131
Wawancara Penulisan Skripsi Yang Berjudul “Eksistensi Perdamaian Antara Korban
Dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan).
Nama Hakim:………...
1. Menurut pengalaman Bapak/ Ibu Hakim, pernahkah Bapak/Ibu Hakim menangani perkara kecelakaan lalu lintas?
2. Apakah perkara tersebut mengandung perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas?
3. Bagaimana bentuk perdamaian yang sering dilakukan pelaku dengan tindak pidana?
4. Menurut pendapat Bapak/ Ibu Hakim, apakah perlu bagi pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas berdamai dengan korban? Mengapa?
5. Bagaimana kedudukan perdamaian tersebut dalam pertimbangan dalam menjatuhkan putusan? (Dipertimbangkankah atau tidak dipertimbangkan).Mengapa?
6. Jika dipertimbangkan, apakah perdamaian tersebut meringankan pidana atau menghapuskan pidana/menghapus pertanggungjawaban pidana? Mengapa?
7. Dari segi isi surat perdamaian yang dibuat oleh korban dengan pelaku memohon agar perkaranya tidak diteruskan secara hukum dan sudah mengikhlaskan peristiwa
kecelakaan lalu lintas tersebut, apakah Bapak/ Ibu hakim mengalami dilema dalam
menjatuhkan pidana bagi pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut demi
kemanfaatan si korban dengan pelaku yang tidak lagi mempermasalahkan perkara
tersebut? Mengapa?
8. Saat persidangan, pernahkah saksi korban maupun keluarga korban pernah memohon kepada majelis hakim untuk tidak menjatuhkan pidana kepada pelaku?
9. Apakah saat ini telah ada pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana? Apakah ada dasar hukum yang mewajibkan hakim untuk mempertimbangkan
perdamaian tersebut? Jika ada, apakah dasar hukumnya?
10.Menurut pendapat Bapak/ Ibu Hakim, apakah perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas ini perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan? Jika perlu, apakah
sebagai hal yang meringankan pidana atau menghapus pidana? Mengapa?
11.Menurut Bapak/ Ibu Hakim, bagaimana dampak jika perdamaian dijadikan sebagai hal yang menghapus pidana bagi pelaku?
Dampak positif:
126
DAFTAR PUSTAKA A. Buku
Aji, Oemar Seno,1980, Hukum Hakim Pidana, Jakarta: Erlangga.
Amiruddin dkk, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali Pers, .
Amriani, Nirnianingsih, 2012, Mediasi Alternatiff Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, Jakarta: Rajawali Press,.
Arief , Barda Nawawi, 1996 Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT.
Aditya,.
Arief, Barda Nawawi, 1999, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Badan Penyedia Bahan Kuliah
FH Undip, Semarang,.
Arief, Barda Nawawi, 2008, Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep
KUHP Baru, Jakarta: Kencana.
Arrasjid, Chainur, 2000, Dasar- Dasar Ilmu Hukum, Medan: Sinar Grafika.
Ashidiqie, Jimly, 2009, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sinar Grafika,.
Astiti, Tjok Istri Putra, 1997, Pemberdayaan Hakim Perdamaian Desa dalam Menyelesaikan
Kasus Adat di Luar Pengadilan, Buletin Musyawarah 1, Juli.
Atmasasmita, Romli, 1996, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System); Perspektif
Ekstensialisme dan Abolisionisme, Jakarta: Putra A. Bardin,.
Bahiej, Ahmad, 2002, Sejarah Pembentukan KUHP, Sistematika KUHP, Dan Usaha
Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Hand Out Mata Kuliah Hukum Pidana.
Chadawi, Adami, 2002, Pengantar Hukum Pidana Bagian I, Jakarta: Grafindo,.
, Percobaan dan Penyertaan (Pelajaran Hukum Pidana), Jakarta: Rajawali
Press,.
Ediwarman, 2014, Penegakan Hukum Pidana dalam Perspektif Kriminologi, Medan:Genta
Publishing.
Hadikusuma, Hilman, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: CV. Mandar
Maju.
Hamdan, 2012, Alasan Penghapus Pidana Teori dan Studi Kasus, Medan: Refika Aditama,.
Kansil, C.S.T, 1984, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, , Jakarta: Balai
Pustaka,.
Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana (Kumpulan kuliah), bagian kedua, Balai Lektur
Mahasiswa, Jakarta.
Kerlinger, Fred N., 1991, Asas-Asas Penelitian Behavourial, Yogyakarta : Gajah Mada
University Press,.
Kelsen, Hans, 1971,Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, diterjemahkan oleh Raisul
Muttaqien dari General Theory of Law and State ( New York, Russel and Russel, ,
Bandung: Nusa Media.
Koeswadji, Hermien Hadiati, 1995, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka
Pembangunan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Lamintang, P.A.F, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti,.
Makarim, Emon, 2003, Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mansur, Didik M. Arief dkk, 2008 Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Jakarta:
Rajawali Press.
Mawarni, Rita, 2012, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Bahan ajar tidak diterbitkan, Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
Mertokusumo, Sudikno, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar Edisi Revisi, Yogyakarta:
128
Muhammad, Buhsar, 1981, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita,.
Muladi, 2002, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro,.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori dan Kebijakan Pidana, , Bandung: Alumni.
Mulyadi, Lilik, 2007, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Dan Viktimologi, Jakarta:
Djambatan,.
Mulyadi, Mahmud, 2008, Criiminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal
Policy dalam Penanggulangan Kekerasan, , Medan: Pustaka Bangsa Press,
Poernomo, Bambang, 1991, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia,.
Prayitno, Wukir, 1991, Modernitas Hukum Berwawasan Indonesia, Semarang: , CV. Agung,.
Prasetyo ,Teguh, 2011, Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Press.
Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana, Kajian
Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,.
Putranto, Leksmono Suryo, 2008, Rekayasa Lalu Lintas. Cetakan Pertama, Jakarta: PT
Mancanan Jaya Cemerlang,.
Rahmawati, Mety, 2010, Dasar-dasar penghapus penuntutan, penghapus, peringanan dan
pemberat pidana dalam KUHP, Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti.
Roeslan, Saleh, 1987, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, .
Situmorang, Victor M, 1993, Perdamaian dan Perwasitan dalam Hukum Acara Perdata,
Jakarta: Rineka Cipta..
Soeharto, 2007, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, Dan Korban Tindak Pidana
Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana, Bandung: Refika Aditama,.
Soekanto, Soerjono, 1989, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press,
Soepomo, 1979, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Padnya Paramita.
Subagyo, Joko P, 1991, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta,.
Sudarto dalam Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra
Aditya Bakti,.
, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni.
Sunggono, Bambang, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Surakhmad, Winarno, 1997, Dasar dan Teknik Research, Bandung: Tarsito.
Sutadi, Marianna, 1992, Tanggung Jawab Perdata dalam Kecelakaan Lalu Lintas,
Mahkamah Agung RI.
Suarda, I Made Widnyana, 1993, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Bandung: Eresc.
Syahrani, Riduan, 2004, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Edisi Revisi, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
Waluyo, Bambang, 1996, Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika,.
Yulia, Rena. 2010, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan,
Yogyakarta :Graha Ilmu, Cetakan Pertama.
Zulfa, Eva Achjani, 2011, Pergeseran Pardigma Pemidanaan, Bandung: CV Lubuk Agung.
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2011tentang Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
RUU KUHP 2013
C. Putusan
Putusan No.992 / Pid. B /2013 / PN. Mdn
Putusan Nomor No.501 / Pid. B / 2012 / PN. Mdn,
130
Antonio S. Padaga. Tinjauan Sosio Yuridis Terhadap Restitusi Bagi Korban Kecelakaan Lalu
Lintas Di Kota Makassar, Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar,
2012.
Musyahadah R, Alef. 2005, “Kedudukan Perdamaian Antara Korban Dengan Tindak
Pidana Dalam Sistem Pemidanaan.” Tesis, Universitas Dipinegoro, Semarang.
E. Kamus
Departement Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Balai Pustaka,
Jakarta , 1994.
F. Website:
Http: Hynatha30.Files.Wordpress.Com/2009/10/Sejarah-Hpi.Pdf. Diakses Tanggal 8
Mei 2014.
Syarif,PertanggungjawabanPidana.2012,http://syarifblackdolphin.wordpress.com/2012/01/11/p
ertanggungjawaban-pidana/.
Diakses tanggal 8 Mei 2014.
EKSISTENSI PERDAMAIAN ANTARA KORBAN DENGAN PELAKU TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM SISTEM PEMIDANAAN
DALAM PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI MEDAN
Pada bagian ini akan dipaparkan dan dianalisis mengenai mengenai beberapa putusan
hakim Pengadilan Negeri Medan mengenai perkara-perkara kecelakaan lalu lintas yang
di dalamnya mengandung perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana
kecelakaan lalu lintas yang terjadi sejak diundangkannya Undang-UndangNomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan , pada tahun 2009-2014. Dalam
putusan hakim Pengadilan Negeri Medan, dalam rentang waktu tahun 2009-2014, hanya
terdapat 2 (dua) putusan hakim yang menyangkut perkara kecelakaan lalu lintas. Putusan
tersebut adalah sebagai berikut.
A. Dapat Meringankan Pidana
Hal ini dapat dilihat dalam Putusan No.992 / Pid. B /2013 / PN. Mdn, mengenai
mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan
kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat, yang mengakibatkan orang lain
meninggal dunia. Dengan identitas terdakwa:
Nama lengkap : Riza Vionita Utami
Tempat lahir : Kisaran
Umur/tanggal lahir : 18 tahun/13 Juni 1995
Jenis kelamin : Indonesia
Tempat tinggal di :Jl. SM. Raja Km. 11 Gg. Rohis B Bangun Sari Tanjung
Morawa
Agama : Islam
72
Pendidikan : -
Duduk Perkara:
Pada hari rabu tanggal 9 Januari 2013 sekira pukul 19.30 WIB, atau
setidak-tidaknya pada suatu waktu lain masih dalam bulan Januari tahun 2013, bertempat di Jl.
SM. Raja di depan GKPI Medan, terdakwa Riza Vionita Utami mengemudikan
kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas
dengan korban luka berat, yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, yang
dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut :
Pada waktu dan ditempat sebagaimana diuraikan diatas, saksi korban Rentiana Br.
Perangin-angin dan Kartina Harahap keluar dari rumah saksi hendak menyeberang ke
arah Gereja hendak mau mengambil uang sewa rumah. Sebelum menyeberang saksi
korban sudah melihat ke kanan ke kiri dan tidak ada kendaraan, tetapi situasi pada saat
itu gelap karena mati lampu. Selagi menyeberang dan hampir sampai pinggir jalan tiba
-tiba saksi korban Rentiana Br. Perangin-Angin dan Kartina Harahap ditabrak oleh sepeda
motor Honda Revo dengan No Pol BK 2166 OM yang dikendarai oleh terdakwa Riza
Vionita Utami yang mana pada saat itu mengalami sakit maag dan tidak fokus dalam
mengendarai sepeda motornya, akibatnya pada saat itu terjadi kecelakaan dan sempat
berdiri berteriak minta tolong selanjutnya saksi korban Rentiana Perangi-Angin melihat
temannya saksi korban Kartina Harahap dan seorang perempuan lagi sudah pingsan di
pinggir jalan, kemudian saksi Budi Harahap melihat kejadian tersebut langsung
memanggil becak dan membawa saksi korban dan terdakwa ke RS. Nursaadah atas
kejadian kecelakaan tersebut saksi korban Kartina Harahap meninggal dunia dan saksi
korban Rentiana Br. Perangin-Angin dan terdakwa Riza Vionita Utami opname di RS
Grand Medistra.
a. Sesuai dengan Visum Et Repertum No. 71/VER/RSGM/I/2013 yang akan ditanda
tangani dr. Samuel Sinaga. Hasil pemeriksaannya sebagai berikut :
- Pembengkakan di puncak kepala sebelah kanan dengan diameter kurang lebih 5
(lima) sentimeter
b. Sesuai dengan Surat Kematian No. 474.3/065/SK/TD/2012 tanggal 14 Januari 2013
atas nama Kartina br. Harahap dari Kelurahan Timbang Deli Medan yang disebabkan
karena kecelakaan lalu lintas.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 310 ayat (3)
jo ayat (4) Undang-undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Dalam kasus ini, sebelum perkara ini diperiksa di muka persidangan, telah
terdapat perdamaian antara pihak pertama/orang tua terdakwa (Heri Hernando) dengan
pihak kedua/ keluarga korban yaitu anak kandung dari pejalan kaki yang meninggal
dunia (Darmansyah Sibarani) dan pihak ketiga/korban yang merupakan pejalan kaki
(Rentiana Br Perangin-Angin) . Perdamaian tersebut dibuat pada tanggal 21 Januari
2013. Dalam perjanjian perdamaian tersebut, pihak pertama, kedua dan ketiga telah
menyadari bahwa kecelakaan bukalah unsur kesengajaan dan ketiga belah pihak saling
memaafkan. Pihak pertama (terdakwa) telah memberikan bantuan duka kepada pihak
kedua (keluarga korban meninggal dunia) sebesar yang telah disepakati oleh kedua belah
pihak dan pihak kedua (keluarga korban meninggal dunia) menerima bantuan tersebut
dengan ikhlas. Pihak terdakwa juga telah memberikan bantuan biaya perobatan kepada
pihak ketiga (korban luka berat) berupa bantuan biaya perobatan sebesar yang telah di
sepakati dan pihak korban tersebut menerima dengan ikhlas. Dalam perjanjian
perdamaian tersebut, ketiga belah pihak tidak ada masalah lagi dan tidak akan menuntut
secara perdata maupun pidana sehubungan dengan kasus lalu lintas yang dimaksud.
74
Meskipun perkara kecelakaan lalu lintas tersebut telah diselesaikan dengan cara
kekeluargaan melalui perdamaian, pihak kepolisian tetap meneruskan perkara tersebut
hingga ke persidangan di pengadilan.
Setelah di persidangan yang diperiksa oleh hakim tunggal, yaitu Baslin Sinaga,
S.H, M.H. , Pengadilan Negeri Medan memutuskan bahwa terdakwa telah terbukti secara
sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “ Mengemudikan kendaraan bermotor
yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat
dan megakibatkan orang lain meninggal dunia”, sehingga terdakwa dijatuhi pidana
penjara selama 6 (enam) bulan dan menetapkan bahwa pidana tersebut tidak akan
diijalankan kecuali jika di kemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim, karena
terdakwa dipersalahkan melakukan sesuatu kejahatan/pelanggaran atau tidak memenuhi
sesuatu syarat yang ditentukan sebelum masa percobaan selama 1 (satu) tahun terakhir.
Dalam menjatuhka pidana, hakim mempertimbangkan hal-hal yang meringankan
maupun yang memberatkan terdakwa:
Hal-hal yang memberatkan :
- Bahwa perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat;
Hal-hal yang meringankan :
- Terdakwa belum pernah dihukum ;
- Terdakwa masih berstatus pelajar ;
- Terdakwa bersikap sopan dalam persidangan ;
- Antara terdakwa Riza Vionita Utami dan saksi korban telah ada perdamaian.
Dalam putusan tersebut di atas, perdamaian yang terjadi antara korban dengan pelaku
tindak pidana kecelakaan lalu lintas menjadi pertimbangan hakim dalam meringankan
pidana bagi terdakwa. Pedamaian yang menjadi pertimbangan tersebut adalah pemberian
uang duka maupun biaya perawatan terhadap korban, sedangkan surat pernyataan
perdamaian yang dibuat oleh korban dan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas
tersebut yang pada pokoknya berisi permohonan untuk tidak diteruskan secara pidana
sama sekali tidak dipertimbangkan oleh hakim, sehingga hakim tetap menjatuhkan
pidana bersyarat kepada terdakwa.
Berkenaan dengan eksistensi perdamaian dalam putusan tersebut, demikian hasil
wawancara dengan hakim pengadilan negeri Medan.
Hakim pengadilan Negeri Medan sudah sering menangani perkara kecelakaan
lalu lintas. Mulai pengaturan kecelakaan lalu lintas dalam KUHP yang menggunakan
istilah “mengakibatkan orang mati atau luka karena salahnya” hingga ketentuan yang
lebih khusus mengaturnya dalam dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.114 Perkara lalu lintas yang masuk ke Pengadilan Negeri
Medan tidak banyak. Jumlah perkara yang ditangani oleh hakim Pengadilan Negeri
Medan saat ini tidak sebanding dengan angka kecelakaan lalu lintas yang semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan karena pihak korban dengan pelaku
tindak pidana kecelakaan lalu lintas lebih memilih berdamai secara kekeluargaan
dibandingkan meneruskan perkaranya secara hukum.115 Selain itu, minimnya kasus
kecelakaan lalu lintas yang masuk ke Pengadilan Negeri Medan disebabkan adanya
perdamaian yang juga dilakukan di kepolisian. Menurut pengalaman Hakim Pengadilan
Negeri Medan, tidan semua kasus kecelakaan lalu lintas yang ditanganinya mengandung
perdamaian. Hal ini dimungkinkan terjadi jika tidak terdapat kesepakatan antara para
pihak. Adapun bentuk perdamaian yang sering kali terdapat dalam berkas perkara
kecelakaan lalu lintas adalah berupa pemberian maaf korban maupun keluarga korban,
pembayaran ganti kerugian yang disepakati, pemberian biaya perawatan/pengobatan/
114
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Saur Sitindaon, S.H.M.Hum., Selasa, 10 Juni 2014
115
76
biaya rumah sakit, uang duka cita dan biaya pemakaman jika korban tersebut meninggal
dunia. Bahkan tidak jarang, perdamaian yang dibuat oleh pelaku dengan pihak korban
tersebut pada esensinya memohon agar perkara tersebut tidak menuntut pelaku dan juga
tidak diproses secara hukum. Sejauh ini, menurut pengalaman Hakim Pengadilan Negeri
Medan, belum ada perdamaian yang berbentuk pemberian nafkah/ biaya hidup bagi
korban maupun keluarga korban. Pihak korban dan pelaku sering kali berdamai di luar
pengadilan, namun ada kalanya, pada saat perkara kecelakaan lalu lintas tersebut sedang
diperiksa, para pihak juga melakukan upaya perdamaian.116
Hakim Pengadilan Negeri Medan mengatakan bahwa lembaga perdamaian dalam
hukum pidana, khususnya dalam perkara kecelakaan lalu lintas tidak dikenal sama
sekali. Hal ini berarti bahwa hukum pidana tidak mengenal mekanisme perdamaian ini
sebagai alternative penyelesaian perkara pidana seperti yang dianut dalam hukum
perdata. Hukum pidana, dalam hal ini termasuk juga perkara kecelakaan lalu lintas tidak
dapat diselesaikan secara perdamaian di sidang pengadilan. Hal ini disebabkan karena
dalam Undang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan telah dengan tegas mengatakan bahwa setiap perkara kecelakaan lalu
lintas yang terjadi wajib diproses sesuai dengan acara peradilan pidana. Bahkan selain
itu, dalam Undang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan telah diatur secara tegas bahwa bantuan yang diberikan kepada korban
maupun keluarga korban berupa uang perobatan, biaya duka (pemakaman), ganti
kerugian sejumlah uang bahkan kewajiban untuk mencukupi kebuhan korban maupun
keluarga korban sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menggugurkan tuntutan
terhadap pelaku.117
116
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Saur Sitindaon, S.H.M.Hum., Selasa, 10 Juni 2014
117 Ibid
Walaupun dalam surat pernyataan tersebut menyatakan para pihak tidak akan
meneruskan perkara kecelakaan lalu lintas tersebut secara pidana dan tidak akan
menuntut pelaku, dan dibuat secara tertulis di atas materai, surat perdamaian tersebut
sama sekali tidak dapat dijadikan oleh hakim sebagai alasan untuk menghapus pidana
bagi pelaku. Bahkan, walaupun ada kalanya pihak korban maupun keluarga korban
memohon kepada majelis hakim untuk tidak menjatuhkan pidana bagi pelaku tindak
pidana kecelakaan lalu lintas, permohonan korban tersebut tidak dapat diterima secara
utuh dalam putusan untuk sama sekali tidak mmenjatuhkan pidana.118
Hakim Pengadilan Negeri Medan memandang bahwa perdamaian pasca
terjadinya kecelakaan lalu lintas memang sangat perlu dilakukan. Hal ini disebabkan
karena pada umumnya, kecelakaan lalu lintas tersebut disebabkan karena adanya unsur
kelalaian. Sehingga sebenarnya, kecelakaan lalu lintas tersebut sama sekali tidak
dikehendaki oleh pelaku dan juga korban. Namun hal ini tergantung bagi pihak korban
maupun pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Jika setelah diupayakan perdamaian
namun tidak tercapai kesepakatan, hal tersebut wajar terjadi. Selain faktor kelalaian
tersebut, perdamaian juga sangat perlu dilakukan sebagai itikad baik dari pelaku untuk
bertanggungjawab atas akibat dari perbuatannya. Bentuk perdamaian seperti ganti
kerugian, biaya perobatan/perawatan, uang duka maupun biaya pemakama sangat
membantu pihak korban, apalagi jika pihak korban maupun keluarga korban merupakan
keluarga yang kurang mampu, dan hal ini tentu sangat bermanfaat manakala korban
tersebut merupakan tulang punggung keluarga. Harus diakui bahwa walaupun terdapat
perdamaian antara korban dengan pelaku tidak pidana, tentu hal ini tidak akan pernah
dapat mengembalikan kerugian materil maupun immaterial dari pihak korban apalagi
jika korban kecelakaan lalu lintas tersebut meninggal dunia. Selain itu, alasan perlunya
118
78
perdamaian tersebut dilakukan oleh pelaku dengan korban kecelakaan lalu lintas
dikarenakan adalah bahwa perdamaian itu adalah hal yang terindah. Dengan berdamai,
pelaku tidak akan berlarut dalam perasaan bersalah dan pihak korban tidak akan
menyimpan dendam terhadap pelaku akibat kecelakaan lalu lintas tersebut. Namun,
walaupun Hakim Pengadilan Negeri Medan berpendapat bahwa perdamaian tersebut
sangat perlu, hal tersebut bukan berarti proses hukum tidak dilanjutkan.119
Sejak diundangkannya Undang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan hingga tahun 2014, di Pengadilan Negeri Medan hanya
terdapat 2 (dua) perkara kecelakaan lalu lintas. Kedua perkara kecelakaan lalu lintas
tersebut mengacu kepada Undang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan sebagai ketentuan yang mengatur lebih khusus daripada
ketentuan dalam KUHP. Adapun pasal yang didakwakan terhadap pelaku tersebut
adalah Pasal 310 ayat (1) UU RI No. 22 tahun 2009 yang mengatur mengenai “karena
kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan” dan
Pasal 310 ayat (3) jo ayat (4) Undang-undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan mengenai “karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas
dengan korban meninggal dunia dan luka berat. Kedua perkara kecelakaan lalu lintas
tersebut mengandung perdamaian antara korban dengan pelaku. Walaupun kedua perkara
tersebut mengandung perdamaian, perkara ini masih tetap dilanjutkan ke sidang
pengadilan.
Dalam sistem pemidanaan, tidak ada pengaturan hukum yang tertulis yang
mewajibkan hakim untuk mempertimbangkan perdamaian tersebut dalam menjatuhkan
putusan. Jika dilihatdalam hukum yang berlaku saat ini, kata “perdamaian” tidak
mendapat “tempat” dalam hukum pidana. Ketiadaan pedoman pemidanaan yang
119
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Lisfer Berutu, S.H.M.H., Selasa, 10 Juni 2014
mewajibkan hakim untuk mempertimbangkan perdamaian dalam hukum pidana ini
memberikan ruang kebebasan yang besar pada hakim. Hakim diberikan kebebasan secara
moral untuk memilih mempertimbangkan perdamaian tersebut atau tidak. Etika moral
hakimlah yang menentukan kedudukan perdamaian tersebut dalam sistem pemidanaa,
sehingga hal ini juga yang menyebabkan adanya perbedaan kedudukan perdamaian
dalam kedua perkara yang diteliti oleh penulis. Dimana satu perkara mempertimbangkan
perdamaian sebagai hal yang meringankan, dan perkara yang lain sama sekali tidak
mempertimbangkan perdamaian dalam menjatuhkan pidana. Dan menurut Hakim
Pengadilan Negeri Medan hal ini wajar saja terjadi sebagai konsekuensi logis dari
ketiadaan kewajiban bagi hakim untuk mempertimbangkannya.120
Dalam sistem pemidanaan, hakim tidak menjadikan perdamaian dalam perkara
kecelakaan lalu lintas sebagai alasan yang menghapus pidana bagi terdakwa. Hal ini
merupakan konsekuensi logis hukum positif di Indonesia menyatakan demikian dan
dalam diri terdakwa tidak terdapat alasan penghapus pidana sebagaimana yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Pada umumnya, perdamaian dalam kecelakaan
lalu lintas ini hanya dijadikan sebagai alasan yang meringankan pidana bagi terdakwa.
Walaupun telah ada perdamaian bahkan permohonan pihak korban untuk tidak
menjatuhkan pidana bagi terdakwa, hal ini tidak mengandung peranan yang penting
untuk tidak menjatuhkan pidana. Terdakwa tetap dijatuhi pidana apabila memang telah
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana kecelakaan lalu lintas.
Sementara mengenai jenis dan lamanya pidana tergantung kepada kebijakan hakim yang
memeriksa perkara tersebut. Memang dalam sistem hukum Indonesia, tidak terdapat
dasar hukum yang pasti mengenai perdamaian sebagai hal yang meringankan. Namun,
dijadikannya perdamaian tersebut sebagai hal yang meringankan di samping karena
120
80
terdakwa telah mengakui dan menyesali kesalahannya, bersikap sopan di persidangan
dan terdakwa belum pernah dihukum, bukan dikarenakan ada aturan hukum yang
mewajibkannya, melainkan karena alasan etika moral dari hakim itu sendiri.121
Dalam hukum pidana, korban tidak mempunyai peranan yang kuat untuk
menentukan putusan. Kadangkala di persidangan, pihak korban maupun keluarga korban
memohon kepada majelis hakim untuk tidak menjatuhkan pidana bagi terdakwa. Korban
dan pelaku sama sekali tidak mempermasalahkan perkara kecelakaan lalu lintas tersebut
dan melalui perdamaian dirasa sudah cukup mengakhiri perkaranya. Namun,
sebagaimana dikemukakan oleh Hakim Pengadilan Negeri Medan, hakim tidak pernah
merasakan suatu kegamangan dalam memutus perkara walaupun ada permohonan
korban untuk tidak menjatuhkan pidana bagi terdakwa. Hakim lebih memilih untuk
menjatuhkan pidana kepada terdakwa, walaupun korban dan terdakwa merasa tidak
diuntungkan dengan pengenaan pidana tersebut bagi terdakwa. Sifat hukum publik dalam
hukum pidana lebih dikawal oleh hakim. Pemberian pidana tersebut bukan hanya
ditujuan kepada pihak terdakwa, melainkan lebih ditujukan kepada kepentingan yang
lebih besar lagi, yaitu ketertiban umum. Pemidanaan juga harus bermanfaat kepada
masyarakat agar setiap orang yang berpotensi untuk melakukan tindak pidana kecelakaan
lalu lintas tersebut lebih berhati-hati. Artinya, dalam hukum pidana, kepentingan yang
dilindungi itu bukan hanya kepentingan korban, melainkan juga kepentingan
masayarakat yang mengalami dampak tidak langsung dari tindak pidana kecelakaan lalu
lintas tersebut. 122
Perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas pada umumnya dipertimbangkan sebagai hal
yang meringankan pidana bagi terdakwa. Namun, walaupun pada sebagian kasus, hakim
121
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Saur Sitindaon, S.H.M.Hum., Selasa, 10 Juni 2014
122 Ibid
tidak mempertimbangkan perdamaian tersebut sebagai hal yang meringankan pidana
bagi terdakwa, hal tersebut memang wajar karena eksistensi perdamaian tersebut
memang ranah kebijakan hakim. Keinginan untuk mempertimbangkan perdamaian
dalam kecelakaan lalu lintas tersebut merupakan pilihan secara etika moral hakim itu
sendiri. Namun, alangkah lebih baik jika perdamaian tersebut dipertimbangkan oleh
hakim.123
Dalam beberapa perkara kecelakaan lalu lintas yang juga pernah diperiksa oleh
Hakim Pengadilan Negeri Medan, perdamaian antara korban dengan pelaku tindak
pidana kecelakaan lalu lintas tidak ada. Hal ini dimungkinkan jika tidak terdapat
kesepakatan antara para pihak. Namun, walaupun dalam berkas perkara tidak terdapat
perdamaian, bukan berarti hal tersebut dijadikan sebagai hal yang memberatkan pidana
bagi terdakwa. Alasan yang memberatkan pidana yang selama ini dijadikan hakim
dalam pertimbangannya adalah adanya pengulangan tindak pidana, berbelit-belit, tidak
sopan di persidangan dan tidak mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan
tindak pidana. Sementara mengenai ketiadaan perdamaian tersebut, bukan serta merta
menjadi alasan yang memperberat pidana bagi terdakwa. Hakim biasanya terdorong
untuk menganjurkan perdamaian antara pelaku dengan korban walaupun dalam hukum
pidana, hakim tidak mempunyai kewajiban untuk menganjurkan perdamaian tersebut
seperti dalam hukum perdata. Hal ini dilandasi oleh etika moral dari hakim agar tercipta
hubungan yang lebih baik bagi para pihak walaupun bukan berarti terdakwa tidak akan
mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum.124
123
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Waspin Simbolon, S.H.M.H., Selasa, 10 Juni 2014
124
82
B. Tidak Dapat Meringankan Pidana
Hal ini dapat dilihat dalam Putusan No.501 / Pid. B / 2012 / PN. Mdn, mengenai
karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan,
dengan identitas terdakwa:
Nama Lengkap : Jonfriadi Sitopu
Tempat Lahir : Medan
Umur / tgl Lahir : 38 tahun /. 19 Februari 1973
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : Indonesia
Tempat Tinggal :Jl. Titipapan Gg. Persatuan No. 3 Kel. Sei Sikambing D
Medan
Pekerjaan : Pengemudi
Pendidikan : -
Duduk Perkara:
Pada hari jumat tanggal 04 November 2011 sekitar pukul 18.48 WIB, di Jl. D. I.
Panjaitan simpang Jl. Sekunder Medan, terdakwa yang sedang mengendarai mobil
angkot KPUM BK 1078 GW pada awalnya menyenggol mobil Innova di Jalan Sekunder,
Medan, dari arah barat menuju timur dengan kecepatan 60-70 km/jam, karena
terburu-buru dan cuaca dalam keadaan hujan deras serta tidak lagi memperhatikan kendaraan
dari arah lain yang menabrak pintu kiri belakang mobil Suzuki Swift milik saksi
Muhammad Fakrie yang berjalan dari arah selatan ke utara, sehingga akibat perbuatan
terdakwa mobil milik saksi Muhammad Fikrie mengalami kerusakan pada bagian pintu
kiri belakang. Perbuatan tersebut melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam Pasal 310 ayat (1) UU RI No. 22 tahun 2009 yang mengatur mengenai
“karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan
kendaraan”
Dalam perkara tersebut telah terdapat perdamaian antara korban dengan
terdakwa. Surat perdamaian perdamaian tersebut dibuat dengan dilengkapi materai pada
tanngal 21 Februari 2012. Pada pokoknya, perdamaian tersebut berisikan kesepakatan
antara korban dengan terdakwa untuk berdamai. Perdamaian tersebut dilakukan dengan
membayar ganti rugi sebesar Rp. 6.500.000,- (enam juta lima ratus ribu rupiah).
Perdamaian tersebut dibuat dengan itikad baik antara kedua belah pihak, tanpa ada
paksaan dari pihak manapun dan pihak korban juga dengan ikhlas menerimanya. Namun
perkara kecelakaan lalu lintas tersebut tetap dilanjutkan secara hukum walaupun para
pihak telah sepakat untuk berdamai.
Berdasarkan pemeriksaan di pengadilan, terdakwa Jonfriadi Sitopu terbukti
secara sah dan meyakinkan hakim telah melakukan kejahatan karena kealpaannya
menyebabkan kerusakan kendaraan dan/atau/barang. Majelis hakim menjatuhkan pidana
pidana penjara selama 8 (delapan) bulan, hakim juga menetapkan bahwa pidana itu tidak
akan dijalani kecuali dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan Hakim, karena
terdakwa dipersalahkan melakukan suatu tindak pidana atau tidak memenuhi syarat
yang ditentukan dalam masa percobaan selama 1 (satu) tahun berakhir.
Dalam menjatuhkan pidana tersebut, hakim mempertimbangkan hal yang
meringankan dan memberatkan pidana bagi terdakwa.
Yang memberatkan :
- Perbuatan terdakwa merugikan saksi korban;
84
- Terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya dan terdakwa belum pernah
dihukum ;
Dalam putusan tersebut, ternyata hakim Pengadilan Negeri medan, yang diketuai
oleh S.B. Hutagalung, S.H, M.Hum, tidak mempertimbangkan perdamaian tersebut.
Hakim hanya mendasarkan pada pengakuan dan penyesalan terdakwa serta belum
pernahnya terdakwa dihukum sebagai hal yang meringankan.
Dari putusan-putusan tersebut diatas, maka perdamaian yang telah terjadi antara
korban dengan pelaku tindak pidana tidak dengan sendirinya menghapuskan perbuatan
atau pertanggungjawaban pidana yang telah dilakukan terdakwa meskipun sudah ada
surat pernyataan yang dibuat oleh pelaku dan korban yang pada intinya korban sudah
memaafkan terdakwa dan tidak akan menuntut terdakwa atas perbuatan yang
dilakukannya serta memohon agar perkaranya tidak diteruskan secara hukum.
Perdamaian tersebut pada sebagian kasus hanya sebagai hal yang meringankan pidana
bagi terdakwa. Hal ini terlihat dengan tetap dipidananya terdakwa. Dari putusan-putusan
tersebut juga, ternyata tidak semua pertimbangan hakim yang mempertimbangkan
perdamaian dalam menjatuhkan pidana. Hal ini tergantung kepada kebijakan hakim
karena sampai saat ini, belum ada aturan hukum yang mewajibkan hakim untuk
mempertimbangkan perdamaian dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa.
Berkaitan dengan putusan tersebut, menurut pendapat Hakim Pengadilan Negeri
Medan, tidak adanya kewajiban hakim untuk mempertimbangkan perdamaian dalam
kecelakaan lalu lintas dalam menjatuhkan putusan mengakibatkan terjadinya perbedaan
persepsi bagi hakim. Hal tersebut mengakibatkan adanya beberapa hakim yang tidak
mempertimbangkan perdamaian dalam memutus perkara. Dalam perkara ini, moral
hakimlah yang menentukan untuk mempertimbangkan atau tidak mempertimbangkan
perdamaian tersebut.125
C. Dapat Menghapuskan Pidana
Perdamaian sebagai hal yang dapat menghapuskan pidana tidak terdapat dalam
putusan hakim Pengadilan Negeri Medan dalam perkara kecelakaan lalu lintas. Hal ini
disebabkan karena dalam KUHP telah disebutkan secara limitatif hal-hal yang dapat
menghapuskan pidana. Walaupun dalam surat pernyataan tersebut menyatakan para
pihak tidak akan meneruskan perkara kecelakaan lalu lintas tersebut secara pidana dan
tidak akan menuntut pelaku, dan dibuat secara tertulis di atas materai, surat perdamaian
tersebut sama sekali tidak dapat dijadikan oleh hakim sebagai alasan untuk menghapus
pidana bagi pelaku. Bahkan, walaupun ada kalanya pihak korban maupun keluarga
korban memohon kepada majelis hakim untuk tidak menjatuhkan pidana bagi pelaku
tindak pidana kecelakaan lalu lintas, permohonan korban tersebut tidak dapat diterima
secara utuh dalam putusan untuk sama sekali tidak menjatuhkan pidana.126
Menurut penulis, Hakim Pengadilan Negeri Medan masih menganut pandangan
yang hanya bersumber kepada undang-undang saja (legalistik). Menurut Montesquie,
sumber hukum bukan hanya undang-undang. Sumber hukum itu terdiri dari sumber
hukum formil dan materil. Sumber hukum dalam arti formal yaitu tertulis dan tidak
tertulis, yang tertulis adalah undang-undang, sedangkan yang tidak tertulis adalah
hukum kebiasaan, hukum adat, traktat, doktrin, perjanjian, asas-asas hukum internasional
dan lain-lain. Sedangkan dalam arti materil adalah Pancasila. Pancasila sebagai falsafah
bangsa Indonesia harusalah merupakan nilai yang dapat memelihara dan
125
Ibid 126
86
mempertahankan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antar kepentingan individu
satu pihak dan kepentingan masyarakat di lain pihak.127
Tetapi karena pendidkan hukum aparatur penegak hukum masih rendah, maka
sulit baginya berpikir berdasarkan sumber-sumber hukum tersebut di atas untuk
mengaplikasikannya ke dalam masalah hukum yang sedang di proses di dalam praktek.
Misalnya, dalam kasus pembunuhan antara suku adat di Jambi, yang kemudian diakhiri
dengan perdamaian secara adat, sehingga selesailah masalahnya. Tetapi oleh kepolisian,
kasus yang sudah selesai dengan perdamaian tersebut diproses lagi dengan alasan
adanya perdamaian tidak menghapus delik. Inilah yang menjadi dasar proses tersebut
diteruskan dan ini secara juridis bertentangan dengan hukum adat yang masih diakui di
Indonesia. Sebenarnya, jika ketentuan adat tersebut ingin diakui kepastian hukumnya di
Indonesia, maka perdamaian tersebut tidak diajukan ke pengadilan. Maka untuk
dijadikan sebagai legalitas, tidak perlu diproses lebih lanjut lagi. Demikian juga dengan
perkara kecelakaan lalu lintas, adanya perdamaian antara korban dengan pelaku tindak
pidana kecelakaan lalu lintas secara ikhlas dan suka rela merupakan wujud konsesualitas
yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
Sebagai pengejawantahan sila keempat Pancasila, nilai musyawarah ini
seharusnya lebih dihormati dan dihargai sebagai kebiasaan yang hidup dalam
masyarakat. Seharusnya perdamaian yang telah dilakukan tersebut, dijadikan sebagai
akhir penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas karena memang itu yang dikehendaki
oleh pelaku dan juga korban. Hal ini sejalan dengan teori Hukum Pidana yang
dikemukakan oleh D. Schaffmeister dan N. Keijzer, seorang ahli hukum Belanda, yang
menyatakan bahwa unsur perbuatan pidana itu adalah jika seseorang terbukti melakukan
bahwa perbuatannya itu sifatnya tercela atau dilakukan dengan kesalahan atau merugikan
127
Ediwarman, Penegakan Hukum Pidana dalam Perspektif Kriminologi, Genta Publishing, Medan, 2014, halaman 11
orang lain. Seseorang bisa dipidana jika perumusan deliknya terpenuhi, baik formal
maupun materil dan sifat perbuatan melawan hukum terpenuhi baik formal maupun
materil serta perbuatan itu tercela. Akan tetapi, jika perbuatan itu tidak lagi tercela dan
tidak ada yang dirugikan, maka seseorang itu tidak dapat dipidana. 128
Demikian juga dengan perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas tersebut, dengan
adanya pemaafan, ganti kerugian, biaya perawatan maupun biaya pemakaman yang
diberikan oleh pelaku terhadap pihak korban dan pihak korban menerimanya dengan
ikhlas dan memaafkan pelaku, maka sebenarnya tidak ada lagi pihak yang dirugikan
serta sifat tercela dari perbuatan pelaku tersebut menjadi hilang karena adanya itikad baik
dari pelaku untuk meminta maaf dan bertanggungjawab terhadap perbuatannya.
Berkaitan dengan tujuan pemidanaan, perdamaian yang dilakukan dalam
menyelesaikan perselisihan mendukung atau sejalan dengan tujuan pemidanaan,
khususnya sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik, memulihkan keseimbangan dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
Perdamaian yang dilakukan oleh korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan
lalu lintas juga mempunyai arti yang penting dalam mengaspirasikan dua kepentingan
yaitu kepentingan si korban dan juga kepentingan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu
lintas mengingat struktur hukum pidana Indonesia saat ini, secara khusus yang mengatur
mengenai kecelakaan lalu lintas belum mengakomodasikan kepentingan korban dimana
hanya ditempatkan sebagai saksi korban yang hanya bergantung nasibnya pada jaksa
yang mewakili kepentingannya.
Keseimbangan perlindungan berbagai kepentingan merupakan hal yang perlu
diperhatikan sebagaiamana yang telah dinyatakan oleh Muladi bahwa dalam masyarakat
Indonesia yang sedang membangun dan mengatur berbagai kepentingan masyarakat serta
128
88
sarana perlindungan hak-hak warga negara dibutuhkan adanya keterpaduan sistem
peradilan pidana (integrated criminal justice system), yaitu suatu sistem yang berusaha
menjaga keseimbangan perlindungan kepentiingan, baik kepentingan negara, masyarakat
individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan. Perdamaian
sekaligus dapat dijadikan alternatif pidana yatitu sebagai tindakan non penal dalam
menyelesaikan permasalahan mengingat bahwa upaya penal merupakan ultimum
remedium apabila upaya lain tidak mampu mengatasi.
Perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas juga
mempunyai peranan yang penting sebagai sarana pembaharuan hukum pidana yang
bermakna upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai
dengan nilai-nilai sentral sosio politik, sosio filosofik, dan sosio kultural masyarakat
Inonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan
hukum di Indonesia,129 yang dalam hal ini khususnya nilai-nilai positif yang terkandung
dalam perdamaian dan merupakan nilai kultural yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia
dapat menjadi sumbangan dalam rangka pembaharuan hukum pidana tersebut.
Selain hal-hal tersebut, ada beberapa hal yang menjadi urgensi perlunya
perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas menjadi alasan yang dapat menghapus pidana:
a. Perdamaian dilihat dari tujuan pemidanaan.
Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan rasional dalam
menetapkan suatu jenis pidana mengandung arti bahwa pidana yang dipilih itu harus
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang rasional yang sesuai dengan
tujuan yang dikehendaki yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Tujuan pemidanaan wajib
dipertimbangkan oleh hakim sebab persepsi hakim tentang fiilsafat pemidanaan dan
tujuan pemidanaan memegang peranan penting di dalam penjatuhan pidana . Molly
129
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bandung, 1996, halaman 30-31.
Cheang sebagaimana di sitir Muladi, pernah menyebut tujuan pemidanaan sebagai
kesulitan utama seorang hakim yang mungkin berpikir bahwa tujuan berupa pencegahan
hanya bisa dicapai dengan pidana penjara, namun di lain pihak dengan tujuan yang sama,
hakim yang lain akan berpendapat bahwa pengenaan pidana denda akan lebih efektif.
Seorang hakim yang memandang aliran klasik lebih baik daripada aliran modern akan
memidana lebih berat sebab pandangannya adalah pidana harus cocok dengan
perbuatannya dan sebaliknya yang berpandangan modern akan member pidana yang
lebih ringan, sebab ia berpendapat bahwa pidana harus cocok dengan orangnya. Apalagi
dari segi teoritis, mengenai tujuan pemidanaan ini belum pernah tercapai suatu
kesepakatan di antara para sarjana.130
Perumusan tujuan pemidanaan telah dicantumkan dalam RUU KUHP 2013 yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 51
(1) Pemidanaan bertujuan untuk:
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna.
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat dan
d. Membebaskan rasa bersalah terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
Menurut Djoko Prakoso, tujuan pidana dan pemidanaan menurut konsep RUU
KUHP bertolak dari suatu pandangan filosofis tertentu, yakni filsafat pembinaan.
Perdamaian yang terjadi antara korban dengan pelaku tindak pidana pada dasarnya
bertujuan untuk menyelesaikan suatu konflik yang terjadi antara mereka dengan cara
130
90
kekeluargaan . ini berarti perdamaian telah mendukung tujuan pemidanaan seperti yang
tercantum dalam konsep KUHP tersebut.131
Perdamaian tersebut sesungguhnya sesuai dengan tujuan pemidanaan dalam
hukum adat. Perwujudan perdamaian berupa permintaan maaf, rasa penyesalan,
pemberian ganti kerugian baik berupa biaya pemakaman, biaya perobatan, maupun biaya
perbaikan merupakan pengembalian ke keadaan yang seimbang atas kegoncangan yang
terjadi. Bila dikaitkan dengan ajaran/ postulat Krannenburg, yang mengatakan bahwa
sifat tata susuna masyarakat tradisional sudah mencerminkan asas yang universal dalam
ilmu hukum pidana modern, yaitu melalui pengembalian keseimbangan dalam
masyarakat yang disebabkan oleh tindakan salah seorang warganya yang mengakibatkan
kerugian materil/ psikologik warga masyarakat lain. Perwujudan kea rah pemulihan
keseimbangan dalam tata hidup masyarakat demikian itu mengandung aspek edukatif
yang tidak hanya berlaku bagi si pelaku tindak pidana tetapi juga kepada anggota
masyarakat lainnya.132
b. Perdamaian mengandung wujud tanggung jawab pelaku terhadap korban.
Perdamaian merupakan salah satu cara yang digunakan oleh masyarakat dalam
menyelesaikan konflik. Penyelesaian konflik melalui perdamaian ini tampaknya banyak
dilakukan pada masyarakat Batak, Jawa dan Bali yang memandang bahwa penyelesaian
dengan jalan damai merupakan nilai terpuji dan dijunjung tinggi sehingga mendapat
dukungan yang kuat.
Hukum adat Indonesia memandang bahwa setiap penyimpangan terhadap
aturan-aturan adat akan menimbulkan kegoncangan/ ketidakseimbangan , sehingga terhadap
131
Ibid 132
Hermien Hadiati Koeswadji, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Citra AdityaBakti, Bandung, 1995, halaman 117
orang yang melanggr aturan tersebut dikenakan sanksi/ reaksi adat. Sanksi/ reaksi adat
yang dijatuhkan merupakan bentuk tindaklan ataupun usaha untuk mengembalikan
ketidakseimbangan, termasuk pula ketidakseimbangan yang bersifat magisakibat adanya
gangguan yang berupa pelanggaran adat.pemberian sanksi adat tersebut berfungsi
sebagai stabilitator untuk mengembalikan keseimbangan adat dunia lahir dan dunia
ghaib, bukan penderitaan. Soepomo menyebutkan ada beberapa bentuk sanksi adat,
yaitu:
a. Penggantian kerugian (immaterial) dalam berbagai rupa seperti paksaan menikah
gadis yang telah dicemarkan.
b. Pembayaran uang adat kepada orang yang terkena yang berupa benda sakti
sebagai pengganti kerugian rohani.
c. Selematan (korban) sebagai upaya untuk membersihkan masyarakat dari segala
kotoran ghaib.
d. Penutup malu, permintaan maaf.
e. Pelbagai rupa hukuman badan hingga hukuman mati.
f. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum.
Hukum kebiasaan itu biasanya yang lebih menyesuaikan konflik -konflik sosial
disbanding hukum positif yang ada, sebab dalam masyarakat yang majemuk seperti
Indonesia ini tidak mustahil di samping tunduk kepada hukum positif masih mengikuti
hukum kebiasaannya sendiri, termasuk sistem mediator seperti yang terdapat di
Kalimantan, Irian Jaya dan sebagainya.133
Nilai-nilai yang menjelma dalam perdammaian tersebut merupakan hukum yang
hidup (the living law) sebab ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari
masyarakat. Menurut Hermien Hadiati Koeswadji, hukum yang hidup dalam suatu
133
92
masyarakat merupakan suatu sistem hukum hukum dalam arti yang sebenarnya, yaitu
hukum sebagia suatu proses nyata dan aktual. Hukum yang hidup ini harus digali melalui
suatu penemuan hukum (rechtsvinding) para hakim yang dasar kekuatan hukumnya
diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
dalam pasal 25 ayat (1) dan 28 ayat (1) dan (2).134 Pasal 25 ayat (1) menyatakan sebagai
berikut:
“ segala putusan pengadilan, selain harus memuat alasan dan dasar putusan
tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.”
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa hakim harus menentukan hal-hal yang
harus duipertimbangkan dalam menjatuhkan pidana. Pasal 28 ayat (1) dan (2) berbunyi
sebagai berikut:
(1) Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.
(2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan
pula sifat yang baik dan jahta dari terdakwa.
Ketentuan tersebut mengharuskan hakim dalam menjatuhkan pidana selalu
mempertimbangkan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat bahkan sifat baik
dan juga sifat jahat terdakwa. Adanya sifat baik dari terdakwa untuk berdamain dalam
bentuk permohonan maaf, pemberian ganti kerugian, pembayaran biaya perobatan dan
biaya pemakaman atas kecelakaan lalu lintas yang terjadi seharusnya dipertimbangkan
juga oleh hakim dalam putusannya.
c. Perdamaian dilihat dari perspektif kemanfaatan bagi korban dan pelaku tindak
pidana lalu lintas.
134
Hermien Hadiati Koeswadji, Op. Cit, halaman 138
Penanggulangan kejahatan dengan sarana penal yang berupa penjatuhan pidana
(pemidanaan) mengandung arti telah terjadi pembatasan kemerdekaan terhadap pelaku
dan pemindahan /pengasingan pelaku dari masyarakat lingkungannya. Tidak hanya
pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang terkena stigma/cap jahat, tetapi juga
keluarganya menanggung beban malu dan direndahkan martabatnya sehingga kedudukan
mereka dalam masyarakat menjadi sangat marginal. Narapidana dianggap orang yang
berbahaya dan masyarakat akan menerima bekas narapidana masih ragu-ragu dan
khawatir terhadap kelakuan baik narapidana tersebut, sehingga sulit untuk bersosialisasi
kembali dengan masyarakat termasuk sulit untuk mencari nafkah/ mendapatkan
pekerjaan.
Berbagai kritik pidana dijatuhkan terhadap efek negative pidana perampasan
kemerdekaan. Usaha-usaha untuk mencari alternatif pidana banyak dilakukan. Melihat
kenyataan tersebut, perdamaian dapat menjadi alternatif pidana perampasan
kemerdekaan. Manfaatnya, terpidana akan terhindar dari stigmaisasi jahat dari
masyarakat dan terhindar dari pengaruh negative subkultur pidana penjara, anak istri dan
sanak saudara tidak menanggung beban malu. Terpida juga tetap dapat menghidupi
keluarga. Hal ini seharusnya perlu dipertimbangkan bagi pelaku tindak pidana
kecelakaan lalu lintas karena pelaku telah meminta maaf, menyampaikan rasa penyesalan
dan memberikan sejumlah ganti kerugian dan korban telah memaafkan pelaku.
Dalam mekanisme kerja sistem peradilan pidana, pelaku kejahatan tidak pernah
didikutsertakan sehingga pada gilirannya, mereka tidak dapat ikut menentukan tujuan
akhir dari pidana yang telah diterimanya. Bahkan para korban kejahatan juga tidak
dilibatkan dalam pengambilan keputusan, sehingga belum tentu pihak korban merasa
puas dengan hasil akhir dari putusan hakim. Penderitaan/ kerugian korban diwakilkan
94
tersebut diproses dengan hukum melalui perdamaian yang telah disepakati dengan pelaku
tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Sehingga pada esensinya, perwakilan tersebut
dipandang mencuri kesempatan dari konflik antara para pihak dan diwujudkan dalam dua
pihak, pertama negara dan dilain pihak pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas.
Melalui perdamaian, hak tersebut dapat dikembalikan kepada pihak korban. Pemberian
ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban dapat mengurangi beban
penderitaan yang berwujud material, terutama bagi korban yang ekonominya tidak
mampu. Ganti rugi yang diberikan oleh pelaku dapat digunakan untuk biaya
perawatan/pengobatan, pemakaman apabila korban meninggal dunia meskipun
sebenarnya penderitaan moril korban/keluarga korban tidak dapat dihilangkan sama
sekali. Bahkan apabila terdakwa kebetulan mampu dan mempunyai kedudukan yang
terpandang dapat membantu dengan berbagai cara sehingga terjalin hubungan baik antara
pelaku tindak pidana dengan korban/keluarga korban. Hal tersebut merupakan
pengejawantahan penyesalan dan tanggung jawab terhadap korban dn dapat juga
mengembalikan hubungan baik antara pembuat dengan korban/keluarga korban.
d. Perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas dilihat dari persepektif keadilan restoratif
Pasca perkembangan orientasi pemidanaan yang mendudukkan korban sebagai
bagian penting dari tujuan pemidanaan. Perkembangan pemikiran tentang pemidanaan
selanjutnya bergerak ke ranah orientasi baru di mana penyelesaian perkara pidana
merupakan suatu hal yang seharusnya menguntungkan para pihak. Keadilan restoratif
ditawarkan sebagai suatu pendekatan yang dapat menjawab tuntutan tersebut.135
Duff sebagaimana yang dikutip oleh Lode Walgrave menyatakan bahwa
restorative justice are not “alternative to punishment but alternative punishment”.
Sementara Stephen VP. Grey menyatakan keadilan restorative sebagai a way of
135
Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Pardigma Pemidanaan, CV Lubuk Agung. Bandung, 2011, halaman. 63.
responding to crime. PBB melalui Basic Principles yang telah digariskannya menilai
bahwa pendekatan keadilan restorative merupakan pendekatan yang dapat dipakai dalam
sistem peradilan pidana yang rasional. Hal ini sejalan dengan pandangan G.P.
Hoefnagels yang mengatakan bahwa politik criminal harus rasional (a rational total of
the responses to crime). Pendekatan restoratif merupakan suatu paradigm yang dapat
dipakai sebagai bingkai dari strategi penanganan perkara pidana yang bertujuan
menjawab ketidakpuasan atas bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada saat ini. 136
Penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan keadilan restoratif pada
dasarnya terfokus kepada upaya mentransformasikan kesalahan yang dilakukan pelaku
dengan upaya perbaikan. Termasuk dalam upaya ini adalah perbaikan hubungan antara
para pihak yang terkait dengan peristiwa tersebut. Hal ini diimplementasikan dengan
adanya perbuatan yang merupakan gambaran dari perubahan sikap para pihak yang
sering diistilahkan dengan stakeholder yang merupakan pihak-pihak yang terkait baik
secara langsung maupun tidak langsung dengan tindak pidana yang terjadi. Stakeholder
utama dalam hal ini adalah pelaku (yang menyebabkan terjadinya tindak pidana), korban
(sebagai pihak yang dirugikan dan masyarakat dimana peristiwa tersebut terjadi.
Program dari keadilan restorative adalah adanya kesepakatan para pihak yang terlibat.
Kesepakatan di sini adalah kesepakatan para pihak yang didasarkan pada adanya
pemenuhan kebutuhan korban dan masyarakat di atas kerugian yang timbul dari tindak
pidana yang terjadi. Kesepakatan berupa perdamaian dalam hal ini bisa diartikan sebagai
suatu upaya memicu proses reintegrasi antara korban dan pelaku, oleh karenanya
kesepakatan tersebut dapat berbentuk pemberian biaya perobataan, biaya pemakaman
ataupun ganti kerugian atas tindak pidana yang terjadi. Dalam konsep restoratif ini
pentingnya dibuka suatu akses korban untuk menjadi salah satu pihak yang menentukan
136
96
penyelesaian akhir tindak pidana karena korban adalah pihak yang paling dirugikan dan
paling menderita. Selain itu, melalui pendekatan restorative ini, terdapatnya suatu
kerelaan pelaku untuk bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya. Makna
kerelaan dalam hal ini harus diartikan sebagai adanya introspeksi diri dari pelaku
sehingga muncul kesadaran untuk menilai perbuatannya dengan pandangan yang
benar.137
Demikian pula dalam perkara kecelakaan lalu lintas ini, maka pendekatan
keadilan restorative merupakan hal yang akan menempatkan pelaku ikut serta dalam
menentukan keputusan, tidak menggantungkan keinginannya melalui jaksa penuntut
umum. Pada sistem pemidanaan selama ini, korban bukanlah pihak yang ikut
menentukan hasil dari putusan. Korban hanya ditempatkan sebagai pelengkap penderita
yaitu salah satu alat bukti yang dipakai untuk menggiring pelaku ke arah pertanggung
jawaban pidana berupa penjatuhan sanksi yang telah ditentukan oleh undang-undang.
Apakah sanksi yang dijatuhkan memberikan keuntungan kepada korban atau tidak, hal
demikian bukanlah merupakan bagian penting yang harus dipertimbangkan oleh hakim.
Hal inilah yang sering menimbulkan kegamangan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap perkara yang sudah mengandung perdamaian.138 Sehingga penyelesaian yang
diperoleh melalui pendekatan restoratif ini adalah sesuai dengan kehendak korban dan
juga pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Sehingga hukum yang diterapkan
menuju kepada hukum yang hidup (living law) dan berjiwa progresif.
Jika dilihat dalam RUU KUHP 2013, sebagai ius constituendum bangsa
Indonesia, perdamaian dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghapuskan pidana. Hal
ini dapat dilihat dengan diaturnya pedoman pemidanaan yang harus diperhatikan oleh
hakim dalam menjatuhkan pidana. Salah satu pedoman pemidanaan bagi hakim yang
137
Ibid, halaman 76 138
Ibid, halaman. 169
diatur dalam RUU KUHP 2013 mengenai hal-hal yang perlu dipertimbangkan hakim
dalam menjatuhkan putusan.
Disebutkan dalam pasal 55 ayat (1) bahwa dalam pemidanaan, hakim wajib
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a.Kesalahan pembuat tindak pidana;
b.Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c.Sikap batin pembuat tindak pidana;
d.Tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau tidak direncanakan;
e.Cara melakukan tindak pidana;
f. Sikap dan tindakan pembuat setelah melakukan tindak pidana;
g.Riwayat hidup, keadaan sosial dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana;
h.Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat pidana;
i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
j. Pemaafan dari korban dan/atau keluarga korban; dan/atau:
k.Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
Ketentuan dalam ayat tersebut memberikan pedoman pemidanaan yang sangat
membantu hakim dalam memberikan takaran atau berat ringannya pidana yang akan
dijatuhkan. Dengan mempertimbangkan butir-butir pemidanaan tersebut, diharapkan
pidana yang akan dijatuhkan bersifat proporsional dan dapat dipahami baik masyarakat
maupun terpidana.
Dikaitkan dengan konsep perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana
kecelakaan lalu lintas, maka berdasarkan penelitian ini, bentuk perdamaian yang antara
lain terdiri atas permintaan maaf, pernyataan rasa penyesalan, pemberian ganti rugi, baik
pemberian biaya perawatan, biaya perbaikan maupun biaya pemakaman,merupakan
98
ini dapat disamakan dengan sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak
pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 55 ayat (1) huruf f RUU KUHP 2013.
Ketentuan mengenai perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidan juga telah
diatur secara eksplisit dalam pasal 55 ayat (1) huruf j, yang menyatakan bahwa pemaafan
dari korban dan/atau keluarganya wajib dipertimbangkan hakim dalam sistem
pemidanaan. Pernyataan maaf dari pelaku tindak pidana terhadap korban kecelakaan
lintas merupakan salah satu bentuk perdamaian yang sering terjadi dalam masyarakat,
dimana pihak korban secara ikhlas memaafkan pelaku tinda pidana kecelakaan lalu
lintas.
Perkembangan hukum pidana dalam RUU KUHP 2013 memberikan kewenangan
kepada hakim untuk memberikan pengampunan/ pemaafan kepada terdakwa meskipun ia
terbukti bersalah. Pengaturan perdamaian dalam RUU KUHP 2013 ini mulai
dipertimbangkan sebagai alasan untuk tidak menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak
pidana kecelakaan lalu lintas Hal ini dapat dilihat dalam pasal 55 ayat (2) RUU KUHP
2013 yang menyatakan bahwa:
“ ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat atau keadaan pada waktu dilakukan
perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk
tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi
keadilan dan kemanusiaan”.
Ayat (2) ketentuan tersebut dikenal dengan asas rechterlijke pardon yang memberi
kewenangan kepada hakim untuk member maaf kepada seseorang yang bersalah
melakukan tindak pidana yang sifatnya ringan (tidak serius). Pemberian maaf ini
dicantumkan dalam putusan hakim dan tetap harus dinyatakan bahwa terdakwa terbukti
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
Jika melihat pada isi pasal tersebut, maka unsur-unsur atau kriteria bagi hakim untuk
tidak menjatuhkan pidana meskipun seseorang terlah terbukti bersalah adalah:
1.Ringannya perbuatan;
2.Keadaan pribadi pembuat atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang
terjadi kemudian;
Pada kriteria kedua bagi hakim untuk memberikan pengampunan yaitu “keadaan
pribadi pembuat atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi
kemudian,” maka dimungkinkan bagi pelaku baik pada waktu maupun sesudah
terjadinya tindak pidana melakukan perbuatan-perbuatan seperti permintaan maaf,
menyatakan rasa menyesal, memberikan ganti kerugian baik berupa uang maupun
perbaikan barang atas perbuatan yang dilakukannya kepada korban dan korban
memaafkan serta tidak akan menuntut pelaku atas perbuatannya.
Tindakan-tindakan tersebut merupakan bentuk/wujud dari perdamaian, oleh karena itu,
perdamaian yang telah dilakukan oleh korban dengan pelaku, menurut hemat penulis
dapat menjadi pertimbangan hakim dalam memeberikan pengampunan (rechterlijk
pardon/ judicial pardon). Hal ini berdasarkan kenyataan yang terjjadi di masyarakat
dalam menyelesaikan konflik yang sering ditempuh melalui jalur perdamaian.
Perdamaian yang dilakukan berupa permintaan maaf, pemberian ganti kerugian, biaya
perawatan maupun biaya pemakaman dapat disamakan dengan keadaan pada waktu
dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian sebagaimana yang diatur dalam pasal 55
ayat (2) RUU KUHP 2013 ini. Oleh karena itu, upaya perdamaian antara korban dengan
pelaaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas ini memiliki prospek yang besar sebagai
alasan untuk tidak menjatuhkan pidana bagi pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas.
Perdamaian dalam hal ini sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan yang akan
100
sendiri akan terbebas dari rasa bersalah dan stigmatisasi dari masyarakat sebagai orang
yang pernah melakukan tindak pidana dan bagi para korban sendiri akan terbebas dari
perasaan dendam dan pada akhirnya akan menciptakan hubungan yang harmonis antara
korban dengan pelaku tindak pidana.
RUU KUHP 2013 mulai menempatkan penyelesaian perkara pidana secara damai
sebagai alasan untuk tidak menjatuhkan pidana bagi pelaku. Konsep RUU KUHP 2013
ini lebih menekankan kepada upaya restorasi daripada penjatuhan pidana.
Namun, pemikiran mengenai perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas sebagai alasan
yang dapat menghapus pidana masih menuai kontroversi. Jika dilihat dalam perspektif
yang berbeda, perdamaian sebagai alasan menghapus pidana akan menimbulkan adanya
ketidaktertiban dalam masyarakat. Pengemudi kendaraan tidak akan mempunyai
kehati-hatian dalam mengemudikan kendaraannya. Golongan masyarakat yang mempunyai
kemampuan ekonomi yang memadai akan sesukanya mengemudikan kendaraan tanpa
adanya rasa takut akan mengakibatkan kecelakaan. Upaya preventif dalam
penanggulangan pidana tidak akan tercapai. Pemberian ganti kerugian akan
menyelesaikan masalah tanpa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut
secara pidana. Hal ini tentu akan mengakobatkan kekacauan (chaos) di masyarakat.
Sementara di pihak lain, pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang tidak
mempunyai uang untuk berdamai dengan pihak korban, pada akhirnya harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana. Pada akhirnya, hukum itu hanya
berlaku hanya untuk orang-orang yang miskin bukan untuk semua orang tanpa terkecuali
sesuai dengan prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law ). 139
Selain itu, jika perdamaian ini diakomodir dalam hukum pidana akan mengakibatkan
terjadinya pergeseran sekat antara hukum pidana dengan hukum perdata. Hal ini
139
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Saur Sitindaon, S.H.M.Hum., Selasa, 10 Juni 2014.
diakibatkan karena, pada dasarnya, hukum pidana merupakan ranah hukum publik yang
mengandung konsekuensi bahwa setiap terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan
pidana, maka negaralah yang mempunyai wewenang untuk menyelesaikannya.
Pernyelesaian perkara pidana tidak dapat diselesaikan secara sepihak oleh para pihak
yang berperkara tanpa peran serta aparatur negara.140
140