• Tidak ada hasil yang ditemukan

SITUASI DAN DINAMIKA KETAHANAN PANGAN DI KAWASAN

Dalam dokumen Food Security in Eastern Indonesia (Halaman 65-128)

4.1. Kondisi Kecukupan Kalori dan Protein

Analisis deskriptif dilakukan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Jumlah rumah tangga sampel Susenas Panel di KTI tahun 2008 sebesar 19.002 rumah tangga, tahun 2008 sebesar 19.137, dan pada tahun 2010 sebesar 18.966 rumah tangga. Tingkat kecukupan gizi di Kawasan Timur Indonesia yang dihitung dari besarnya kalori menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi kalori penduduk di KTI tahun 2008 sudah berada di atas batas standar kecukupan gizi yaitu sebesar 2001,56 kkal. Namun, nilai ini tidak jauh berbeda dari 2000 kkal sehingga masih harus mendapatkan perhatian serius karena sedikit saja terjadi perubahan perekonomian bisa menyebabkan konsumsi kalorinya turun. Hal ini terbukti, pada tahun 2009 akibat terkena dampak krisis pangan finansial dan energi, rata-rata konsumsi kalori penduduk KTI turun menjadi sebesar 1918,57 kkal dan tahun 2010 sebesar 1962,20 kkal. Artinya, sebagian besar penduduk KTI masih berada di bawah batas standar kecukupan kalori, dengan kata lain gizinya masih belum terpenuhi.

Sumber: BPS (diolah)

Gambar 5 Rata-rata Konsumsi Kalori per Kapita Sehari Menurut Provinsi di KTI Tahun 2008-2010 (Kkal).

0 2000

Gambar 5 menunjukkan bahwa konsumsi kalori per kapita sehari Provinsi Kalimantan Timur berada di bawah standar kecukupan gizi, namun pada Gambar 6 terlihat bahwa konsumsi protein per kapita seharinya di atas standar kecukupan gizi (52 gram). Hal ini menunjukkan bahwa penduduk Kalimantan Timur tidak hanya mengandalkan padi-padian yang tinggi kalori sebagai makanan mereka, namun juga mengkonsumsi ikan dan daging yang kaya akan protein.

Konsumsi protein per kapita 16 provinsi di KTI memberikan gambaran yang tidak serupa dengan konsumsi kalorinya. Konsumsi kalori per kapita provinsi-provinsi di KTI sebagian besar berada di bawah standar kecukupan kalori, sedangkan konsumsi proteinnya sebagian besar sudah berada di atas batas standar kecukupan protein (52 gram). Hal ini wajar, sebab kalau kita telaah lebih jauh, wilayah KTI terdiri lebih dari 17 ribu kepulauan yang dikelilingi lautan. Dengan demikian tidak sulit dijumpai berbagai jenis ikan yang dapat dikonsumsi oleh penduduk KTI. Provinsi Kalimantan Tengah merupakan provinsi dengan konsumsi kalori dan protein tertinggi dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya di KTI.

Sumber: BPS (diolah)

Gambar 6 Rata-rata Konsumsi Protein per Kapita Sehari Menurut Provinsi di KTI Tahun 2008-2010 (Gram).

0 52

4.2. Ketersediaan Pangan (Food Availability)

Ketersediaan pangan merupakan pilar pertama dari ketahanan pangan sehingga merupakan syarat perlu untuk mencapai ketahanan pangan. Salah satu hal yang mencerminkan ketersediaan pangan adalah jumlah produksi pangan dalam negeri. Gambar 7 menunjukkan bahwa perkembangan produksi pangan di KTI selama tahun 1993-2010 mengalami kenaikan, kecuali untuk kacang kedelai yang mengalami penurunan. Faktor utama penurunan produksi kedelai adalah akibat konversi lahan dan keengganan petani kedelai menanam komoditas tersebut. Banyak petani kedelai beralih menanam jagung dan padi karena tidak ada intensif harga bagi petani dimana harga yang diterima petani kedelai paling rendah dibandingkan komoditas lain. Biaya pokok menanam kedelai tidak sebanding dengan keuntungan yang didapat petani, sehingga petani cenderung beralih ke komoditas lain.

Sumber: BPS (diolah)

Gambar 7 Produksi Tanaman Pangan di KTI Tahun 1993-2010.

Apabila dilihat berdasarkan data produksi secara total menurut provinsi, Sulawesi Selatan merupakan daerah penghasil tanaman padi, jagung, dan kacang tanah terbesar di Kawasan Timur Indonesia. Predikat sebagai lumbung padi nasional mengukuhkan posisi Sulawesi Selatan sebagai produsen tanaman pangan yang cukup potensial. Nusa Tenggara Barat merupakan provinsi dengan produksi kacang kedelai dan kacang hijau terbesar di KTI. Sedangkan untuk produksi

0 2 4 6 8 10 12 14 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 P ro d u k s i ( to n ) Tahun

Padi Jagung Ubi Kayu Ubi Jalar

komoditas ubi kayu terbesar di KTI berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan ubi jalar berada di Provinsi Papua.

Padi masih merupakan komoditas utama di KTI. Hal ini terlihat dari data produksi padi yang jauh di atas produksi komoditas lainnya seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7. Data produksi padi juga dianalisis dengan menggunakan penimbang jumlah penduduk (produksi padi per kapita) dan didapatkan gambaran bahwa Sulawesi Selatan merupakan provinsi dengan produksi padi per kapita tertinggi sedangkan Papua merupakan provinsi dengan produksi padi per kapita terendah di KTI. Produksi pangan sangat tergantung pada berbagai faktor seperti iklim, jenis tanah, curah hujan, irigasi, komponen produksi pertanian yang digunakan, dan bahkan insentif bagi para petani untuk menghasilkan tanaman pangan, sehingga tidak mengherankan jika pertumbuhan produksi pangannya berfluktuasi.

Tabel 6 Produksi Padi per Kapita Provinsi di KTI Tahun 2002-2010 (Ton)

Provinsi 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 NTB 0,33 0,35 0,36 0,33 0,36 0,36 0,40 0,42 0,39 NTT 0,12 0,12 0,13 0,11 0,12 0,11 0,13 0,13 0,12 Kalimantan Barat 0,23 0,26 0,26 0,25 0,27 0,29 0,31 0,30 0,31 Kalimantan Tengah 0,20 0,27 0,32 0,26 0,25 0,28 0,25 0,28 0,29 Kalimantan Selatan 0,44 0,44 0,47 0,49 0,49 0,58 0,57 0,56 0,51 Kalimantan Timur 0,17 0,16 0,18 0,18 0,18 0,19 0,19 0,18 0,17 Sulawesi Utara 0,17 0,17 0,19 0,20 0,21 0,02 0,24 0,25 0,26 Sulawesi Tengah 0,33 0,33 0,32 0,31 0,31 0,36 0,40 0,38 0,36 Sulawesi Selatan 0,47 0,49 0,42 0,45 0,44 0,47 0,52 0,55 0,55 Sulawesi Tenggara 0,15 0,18 0,17 0,17 0,17 0,21 0,20 0,19 0,20 Gorontalo 0,18 0,18 0,18 0,18 0,20 0,21 0,24 0,26 0,24 Sulawesi Barat 0,00 0,00 0,00 0,26 0,30 0,31 0,33 0,30 0,31 Maluku 0,01 0,03 0,03 0,03 0,04 0,04 0,06 0,07 0,05 Maluku Utara 0,00 0,07 0,06 0,07 0,06 0,05 0,05 0,05 0,05 Papua Barat 0,00 0,00 0,00 0,04 0,04 0,04 0,05 0,05 0,05 Papua 0,04 0,03 0,03 0,03 0,03 0,04 0,04 0,05 0,04 Sumber: BPS (diolah)

Pertumbuhan sektor pertanian sebagai salah satu tolok ukur ekonomi kinerja pembangunan, sepanjang sejarah memang hampir selalu lebih rendah dibanding dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan yang dihitung antara lain dari nilai produksi setiap tahun yang relatif kecil tersebut mengindikasikan bahwa nilai produk pertanian primer memang lebih rendah dibandingkan dengan industri olahan. Namun, perlu ditekankan bahwa produk

pertanian juga menyumbang pada dua sektor dalam PDB nasional yaitu sektor pertanian dan sektor industri.

Sumber: BPS (diolah)

Gambar 8 Pertumbuhan Produksi Pangan di KTI Tahun 1994-2010.

Pertumbuhan produksi pangan di KTI dari tahun 2008 sampai dengan 2010 berfluktuasi bahkan untuk beberapa komoditas pertumbuhan produksinya negatif. Komoditas yang mengalami kemerosotan paling tajam adalah jagung dimana pertumbuhannya merosot dari 46,18 persen pada tahun 2008 menjadi 0,59 persen pada tahun 2010. Pada beberapa kabupaten di KTI, pertumbuhan produksi pangan yang menurun ini disebabkan antara lain karena meluasnya areal pertambangan terbuka, masih rendahnya produktivitas dimana beberapa program intensifikasi maupun ekstensifikasi belum efektif berjalan di KTI, dan adanya bencana alam karena penebangan hutan yang tidak dapat dihindari, kekeringan atau banjir. Hal ini akan mengancam keberlangsungan tingkat produksi saat ini dan di masa yang akan datang.

4.3. Akses Pangan (Food Accessibility)

Salah satu permasalahan dalam mewujudkan ketahanan pangan di KTI adalah masih besarnya proporsi masyarakat yang mempunyai daya beli rendah dan yang tidak mempunyai akses terhadap pangan. Beberapa hal yang menyebabkan kurangnya akses masyarakat terhadap pangan antara lain karena

-60 -40 -20 0 20 40 60 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 P e rt u m b u h a n ( % ) Tahun

Padi Jagung Ubi Kayu

Ubi Jalar Kac. Kedelai Kac. Tanah

keterbatasan sumber daya manusia dan kurangnya infrastruktur yang memadai. Sumber daya manusia yang rendah antara lain kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap diversifikasi pangan, pengolahan pangan yang higienis, dan rendahnya kesadaran masyarakat akan keamanan pangan.

Sektor infrastruktur di Indonesia memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan standar hidup masyarakat. Pembangunan infrastruktur yang lebih baik akan mendorong lebih banyak investasi di berbagai sektor. Dapat dikatakan bahwa sektor infrastruktur merupakan sektor antara yang menghubungkan berbagai aktivitas ekonomi. Kurangnya akses terhadap infrastruktur dapat menyebabkan kemiskinan lokal dimana suatu masyarakat menjadi terisolir dengan kondisi geografis yang sulit sehingga kurang mendapatkan kesempatan ekonomi dan pelayanan jasa yang memadai.

Salah satu infrastruktur dasar yang perlu dikembangkan adalah prasarana jalan yang memiliki fungsi aksesibilitas untuk membuka daerah kurang berkembang dan fungsi mobilitas untuk memacu daerah yang telah berkembang. Pembangunan infrastruktur jalan dapat membantu masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Dengan pengembangan akses jalan, masyarakat dapat menjangkau pusat kesehatan yang lebih baik seperti rumah sakit besar sehingga angka kematian anak dapat dikurangi. Selain itu, pembangunan jalan dapat memberikan akses yang lebih baik ke pasar bagi para produsen, penjual dan pembeli. Tenaga pendidik dapat mengajar masyarakat sehingga bisa meningkatkan kualitas sumber daya manusia di wilayah tersebut. Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dapat menjangkau petani pedesaan dalam menyediakan bantuan teknis dan informasi lainnya.

Hasil penelitian Prasetyo dan Firdaus (2009) menyatakan bahwa panjang jalan mempunyai peranan yang cukup penting dalam pertumbuhan ekonomi. Distribusi faktor produksi ataupun barang dan jasa hasil produksi sangat tergantung dari keberadaan infrastruktur jalan. Provinsi yang memiliki rasio panjang jalan yang baik dan sedang berada di Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur jalan di Provinsi Sulawesi Selatan lebih bagus dibandingkan provinsi lain di KTI. Sebaliknya, Provinsi

Papua dan Papua Barat memiliki rasio panjang jalan yang paling kecil. Hal ini disebabkan karena kondisi geografis Pulau Papua yang sulit sehingga membutuhkan biaya yang sangat besar untuk membangun infrastruktur disamping kepadatan penduduknya yang masih rendah.

Tabel 7 Rasio Panjang Jalan Baik dan Sedang terhadap Luas Wilayah (km/km2)

Provinsi 2008 2009 2010

Nusa Tenggara Barat 0,1431 0,1324 0,1555

Nusa Tenggara Timur 0,1791 0,1814 0,1976

Kalimantan Barat 0,0420 0,0415 0,0426 Kalimantan Tengah 0,0349 0,0371 0,0359 Kalimantan Selatan 0,1287 0,1444 0,1515 Kalimantan Timur 0,0297 0,0317 0,0350 Sulawesi Utara 0,1690 0,1990 0,2081 Sulawesi Tengah 0,0852 0,0873 0,1059 Sulawesi Selatan 0,3717 0,3853 0,3987 Sulawesi Tenggara 0,1335 0,1454 0,1344 Gorontalo 0,0972 0,1669 0,1800 Sulawesi Barat 0,1638 0,1794 0,1902 Maluku 0,0520 0,0477 0,0543 Maluku Utara 0,0295 0,0295 0,0196 Papua Barat 0,0174 0,0174 0,0322 Papua 0,0111 0,0128 0,0139 Total 0,0591 1,0549 1,0706 Sumber: BPS (diolah)

Salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi kerawanan pangan adalah dengan program pendistribusian beras untuk masyarakat miskin secara langsung atau yang dikenal dengan Program Raskin (Beras untuk Keluarga Miskin). Diharapkan dengan adanya program Raskin ini, dapat memberikan manfaat yang nyata dalam peningkatan ketahanan pangan dan kesejahteraan sosial rumah tangga. Selain itu, program Raskin merupakan program transfer energi yang kaya akan kalori sehingga dapat memperbaiki gizi keluarga miskin.

Namun, ada hal yang perlu diwaspadai dari program Raskin yaitu timbulnya ketergantungan masyarakat pada konsumsi beras. Beberapa daerah pada awalnya mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka dengan mengkonsumsi umbi-umbian seperti ubi kayu, ubi jalar, sagu, dan lain-lain. Setelah adalah program Raskin, terjadi pergeseran pola pangan dari umbi-umbian beralih mengkonsumsi beras. Hal ini bukan hanya karena harga beras Raskin lebih murah, namun juga karena kemudahan untuk memperolehnya. Kalau sebelumnya keluarga miskin harus menanam sendiri maupun memperoleh pangan dengan

menempuh jarak yang jauh, dengan adanya Raskin keluarga miskin semakin mudah untuk mendapatkan pangan pokok mereka. Data mengenai besarnya persentase rumah tangga penerima raskin untuk sampel Susenas Panel 2008-2010 masing-masing provinsi dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Persentase Rumah Tangga Penerima Raskin di KTI Tahun 2008-2010 (Persen)

Provinsi 2008 2009 2010

Nusa Tenggara Barat 85,59 76,22 81,39

Nusa Tenggara Timur 34,30 46,65 53,16

Kalimantan Barat 39,95 27,92 44,62 Kalimantan Tengah 41,43 28,51 32,67 Kalimantan Selatan 27,12 15,16 23,99 Kalimantan Timur 18,88 20,72 18,62 Sulawesi Utara 35,75 36,32 38,52 Sulawesi Tengah 48,88 29,20 42,15 Sulawesi Selatan 28,61 21,37 29,40 Sulawesi Tenggara 33,64 24,59 53,36 Gorontalo 44,50 32,76 46,98 Sulawesi Barat 44,24 45,23 52,87 Maluku 35,60 50,00 51,73 Maluku Utara 21,05 31,96 37,79 Papua Barat 41,83 48,95 48,74 Papua 32,34 34,11 37,40

Sumber: Susenas Panel 2008-2010 (diolah)

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan provinsi dengan persentase rumah tangga penerima raskin yang paling besar. Padahal Provinsi NTB sendiri termasuk ke dalam daerah surplus beras dan juga sebagai salah satu daerah penyangga stok beras nasional. Jika dilihat dari data tingkat produktivitas padi tahun 2008-2010, Provinsi NTB berada di posisi tertinggi ketiga di KTI setelah Gorontalo dan Sulawesi Selatan dengan rata-rata sebesar 48,7 kuintal/hektar. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat petani di NTB masih berada pada kondisi miskin.

4.4. Pemanfaatan Pangan (Food Utilization)

Pemanfaatan pangan meliputi dua hal yaitu pemanfaatan pangan yang bisa diakses oleh rumah tangga dan kemampuan individu untuk menyerap zat gizi. Dewan Ketahanan Pangan (2009) menyatakan bahwa pemanfaatan pangan oleh

rumah tangga tergantung pada: (i) fasilitas penyimpanan dan pengolahan makanan yang dimiliki oleh rumah tangga; (ii) pengetahuan dan praktek yang berhubungan dengan penyiapan makanan, pemberian makan untuk balita dan anggota keluarga lainnya yang sedang sakit atau sudah tua, serta pengetahuan dari ibu dan pengasuh, adat/kepercayaan dan tabu; (iii) distribusi makanan dalam keluarga; dan (iv) kondisi kesehatan masing-masing individu yang mungkin menurun karena penyakit, higiene, air dan sanitasi yang buruk serta kurangnya akses ke fasilitas kesehatan dan pelayanan kesehatan.

Tabel 9 Persentase Perempuan Buta Huruf di KTI Tahun 2008-2010 (Persen)

Provinsi 2008 2009 2010 Rata-rata

Nusa Tenggara Barat 23,37 25,67 26,79 25,28 Nusa Tenggara Timur 15,68 17,90 18,33 17,30

Kalimantan Barat 15,42 18,33 19,23 17,66 Kalimantan Tengah 7,29 8,04 8,50 7,94 Kalimantan Selatan 9,89 9,28 11,00 10,06 Kalimantan Timur 7,83 8,01 8,11 7,98 Sulawesi Utara 3,30 3,82 4,78 3,97 Sulawesi Tengah 9,15 9,82 10,08 9,69 Sulawesi Selatan 16,08 16,94 17,89 16,97 Sulawesi Tenggara 14,27 15,15 14,57 14,66 Gorontalo 7,01 8,06 8,46 7,84 Sulawesi Barat 18,92 19,79 19,77 19,50 Maluku 6,86 7,81 9,80 8,16 Maluku Utara 11,24 10,98 12,29 11,50 Papua Barat 13,88 13,73 18,64 15,42 Papua 29,82 35,96 35,52 33,77 Total KTI 13,92 15,24 16,21 15,12 Sumber: BPS (diolah)

Perempuan yang bisa membaca dan menulis (melek huruf) terutama ibu dan pengasuh anak menjadi hal yang sangat penting dalam pemanfaatan pangan karena sangat berpengaruh terhadap status kesehatan dan gizi. Studi di berbagai negara menunjukan bahwa tingkat pendidikan dan kesadaran ibu dapat menjelaskan situasi gizi anak-anak di negara-negara berkembang. Hal ini sudah terbukti secara global bahwa kekurangan gizi berkaitan erat dengan tingkat pendidikan ibu.

Pola perkembangan angka perempuan buta huruf di KTI dari tahun 2008 sampai dengan 2010 mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 15,12 persen. Persentase perempuan buta huruf tertinggi terdapat di Provinsi Papua dengan rata-rata sebesar 33,77 persen dan yang terendah terdapat di Provinsi

Sulawesi Utara. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan di Papua masih rendah yang berdampak pada sumber daya manusia yang rendah pula.

4.5. Pola Konsumsi Rumah Tangga

Pada tahun 2009, konsumsi kalori rumah tangga di hampir semua kelompok makanan mengalami penurunan kecuali kelompok makanan dan minuman jadi. Hasil penelitian Rachman dan Suryani (2010) menyatakan bahwa krisis Pangan Energi Finansial (PEF) merupakan penyebab terjadinya penurunan konsumsi kalori pada tahun 2009 di Indonesia. Hal ini juga dirasakan secara regional di KTI dimana akibat krisis PEF banyak rumah tangga yang tergolong rentan mengurangi jumlah dan kualitas pangan yang dikonsumsi.

Pada tahun 2007-2008, harga pangan dunia bergejolak akibat krisis finansial yang dialami Amerika Serikat. Harga komoditas padi-padian melonjak hampir tiga kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Untuk komoditas jagung meningkat lebih dari tiga kali lipat yang semula $2,5 menjadi $8 per gantang. Para pakar sepakat bahwa dampak lonjakan harga ini dapat mengakibatkan kelaparan pada masyarakat miskin di negara berkembang. Selain itu, dengan makin berkembangnya jumlah penduduk dunia dan meningkatnya kebutuhan energi, padahal sumber bahan baku energi fosil semakin langka, maka terjadi persaingan dalam pemanfaatan bahan pangan untuk produksi energi nabati. Kondisi lonjakan harga pangan dunia dan persaingan pemanfaatan pangan untuk energi yang dipicu oleh krisis finansial dunia itulah yang dikenal dengan sebutan krisis Pangan Energi Finansial (PEF).

Apabila dilihat berdasarkan kelompok makanan, konsumsi kalori per kapita KTI untuk kelompok makanan padi-padian merupakan yang terbesar jika dibandingkan dengan kelompok makanan lainnya. Besarnya kontribusi padi- padian terutama beras menunjukkan bahwa sampai saat ini beras masih merupakan pangan pokok yang sangat penting dalam pola konsumsi di KTI dan mengandung asupan energi tinggi yaitu sesuai daftar konversi zat gizi sebesar 3622 kkal/kg.

Tabel 10 Rata-rata Konsumsi Kalori per Kapita Sehari Menurut Kelompok Makanan dan Klasifikasi Desa di KTI Tahun 2008-2010 (Kkal) Kelompok Makanan 2008 2009 2010 K D K+D K D K+D K D K+D Padi-padian 933,88 1068,28 1029,80 887,14 1038,28 1014,58 894,13 1074,48 1023,62 Umbi-umbian 91,69 231,05 196,14 349,62 147,04 185,30 69,85 224,13 185,12 Ikan 80,53 75,34 76,84 47,06 76,06 71,79 75,12 73,54 74,00 Daging 111,88 123,25 118,94 116,48 115,22 115,33 115,57 123,45 120,41 Telur dan susu 86,57 51,07 63,58 20,57 64,99 60,61 89,79 58,41 69,23 Sayur-sayuran 40,22 50,29 47,48 40,62 44,09 43,50 36,01 44,58 42,16 Kacang-kacangan 62,74 76,26 71,25 73,99 69,39 69,88 59,95 72,47 67,85 Buah-buahan 66,48 77,00 73,90 53,74 65,84 64,16 62,40 68,74 66,87 Minyak dan lemak 237,95 239,19 238,84 154,33 241,23 227,15 228,32 237,56 234,90 Bahan minuman 124,44 132,99 130,49 84,00 128,01 121,42 115,49 125,76 122,72 Bumbu-bumbuan 15,23 13,04 13,65 6,63 14,23 12,95 14,99 13,15 13,68 Konsumsi lainnya 91,08 68,36 75,44 35,65 71,84 67,20 80,46 63,06 68,53 Makanan dan minuman jadi 278,37 161,35 197,51 89,82 220,45 202,29 288,26 172,76 209,07

Keterangan: K = Kota; D = Desa

Sumber: Susenas Panel 2008-2009 (diolah)

Berdasarkan tipe daerah tempat tinggal, pada tahun 2008 sampai dengan 2010 terlihat bahwa rata-rata konsumsi kalori penduduk perdesaan lebih besar dibandingkan konsumsi kalori penduduk perkotaan. Hal ini wajar karena aktivitas penduduk di perdesaan pada umumnya membutuhkan energi yang lebih besar dibandingkan dengan penduduk di perkotaan. Tahun 2008 dan 2010, kelompok makanan dan minuman jadi memberikan kontribusi terbesar kedua terhadap total konsumsi kalori di daerah perkotaan. Gambaran ini menunjukkan bahwa penduduk perkotaan lebih menyukai makanan dan minuman siap jadi yang meliputi roti, kue, makanan gorengan, air kemasan, dan aneka makanan serta minuman jadi lainnya yang disajikan oleh rumah makan.

Tabel 11 menunjukkan bahwa lebih dari 96 persen rumah tangga di KTI mengkonsumsi beras. Ketergantungan penduduk terhadap beras sangat besar hingga di wilayah pedalaman. Hanya sebagian kecil masyarakat yang mengkonsumsi pangan pokok selain beras seperti sagu, ubi kayu, ubi jalar, dan jagung. Masyarakat Papua dan Maluku yang dulunya terbiasa dengan makanan pokok berupa sagu dan umbi-umbian perlahan-lahan mulai tergantikan ke beras. Hal ini jika tidak diantisipasi, akan mengancam ketahanan pangan di Papua dan Maluku. Sebab jika suatu saat stok pangan lokal menipis dan suplai beras mulai tersendat dapat menjadi pemicu kelaparan di daerah pelosok. Oleh karena itu,

sangat diperlukan adanya kebijakan untuk menguatkan potensi pangan lokal di masing-masing daerah terutama wilayah pedalaman.

Perbandingan data antara tahun 2008 dan 2010 menunjukkan bahwa konsumsi beras semakin meningkat sedangkan konsumsi komoditas lainnya semakin menurun. Kecenderungan peningkatan konsumsi beras dan penurunan konsumsi komoditas lainnya tersebut menunjukkan bahwa diversifikasi pangan di KTI belum berhasil.

Tabel 11 Persentase Rumah Tangga yang Mengkonsumsi Beberapa Komoditas Pangan di KTI Tahun 2008-2010 (Persen)

Komoditas 2008 2009 2010 Beras 96,56 96,82 96,80 Jagung Pipilan 9,21 8,40 7,76 Ubi Kayu 35,20 30,53 28,50 Ubi Jalar 10,04 8,94 9,00 Sagu 7,43 6,90 7,02 Kacang Tanah 4,89 4,60 4,72 Kacang Kedelai 2,35 2,69 1,86 Kacang Hijau 9,15 6,62 6,37 Talas/keladi 6,96 7,30 5,68 Kentang 6,70 6,33 6,25 Gaplek 0,31 0,20 0,13 Sumber: BPS (diolah)

Pola konsumsi protein per kapita menurut kelompok makanan di KTI memberikan gambaran yang serupa dengan pola konsumsi kalori per kapita. Disamping padi-padian, kelompok makanan yang memberikan asupan protein yang besar di KTI adalah ikan. KTI merupakan kawasan yang terdiri lebih dari 17 ribu kepulauan yang dikelilingi oleh lautan dimana hampir semua jenis ikan dapat ditemukan di wilayah ini, sehingga tidak mengherankan jika sebagian besar penduduk di KTI mengkonsumsi ikan.

Apabila dilihat dari klasifikasi daerah tempat tinggal, pada tahun 2008 dan 2010 asupan protein penduduk perkotaan lebih besar dibandingkan dengan penduduk di perdesaan. Sedangkan pada tahun 2009 kondisinya terbalik, dimana asupan protein penduduk perkotaan jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan penduduk di perdesaan. Hal ini menunjukkan pada tahun 2009, penduduk perdesaan lebih mampu memenuhi kebutuhan pangannya meskipun dalam kondisi perekonomian yang sedang turun akibat dampak krisis global.

Tabel 12 Rata-rata Konsumsi Protein per Kapita Sehari Menurut Kelompok Makanan dan Klasifikasi Desa di KTI Tahun 2008-2010 (Gram) Kelompok Makanan 2008 2009 2010 K D K+D K D K+D K D K+D Padi-padian 22,17 25,87 24,81 21,00 24,41 23,86 20,99 25,29 24,05 Umbi-umbian 0,69 1,51 1,31 2,65 0,95 1,27 0,56 1,53 1,28 Ikan 13,36 12,17 12,52 7,52 12,42 11,69 12,62 11,99 12,18 Daging 6,85 6,55 6,66 5,15 6,64 6,52 7,02 6,73 6,84

Telur dan susu 4,71 2,74 3,43 1,30 3,63 3,40 5,10 3,37 3,97

Sayur-sayuran 2,81 3,81 3,53 3,20 3,22 3,22 2,48 3,30 3,07

Kacang-kacangan 5,33 5,69 5,55 5,35 5,59 5,57 5,28 5,55 5,45

Buah-buahan 0,73 0,83 0,80 0,55 0,71 0,69 0,79 0,84 0,82

Minyak dan lemak 0,34 0,61 0,53 0,40 0,49 0,47 0,28 0,54 0,47

Bahan minuman 0,98 1,12 1,08 0,73 1,04 0,99 1,00 1,15 1,11 Bumbu-bumbuan 0,60 0,48 0,51 0,23 0,54 0,49 0,63 0,50 0,54 Konsumsi lainnya 1,90 1,44 1,58 0,78 1,52 1,42 1,69 1,33 1,44 Makanan dan minuman jadi 8,50 3,99 5,38 2,21 5,99 5,47 8,66 4,33 5,69

Keterangan: K = Kota; D = Desa

Sumber: Susenas Panel 2008-2010 (diolah)

4.6. Pola Pengeluaran Kawasan Timur Indonesia

Data pengeluaran Susenas terdiri atas dua kelompok, yaitu pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan. Permintaan untuk kedua kelompok tersebut pada dasarnya berbeda. Dalam kondisi pendapatan terbatas, kita akan mendahulukan pemenuhan kebutuhan makanan, sehingga pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan terlihat bahwa sebagian besar pendapatannya digunakan untuk membeli makanan. Seiring dengan peningkatan pendapatan, maka lambat laun akan terjadi pergeseran pola pengeluaran, yaitu penurunan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan dan peningkatan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk bukan makanan.

Pergeseran komposisi dan pola pengeluaran tersebut terjadi karena elastisitas permintaan terhadap makanan secara umum rendah, sedangkan elastisitas permintaan terhadap kebutuhan bukan makanan relatif tinggi. Keadaan ini jelas terlihat pada kelompok penduduk yang tingkat konsumsi makanannya sudah mencapai titik jenuh, sehingga peningkatan pendapatan digunakan untuk memenuhi kebutuhan barang bukan makanan, sedangkan sisa pendapatan dapat disimpan sebagai tabungan/diinvestasikan.

Uraian di atas menjelaskan bahwa pola pengeluaran merupakan salah satu variabel yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan (ekonomi) penduduk, sedangkan pergeseran komposisi pengeluaran dapat mengindikasikan perubahan tingkat kesejahteraan penduduk. Secara keseluruhan, persentase pengeluaran penduduk di KTI untuk konsumsi makanan lebih besar dibandingkan dengan persentase pengeluaran untuk non makanan. Hal ini mengindikasikan bahwa akses masyarakat terhadap pangan dari sisi ekonomi masih terbatas. Ini juga menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan sebagian besar masyarakat di KTI relatif rendah, dimana lebih dari setengah pendapatannya dibelanjakan untuk kelompok makanan. Pola pengeluaran untuk makanan dari tahun 2008 sampai dengan 2010 masih cenderung tetap yaitu sebesar 62 persen yang artinya belum terjadi pergeseran tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk KTI.

Tabel 13 Rata-rata Pangsa Pengeluaran per Kapita untuk Makanan dan Bukan Makanan di KTI

Kelompok 2008 2009 2010

Kota Desa Total Kota Desa Total Kota Desa Total

Makanan 0,54 0,65 0,62 0,68 0,61 0,62 0,54 0,65 0,62 Non Makanan 0,46 0,35 0,38 0,32 0,39 0,38 0,46 0,35 0,38 Sumber: Susenas Panel 2008-2010 (diolah)

Apabila dilihat dari klasifikasi daerah tempat tinggal, pada tahun 2008 dan 2010 persentase pengeluaran per kapita masyarakat perdesaan lebih besar dibandingkan dengan masyarakat di perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk di perkotaan lebih tinggi dibandingkan penduduk di perdesaan. Namun gambaran yang sebaliknya terjadi pada tahun 2009 dimana pangsa pengeluaran penduduk perkotaan terhadap makanan lebih besar jika dibandingkan dengan pangsa pengeluaran penduduk perdesaan.

4.7. Derajat Ketahanan Pangan di Kawasan Timur Indonesia

Jonsson dan Toole dalam Maxwell et al (2000) menyatakan bahwa derajat ketahanan pangan dapat diukur berdasarkan pangsa pengeluaran pangan dan kecukupan konsumsi kalorinya. Berdasarkan klasifikasi tersebut, didapatkan bahwa sebagaian besar rumah tangga di Kawasan Timur Indonesia termasuk dalam kategori rentan terhadap rawan pangan. Hal ini disebabkan sebagian besar pendapatan masyarakat KTI digunakan untuk pengeluaran makanan sehingga

Dalam dokumen Food Security in Eastern Indonesia (Halaman 65-128)

Dokumen terkait