• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian terhadap sitokin dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu termasuk penelitian yang mencari hubungan antara sitokin dengan SSP. Dari penelitian-penelitian tersebut muncul 2 pertanyaan mendasar yaitu : 1. Bagaimana sitokin memodulasi fungsi SSP ? ; dan 2. Apakah peranan sitokin pada patogenesis penyakit-penyakit sistem saraf ? . Penelitian menunjukkan bahwa sitokin dapat mempengaruhi fungsi SSP misalnya mempengaruhi fungsi saraf otonom yang dikontrol SSP, neuroendokrin dan respons tingkah laku (Quan dan Herkerham, 2002). Dua sitokin proinflamasi, TNF-α dan IL-1 berperan memodulasi perilaku otak organisme normal. Kedua sitokin ini juga terlibat dalam plastisitas sinaptik, transmisi neural dan Ca21 signaling (Vitkovic, Bockaert, Jacque, 2000).

Telah diketahui bahwa sitokin dapat mempengaruhi fungsi saraf pusat dengan berbagai cara dan ekspresi sitokin juga ditemukan pada kasus-kasus infeksi dan cedera otak. Juga ditemukan beberapa bukti keterlibatan sitokin dalam induksi dan modulasi penyakit neurologis mulai Alzheimer disease hingga chronic fatique syndrome (Quan dan Herkerham, 2002).

Pada awalnya sitokin diidentifikasi sebagai molekul sinyal interselular dan berfungsi sebagai mediator antara sistem imun dengan sistem saraf pusat. Aktifitas imunologis pada host sering berkaitan dengan perubahan perilaku, suhu tubuh dan aktifitas neuroendokrin, yang

semuanya diatur oleh SSP. Sehingga disimpulkan sitokin yang diinduksi selama respon imun akan memodulasi fungsi SSP untuk memperoleh mekanisme fisiologis, behavior dan endokrin untuk melawan infeksi. Injeksi berbagai sitokin secara sistemik atau langsung ke dalam ventrikel serebral akan mengaktifasi hipotalamus-pituitary adrenal (HPA) aksis, menimbulkan demam dan prolonged slow wave sleep, berkurangnya intake makanan/minuman, dan penurunan motilititas. Sitokin yang paling sering diuji disini adalah IL-1 (Quan dan Herkerham, 2002).

Secara in vivo ditemukan bahwa peningkatan kadar sebuah sitokin cenderung disertai perubahan kadar sitokin lainnya karena sitokin bisa menginduksi sitokin lainnya. Selain itu, pada single immune response dibutuhkan sitokin yang multipel untuk tercapainya suatu respon imun. Contohnya IL-2 menginduksi demam secara tidak langsung. Interleukin-1 dan/atau TNF-α adalah mediator IL-2 untuk menimbulkan demam. Dari berbagai penelitian diduga aktifitas imun perifer dapat mempengaruhi SSP melalui efek IL-1. Namun tidak didukung oleh studi pada hewan transgenik yang telah disuntikkan lipopolisakarida endotoksin bacterial (LPS) intraperitoneal dan didapati bahwa IL-6 adalah sitokin yang menginduksi demam dan bukan IL-1. Pada akhirnya dinyatakan IL-1, IL-6, TNF-α dan INFy adalah sitokin yang utama aktif di otak (Quan dan Herkerham, 2002). Sitokin juga mengaktifasi sirkuit neural spesifik. Ada 2 pemikiran yang melatarbelakangi penelitian ini : 1. Sitokin dapat mencapai area manapun di otak dan kerjanya pada daerah itu akan menentukan aktifitas

area tersebut ; 2. Sitokin akan menimbulkan reaksi berantai untuk mencapai sirkuit neural yang lebih jauh (Quan dan Herkerham, 2002).

Peran TNF-α pada aktifitas neuroproteksi dapat dilihat pada gambar 8. Secara skematis prosesnya meliputi : 1. Penguatan aktifitas neuron secara fisiologis ; 2. Proses nutritif yang dimulai dengan pelepasan mediator parakrin neuronal termasuk fosfat berenergi tinggi, glutamat, potassium dan khususnya prostaglandin, yang dapat memperkuat ; 3. Endositosis yang dihubungkan dengan produksi TNF-α oleh mikroglia. Astrosit juga berperan dalam proses pelepasan mediator parakrin yang mengaktifasi mikroglia ini ; 4. TNF-α yang dilepaskan mikroglia selanjutnya memicu peningkatan aktifitas neuronal dengan jalan ; 5. Meningkatkan ekspresi reseptor NMDA dan AMPA serta menurunnya ekspresi reseptor GABA dan ; 6. Pada saat yang sama, TNF-α dari mikroglia juga mempengaruhi astrosit (Kraig, Mitchell, Christie-Pope, Kunkler, White, Tang et.al., 2010).

Gambar 8 . Schematic of neuro-immune initiating signaling of activity- dependent neuroprotection

Dari berbagai penelitian disimpulkan bahwa sel-sel non-neuronal adalah sumber sitokin utama di otak. Namun ada kesimpulan yang berbeda dimana setelah penyuntikan sistem imun perifer maka sel endotelial pada sawar darah otak akan mengaktifasi siklooksigenase 2 (COX-2). Sehingga disimpulkan efek sitokin pada SSP bisa dihambat dengan pemberian COX-2 inhibitor. Interleukin-1 dapat menghambat potensiasi jangka panjang pada neuron di amigdala, dan hipokampus. Sehingga diperkirakan aktifitas sitokin ini akan mempengaruhi fungsi belajar, memori dan emosi (Quan dan Herkerham, 2002).

Sitokin bisa berperan melawan infeksi atau bahkan mengakibatkan kematian sel, baik sel yang sehat maupun sel yang normal. Sitokin juga berperan dalam patogenesis penyakit neurologis. Bukti klinis yang menggambarkan peranan sitokin dalam patogenesis penyakit neurodegeneratif misalnya pada meningitis bakterial luarannya berkaitan dengan kadar TNF-α dan IL-1 di CSS. Penyuntikan antiserum TNF-α akan mengurangi efek letal endotoksin bakteri ini. Contoh lain adalah pada penderita sklerosis multipel (SM) dimana pada lesi otak penderita , imunoreaktifitas TNF-α itu berhubungan dengan astrositoma dan makrofag. Juga ditemukan kadar IL-1 dan TNF-α pada CSS penderita SM lebih tinggi dari kontrol. Terapi yang efektif pada SM adalah interferon B(IFN-B) yang kemudian akan menghambat produksi IL-1 dan TNF-α. Pada penyakit lain, kadar TNF-α mRNA meningkat pada striatum dan substansia nigra penderita Penyakit Parkinson. Pada penyakit Alzheimer terjadi peningkatan IL-1 serta ditemukannya IL-1 imunoreaktif mikroglia

(IL-1+). Interleukin-1+ ini akan mengatur regulasi protein precursor B-amiloid (BAPP) dan BAPP ini menstimulasi pembentukan IL-1 ( siklus sitokin) yang selanjutnya menjadi kekuatan pengendali patogenesis Demensia Alzheimer (DA). Dari sini berkembanglah pengetahuan bahwa obat anti inflamasi penghambat IL-1 bermanfaat dalam penanganan DA. Peranan TNF-α pada DA juga ada namun tidak sejelas IL-1. Pada wanita muda, kejadian yang tidak nyaman pada masa kanak-kanak dihubungkan dengan migren, khususnya migren kronik dan migren transformasi, dan biomarker vaskuler khususnya biomarker inflamasi termasuk TNF-α dan IL-6 (Tietjen,Khubchandani, Herial, Shah, 2012).

Berbagai macam penelitian in vitro untuk meneliti efek neurotoksisitas IL-1 atau TNF-α pada sel neuron SSP sudah dilakukan dan kesimpulan yang dihasilkan masih sangat ambigu. Untuk sel glia sendiri ternyata yang memiliki efek toksik adalah TNF-α. Tumor Necrosis Factor-α ini toksik terhadap oligodendrosit sehingga timbul kerusakan myelin (kontribusi pada SM dan experimental alleric encephalomyelitis (EAE). Sel glia yang telah teraktifasi akan membentuk zat-zat neurotoksik (asam quinolic, reactive oxygen intermediates, reactive nitrogen intermediates, glutamate) (Quan dan Herkerham, 2002).

Studi in vivo menunjukkan IL-1 dan TNF-α dapat bersifat neuroprotektif maupun neurotoksik. Kapan sitokin bersifat neuroprotektif dan kapan bersifat neurotoksik tergantung pada 3 hal, yaitu : 1. Kadar sitokin. Semakin rendah kadar sitokin pada sistim saraf maka sifatnya akan semakin neuroprotektif ; 2. Lamanya paparan sel dengan sitokin.

Semakin lama paparannya, maka efeknya akan semakin neurotoksik ; dan 3. Site of action. Interleukin-1 pada striatum dapat merusak neuron kortikostriatal, namun tidak merusak neuron di korteks. Namun penelitian tentang daerah otak yang mana atau jenis sel yang mana yang rentan terhadap sitokin ini masih sangat sedikit (Quan dan Herkerham, 2002).

Pada suatu penelitian dimana Trypanosoma pallidum dimasukkan ke dalam tubuh tikus, parasit ini berdiam di pleksus koroideus dan organ sirkumventrikular di otak. Mereka akan menstimulasi sekresi IL-1 dan TNF-α pada sistem imun perifer. Setelah beberapa lama terjadi apoptosis sel-sel non neuronal di sekitar ventrikel, degenerasi saraf vagus bilateral, traktus olfaktori lateral dan hipokampus bagian rostral dan beberapa daerah lainnya. Efek neurotoksik inii berkaitan dengan paparan kronis antara IL-1 dan TNF-α dengan area otak tersebut. Aktifitas molekul ini bisa mencapai seluruh daerah di otak, umumnya simetris, melalui ruang ekstraselular. Penemuan ini menyimpulkan bahwa : 1. Area otak tertentu lebih rentan terhadap efek neurotoksik sitokin ; 2. Efek neurotoksik tidak hanya mengenai sel neuronal saja namun juga sel non neuronal ; dan 3. Injury pada sel non neuronal bersifat apoptosis, sedangkan pada sel neuronal bersifat nekrotik (Quan dan Herkerham, 2002).

Walaupun beberapa penelitian melaporkan bahwa mindfulness training dapat mengurangi gejala pada beberapa keadaan nyeri kronis, termasuk nyeri kepala, namun Cathcart dkk menemukan bahwa latihan ini tidak menurunkan kadar sitokin pada penderita CTTH (Cathcart, Vedova, Immink, Proeve, Hayball, 2013).

2.5 . Sitokin dan Sawar Darah-Otak

Sawar darah-otak (SDO) merupakan pemisah SSP dengan sirkulasi sistemik, oleh karenanya SDO berperan mengontrol microenvirontment dan homeostasis SSP dengan mekanisme kerja yang mampu untuk memfasilitasi asupan nutrisi, meregulasi keseimbangan ion, dan menjadi barrier yang melindungi dari xenobiotic toksin potensial yang dapat dijumpai di sirkulasi sistemik (Ronaldson dan Davis, 2011).

Sawar darah otak seharusnya menghalangi sitokin berinteraksi dengan SSP. Ada 5 jalur sitokin melewati sawar darah otak, yaitu : 1. Sitokin mengalami transport aktif melewati sawar darah otak ; 2. Sitokin mengaktifkan nervus vagus perifer yang kemudian mengaktifkan target di otak ; 3. Sitokin “bocor” melewati SDO pada organ sirkumventrikular (Circumventricular organs/CVOs) dan mengaktifkan target SSP di daerah ini ; 4. Sitokin menginduksi sel-sel sawar darah otak untuk memproduksi sitokin yang kemudian disekresikan ke parenkim otak ; dan 5. Sitokin dibawa oleh leukosit yang berinfiltrasi melewati sawar darah otak (Quan dan Herkerham, 2002).

Sawar darah-otak memberikan ruang yang luas bagi sitokin untuk mempengaruhi fungsi SSP. Sawar darah-otak merupakan target dalam terapi intervensi, sehingga penting untuk mengerti interaksi sitokin dalam level SDO. Signaling sitokin pada level SDO merupakan bentuk regulasi dinamis yang penting, yang mampu mengubah fungsi SDO secara cepat dan dapat mempengaruhi fungsi otak yang sehat maupun yang mengalami gangguan.

Beberapa mekanisme berkaitan dengan sitokin dan SDO : 1. Pengenalan SDO terhadap sitokin dan peptida lainnya yang berhubungan. Sawar darah-otak terdiri dari 3 dimensi, yang terletak diantara otak dan pembuluh darah yang membawa material untuk pertukaran informasi selektif. Sawar darah-otak merupakan tempat regulator dalam respon terhadap sitokin. Sawar darah-otak secara selektif dapat mentranspor beberapa sitokin, berupa IL-1α, IL-1β, IL-1 reseptor antagonis (1ra), IL-6, TNF, leukemia inhibitory factor (LIF), ciliary neurotrophic factor dan berbagai adipokines. Sitokin memainkan peranan penting dalam respon fisiologi terhadap inflamasi dan neuroregenerasi. Fungsi lainnya, SDO dapat membatasi berbagai sitokin yang akan melewati SDO. Transfoming Growth Factor (TGF-α) tertahan di vaskular serebral dan TGF-β tidak bisa memasuki otak, dan sebaliknya Epidermal Growth Factor (EGF) dapat melewati SDO secara cepat. Dalam neuroinflamasi, chemokine CXCL 12, yang terletak di permukaan basolateral SDO, berfungsi dalam mencegah ekstravasasi leukosit ke dalam SSP. ; 2. Reseptor sitokin dan mikrodomain membran endotel. Reseptor sitokin terletak pada membran mikrodomain dan berikatan dengan endositosis dependent maupun yang independent. Endocytic microdomain terdiri dari protein pembungkus yang spesifik, lipid atau keduanya. Dynamin dan Actin merupakan komponen utama jalur endocytotic. Caveolae memainkan peranan penting dalam transitosis melewati SDO. Aktifitas caveolae yang meningkat setelah cedera otak berhubungan dengan peningkatan ekspresi caveolae fosforilasi. Berbagai sitokin dan reseptornya mengalami endositosis dalam

bentuk caveolin-dependent. Pada sel β, IL-1β dan IL-1R1 menginduksi fosforilasi caveolin dan endositosis caveolin-dependent. Akumulasi sitokin dalam lipid dapat memfasilitasi proses signaling. Endositosis berkontribusi dalam mengakhiri proses signaling melalui perpindahan sitokin, hormon dan reseptornya dari ekstraseluler. Terdapat hubungan antara lokasi dan endositosis dari mikrodomain yang spesifik dan sitokin intraseluler dengan reseptornya. Sitokin dan reseptornya berakumulasi dalam membran mikrodomain, sitokin dapat menginduksi translokasi reseptornya menuju ke mikrodomain yang spesifik. Mikrodomain menentukan nasib sitokin dan reseptornya setelah endositosis, tetapi hanya sedikit yang diketahui tentang pengaruh mekanisme membran mikrodomain terhadap fungsi resptor sitokin pada sel endotel SDO. ; 3. Regulasi neuroendokrin. Efek dari signaling sitokin pada SDO terhadap regulasi neuroendokrin dicontohkan dengan leptin. Leptin merupakan sitokin utama dalam regulasi neuroendokrin pada SSP. Bekerja melalui reseptor leptin (ObR atau LR berfungsi untuk mengontrol asupan makanan dan pemakaian energi dengan cara mempengaruhi berbagai peptida hipotalamus. Oleh karena itu leptin harus mampu melewati SDO dari tempat asalnya di jaringan lemak. ; 4. Tertundanya signal neuroinflamasi dan gabungan berbagai jalur signaling yang diaktifasi ikatan yang berbeda. Sawar darah-otak dapat mencegah masuknya beberapa substansi dan sebaliknya membiarkan substansi yang lain lewat serta membentuk signal sekunder yang dapat mempengaruhi fungsi SSP saat berinteraksi dengan substansi tertentu. Endotel SDO berespon terhadap stimulus inflamasi yang

dibentuk oleh substansi vasoaktif, termasuk endothelin-1, prostaglandin, leukotrien, dan platelet activating factor. Terdapat signal intraseluler yang berbeda terhadap sitokin yang berbeda. Sawar darah-otak menghasilkan chemokines dan sitokin sebagai respon terhadap cedera dan inflamasi. Bagaimana proses signaling dapat mempengaruhi transitosis ? Meskipun data yang didapatkan masih kurang, namun hal ini jelas bahwa signaling seluler oleh sebuah sitokin dapat memodifikasi sistem transpor antara yang satu dengan yang lainnya. Interaksi signal peptidergic pada SDO diilustrasikan dengan hubungan antara leptin dengan urocortin pada proses aktivasi STAT-1 dan STAT-3. Leptin dapat meningkatkan aktivasi STAT-1 dan STAT-3. Leptin juga mempunyai hubungan dengan α-MSH. α-MSH berikatan dengan reseptor melanocortin (MC-3R) dan MC-4R pada hipotalamus. Seperti halnya interaksi leptin dan urocortin, leptin tidak mampu meningkatkan produksi cAMP. ; 5. Interaksi sitokin dengan reseptor hormon nuklear pada SDO. Reseptor hormon nuklear merupakan faktor ikatan yang diaktifasi oleh proses transkripsi. Ikatan yang terjadi dengan hormon seperti estrogen, progesteron, testosteron dan glukokortikoid, begitu juga retinoic acids dan oxysterols. Hormon ini berikatan dengan reseptor dan meregulasi munculnya gen yang penting untuk pertumbuhan, metabolisme dan berbagai fungsi vital lainnya. Secara bersama-sama reseptor nuklear yang terdapat dalam sel endotel, memainkan peranan pada ikatan protein , sitokin dan transporter. Kaskade signaling diawali regulasi sitokin terhadap fungsi reseptor nuklear melalui fosforilasi, dan ; 6. Efek sitokin pada efflux transporter obat.

Endotelium SDO kaya dengan efflux transporters yang bekerja sebagai barier transpor terhadap obat dan komponen endogen menuju parenkim otak. Pompa aktif efluks yang utama terdiri dari P Glycoprotein (P-gp, ABCB1), breast cancer resisten protein (BCRP, ABCG2) dan multidrug resistance yang berhubungan dengan berbagai protein (MRP, ABCC1-6) termasuk dalam transporter ABCfamily. Adanya transporter ini telah diimplikasikan terhadap obat-obatan seperti antikanker, antivirus, antibakterial, antiepilepsi dan analgesik. P-gp terdapat pada bagian luminal vaskular, astrocytic end feet bagian abluminal SDO, mikroglia dari parenkim otak dan endotel pleksus koroidalis. Pada saat terjadi inflamasi, berbagai sitokin seperti TNF, IL-1β dan IL-6 dapat mengubah aktifitas fungsional dan efflux transporters. Dapat disimpulkan bahwa sitokin dapat meningkatkan modulasi efflux drug transporters yang bersifat dose and time dependent.(Pan, Stone, Hsuchou, Manda, Zhang, Kasti, et.al., 2011).

Ada beberapa reseptor, kanal ion, influx/efflux protein transpor yang mencolok pada sel endotel otak yang secara fungsional sama dengan yang dijumpai pada jaringan lain namun dengan kapasitas dan kecepatan transpor yang berbeda seperti d-glucose transporter, l-amino acid carrier, Na+/K+ ATPase. Komponen yang kecil, nonionik dan bersifat lipid-soluble dapat masuk ke SSP dengan mekanisme difusi pasif yang diatur oleh protein transpor endogen seperti ATP-binding cassette (ABC) transporter (berperan dalam translokasi opioid dan metabolitnya), solute carrier (SLC) transporter yang terdapat di endotel SDO. Selain itu, beberapa transporter tambahan yang termasuk solute carrier transporter

seperti organic ion transporting polypeptides (OATP), organic ion transporters, nucleoside transporters dan peptide transporters juga berperan dalam memfasilitasi penyebaran obat menembus SDO (Ronaldson dan Davis, 2011).

Nyeri (sebagai respon inflamasi mengakibatkan perubahan permeabilitas SDO yang dapat mengubah komposisi protein di tight-junction) dapat meningkatkan permeabilitias paraselular dari SDO dan berhubungan dengan delivery obat ke SSP. Terbukanya rute paraselular menyebabkan peningkatan uptake beberapa obat ke SSP, misalnya agonis reseptor μ opioid seperti kodein. Kemampuan obat untuk menembus endotel SDO dan mencapai konsentrasi efektif dalam SSP tergantung pada banyak mekanisme transport, seperti uptake ke otak via influx transporter dan keluar dari otak melalui efflux transporter yang harus seimbang (Ronaldson dan Davis, 2011).

Identifikasi dan karakterisasi dari mekanisme biologis memungkinkan nyeri perifer untuk mentransmisikan sinyal yang akan mengganggu transporter obat ke SDO dengan cara merubah konsentrasi serum sitokin seperti TGF-ß1 yang merupakan regulator homeostasis mikrovaskular di otak. TGF-ß dijumpai menurun pada pemberian obat anti inflamasi non steroid seperti diklofenak. TGF-ß merupakan pencetus perubahan SDO yang terjadi saat nyeri inflamasi dan TGF-ß dimediasi oleh ALK. Pathway ALK1 menyebabkan aktifasi endotel yang ditandai dengan meningkatnya permeabilitas dan ALK5 memediasi sinyal yang menyebabkan resolusi vaskular yang ditandai dengan menurunnya

permeabilitias. TGF-ß/ALK5 dapat meregulasi permeabilitas SDO dengan mengubah struktur kompleks protein tight-junction SDO dan dengan meningkatkan ekspresi transporter influx. TGF-ß/ALK5 merupakan target farmakologis yang potensial yang dapat digunakan untuk mengoptimalkan delivery obat ke SSP (Ronaldson dan Davis, 2011).

2.6. Amitriptilin

Anti depresan merupakan obat yang paling sering digunakan pada TTH kronik. Amitriptilin terbukti lebih baik dari plasebo pada kebanyakan uji klinis walaupun uji klinis terbesar menunjukkan hasil sebaliknya. (Ferna´ndez-de-las-Pen˜as dan Schoenen, 2009

;

Tfelt-Hansen, 2010). Amitriptilin juga merupakan obat pilihan pertama untuk terapi profilaksis TTH kronik walaupun efektifitasnya sering terbatas akibat efek sampingnya (Bendtsen, Evers, Linde, Mitsikostas, Sandrini, Schoenen, 2010). Boz dkk membandingkan efektifitas amitriptilin dengan sertraline (penghambat selektif reuptake serotonin) sebagai terapi profilaksis penderita TTH kronik tanpa depresi. Kedua obat ini terbukti efektif untuk terapi TTH kronik tanpa depresi, namun Amitriptilin lebih efektif bila dibandingkan dengan sertraline (Boz, Altunayoglu, Velioglu, Ozmenoglu, 2003).

Amitriptilin telah dibuktikan dapat mengurangi keadaan depresi, terutama depresi endogen. Perbaikan berwujud sebagai perbaikan suasana perasaan (mood), bertambahnya aktifitas fisik, kewaspadaan mental, perbaikan nafsu makan dan pola tidur lebih baik, serta

berkurangnya pikiran morbid. Obat ini tidak menimbulkan euforia pada orang normal (Santoso dan Wiria, 1995).

Amitriptilin juga telah diketahui memiliki efek analgetik. Apakah efek analgesik berhubungan dengan aktifitasnya dalam memperbaiki mood atau oleh karena aksi farmakologis (atau keduanya) masih belum diketahui (Bryson dan Wilde, 1996). Data dari 41 penelitian menunjukkan antidepresan trisiklik merupakan analgesik yang efektif. Amitriptilin merupakan obat yang paling sering diteliti. Ditemukan bukti yang konsisten bahwa antidepresan trisiklik bersifat analgesik pada neuropati diabetik dan neuralgia post herpetik, dan menunjukkan efikasi pada nyeri sentral dan nyeri post-stroke. Kondisi lain dimana antidepresan trisiklik bermanfaat sebagai analgetik, meliputi nyeri kepala tipe tegang, migren dan nyeri oro-fasial kronik (Lynch, 2001).

Amitriptilin juga efektif untuk pengobatan nyeri akibat neuropati diabetika (Bril, England, Franklin, Backonja, Cohen, Del Toro, et.al., 2011). Pada nyeri sentral pasca stroke, Amitriptilin juga lebih efektif mengurangi rasa nyeri dibandingkan dengan plasebo (Lampl, Yazdi, Roper, 2002). Huang dkk juga menemukan bahwa Amitriptilin dosis rendah dapat memperlambat waktu transit orocaecal yang membuat lambung menjadi kurang sensitif, meningkatkan kadar plasma ghrelin dan neuropetida Y, sehingga direkomendasikan untuk gangguan saluran cerna fungsional (Huang, Jiang, Jia, You, Huang, Gong, et.al., 2013). Review sistematik yang dilakukan oleh the WorkSafeBC Evidence-Based

Practice Group (EBPG) melalui Cochrane Database of Systematic Reviews, Cochrane Library’s Health Technology, Assessment Database, BIOSIS, Embase, dan Memline menunjukkan bukti bahwa antidepresan trisiklik, termasuk Amitriptilin, bermanfaat pada penatalaksanaan nyeri kronik (Noertjojo, Martin, Dunn, 2010). Pada penderita nyeri lengan persisten akibat penggunaan lengan yang berlebihan, walaupun tidak mengurangi intensitas nyeri secara signifikan, Amitriptilin dosis rendah terbukti meningkatkan fungsi lengan dan memperbaiki keadaan umum secara signifikan (Goldman, Stason, Park, Kim, Mudgal, Davis, et.al., 2010). Amitriptilin dapat menginduksi atau bahkan dapat meningkatkan jumlah periodic limb movements (PLM) saat tidur pada orang sehat¸ sehingga harus mempertimbangkan adanya PLM saat menggunakannya untuk penderita gangguan tidur (Goerke, Rodenbeck, Cohrs, Kunz, 2013).

Amitriptilin merupakan salah satu antidepresan trisiklik yang telah banyak digunakan dalam klinis selama 4 dekade. Disebut trisiklik karena karena strukturnya memiliki karakteristik 3 cincin nukleus (Katzung, 2006). Amitriptilin merupakan derivat dibenzosikloheptana antidepresan trisiklik, berwarna putih, tidak berbau, berbentuk serbuk kristal atau kristal kecil berasa pahit dan rasa terbakar, dan larut dalam air dan alkohol, memiliki pKa 9,4 (McEvoy, 2004).

Gambar 9. Struktur Kimia Amitriptilin Dikutip dari : McEvoy (2004)

Amitriptilin bekerja terutama sebagai penghambat ambilan kembali serotonin (serotonin re-uptake inhibitor) dan norepinefrin dengan aksi yang kuat pada transporter serotonin dan efek yang moderat pada transporter norepinefrin. Selain itu, Amitriptilin berfungsi sebagai antagonis reseptor 5-HT2, 5-HT3, 5-HT6, 5-HT7, α1-adrenergik, H1, H2, H4, dan mAch, dan agonis reseptor α1. Amitriptilin juga menghambat kanal natrium, kalium dan kalsium (Tatsumi, Groshan, Blakely, Richelson,1997; Punke dan Friederich, 2007).

Dosis harian yang direkomendasikan adalah 25-200 mg/ hari. Dosis hampir selalu ditentukan secara empiris, adanya efek samping biasanya merupakan faktor yang membatasi. Toleransi terhadap beberapa efek dapat terjadi, oleh karenanya pola terapi harus dimulai dengan dosis kecil, ditingkatkan perlahan-lahan hingga dosis maksimum yang dapat ditoleransi (Katzung, 2006).

Amitriptilin hidroklorida diabsorbsi cepat dari saluran cerna dan dari parenteral. Konsentrasi puncak plasma terjadi dalam 2-12 jam setelah pemberian oral atau intramuskular (pemberian parenteral tidak lagi tersedia di Amerika Serikat). Amitriptilin dan metabolit aktifnya (nortriptilin) didistribusikan ke kelenjar susu, dengan konsentrasi yang hampir sama atau sedikit lebih besar dibandingkan dalam serum ibu hamil. Waktu paruh plasma Amitriptilin berkisar dari 10-50 jam. Obat ini dimetabolisasi melalui pathway yang sama dengan antidepresan trisiklik yang lain; nortriptilin, metabolit N-monodemetilasi, merupakan metabolit aktif. Sekitar 25-50% dari satu dosis Amitriptilin diekskresikan di urin sebagai metabolit inaktif dalam 24 jam, sejumlah kecil diekskresikan di feses melalui eliminasi bilier (McEvoy, 2004).

Gambar 10. Diagram skematik menggambarkan beberapa tempat kerja potensial antidepressan.

Dikutip dari : Katzung (2006)

Efek samping antidepresan trisiklik berupa : sedasi (mengantuk, efek aditif dengan obat sedatif lain), gejala simpatomimetik (tremor,

Dokumen terkait