dan pantang
menyerah. Para perempuan yang mampu berperan dua sisi kehidupan, yaitu
sebagai makhluk domestik dan di luar rumah sebagai pengusaha. Dalam novel ini
telah ditunjukkan bahwa kaum perempuan juga memiliki kemampuan untuk
mandiri secara ekonomi dan membantu keperluan rumah tangga.
Penelitian yang menggunakan objek novel Canting karya Arswendo
Atmowiloto ini memiliki perbedaan dari penelitian-penelitian sebelumnya.
Jawa dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto ini mengkaji novel Canting dengan kajian feminisme liberal. Penelitian ini akan mendeskripsikan salah satu unsur intrinsik dan konstruksi feminisme liberal yang digambarkan
novel Canting. Unsur intrinsik yang dianalisis adalah tokoh dan penokohan yang
digambarkan dalam novel Canting. Novel Canting yang menggunakan latar waktu
tahun 1940-an menggambarkan konstruksi pemikiran feminisme liberal dalam
sikap dan pandangan wanita Jawa. Dengan demikian, kebaruan penelitian ini
adalah feminisme liberal yang terdapat dalam novel Canting karya Arswendo
Atmowiloto.
1.6 Landasan Teori
1.6.1 Tokoh dan Penokohan
1.6.1.1 Tokoh
Menurut Abrams, tokoh cerita adalah orang-orang yang tampil dalam
karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral
dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa
yang dilakukan dalam tindakannya (Nurgiyantoro, 2005: 165).
Stanton menunjukkan tokoh (character) sebagai pelaku-pelaku cerita yang
ditampilkan. Istilah tokoh menunjukkan kepada orangnya, dalam hal ini berperan
sebagai pelaku cerita. Penggunaan istilah karakter (character) dalam berbagai
keinginan, emosi, dan prinsisp moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut
(Nurgiyantoro, 2005: 165).
Terma ‗karakter‘ biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama,
karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita. Konteks
kedua, karakter merujuk pada pencampuran dari berbagai kepentingan, keinginan,
emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut. Dalam sebagian besar
cerita dapat ditemukan satu ‗karakter utama‘, yaitu karakter yang terkait dengan
semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita (Stanton, 2007: 33).
Tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi. Tokoh dalam
fiksi merupakan ciptaan pengarang, meskipun dapat juga merupakan gambaran
dari orang-orang yang hidup di alam nyata. Tokoh dalam fiksi biasanya dibedakan
menjadi beberapa jenis. Menurut Sayuti, tokoh dibedakan sesuai dengan
keterlibatan dalam cerita. Tokoh dibedakan menjadi tokoh utama (sentral) dan
tokoh tambahan (periferal). Disebut tokoh sentral apabila memenuhi tiga syarat,
yaitu (1) paling terlibat dengan makna atau tema, (2) paling banyak berhubungan
dengan tokoh lain, (3) paling banyak memerlukan waktu penceritaan (Wiyatmi,
2006: 30-31).
Berdasarkan wataknya, tokoh dibedakan menjadi tokoh sederhana dan
tokoh kompleks. Tokoh sederhana adalah tokoh yang kurang mewakili keutuhan
personalitas manusia dan hanya ditonjolkan satu sisi karakter. Sementara tokoh
kompleks, sebaliknya lebih menggambarkan keutuhan personalitas manusia yang
Menurut Panuti-Sudjiman, tokoh cerita adalah individu rekaan yang
mengalami peristiwa cerita. Berdasarkan menampilkannya, tokoh dibedakan
menjadi tokoh datar atau tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh
bulat atau tokoh kompleks (complex atau round character). Berdasarkan peranan
atau pentingnya atau fungsinya, tokoh di dalam rekaan dibedakan menjadi tokoh
sentral atau tokoh utama (central character, main character) dan tokoh bawahan
atau tokoh tambahan (peripheral character) (Sugihastuti, 2010: 50-52).
1.6.1.2 Penokohan
Sugihastuti (2010: 50-51), penokohan adalah penyajian watak, penciptaan
citra, atau pelukisan gambaran tentang seseorang yang ditampilkan sebagai tokoh
cerita. Penciptaan citra dalam penokohan, meliputi fisik, sosial, dan psikologi
tokoh dalam suatu cerita. Ada beberapa metode penokohan yang masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangannya. Pertama, menurut Hudson, metode
analitik atau metode langsung. Pengarang melalui narator memaparkan sifat-sifat,
hasrat, pikiran, dan perasaan tokoh, kadang-kadang disertai komentar tentang
watak tersebut.
Kedua, metode tidak langsung yang disebut juga metode ragaan atau
metode dramatik. Watak tokoh dapat disimpulkan pembaca dari pikiran, cakapan,
dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang melalui narator. Selain itu, watak juga
dapat disimpulkan dari penampilan fisik tokoh, dari gambaran lingkungannya,
Ketiga, menurut Kenney, metode kontekstual. Dengan metode ini, watak
tokoh dapat disimpulkan dari bahasa yang digunakan narator di dalam mengacu
kepada tokoh cerita. Ketiga metode tersebut dapat dipakai secara bersama-sama
dalam menganalisis penokohan sebuah novel.
Menurut Nurgiyantoro (2005: 194-195) dalam bukunya Teori Pengkajian
Fiksi, teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya sastra dapat dibagi menjadi dua cara atau teknik, yaitu pelukisan secara langsung (teknik ekspositori) dan teknik
pelukisan secara tidak langsung (teknik dramatik). Berikut adalah uraian singkat
tentang kedua teknik pelukisan tokoh.
1.6.1.2.1 Teknik Ekspositori
Teknik ekspositori dapat juga disebut sebagai teknik analitis. Pelukisan
tokoh menggunakan teknik ini dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian,
atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita dihadirkan begitu saja dan langsung
disertai dengan deskripsi kediriannya yang mungkin berupa sikap, sifat, watak,
tingkah laku, atau bahkan juga ciri fisiknya.
Deskripsi kedirian tokoh yang dilakukan secara langsung oleh pengarang
akan berwujud penuturan yang bersifat deskriptif pula. Artinya, deskripsi kedirian
tokoh tidak akan berwujud penuturan yang bersifat dialog, walaupun bukan
merupakan suatu pantangan atau pelanggaran jika dalam dialog tercermin watak
1.6.1.2.2 Teknik Dramatik
Teknik dramatik atau pelukisan tokoh cerita yang dilakukan secara tidak
langsung. Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan
sikap serta tingkah laku tokoh. Pengarang membiarkan para tokoh cerita untuk
menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik
secara verbal melalui kata-kata maupaun nonverbal melalui tidakan atau tingkah
laku dan juga melalui peristiwa yang terjadi.
Sifat kedirian tokoh tidak dideskripsikan secara jelas dan lengkap, kedirian
tokoh akan muncul atau dihadirkan secara sepotong-sepotong dan tidak sekaligus.
Sifat kedirian tokoh akan menjadi lengkap, apabila setelah pembaca
menyelesaikan sebagaian besar cerita, setelah menyelesaikannya, atau bahkan
setelah mengulang membaca.
Wujud penggambaran teknik dramatik atau penampilan tokoh secara
dramatik dapat dilakukan dengan sejumlah teknik. Dalam sebuah karya fiksi,
biasanya pengarang mempergunakan berbagai teknik itu secara bergantian dan
saling mengisi, walaupun ada perbedaan frekuensi penggunaan masing-masing
teknik. Berikut uraian dan penjelasan tentang berbagai teknik yang dimaksudkan,
yaitu
a. Teknik Cakapan
Percakapan yang dilakukan oleh tokoh cerita biasanya dimaksudkan untuk
menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Tidak semua percakapan
mencerminkan kedirian tokoh atau tidak mudah untuk menafsirkannya. Namun,
menunjukkan perkembangan plot sekaligus mencerminkan sifat kedirian tokoh
pelakunya.
b. Teknik Tingkah Laku
Teknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat nonverbal,
khususnya fisik. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah
laku dapat dipandang untuk menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang
mencerminkan sifat-sifat kediriannya.
c. Teknik Pikiran atau Perasaan
Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang melintas di
dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang (sering) dipikiran dan dirasakan oleh
tokoh dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kedirian juga. Perbuatan
dan kata-kata merupakan perwujudan konkret tingkah laku dan perasaan. Teknik
pikiran dan perasaan dapat ditemukan dalam teknik cakapan dan tingkah laku.
Artinya, penuturan itu sekaligus menggambarkan pikiran dan perasaan tokoh.
d. Teknik Arus Kesadaran
Menurut Abrams, arus kesadaran merupakan sebuah teknik narasi yang
berusaha menangkap pandangan dan aliran proses mental tokoh, di mana
tanggapan indera bercampur dengan kesadaran dan ketaksadaran pikiran,
perasaan, ingatan, harapan, dan asosiasi-asosiasi acak. Aliran kesadaran berusaha
menangkap dan mengungkapkan proses kehidupan batin yang memang hanya
terjadi di batin ataupun baik yang berada di ambang kesadaran maupun
ketaksadaran termasuk kehidupan di bawah sadar.
Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu
kejadian, masalah, keadaan, kata, dan sikap-tingkah-laku orang lain, dan
sebagainyayang berupa ―rangsangan‖ dari luar diri tokoh yang bersangkutan.
Bagaimana reaksi tokoh terhadap hal-hal tersebut dapat dipandang sebagai suatu
bentuk penampilan yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya.
f. Teknik Reaksi Tokoh Lain
Reaksi tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh
lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari kediriannya yang berupa
pandanagan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain. Singkatnya, penilaian
kedirian tokoh (utama) cerita oleh tokoh-tokoh cerita lainnya dalam sebuah karya.
g. Teknik Pelukisan Latar
Pelukisan suasana latar dapat lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh
seperti yang telah diungkapkan dengan berbagai teknik yang lain. Keadaan latar
tertentu dapat menimbulkan kesan tertentu di pihak pembaca. Pelukisan keadaan
latar sekitar tokoh secara tepat akan mampu mendukung teknik penokohan secara
kuat meskipun latar itu sendiri sebenarnya merupakan sesuatu yang berada di luar
kedirian tokoh. Suasana latar sering juga kurang ada hubungannya dengan
penokohan, paling tidak hubungan langsung.
h. Teknik Pelukisan Fisik
Keadaan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya
atau paling tidak pengarang sengaja mencari dan memperhubungkan adanya
kadang-kadang terasa penting. Keadaan fisik tokoh perlu dilukiskan, terutama jika
tokoh cerita memiliki bentuk fisik khas, sehingga pembaca dapat menggambarkan
secara imajinatif.
1.6.2 Feminisme
Budianta mengartikan feminisme sebagai sebuah kritik ideologis terhadap
cara pandang yang mengabaikan permasalahan ketimpangan dan ketidakadilan
dalam pemberian peran dan identitas sosial berdasarkan perbedaan jenis kelamin
(Sofia, 2009: 13).
Moeliono, dkk (1993: 241) menyatakan bahwa feminisme adalah gerakan
kaum perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum
perempuan dan laki-laki (Sugihastuti, 2010: 61).
Wiyatmi (2012: xv), mendefinisikan feminisme sebagai aliran pemikiran
dan gerakan sosial yang menginginkan adanya penghargaan terhadap kaum
feminin (perempuan) dan kesetaraan gender.
Gamble (2010: ix) menyatakan bahwa feminisme adalah sebuah
kepercayaan bahwa—perempuan semata-mata karena mereka adalah
perempuan—diperlakukan tidak adil dalam masyarakat yang dibentuk untuk
memprioritaskan cara pandang laki-laki serta kepentingannya.
Feminisme didefinisikan sebagai usaha untuk menghadapi manifestasi
sistem patriarkal. Menurut Chris Weedons, sistem pratiarkal (dalam buku
perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Hubungan kekuatan ini
memiliki banyak bentuk; mulai dari penggolongan pekerjaan menurut jenis
kelamin dan pemberdayaan dalam organisasi sosial, hingga norma femininitas
yang diinternalisasikan dalam kehidupan kita. Kekuatan patriakal bertumpu pada
makna sosial yang berdasar pada jenis kelamin‖ (Gamble, 2010: 3-4).
Rosemarie Putnam Tong (2006), mengemukakan bahwa feminisme
bukanlah sebuah pemikiran yang tunggal, melainkan memiliki berbagai ragam
yang kemunculan dan perkembangannya sering kali saling mendukung,
mengoreksi, dan menyangkal pemikiran feminisme sebelumnya. Tong
mengemukakan adanya delapan ragam pemikiran feminisme, yaitu feminisme
liberal, feminisme radikal, feminisme marxis dan sosialis, feminisme psikoanalisis
dan gender, feminisme eksistensial, feminisme posmodern, feminisme
multikultural dan global, dan ekofeminisme (Wiyatmi, 2012: 16).
1.6.3 Feminisme Liberal
Tong mengemukakan bahwa perkembangan feminisme liberal sejalan
dengan pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum perempuan mulai
diperhatiakan, jam kerja dan gaji kaum perempuan mulai diperbaiki dan diberi
kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini
hanya dinikmati oleh kaum laki-laki. Tujuan dari feminisme liberal adalah
menentang diskriminasi seks dan berjuang mencapai kesetaraan hak-hak
perempuan di segala bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan personal
Menurut Barker dalam bukunya yang berjudul Cultural Studies: Teori &
Praktik, feminisme liberal melihat perbedaan laki-laki dengan perempuan sebagai kontruk sosio-ekonomis dan budaya ketimbang sebagai hasil dari suatu biologi
abadi. Mereka menekankan perlunya kesetaraan kesempatan bagi perempuan di
semua bidang, yang di dalam demokrasi liberal barat diyakini dapat tercapai di
dalam struktur besar dalam kerangka kerja ekonomi dan hukum (Barker, 2005:
235)
Menurut Fakih, feminisme liberal adalah feminisme yang memandang
adanya korelasi positif antara partisipasi dalam produksi dan status perempuan.
Feminisme liberal memandang manusia dilahirkan sama dan mempunyai hak
yang sama meskipun mengakui adanya perbedaan tugas antara laki-laki dan
perempuan. Bagi feminisme liberal manusia adalah otonom dan dipimpin oleh
akal (reason). Dengan akal, manusia mampu memahami prinsip-prinsip moralitas
dan kebebasan individu (Sofia, 2009: 14).
Dalam buku Filsafat Berperspektif Feminis, feminisme liberal memiliki
dasar pemikiran sebagai berikut: ―Manusia adalah otonom dan dipimpin oleh akal
(reason). Dengan akal manusia mampu untuk memahami prinsip-prinsip
moralitas, kebebasan individu, dan dijamin hak-hak individunya. Dan isu feminis
liberal, yaitu akses pendidikan, kebijakan negara yang bias gender, hak sipil, dan
hak politik‖. Feminisme liberal berupaya untuk menekankan persamaan
perempuan dan laki-laki (sameness). Namun, feminisme liberal hanya berupaya
untuk mendukung kesetaraan perempuan berkulit putih dan dari kelas menengah
Berdasarkan gagasan di atas, feminisme liberal adalah suatu pandangan
tentang perempuan dalam upaya mendapatkan kesetaraan (sameness) untuk
mendapatkan kesempatan berpendidikan, kesempatan kerja, kebebasan individual
dengan mempertimbangkan perbedaan tugas di antara keduanya, dan menentang
diskriminasi seks. Hal ini akan diterapkan dalam penelitian ini.
1.7 Metode dan Teknik Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yakni (i) pengumpulan data,
(ii) analisis data, dan (iii) penyajian hasil analisis data. Berikut ini adalah uraian
dari masing-masing tahap dalam penelitian ini.
1.7.1 Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian tentang Feminisme Liberal
dalam Sikap dan Pandangan Wanita Jawa dalam Novel Canting Karya Arswendo Atowiloto adalah pendekatan objektif dan pendekatan feminisme.
Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang bertumpu pada karya
sastra. Pendekatan objektif memusatkan perhatian pada unsur-unsur yang dikenal
dengan analisis intrinsik. Melalui pendekatan objektif, unsur-unsur intrinsik karya
akan dieksploitasi semaksimal mungkin (Ratna, 2012: 72-74). Jadi, pendekatan
objektif dalam fiksi novel Canting karya Arswendo Atmowiloto akan mencari dan
meneliti unsur-unsur tokoh dan penokohannya.
Wolf membagi pendekatan feminisme menjadi dua hal, yaitu feminisme
Feminisme korban melihat perempuan dalam peran seksual yang murni dan
mistis, dipandu oleh naluri untuk mengasuh dan memelihara, serta menekankan
kejahatan-kejahatan yang terjadi atas perempuan sebagai jalan untuk menuntut
hak-hak perempuan. Sedangkan feminisme kekuasaan, menganggap perempuan
sebagai manusia biasa yang seksual, individual, tidak lebih baik dan tidak lebih
buruk dibandingkan dengan laki-laki yang menjadi mitranya dan mengklaim
hak-haknya atas dasar logika yang sederhana, yaitu perempuan memang memiliki hak
(Sofia, 2009: 17). Dalam penelitian ini, pendekatan feminisme kekuasaan lebih
sesuai untuk menganalisis permasalahan perempuan dalam novel Canting karya
Arswendo Atmowiloto.
1.7.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Penulis menggunakan metode pengumpulan data melalui studi pustaka.
Metode ini dipakai untuk mendapatkan data pada novel Canting, buku-buku
referensi, artikel, dan sumber lain yang berkaitan dengan objek.
Data diperoleh dari sumber tertulis, yaitu novel Canting karya Arswendo
Atmowiloto. Berikut sumber data yang digunakan dalam penelitian ini.
Judul Novel : Canting
Pengarang : Arswendo Atmowiloto
Tahun Terbit : Cetakan keempat, Juli 2013
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Teknik yang digunakan dalam tahap pengumpulan data adalah teknik
simak dan teknik catat. Teknik simak untuk meyimak bacaan bagian yang dipilih
sebagai bahan penelitian. Dalam teknik ini menyimak bagian wacana naratif
(paragraf) dan dialog percakapan antar tokoh yang membuktikan objek kajian
dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Sedangkan teknik catat adalah
teknik yang digunakan untuk mencatat hal-hal yang dianggap mendukung dalam
memecahkan masalah.
1.7.3 Metode dan Teknik Analisis Data
Pada tahap analisis data, penulis menggunakan metode analisis isi untuk
menganalisis data-data yang telah dikumpulkan. Metode isi terdiri atas dua
macam yaitu isi laten dan isi komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung
dalam dokumen dan naskah, sedangkan isi komunikasi adalah isi yang terkandung
sebagai akibat komunikasi yang terjadi. Isi laten adalah isi yang dimaksudkan
penulis, sedangkan isi komunikasi adalah isi yang terwujud dalam hubungan
naskah dengan konsumen (pembaca). Analisis terhadap isi laten akan
menghasilkan arti, sedangkan analisis terhadap isi komunikasi akan menghasilkan
makna (Ratna, 2012: 48-49).
Ratna (2012: 49) menyebutkan dasar pelaksanaan metode analisis isi
adalah penafsiran. Metode analisis isi yang dilakukan terhadap novel Canting
karya Arswendo Atmowiloto untuk meneliti isi pesan novel secara tepat dan
1.7.4 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Setelah tahap analisis data, tahap selanjutnya adalah tahap penyajian hasil
analisis data. Analisis data dalam penelitian ini disajikan dengan menggunakan
metode deskriptif. Metode deskriptif dilakukan dengan cara mendeskripsikan
fakta-fakta yang ditemukan kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2012: 53).
Metode deskriptif analisis dirasa tepat oleh penulis dalam menguraikan hasil
penelitian tentang tokoh dan penokohan, serta kajian feminisme liberal dalam
novel Canting karya Arswendo Atmowiloto dan memberikan pemahaman
secukupnya.
1.8Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian penelitian bahasa ini disusun dalam empat bab. Bab
I pendahuluan, bab pendahuluan berisi (i) latar belakang masalah, (ii) rumusan
masalah, (iii) tujuan penelitian, (iv) manfaat penelitian, (v) landasan teori, (vi)
metode penelitian, dan (vii) sistematika penyajian.
Latar belakang dalam penelitian ini menguraikan alasan penulis
melakukan penelitian terhadap novel Canting karya Arswendo Atmowiloto
dengan teori kajian feminis liberal. Rumusan masalah menjelaskan beberapa
permasalahan yang ditemukan dalam penelitian ini. Tujuan penelitian
mendeskripsikan tujuan diadakan penelitian bahasa ini. Manfaat penelitian
memaparkan manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini. Landasan teori
penelitian berisi tentang perincian teknik pengumpulan data, teknik analisis data,
dan teknik pemaparan hasil analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian
ini. Sistematika penyajian menguraikan urutan hasil penelitian dalam penelitian
ini.
Bab II berisi tentang tokoh dan penokohan dalam novel Canting karya
Arswendo Atmowiloto. Bab III berisi tentang kajian novel Canting karya
Arswendo Atmowiloto menggunakan teori kajian feminisme liberal. Bab IV berisi
penutup yang terdiri dari kesimpulan hasil analisis data dan saran untuk penelitian
22
BAB II
TOKOH DAN PENOKOHAN DALAM NOVEL CANTING
Dalam Bab II ini akan dibahas tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel
Canting dan penokohannya. Tokoh cerita dapat disebut sebagai pelaku-pelaku certita yang ditampilkan dalam karya naratif atau drama. Istilah tokoh
menunjukkan kepada orangnya, dalam hal ini berperan sebagai pelaku cerita.
Tokoh-tokoh cerita ditampilkan dengan emosi, keinginan, sikap, dan prinsip
moral yang diekspresikan dalam ucapan (verbal) dan tindakan (nonverbal) di
dalam cerita disebut penokohan. Berikut adalah pemaparan analisis penokohan
dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto.
2. 1 Tokoh Utama (Central Character)
Tokoh-tokoh cerita yang terdapat dalam novel Canting dibedakan menjadi
tokoh utama dan tokoh tambahan berdasarkan segi peranan atau tingkat
pentingnya tokoh dalam cerita. Tokoh utama (central character) adalah tokoh
yang paling sering dimunculkan dalam cerita, baik sebagai pelaku kejadian
maupun yang dikenai kejadian. Tokoh utama juga sangat menentukan
perkembangan plot secara keseluruhan. Dalam novel Canting terdapat tiga tokoh
utama, yaitu Bu Bei (Tuginem), Pak Bei (Raden Ngabehi Daryono/ Raden
2.1.1 Bu Bei (Tuginem)
Bu Bei digambarkan sebagai seorang gadis desa—anak seorang buruh
batik (wong cilik)—yang polos dan lugu. Sampai suatu saat, ia harus mau
menerima pinangan dari seorang priayi—Raden Ngabehi Sestrokusuma. Bu Bei
yang awalnya hanya wong cilik harus belajar keras untuk menjadi seorang priayi.
Kehidupan priayi adalah kehidupan yang bertolak belakang dengan kehidupan
wong cilik. Bu Bei adalah wanita Jawa yang memiliki sikap sabar, sumarah, lan sumeleh. Artinya, wanita yang sabar, mengalah, dan diam. Setelah ini akan diterangkan penokohan lain dari Bu Bei yang didukung dengan kutipan-kutipan
ekspositori dan dramatik.
Bu Bei digambarkan memiliki sikap sabar, sumarah, lan sumeleh (sabar,
mengalah, dan diam) selayaknya sikap yang dimiliki wanita Jawa pada zamannya.
Hal itu terlihat ketika Bu Bei tetap sabar menerima kenyataan bahwa Pak Bei
telah menikah lagi (poligami). Bu Bei menanggapi kenyataan suaminya
berpoligami dengan tetap diam dan mengalah. Maksudnya, Bu Bei mengalah
adalah dengan berpura-pura tidak tahu bahwa suaminya telah menikah lagi. Dan
juga Bu Bei tidak mempermasalahkan hal tersebut. Berikut kutipan yang
menggambarkan sikap sabar, sumarah, lan sumeleh Bu Bei dengan teknik
ekspositori yang disajikan oleh pengarang.
menolak. Ini selalu membuat esoknya Pak Bei berangkat ke Mbaki dan menemukan apa yang tersendat di rumah. Apalagi kalau habis bertugas di medan perang.
Bu Bei pasti mengetahui siapa Karmiyem, di mana rumahnya. entah bagaimana caranya. Mungkin saja dengan menyuruh Mbok Tuwuh mencari tahu. Karena, rasanya Pak Bei seperti pernah melihat Mbok Tuwuh datang ke Mbaki. Tapi tak pernah terucp satu kata patah kata pun dari Bu Bei. (Atmowiloto, 2013: 65)
Tokoh Bu Bei berwatakkan nrima atau pasrah. Bu Bei akan menerima
semua keputusan, perintah, ataupun pendapat yang dirasa itu yang terbaik. Dalam
kutipan berikut Bu Bei menerima begitu saja keinginan anak-anaknya untuk tidak
bekerja dan tinggal bersama anak-anaknya secara bergilir. Bu Bei merasa itu
adalah wujud balas budi anak-anaknya dan tidak merugikan, Bu Bei menerima
keinginan itu setelah Pak Bei menyetujui hal tersebut. Kutipan berikut ini akan
mendukung penjelasan sifat pasrah Bu Bei. Kutipan ini merupakan potongan
percakapan Bu Bei dengan Wahyu—putra sulung Sestrokusuman.
Tawa kecil dan canda bertebaran di mana-mana. Terasa bermekaran bagai bunga-bunga.
―Jadi tadi itu maksudnya apa?‖ tanya Bu Bei.
―Pokoknya Ibu tak usah mencari duit lagi. Kita semua ini, anak-anak dan menantu yang akan menanggung. Ibu tinggal menikmati saja.‖
―Oooooo, begitu.‖
―Ibu bisa memilih di Jakarta, di rumah saya. Atau di rumah Bayu, atau malah ke Irian...‖
―Ooooooo, begitu....‖
―Selama ini Ibu terus-menerus bekerja. Tak mengenal libur dan hari Minggu. Sekarang saatnya. Ibu menunggui menantu-cucu...supaya tidak cemburu, digilir.‖
―Ooooo, begitu. Yang pertama ke mana?‖ (Atmowiloto, 2013: 169-170)
Selain itu, kutipan percakapan di bawah akan menunjukkan bahwa Bu Bei
memiliki sifat bekti atau patuh pada suaminya, Pak Bei. Bu Bei akan menuruti
semua keputusan yang diberikan Pak Bei. Dalam hal ini, Bu Bei menerima
yang telah meninggal. Kutipan percakapan antara Pak Bei dan Bu Bei akan
menjelaskan hal di atas.
―Bagaimana, Bu, jadi jualan?‖ ―Terserah Pak Bei.‖
―Apa keberatanmu?‖ ―Tidak ada.‖
―Saya tahu. Soal Wahyu, kan? Kamu ini lebih mementingkan Wahyu daripada adik-adiknya. Ada Lintang, ada Ismaya, ada Bayu, ada Wening, kok hanya Wahyu yang dipikirkan.‖ (Atmowiloto, 2013: 54)
Dari kutipan di atas menunjukkan sikap pasrah Bu Bei untuk
menggantikan mertua perempuannya berdagang di Pasar Klewer. Karena mertua
perempuan Bu Bei meninggal sudah dua tahun dan kios di Pasar Klewer yang
biasa digunakan berdagang telah kosong. Bu Bei dapat dikatakan sukses dalam
menjalankan usaha pembatikan. Hasil dagang batik di pasar mampu mencukupi
kebutuhan keluarga Sestrokusuma dan para buruh batik. Bu Bei sangat
berpengaruh dalam perekonomian di Ngabean.
Kepasrahan Bu Bei yang lain adalah saat Bu Bei menunggu keputusan Pak
Bei mengenai kehamilannya. Kehamilan yang diragukan oleh Pak Bei tentang
ayah biologis anak yang dikandung Bu Bei. Saat kehamilan anak keenam, Bu Bei
merasa takut dan gelisah. Ketakutannya dikarenakan Bu Bei juga menyangsikan
siapa ayah anak yang sedang dikandungnya. Jika anak yang dikandungnya bukan
anak Pak Bei, maka kegilaan Bu Bei dengan buruh batik benar adanya. Meskipun
dirundung kegelisahan, Bu Bei tetap menunggu keputusan yang akan diambil Pak
Bei dengan sabar. Berikut kutipan yang menjelaskan hal tersebut.
Bu Bei menunggu.
Bu Bei menunggu. (Atmowiloto, 2013: 48)
Puncak penantian Bu Bei tentang keputusan Pak Bei tepat pada saat
kelahiran anak keenamnya. Bayi perempuan yang kurus, hitam, dan pipinya
tembam telah lahir. Bu Bei tetap menunggu keputusan Pak Bei akan nasib Bu Bei
dan bayi perempuannya. Dan pada akhirnya, Pak Bei menerima bayi perempuan
tersebut dengan menggendongnya di tengah pertemuan yang tengah diadakan di
rumah Ngabean. Bu Bei merasa lega dan bahagia melihat Pak Bei mau menerima
bayi perempuan tersebut. Berikut kutipannya.
―Anakmu sudah lahir, Bu,‖ kata Pak Bei di samping Bu Bei yang masih susah mengatur napas.
―Hitam seperti jangkrik.‖ Bu Bei menangis. ―Selamat semuanya.‖ Bu Bei menangis lagi.
Dulu, kelima anaknya lahir, dan Pak Bei sudah menyiapkan nama. Kali ini tidak dibisikkan nama. Kali ini biasa-biasa saja. Tak menjenguk kembali. Bu Bei menunggu semuanya, sambil meneteki, dan merasa bayinya sangat kuat menghisap dan membuat sakit.
―Sabar...‖ kata Pak Bei. ―Kamu sudah kehilangan kesabaran. Sudah lupa, ya?‖
Kebahagiaan itu mencapai puncaknya, ketika akhirnya Pak Bei menggendong anaknya yang hitam dan pipinya tembam. Lebih dari itu semua, pada lima hari usia si kecil, Pak Bei agaknya mendemonstrasikan menggendong ke tengah pertemuan yang biasa diadakan. (Atmowiloto, 2013: 78-79)
Saat berada di rumah, Bu Bei akan menjadi istri yang bekti kepada suami
dan ibu yang baik bagi anak-anaknya. Sebelum berangkat ke pasar, Bu Bei akan
menjalankan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga, yaitu melayani suami,
mengurusi kebutuhan anak-anak, dan membereskan rumah. Bu Bei akan melayani
semua kebutuhan Pak Bei dari bangun tidur, air hangat untuk mandi juga Bu Bei
Pak Bei. Setelah anak-anak Sestrokusuman berangkat ke sekolah, Bu Bei akan
membereskan rumah sebelum pergi ke pasar. Berikut adalah bukti ngabekti Bu
Bei sebagai seorang istri.
―Ngresake ngunjuk punapa?‖
Ingin minum apa, adalah sambutan yang pertama. Pak Bei tak perlu menjawab. Karena biasanya di meja sudah disediakan. Ada wedang jahe, ada teh, ada juga susu yang masih hangat. Bu Bei memperhitungkan saat Pak Bei pulang dari tirakatan. Apa saja, kalau pergi malam diartikan sebagai tirakatan, atau merenungkan keprihatinan. Ini berarti tidak tidur. Bu Bei telah menyiapkan segalanya. Pun andai saat itu Pak Bei menghendaki sarapan bubur. (Atmowiloto, 2013: 31-32)
Bu Bei digambarkan memiliki dua kepribadian yang bertolak belakang.
Maksudnya, Bu Bei memiliki sikap bekti, setia, dan penuh kasih sayang saat
menjadi ibu rumah tangga di rumah. Namun, hal berbeda akan terlihat saat Bu Bei
berada di pasar, ia akan menjadi Bu Bei yang galak, bisa bercanda, dan berani
mengambil keputusan tanpa harus bertanya Pak Bei dahulu. Kutipan ekspositori
yang disajikan oleh pengarang berikut ini akan menerangkan hal di atas.
Dari kios-kios sempit, yang biasa panas seakan memuaikan penghuninya, segala apa dilebur. Tak ada beda antara Bu Bei, Bu Menggung, atau Bu Joko, atau Ing Giok, dan Bu Bjoko bertahi lalat. Yang berbeda hanyalah penampilan Bu Bei di rumah dan di Pasar Klewer. dan itu hanya diketahui yang bersangkutan, dalam arti disadari. Tapi peran yang disediakan Pasar Klewer sedemikian besar, sehingga Bu Bei yang memijati kaki suaminya dengan tabah, setia, bekti, penuh kasih sayang, dan juga ketakutan, adalah juga Bu Bei yang galak dan bisa memaki polisi, yang bisa bercanda, mencolek dan dicolek, dan dengan berani memutuskan masalah-masalah yang sulit. Mengambil keputusan sampai dengan ratusan ribu rupiah dalam satu tarikan napas. (Atmowiloto, 2013: 46)
Meskipun Bu Bei akan menjadi Bu Bei yang galak dan bisa memaki,
namun saat berada di rumah Bu Bei akan menjadi Bu Bei yang bekti. Sepulang
suaminya. Berikut kutipan narasi yang menggambarkan sosok Bu Bei saat di
rumah.
Bu Bei kembali menjadi istri Pak bei. Turun dari becak, menjinjing tas hitam, berjalan ke ruang dalam. Meletakkan oleh-oleh untuk suaminya di meja, mandi, berganti pakaian, dan siap melayani suami. (Atmowiloto, 2013:47)
Tokoh Bu Bei digambarkan pengarang melalui pelukisan fisik, seperti
memiliki mata yang indah, alis yang tebal melengkung, dan wajah yang
bercahaya. Tokoh ini dilukiskan sebagai wanita cantik, baik, ramah, dan pekerja
keras karena di usia 32 tahun tokoh ini masih gesit melakukan pekerjaan sebagai
ibu rumah tangga. Kutipan narasi berikut mendukung penjelasan fisik Bu Bei di
atas.
Bu Bei masih memberi kesan muram. Matanya merah. Mata yang indah di bawah sepasang alis tebal melengkung. Untuk usianya yang 32 tahun, Bu Bei masih menampakkan kegesitan yang luar biasa, dan yang paling luar biasa adalah wajahnya yang selalu tampak bercahaya. Rasanya tak ada masalah yang tak bisa dihadapi serta diselesaikan dengan baik dan memuaskan. Cahaya wajah Bu Bei adalah cahaya kebahagiaan. (Atmowiloto, 2013: 6)
Penokohan Bu Bei juga digambarkan melalui tokoh-tokoh lain yang
terdapat dalam novel. Kutipan berikut menjelaskan bahwa Bu Bei memiliki
pemikiran yang lugu dan lurus. Gambaran tersebut tersampaikan melalui
percakapan Pak Bei dengan Ni. Dan hal ini kutipan diambil dari potongan
perkataan Pak Bei.
Nyatanya begitu.
―Ni, ibumu itu dulunya wong ndesa. Sekali dari desa tetap dari desa. Pikirannya lugu, lurus, dan hanya mengenal satu jalan saja.
Bu Bei yang memiliki sikap pasrah juga digambarkan melalui tokoh Pak
Bei saat berbicara dengan Ni. Berikut kutipan pernyataan dari Pak Bei yang
menyatakan Bu Bei memiliki sikap pasrah dan bekti kepada suami, yaitu Pak Bei.
―Tidak. Ibumu tak menjadi rintangan kita bicara seperti ini. Saya makin sadar bahwa selama ini ibumu tidak pernah merintangi saya. Tak pernah, satu kali pun.
―Segalanya serba -iya, serba –inggih, serba sakkersa, serba semau saya. Belum pernah ibumu menolak apa yang saya inginkan. Tidak dengan kata-kata, tidak juga dengan suara hatinya.
―Ibumu berhasil menyatukan suara hatinya dengan tindakan suaminya. ―Ibumu berhasil menyatukan suara hatinya sebagai wanita dengan suara hati seorang istri.
―Ini luar biasa. Ini sebabnya saya menganggap ibumu adalah wanita yang bahagia, lahir maupun batin. (Atmowiloto, 2013: 256-257)
Selain itu, Bu Bei digambarkan memiliki sikap nrima atau menerima, baik
hati, dan pernah marah terhadap tokoh Pak Bei karena Pak Bei ketahuan memiliki
anak dengan wanita lain. Berikut kutipannya yang menyatakan kekaguman Pak
Bei terhadap Bu Bei yang tetap menerima Pak Bei meski Pak Bei memiliki anak
dari istri lain.
―Kamu seperti ibu mertuamu lho, Him. Betul. Mau menerima keanehan Ni, tanpa merendahkan. Seperti mertuamu menerimaku, Him.
―Jangan dikira saya dulu tak ada konflik. Banyak. Sering. Jangan dikira saya tak pernah dimarahi. Waktu saya punya anak lain, ibu mertuamu marah besar. Murka. Saya didiamkan. Saya tidak tahu apakah anak itu tumbuh besar atau mati seperti yang dikatakan kemudian. Tapi dalam kemurkaan yang luar biasa hebat itu, ibu mertuamu tetap baik. Baik lho. Saya baru tahu belakangan bahwa keluarga Karmiyem atau siapa itu diberi duit. Dibelikan sawah. Solidaritas wanita yang tak tertandingi. (Atmowiloto, 2013: 347)
Selain itu, Bu Bei bersikap diam dan tidak menolak kenyataan ketika Bu
Bei mengetahui bahwa Pak Bei telah berpoligami (memiliki istri lebih dari satu).
hitam manis berambut mengombak dari Mbaki—dan memiliki seorang anak.
Meskipun Bu Bei menyadari bahwa Pak Bei telah menikah lagi, Bu Bei tetap
diam dan berpura-pura semua itu tidak terjadi. Bu Bei tetap bekti melayani segala
kebutuhan Pak Bei.
Seminggu lebih Pak Bei tidak pulang. Setelah itu setiap dua hari sekali, tiga hari datang dan bermalam. Pak Bei tahu bahwa Bu Bei tahu. Tapi Bu Bei tidak pernah menanyakan, tidak pernah mengurus. Hanya Bu Bei tidak pernah menunjukkan sikap manis di dalam kamar. Namun sehari-hari tetap sama, menata meja makan, mengatur anak-anak—saat itu belum mau pergi ke Pasar Klewer—dan bersikap manis serta menghormat. Hanya malam harinya Bu Bei berdiam diri bagai guling. Tak bereaksi—walau juga tak menolak. Ini selalu membuat esoknya Pak Bei berangkat ke Mbaki dan menemukan apa yang tersendat di rumah. Apalagi kalau habis bertugas di medan perang.
Bu Bei pasti mengetahui siapa Karmiyem, di mana rumahnya. entah bagaimana caranya. Mungkin saja dengan menyuruh Mbok Tuwuh mencari tahu. Karena, rasanya Pak Bei seperti pernah melihat Mbok Tuwuh datang ke Mbaki. Tapi tak pernah terucapkan satu patah kata pun dari Bu Bei. (Atmowiloto, 2013: 65)
Bu Bei mempunyai sifat yang baik, ia memiliki solidaritas yang tinggi
terhadap sesamanya. Dari kutipan di atas juga di terangkan bahwa Bu Bei
memberikan uang dan membelikan sawah untuk keluarga Karmiyem—mantan
istri kedua Pak Bei yang tinggal di Mbaki, ia diceraikan setelah kematian anaknya
diketahui Pak Bei. Selain itu, Bu Bei mengirim uang untuk keluarganya secara
rutin. Bu Bei tetap bersikap baik kepada Karmiyem dan keluarganya. Kutipan
narasi dalam novel di bawah ini akan memaparkan hal tersebut.
Kiriman apa?
Dari kutipan di atas juga digambarkan Bu Bei memiliki rasa solidaritas
yang tinggi terhadap sanak saudaranya. Setiap bulan mengirimkan uang kepada
keluarga di Lawean dan di Gading secara tetap dan cukup.
Pada akhirnya, Bu Bei diceritakan meninggal dunia karena terpukul
dengan keinginan Ni untuk melanjutkan usaha pembatikan. Keinginan Ni menjadi
juragan batik merupakan pukulan besar buat Bu Bei. Keinginan Ni sama saja
membuka luka lama Bu Bei mengenai keraguan Pak Bei terhadap siapa ayah Ni.
Karena hal tersebut Bu Bei tidak sadarkan diri sampai dibawa ke rumah sakit. Bu
Bei sempat mengalami koma hingga pada akhirnya ia meninggal dunia. Berikut
kutipan saat Bu Bei mengalami syok dan tidak sadarkan diri.
Air dalam gelas telah tenang, rata.
Pak Bei berdiri, meninggalkan perjamuan. Berjalan dengan gagah. Bu Bei tertunduk. Sewaktu memegang piring untuk dikumpulkan, piring itu jatuh. Bu Bei masih berusaha untuk memungut, akan tetapi justru tubuhnya yang limbung. Kolonel Pradoto dan Himawan yang lebih dulu bergerak, memegangi tubuh Bu Bei. bu Bei seperti tak bertenanga, sehingga digotong ke dalam kamar.
Kesibukan mendadak berganti.
Bu Bei ternyata sesak bernapas. Wahyu memeriksa nadi dengan cepat, juga Bayu dan istrinya. Kesimpulan sama, bahwa Bu Bei perlu mendapat perawatan khusus. (Atmowiloto, 2013: 193-194)
Dan kutipan berikut akan menggambarkan sesaat sebelum Bu Bei
meninggal dunia. Bu Bei digambarkan meninggal dengan keadaan yang tenang
dan ikhlas meninggalkan semua urusan duniawi. Bu Bei meninggal dihadapan
semua anak, menantu, cucu, dan suaminya, Pak Bei.
―Ibumu telah mendapat pengampunan.‖
Ni masih sempat melihat, Pak Bei menutupkan mata istrinya, dan ia tak bisa menahan diri lagi. Himawan merangkul makin kencang.
Pak Bei menghela napas, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Beberapa detik masih berdiam diri. Sekilas mengawasi cucu-cucu, menantu-menantu, lalu mendekati dokter.
―Kalau peralatan mau dicabut sekarang, silakan. (Atmowiloto, 2013: 243)
Dilihat dari pemaparan penokohan di atas, dapat disimpulkan tokoh Bu
Bei memiliki wajah yang cantik bercahaya dengan mata indah dan alis yang tebal.
Bu Bei digambarkan sebagi istri yang sabar, sumarah, lan sumeleh (sabar,
mengalah, dan diam). Bu Bei juga istri yang bekti kepada suaminya, yaitu Pak
Bei. Sebelum berangkat dan sepulangnya dari pasar, Bu Bei selalu membereskan
rumah dan melayani Pak Bei. Bu Bei dilukiskan dengan sikap nrima atau pasrah.
Sikap pasrah Bu Bei ditunjukkan dengan menerima semua keputusan yang
diberikan Pak Bei. Sedangkan sifat lainnya adalah baik hati, ramah, pekerja keras,
dan memiliki pemikiran yang lugu. Bu Bei juga memiliki solidaritas yang tinggi
dan dermawan. Namun, Bu Bei memiliki sisi yang berbeda saat berada di pasar. Ia
akan menjadi sosok Bu Bei yang galak dan berani mengambil keputusan.
Selain itu, Bu Bei digambarkan pengarang sebagai wanita sukses yang
mampu menjalankan usaha batik cap Canting. Penghasilan yang diperoleh Bu Bei
dari berjualan batik mampu memenuhi kebutuhan keluarga Sestrokususma dan
buruh batik. Dapat dikatakan Bu Bei adalah tulang punggung keluarga
Sestrokusuma. Saat Bu Bei dinyatakan hamil anak keenam, Bu Bei merasa takut
dan gelisah. Hingga puncaknya, bayi perempuan lahir dan Pak Bei menerima bayi
2.1.2 Pak Bei (Raden Ngabehi Daryono/ Raden Ngabehi Sestrokusuma)
Tokoh Pak Bei dalam novel Canting digambarkan sebagai priayi dengan
pembawaan yang tenang dan berwibawa. Pak Bei adalah seorang Ngabean
karismatik dengan jiwa kepimpinan yang tegas. Hal tersebut menjadikan Pak Bei
sebagai orang yang dihormati dan disegani. Selanjutnya akan dipaparkan
penokohan Pak Bei berserta kutipan dalam novel yang disajikan pengarang
dengan teknik ekspositori dan dramatik.
Pak Bei dilukiskan sebagai tokoh yang ramah, berwibawa, dan
berkarismatik. Hal ini terlihat dari kutipan percakapan antara Pak Bei dengan Ni
dan Wening. Pak Bei menanggapi pertanyaan Ni dengan pembawaan sikap yang
tenang dan berkarisma, sehingga Ni sangat segan dan hormat kepada Pak Bei.
Kutipan berikut akan menjelaskan pelukisan tokoh Pak Bei.
Begitu didudukan di dekat Himawan, Ni berdiri lagi ketika ibunya berpindah tempat.
―Sudah, di situ saja....‖
―Kan belum ngabekti sama Rama....‖ Wening berkata lembut,
―Ni, acara belum dimulai....‖ ―Apa acaranya sekarang ini?‖
―Acaranya kok apa? Acaranya ya makan, ya kumpul, ya cerita, terus dipotret.‖
Empuk, ramah, mengajak, tapi juga berwibawa. (Amowiloto, 2013: 157)
Dari kutipan di atas, terlihat hubungan Pak Bei dengan Ni—putri keenam
Sestrokusuman—sangat dekat dan tidak ada jarak antara yang muda dengan yang
tua atau akrab.
Pak Bei dilukiskan memiliki sikap yang tidak mudah goyah, kokoh dalam
kutipan percakapan antara Pak Bei dengan putri kedua Sestrokusuman, Lintang,
yang menjelaskan bahwa Pak Bei memiliki pendirian yang kokoh. Pak Bei marah
saat mengetahui dalang dibalik kasus penggelapan batik yang dilakukan Pakde
Tangsiman dan Pakde Wagiman adalah Lintang Dewanti. Hal tersebut akan
diperkuat dengan kutipan yang disajikan pengarang dengan teknik dramatik dari
pengarang.
―Mas Pradoto memerlukan duit, Rama. Untuk kenaikan pangkatnya yang tertunda.‖
―Kenapa tidak bilang lagsung?‖ ―Rama tak akan menyetujui cara ini.‖
―Caramu lebih buruk daripada menyogok agar kenaikan pangkatnya lancar.
―Kamu tahu waktu kamu masih hubungan sama Metra. Dan Metra ditagkap karena partai terlarang. Saya bisa membebaskan waktu itu. Tapi saya tak mau mencampur-adukkan masalah politik dan keluarga dalam mencari keuntungan. Saya merasa cocok dengan Metra dibandingkan dengan calon yang lain. Tetapi tetap tak melanggar prinsip.
―Kamu ini sekarang ini melanggar prinsip.‖ ―Ampun, Rama....‖ (Atmowiloto, 2013: 222)
Pak Bei digambarkan oleh pengarang sebagai tokoh yang tenang dan
mampu menahan emosi. Pak Bei diceritakan tidak bisa menerima kehamilan anak
keenam Bu Bei karena ia meragukan anak itu. Ketika kelahiran Ni—anak keenam
Bu Bei, Pak Bei melihat anak yang dilahirkan Bu Bei dengan pembawaan yang
tenang. Bahkan, Pak Bei mampu menahan emosinya, ketika melihat bayi Bu Bei
memiliki ciri fisik yang hitam, kurus, pipi tembam, dan tidak mempunyai rambut.
Padahal Pak Bei berkulit putih, Pak Bei tidak menyangsikan bayi yang terlahir
dengan kulit hitam. Pak Bei selain mampu menahan emosi, Pak Bei mampu
anaknya. Kutipan narasi dan percakapan di bawah ini akan menerangkan
pelukisan tokoh Pak Bei.
―Anakmu sudah lahir, Bu,‖ kata Pak Bei di samping Bu Bei yang masih susah mengatur napas.
―Hitam seperti jangkrik.‖ Bu Bei menangis. ―Selamat semuanya.‖ Bu Bei menangsi lagi.
Dulu,kelima anaknya lahir, dan Pak Bei sudah menyiapkan nama. Kali ini tidak dibisikkan nama. Kali ini biasa-biasa saja. Tak menjenguk kembali. Bu Bei menunggu semuanya, sambil meneteki, dan merasa bayinya sangat kuat mengisap dan membuat sakit.
―Sabar...‖ kata Pak Bei. ―Kamu sudah kehilangan kesabaran. Sudah lupa, ya?‖
Kebahagiaan itu mencapai puncaknya, ketika akhirnya Pak Bei menggendong anaknya yang hitam dan pipinya tembam. Lebih dari itu semua, pada lima hari usia si kecil, Pak Bei agaknya mendemonstrasikan menggendong ke tengah pertemuan yang biasa diadakan. (Atmowiloto, 2013: 78-79)
Kutipan di bawah ini juga akan menerangkan tentang Pak Bei yang
menerima Ni sebagai anak Sestrokusuman. Pak Bei menunjukkan sikap yang bisa
menerima Ni yang tidak diketahui dengan jelas ayah biologisnya. Pak Bei pasrah
dan menerima Ni sebagai anak kandungnya sendiri tanpa mempersoalkan ayah
kandung Ni. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan percakapan antara Ni dengan
Pak Bei dan didukung dengan teknik dramatik.
―Bagiku persoalan itu sudah selesai. Aku bisa berdamai dengan diriku. Aku tahu kamu pasti bertanya-tanya apakah aku ini ayah kandungmu atau bukan? Iya, kan?
―Aku tahu. ―Aku diam saja.
―Aku juga lebih suka kamu diam saja. ―Tak usah bertanya.
―Bagiku, sudah tak jadi soal lagi. Apakah kamu anak kandungku atau bukan. Apa pun juga, kamu tetap anakku.‖
Mata Ni merah. Basah.
―Kamu anakku, karena aku ayahmu, dan karena istriku adalah ibumu. Itu penjelasannya. (Atmowiloto, 2013: 228-229)
Pak Bei dalam novel diceritakan melakukan poligami atau memiliki istri
lebih dari satu. Poligami biasa dilakukan oleh para priayi pada jaman Pak Bei.
Setelah menikah dengan Bu Bei, Pak Bei juga menikahi Karmiyem. Karmiyem
digambarkan sebagai gadis desa dari daerah Mbaki dengan kulit hitam manis dan
berambut keriting mengombak. Pak Bei menjadikannya selir setelah satu minggu
pertemuannya dengan Karmiyem. Kutipan narasi di bawah ini akan menjelaskan
kronologis pernikahan Pak Bei dengan Karmiyem.