• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ikan mengalami kontak yang sangat intim dengan lingkungannya, yang mengandung berbagai mikroba patogen, misalnya bakteri, virus, fungus, protozoa dan parasit yang dapat menyebabkan infeksi (Ellis 2001). Untuk mempertahankan diri terhadap serangan berbagai patogen tersebut ikan memiliki berbagai respon pertahanan tubuh yang tersusun dalam suatu sistem pertahanan yang komplek dan disebut sebagai sistem imun (Almendras & Catap 2002).

Berbagai komponen pendukung sistem imun dibentuk oleh jaringan limfoid. Pada ikan, jaringan ini menyatu dengan jaringan mieloid, sehingga dikenal sebagai jaringan limfomieloid. Organ limfomieloid pada ikan teleostei adalah ginjal depan, timus dan limpa (Fange 1982), produknya berupa sel-sel darah dan respon pertahanan selular dan humoral. Menurut (Rombout et al.

2005), pada ikan teleostei ginjal merupakan organ myelopoeitic, berperan dalam pembentukan berbagai kelompok sel darah putih seperti monosit/makrofag dan granulosit (netrofil, basofil, eosinofil), selain itu ginjal depan berperan pula sebagai organ utama dalam pembentukan sel limfosit B. Organ timus dalam perkembangannya berperan sebagai organ limfoid yaitu membentuk limfosit T. Adapun organ limpa lebih banyak berperan dalam pembentukan sel trombosit dan sel darah merah (eritrosit). Dijelaskan pula oleh Takashima dan Hibiya (1995), peran lain limpa dalam sistem pertahanan adalah pengaturan volume darah yang beredar di jaringan dan melakukan penjeratan berbagai material antigen.

Berdasarkan sifat responnya dalam menghadapi agen patogen penyerang, sistem imun terbagi atas sistem pertahanan alamiah (innate immunity) yang bersifat non spesifik dan pertahanan adaptif (adaptive immunity) yang bersifat spesifik (Almendras & Catap 2002). Menurut Ellis (2001) pertahanan non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan, bereaksi cepat/langsung dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme patogen (antigen). Disebut pertahanan non spesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu dan telah ada sejak lahir (alamiah). Sedangkan sistem pertahanan spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum dapat memberikan responnya. Jadi pertahanan spesifik merupakan lapis pertahanan kedua, namun sangat spesifik terhadap antigen tertentu yang menginduksinya dan mampu membentuk memori spesifik antigen (Shoemaker et al. 2001). Namun dalam implementasinya, mekanisme pertahanan terhadap antigen merupakan interaksi antara peran sitem non spesifik maupun spesifik dan respon keduanya bersifat saling menguatkan.

Sistem Imun Non Spesifik

Sistem pertahanan nonspesifik pada ikan, meliputi barrier mekanik dan kimiawi (mukus, kulit, sisik dan insang) serta respon imun selular yang melibatkan sel-sel yang mampu memfagosit (monosit/makrofag, dan kelompok granulosit) (Almendras & Catap 2002). Mukus ikan, menyelimuti permukaan tubuh, insang dan terdapat juga dalam lapisan mukosa usus berperan untuk memperangkap patogen secara mekanik dan mengeliminasinya secara kimiawi dengan lisosim dan enzim proteolitik lainnya. Selain itu mukus mengandung imunoglobulin, aglutinin alamiah dan lisin yang berkemampuan untuk mengeliminir patogen (Balfry & Higgs 2001).

Menurut Almendras dan Catap (2002), sistem imun non spesifik ikan didukung dua komponen utama yaitu respon selular dan respon humoral. Dijelaskan pula bahwa respon selular dalam implementasinya terdapat dalam beberapa tipe mekanisme meliputi: imflamasi, fagositosis (fagositosis killing mechanism), fagositosis sebagai penyajian antigen (antigen presenting cells), dan

Imflamasi merupakan upaya proteksi dan pengisolasian suatu situs infeksi, hal ini terjadi segera setelah masuknya antigen (bakteri, virus, fungus, parasit). Masuknya antigen ke dalam jaringan akan merangsang terjadinya pemusatan sel-sel sistem imun dan produk yang dihasilkannya di area infeksi (Secombes 1996; Balfry & Higgs 2001). Dijelaskan pula oleh Tizard (1988) bahwa inflammatory respons merupakan upaya proteksi reaksi restoratif dari tubuh sejak ikan berusaha menjaga kondisi homeostasis/kestabilan sistem dari pengaruh lingkungan yang kurang baik.

Aktivitas fagositik merupakan pertahanan pertama dari respon selular (Woo, 1995) dan dilakukan oleh monosit/makrofag dan granulosit (Kollner et al. 2002). Proses fagositosis meliputi pengenalan material yang akan dieliminir, tahap kemotaksis, tahap perlekatan, tahap penguraian sel dan melakukan digesti internal dengan beberapa mekanisme antimikrobial. Menurut Kollner et al. (2002) sirkulasi sel darah putih (monosit/makrofag, dan granulosit) membentuk suatu kesatuan jaringan pertahanan yang mampu mengeliminasi berbagai patogen penyerang dan sekresinya (faktor terlarut) melalui fagositosis tanpa suatu aktivasi awal.

Proses fagositosis oleh sel-sel fagosit berkontribusi pula dalam mekanisme penyajian antigen (antigen presenting cells) untuk menstimulasi respon sel limfosit. Partikel yang difagosit diproses dan dipresentasikan sebagai peptide antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas II pada permukaan sel fagosit. Presentasi antigen kepada sel limfosit (T-helper) menyebabkan terjadinya seksresi berbagai mediator terlarut yang terlibat dalam aktivasi sel limfosit seperti interleukuin 1 (IL-1) (Murphy et al. 1999; Almendras & Catap 2002).

Mekanisme lain dari pertahan seluler adalah non specific cytotoxic cells

(NCCs), pada mamalia dikenal sebagai sel natural killer. Sel natural killer

merupakan subpopulasi sel limfosit yang dapat membunuh sel sasaran secara spontan tanpa pengaktifan terlebih dahulu dan tanpa bergantung pada produk-produk MHC. Pada ikan, respon sel sitotoksik ini bersifat spontan dan mempunyai toksisitas non spesifik yang dapat menghancurkan berbagai sel-sel asing yang menyerang (Murphy et al. 1999; Almendras & Catap 2002). Identifikasi NCCs terdapat pada chanel catfish. Pada tingkat genetik ditemukan

pula sekuen putative dari natural killer enhancing factor (NKEF) pada ikan

rainbow trout dan mas (Fischer et al. 2006).

Sistem imun non spesifik didukung pula oleh berbagai faktor humoral yang dapat berperan pula dalam perlawanan terhadap invasi patogen. Subtansi ini bereaksi melakukan lisis berbagai mikroba patogen, melapisi (opsonisasi) atau menghambat pertumbuhannya. Berbagai subtansi tersebut meliputi: acute phase protein, komplemen, interferon, lytic enzyme dan enzim inhibitor. Diantara berbagai subtansi tersebut, komplemen dan interferon sangat berperan dalam respon pertahan terhadap infeksi virus (Murphy et al. 1999; Almendras & Catap 2002).

Menurut Almendras dan Catap (2002) sistem komplemen terdiri dari sekitar 30 protein serum yang dapat diaktifkan menjadi komplemen bagi respon imun. Terdapat dua jalur pengaktifan komplemen yaitu: (1) jalur klasik yang tergantung pada keberadaaan kompleks antigen-antibodi dan (2) jalur alternatif, jalur pengaktifannya tidak tergantung antibodi. Beberapa faktor eksternal seperti: LPS, dinding sel fungi (B-1,3-glucan) dapat mengaktifkan jalur alternatif (Almendras & Catap 2002; Magnadottir et al. 2005). Pada infeksi virus aktivasi jalur alternatif tersebut terjadi terutama setelah infeksi oleh amplop virus yang matang oleh budding melalui membran plasma sel inang (Murphy et al. 1999), karena aktivasinya tidak memerlukan antibodi sehingga respon dapat segera terjadi setelah adanya invasi virus.

Interferon adalah sekresi protein (sitokin) yang menginduksi status anti viral pada sel inang, dan memainkan peran dalam pertahanan terhadap infeksi virus pada vertebrata. Interferon disekresikan oleh sel inang yang terifeksi dan ditransfer ke dalam darah untuk memberi isyarat bahaya pada sel-sel lain dalam tubuh. Pada ikan, aktifitas seperti interferon (IFN-like activity) teridentifikasi sejak tahun 1965, terdeteksi pada sel dari sejumlah spesies ikan, setelah infeksi oleh virus. Baru-baru ini IFNs ikan dengan struktur dan fungsi yang sama dengan IFNs tipe I telah diklon dari Atlantic salmon, chanel catfish, pufferfish dan

zebrafish (Robertsen 2006). Dijelaskan pula oleh Robertsen (2006) bahwa dua famili dari IFNs (tipe I dan II) dan dapat dibedakan berdasarkan pada sekuensi gen, struktur protein dan fungsi yang dimilikinya. IFNs tipe I terdiri dari classical

IFN-α/ßs, yang diinduksi umumnya oleh virus di dalam sel, sedangkan IFN tipe II adalah identik dengan IFN-γ dan ia diproduksi melalui sel natural killer (sel NK) dan limfosit T sebagai respon terhadap interleukin-12 (IL-12), interleukin-18 (IL-18), mitogen atau antigen (Robertsen 2006).

Sistem Imun Spesifik

Sel limfosit merupakan inti dalam respon imun spesifik karena sel-sel ini merupakan merupakan sel yang mengenal berbagai antigen, baik antigen yang terdapat intraselular maupun ekstraselular misalnya dalam cairan tubuh atau dalam darah (Kresno 2001). Menurut Almendras dan Catap (2002), antigen adalah substansi spesifik yang dapat merangsang suatu respon imun antigen dapat berupa molekul yang berada pada permukaan patogen atau juga dapat berupa toksin yang diproduksi oleh patogen. Umumnya substansi antigen tersebut berupa molekul besar seperti protein, polisakarida dan asam nukleat.

Sistem imun ikan mengenal dan merespon hanya pada bagian kecil dari molekul besar antigen, yang dikenal dengan istilah antigenic determinant atau

hapten. Sel limfosit mempunyai reseptor membran bagi antigen spesifik. Reseptor tersebut berupa protein yang secara spesifik mengenal dan berikatan dengan antigen (Almendras dan Catap 2002).

Sistem imun spesifik (adaptive immunity) pada dasarnya merupakan mekanisme interaksi antara sel limfosit dan fagosit. Respon spesifik ini diawali dengan kerja sel-sel fagosit/makrofag atau antigen presenting cell (APC) yang memproses dan mempresentasikannya pada sel-sel imun spesifik (Kresno 2001; Kollner et al. 2002). Pengolahan antigen merupakan proses yang penting untuk stimulasi limfosit selanjutnya, karena reseptor pada sel limfosit akan mengenali antigen berdasarkan susunan asam amino dalam rantai peptida (bukan bentuk proteinnya). Peptida antigen (hasil pengolahan) akan dipresentasikan bersama-sama molekul protein MHC (major histocompatibility complex) haplotype tertentu membentuk struktur yang unik pada permukaan sel makrofag/APC, dan dapat dikenali oleh reseptor sel T (TcR) (Kresno 2001). Pengenalan struktur unik MHC-peptida antigen oleh limfosit T, mengakibatkan sel-sel imun berproliferasi dan berdiferensiasi, menjadi sel yang memiliki kopetensi imunologik dan mampu bereaksi dengan antigen tersebut. Berdasarkan bentuk responnya, sistem imun

spesifik pada dasarnya terbagi dua yaitu: respon imun selular yang merupakan fungsi dari sel limfosit T, dan respon humoral yang merupakan fungsi dari sel limfosit B (Almendras & Catap 2002).

Respon imun selular sangat diperlukan untuk melawan organisme intraselluler. Sub populasi sel T yang disebut sel T penolong (T-helper) akan mengenali mikroorganisme atau antigen bersangkutan melalui MHC (major histocompatibility complex) kelas II yang terdapat pada permukaan sel makrofag. Sinyal ini menginduksi limfosit untuk memproduksi berbagai jenis limfokin, termasuk diantaranya interferon yang dapat membantu makrofag menghancurkan mikroorganisme tersebut. Sub populasi limfosit T yang lain disebut T-sitotoksik, berfungsi untuk menghancurkan mikroorganisme intrasel yang yang disajikan melaiui MHC kelas I secara Iangsung (cell to cell). Selain itu, juga menghasilkan gamma interferon yang mencegah penyebaran mikroorganisme ke dalam sel lain (Kresno 2001; Almendras & Catap 2002). Menurut Fischer (2006), mekanisme ini dikenal sebagai spesifik cell-mediated cytotoxicity (spesifik CMC).

Respon humoral pada sistem imun spesifik dilakukan melalui sekresi protein-protein terlarut yaitu antibodi atau immunoglobulin (Ig), yang mengalir dalam darah dan limpa, mereka bergabung dengan antigen dan menetralkannya. Struktur dasar molekul immunoglobulin (Ig) terdiri dari dua rantai polipeptida berat (rantai H) dan polipeptida rantai ringan (rantai L) (Shoemaker et al. 2001). Kedua rantai tersebut ditautkan oleh ikatan disulfida dan memiliki situs pengikatan antigen. Ikan hanya memiliki 1 kelas Ig yaitu Ig M-like (Rosenhein et al. 1986) dengan berat molekul 700kDa (Lobb 1986).

Respon humoral yang diperantarai antibodi awalnya merupakan fungsi dari sel limfosit B. Sel B dapat mengenal antigen dan berinteraksi dengan afinitas yang tinggi karena adanya immunoglobulin spesifik (sIg) yang berfungsi sebagai reseptor antigen. Sel B sebagai APC akan menangkap antigen melalui proses endositosis, masuk ke dalam sitoplasma, diproses menjadi fragmen-fragmen. Fragmen antigen tersebut bersama-sama dengan MHC kelas II selanjutnya dipresentasikan pada limfosit Th (penolong), proses pengenalan komplek protein MHC kelas II-fragmen antigen (hapten) akan mengaktivasi sel B untuk berproliferasi dan kemudian berdiferensiasi menjadi sel plasma yang dapat

menghasilkan antibodi (Fenner et al. 1993; Kresno 2001; Almendras & Catap 2002).

Mekanisme pengaktifan sel-sel limfosit oleh suatu antigen, selain menyebabkan proliferasi dan diferensiasi klon limfosit yang diperlukan untuk menghadapi antigen, juga menyisakan klon limfosit memori (Almendras & Catap 2002). Klon limfosit memori ini dapat mengenali antigen bersangkutan, dan mampu menghasilkan respon imun yang lebih cepat dan kuat pada kejadian infeksi di masa depan.